Peristiwa kelima,
DI TENGAH PESTA
Aku dan suamiku datang 30 menit lebih awal, soalnya ini pesta kawin perak boss dimana suamiku harus menunjukkan loyalitasnya. Bangunan pendopo di rumah boss telah berubah menjadi ball room yang hebat. Nampak meja-meja panjang yang telah ditata mewah lengkap dengan gelas-gelas kristal dan sendok garpu peraknya serta piring-piring porselin diatas taplak putih bersih yang menghampar menutup mejanya. Sementara para pelayan sibuk menyiapkan makanan dan perangkat penunjangnya yang juga memamerkan kemewahan pesta ala orang-orang Barat.
Diatas stage nampak duduk seorang pianis dengan tuxedo buntut-nya yang menyentuh lantai sementara tangannya menyentuh lembut tuts piano Vluegel yang terbuka sayapnya untuk memperdengarkan, entah benar entah tidak, sepotong karya Tchaikovsky. Dan di bawahnya terbentang lantai kayu mahoni yang sangat mengkilat yang nanti akan dipenuhi para pasangan anggun yang melintasinya dalam acara Polonaise yang elegant itu. Aku dan suamiku telah siap untuk ikut meramaikannya dan untuk itu kami telah berlatih Polonaise setiap hari di pusat latihan tari Nana Marina yang top itu.
Sementara itu cahaya ruangan yang datang dari lampu-lampu kristal buatan Rossental yang super mewah jatuh temaram telah menciptakan harmoni antara karpet yang merah darah, meja-meja putih dengan gelas-gelas kristalnya, para tuan dan nyonya yang berseliweran dalam busana resmi pesta berupa jas tuxedo lengkap dengan celananya yang ber-strip sutra putih disampingnya untuk para tamu pria dan gaun malam berwarna gelap untuk wanita pasangannya lengkap dengan sarung tangannya yang membungkus tangan-tangan mereka hingga sebatas lengannya. Aku sendiri setengah mati menyiapkan ini semua.
Sebagai perempuan kelahiran desa Gempol, Wonosari, pesta macam begini baru sekali kami alami, dan maknanya sangat luar biasa bagi kami. Kami, suamiku dan aku, mempersiapkan diri lebih dari satu bulan dengan entah menghabiskan berapa juta rupiah untuk busana yang mungkin baru sepuluh tahun lagi kami pakai kembali. Tetapi aku sendiri berbahagia dengan kesempatan ini.
Aku mendatangi Harry Darsono, desainer top kita itu, untuk konsultasi sekaligus memesan busana yang sesuai dengan aku. Kemudian pada jatuh harinya, seharian ini aku berkutat di rumah fashionnya untuk menyetel semuanya termasuk melatih aku bagaimana mesti membawakan diri dengan busana macam ini. Aku memakai gaun terusan yang berhenti di dadaku untuk digantungkan dengan tali lembut ke bahuku. Dengan kain sutra yang khusus di datangan dari Amerika, begitu kata Harry, gaun malamku ini dia kerjakan siang malam selama lebih dari 2 minggu. Hasilnya sangat memuaskan aku. Saat aku keluar hendak pulang mereka bilang tampilanku sangat cantik mempesona seperti Cinderella atau Boneka Barby yang seksi itu. Aku tidak tahu persis, adakah Harry Darsono dan teman-temannya tahu bahwa aku berasal dari desa Gempol, Wonosari.
Kini aku dengan busana malamku, parfum L'Ivonne-ku serta beberapa bentuk gelang berlian ditangan kanan dan kiriku dengan penuh percaya diri menggandeng tangan suamiku bak pengantin agung memasuki ruangan pesta yang sangat mewah ini. Aku merasa seolah-olah semua nafas terhenti dan semua mata menyaksikan kehadiran kami, tentunya karena adanya aku yang dibilang mirip Cinderella dan Boneka Barbie tadi. Ada sih, yang nampak acuh saja saat aku melewati mereka, ah, biarlah, mungkin mereka tahu bahwa aku hanya berasal dari desa Gempol, Wonosari.
Suamiku memperhatikan tulisan nama-nama di meja. Panitia pesta telah menyusun secara protokoler siapa duduk di mana. Sebagai top eksekutif perusahan suamiku membawa aku untuk menempati kursi dekat dengan kursi boss dan nyonya. Disamping kanan kiri kami kubaca nama-nama para tokoh-tokoh masyarakat baik pengusaha, celebriti ataupun pejabat dan politisi negeri tercinta ini. Beberapa tamu yang telah hadir terlebih dahulu memberikan hormat pada suamiku dan kemudian meraih dan mencium tanganku sebagaimana layaknya menghadapi seorang putri terhormat macam Cinderella itu. Pasti mereka termasuk yang tidak tahu bahwa aku berasal dari desa Gempol, Wonosari. Aku merasa sangat tersanjung. Aku lihat mata mereka yang tidak berkedip memperhatikan aku sekaligus melupakan bahwa disebelah kiri mereka ada istrinya yang mestinya tidak kalah cantik denganku. Dan kulihat betapa para istri-istri itu sedemikian cemburu, bahkan ada yang terang-terangan mencibirkan bibirnya, mungkin mereka itu tahu persis bahwa aku asli berasal dari Gempol.
Suamiku menarik kursi berukir keemasan untukku, baru kali ini dia lakukan selama lebih dari 10 tahun kami menikah, kemudian dengan usaha keras agar nampak anggun seanggun-anggunnya, aku menempatkan pantatku untuk duduk. Tiba-tiba aku ingat telepon genggam atau HP-ku yang baru kubeli terlupa ketinggalan di laci mobil, aku harus mengambilnya karena aku sudah janji kepada Ratmi teman sedesaku yang kini buka salon dekat rumahku di RW 07 kampung Warakas, Tanjung Priok. Dengan HP-ku yang mutakhir itu aku bisa mengabadikan dalam foto-foto seluruh kejadian pada pesta mewah ini, sehingga aku tak usah banyak cerita padanya. Aku bisikkan kepada Mas Karsiman, suamiku, tentang HP-ku yang ketinggalan di mobil itu. Dengan tanpa mengindahkan tata krama bagaimana seharusnya melayani istri anggunnya dia ngomel padaku, dimana sih ingatan kamu, begitu saja kok lupa, dasar "cah ndeso", katanya. Dia rogoh celananya dan lemparkan kunci mobilnya ke aku. Kuakui bahwa dari sekian banyak orang di ruangan ball room itu, hanya Mas Karsiman-lah orang yang paling tahu bahwa aku benar-benar dari desa Gempol, Wonosari.
Aku beranjak dari kursiku dan bergegas ke mobil di halaman parkir. Saat aku turun dari teras sambil sedikit mengangkat gaun malamku agar tidak nyerimpet kakiku seorang petugas parkir yang berkumis melintang dan memakai seragamnya yang gagah membungkuk dalam-dalam penuh hormat, meraih tanganku dan menciumnya kemudian dia menanyakan apakah aku perlu bantuan. Sikap penuh hormatnya yang hebat itu membuat aku sangat tersanjung, dan bak seorang nyonya yang super penting aku minta dia untuk mendampingi aku menuju ke mobil. Beda dengan suamiku, aku pastikan dialah orangnya yang paling sama sekali tidak tahu bahwa aku berasal dari desa Gempol, Wonosari. Dia bantu aku mengangkat gaun malamku agar tidak nyerimpet kakiku. Dan dia mengangkat benar-benar tinggi hingga jauh dari kakiku, bahkan hampir setengah pahaku. Wah, aku kembali lebih tersanjung oleh penghormatannya. Apalagi setelah kuamati petugas parkir itu ternyata ganteng banget, jauh lebih ganteng dari pada suamiku. Terlintas pada pikiranku kalau petugas parkir ini lebih cocok sebagai pendampingku, sementara Mas Karsiman akan lebih cocok menggantikannya sebagai petugas parkir.
Sampai di lapangan parkir aku lihat mobilku yang menghadap ke jalan sudah dipepet berdesak oleh mobil lain, tetapi untung di sebelah pintu yang aku akan buka masih ada ruang untuk daun pintu mobilku. Petugas yang baik dan penuh hormat itu dengan sabar menantikan aku membuka pintu mobil dengan terus mengangkat gaun malamku sebagaimana permintaanku tadi. Sesudah mencoba beberapa mata kunci, akhirnya pintu mobilku terbuka. Aku buka lebar-lebar pintunya dan langsung merunduk nungging mencari HP-ku yang ketinggalan. Aku meraba-raba jok kursi depan dan jok kursi belakang, kemudian membukai laci-laci tetapi tak kunjung kutemukan HP-ku itu. Sementara itu petugas parkir yang ganteng tadi mulai mencium bokongku. Uh, rasanya ketersanjunganku makin sangat tak tehingga, kalau orang-orang cukup mencium tanganku sebagai tanda hormatnya, petugas parkir ini lebih-lebih lagi dengan mau mencium bokongku.
Keyakinanku bahwa dia benar-benar tidak mengetahui asal-usulku yang dari desa Gempol, Wonosari jadi ber-lipat-lipat. Apalagi saat menciumi bokongku juga diikuti semakin meninggikan ngangkat gaun malamku agar nantinya tidak menyandung kakiku. Sedemikian tingginya dia mengangkat gaunku hingga kurasakan betapa kumisnya yang melintang itu langsung membuat aku merinding saat menyentuh pori-pori bokongku. Ketika tangan-tanganku tak juga menemukan HP-ku dalam mobil itu aku mencoba bertahan untuk tetap nungging beberapa saat lagi guna memberi kesempatan lebih lama kepada petugas parkir itu menyampaikan hormatnya padaku.
Kemudian saat ciumannya juga dia tambahkan dengan kecupan bibirnya dan jilatan lidahnya aku langsung ingat akan kebiasaan suamiku yang selalu mengawali godaannya padaku dengan ciuman di bokongku, kemudian mengecup dan menjilatinya sebagaimana yang kini dilakukan petugas parkir ini. Yang selanjutnya aku sangat ingin tahu adalah, apakah dia juga akan melepasi celana panjangnya dan menempelkan tongkat panjangnya untuk di usel-uselkan kebokongku sebagaimana yang juga diperbuat suamiku. Aku perlu menunggu beberapa saat hingga ternyata dia benar-benar melakukan persis seperti yang biasa dilakukan suamiku itu. Ah, bukan main petugas parkir ini, dia betul-betul mengetahui dengan persis kebiasaan suamiku.
Dan ketika dia kemudian bangkit mencopoti celana dalamku dan melemparkannya ke jok mobilku kemudian dengan penuh emosi merangkul tubuhku serta kedua tangannya meraih susu-susuku dan meremas-remasinya, sementara tongkatnya yang hangat, gede dan panjang itu disodok-sodokan ke daerah yang sangat rahasia milikku, aku betul-betul merasa sedang menghadapi suamiku. Tetapi kali ini ada yang beda, petugas parkir ini memberikan kenikmatan 73 kali lipat dari kenikmatan yang bisa diberikan suamiku. Aku katakan 73 karena yang dia tuju (tujuh) ada 3, pertama adalah nonokku yang merupakan milikku yang paling rahasia yang selama ini hanya suamiku yang berhak mengambilnya, kedua adalah buah dadaku sangat menampakkan pesona dan nikmat sensual dan yang ketiga.., apa, ya..? Tiba-tiba aku terlupa karena aku rasakan sodokan di bawah sana menghunjam-hunjam demikian hebatnya hingga nikmatnya membuat aku lupa segala-galanya.
Sodokan tongkat panas dan panjang petugas parkir itu demikian dalam menembusi nonokku hingga menyentuh dinding rahimku. Sementara dinding-dinding nonokku yang dipenuhi saraf-saraf peka terus melumat dan meremas-remas batang bulat gede itu karena kegatalan. Ketika lumatan dan remasan dinding peka itu belum juga mengurangi kegatalanku, aku terpaksa membantunya dengan menggoyang-goyangkan ke kanan dan ke kiri serta memaju dan mundurkan pantat serta pinggulku hingga seluruh badan mobilku pun ikut bergoyang-goyang. Pada saat seperti ini biasanya suamiku minta supaya aku berpura-pura ditimpa nikmat yang tak terhingga, dia minta supaya aku mendesah dan merintih bahkan kalau perlu berteriak seakan aku menanggung derita yang tak terperikan. Tetapi saat ini petugas parkir itu benar-benar sedang memberikan kenikmatan yang tak terhingga padaku, dan aku sungguh-sungguh ditimpa derita nikmat yang tak terperikan, sehingga tanpa dia minta kini aku benar-benar mengeluarkan desahan, rintihan dan teriakan-teriakan demikian hebat yang bahkan tak bisa kukendalikan lagi.
Dan ketika tongkatnya terasa makin legit dan sesak keluar masuk dalam nonokku, aku tahu bahwa sebentar lagi dia akan mempersembahkan kenikmatan yang tak terperi padaku. Aku sendiri sudah harus bergegas menerima puncak-puncak derita hasil perbuatannya. Dan saat aku merasakan adanya semprotan cairan yang sangat kuat dan panas dalam nonokku, puncak nikmatkupun muncrat hadir menyertainya. Pada saat itu aku tak lagi ingat macam bagaiman kegaduhan yang terjadi dalam mobil yang juga ikut terguncang-guncang ini. Yang kuingat hanyalah aku ter-rebah nungging dan tengkurap ke jok mobil dan petugas parkir itu melepas batang panasnya dari lubang kemaluanku. Kemudian aku terlena sesaat.
Aku baru sadar saat musik Polonaise dari ruang ball room terdengar bergema. Aku segera bangkit karena pasti Mas Karsiman, suamiku telah menunggu aku. Aku menjambret kertas tissue yang selalu ada di mobilku untuk membersihkan cairan dan lendir kental yang meleleh di seputar vagina dan pahaku. Aku cari petugas parkir itu, rupanya dia telah meninggalkan aku. Mungkin karena aku lupa tidak memberikan tugas untuk membimbingku dari mobil menuju gedung ball room itu. Dan aku bergegas kembali untuk suamiku yang pasti sudah gelisah menunggu. Sebelum aku menemuinya aku mampir terlebih dahulu ke toilet ball room untuk membetulkan busana malamku dan sedikit riasan wajahku. Saat akhirnya suamiku menggandeng aku untuk melakukan ritual Polanaise dalam pesta perak bossnya, aku merasakan ada yabg bergetar dalam BH-ku. Ya, ampun, rupanya aku lupa kalau HP-ku telah kuselipkan ke dadaku menjelang berangkat dari rumah itu. Aku menerima SMS dari Ratmi agar aku tidak lupa membuat dokumentasi foto pesta hebat ini.
Malam itu saat pesta usai aku digandeng kembali oleh suamiku keluar dari ball room menuju tempat mobil kami. Aku tengak-tengok kesana kemari mencari petugas parkir yang ramah itu tetapi tak kulihat batang hidungnya. Mungkin dia sedang sibuk mengatur keluar masuk mobil lainnya di tempat lain. Aku sampai di rumah sekitar pukul 11 malam. Kulihat Ratmi dan pelayan rumahku masih melek menungguku. Sebagai putri yang seanggun Cinderella aku merasa tidak harus menegur mereka. Aku langsung masuk ke kamar untuk membuka busana jutaan rupiahku ini. Rumah kontrakan yang sempit di Tanjung Priok ini membuatku sangat kegerahan. Saat aku melepaskan gelang berlianku dari tangan kanan dan kiriku aku merasa ada yang kurang. Satu bentuk gelang berlianku telah hilang dari tanganku. Aku jadi ingat tuju(tujuh)-an yang ke tiga, rupanya petugas parkir itu telah menjambret gelang berlianku yang kubeli seharga 5 juta rupiah dari uang arisanku itu. Seketika pandanganku gelap, aku limbung terkulai dan jatuh ke lantai.
Aku sudah tergeletak di tempat tidur saat terbangun. Kulihat Ratmi sedang mengipasi aku dengan kertas bungkus dagangannya. Pelayanku sedang memijiti kakiku, dan suamiku di sana sedang terduduk lesu. Di genggaman tangannya kulihat celana dalamku yang nampak basah lembab yang dia ketemukan di jok mobilku. Dia menasehatiku dengan matanya yang penuh rasa kasihan agar kalau aku pergi-pergi jangan meninggalkan celana dalam di mobil, hingga menyebabkan aku kini masuk angin. Kemudian dia menyuruh pelayanku mengambil minyak goreng untuk mengerok punggungku.
Malam itu aku tertidur dengan sangat nyenyak. Masa bodo dengan gelang berlian, masa bodo dengan busana Harry Darsono, masa bodo dengan Polonaise dan Nana Marina-nya. Rasanya sawah di Gempol, Wonosari jauh lebih indah dari semuanya ini. Dan pelukan Mas Karsiman terasa jauh lebih nikmat daripada jambretan tangan petugas parkir itu.
TAMAT