Ketika anak saya berumur satu tahun saya pindah rumah. Rumah sendiri. Rasanya sudah cukup bekal mental kami untuk tinggal sendiri. Semua pelajaran tentang bagaimana berumah tangga yang kami terima dari ibu mertua tampaknya cukup. Juga soal seks tentunya:). Kami hanya sekali melakukannya, dan tak ada keinginan untuk menguanginya. Saya takut, seperti halnya kejadian saya dengan Mbak Maya dan Rosi. Tapi diam-diam saya geli sekaligus bangga terhadap diri saya. Benar-benar luar biasa. Empat perempuan dalam satu keluarga telah saya tiduri, dan rahasia itu terjaga dengan aman sampai kini, saat saya tuliskan kisah saya ini. Skandal yang menurut saya luar biasa.

Sesungguhnyalah petualangan seks saya sebenarnya belum berakhir. Skandal terus berlangsung di dalam rumah saya. Terus terang saya memang tidak punya cukup keberanian untuk melakukan perselingkuhan dengan perempuan lain di luar yang benar-benar saya kenal. Mungkin karena pada dasarnya saya suami yang "baik". Kedua, saya tidak memiliki daya tarik seksual (sex appeal) yang menonjol. Tinggi badan saya cuma 162 cm. Terlalu pendek untuk laki-laki. Kulit sawo matang, dan wajah biasa mesti tidak jelek. Tidak ada yang luar biasa. Jadi sangat jarang perempuan tertarik secara fisik kepada saya. Saya juga tidak agresif dalam bergaul, meskipun saya cukup humoris. Saya tak punya banyak teman wanita kecuali teman sekantor, dan beberapa teman maya (e-pal). Saya merasa sangat nyaman berteman dengan perempuan-perempuan di dunia maya. Lebih bebas. Baiklah, yang saya ceritakan ini mengenai perempuan pembantu saya.

Kami sering berganti-ganti pembantu. Paling lama mereka hanya bertahan satu tahun. Entah kenapa. Mungkin mereka tidak cocok dengan istri saya yang cenderung tak banyak omong sehingga terkesan galak. Mungkin juga malas mengasuh anak kecil. Entahlah. Justru pergantian-pergantian inilah yang membuka pintu perselingkuhan seks bagi saya. Yang pertama dengan seorang gadis bernama Sri. Usianya saat itu 16 tahun. Dia kami peroleh di sebuah penampungan PRT, semacam sebuah yayasan. Saat itu istri saya sedang memilih-milih sejumlah PRT yang ditawarkan pengelola. Saya menunggu di ruang tamu dengan anak saya. Anak saya terus bergerak-gerak. Maklum baru beberapa minggu bisa berjalan. Saat dia melihat mamanya anak saya berlari ke arahnya. Mamanya akan menangkap, tetapi keburu didahului seorang gadis. Salah seorang PRT. Gadis itu mengangkat anak saya menimangnya. Anak saya kelihatan senang. Saya dan istri saya tertegun.

Lalu saya lihat istri saya berbicara dengan gadis itu. Beberapa saat kemudian istri saya menghampiri saya.
"Gimana kalau dia saja?" tanyanya.
Saya bingung. Kalau melihat bagaimana gadis itu bersikap terhadap anak saya, rasanya dialah yang kami cari. Kami memang butuh PRT yang pintar mengasuh anak. Maklum saya dan istri pekerja, sehingga tanggung jawab anak sepenuhnya kami serahkan ke pembantu. Tetapi melihat fisik gadis itu, saya ragu. Rupanya istri saya tahu apa yang ada dalam benak saya. Anak kami masih dalam gendongan gadis itu. Gadis yang benar-benar tak layak menjadi PRT. Percayalah. Dia terlampau cantik sebagai PRT. Kulitnya putih bersih. Tinggi semampai, ramah, periang. Dan, waduh. Teteknya sangat besar.

Tidak. Saat ini saya sedang mencari pengasuh anak. Itu yang penting.
"Dia saja ya?" Istri saya mendesak. Saya bigung.
"Si Nisa lengket banget tuh."
Akhirnya gadis bernama Sri itu kami ambil. Inilah sebenarnya kekeliruan istri saya. Maaf, pembaca. Pembantu saya ini setingkat lebih cantik dibanding istri saya sendiri. Benar-benar membingungkan kan? Bahkan para tetangga kami tadinya tidak percaya kalau itu pembantu saya. Mereka mengira dia famili kami. Reaksi saudara-saudara istri saya negatif. Mereka keberatan dengan pembantu secantik itu. Apalagi Sri benar-benar ramah luar biasa. Dia juga cenderung cerdas meskipun hanya lulusan SMP. Ibu mertua saya bahkan marah-marah pada istri saya dan meminta saya mengganti pembantu. Istri saya memberi penjelasan tetang bagaimana Sri pintar merawat Nisa. Penjelasan ini tidak bisa diterima ibu. Saya menduga keberatan itu karena ibu khawatir akan terjadi sesuatu antara menatunya dengan Sri. Beliau kan contoh nyata. Istri saya bersikukuh, bahkan ketika ibu mengancam tidak akan berkunjung ke rumah kami sampai kami mengganti pembantu.

Apa yang dikhawatirkan ibu memang beralasan. Saya benar-benar tergoda oleh semua yang ada dalam diri Sri. Kecantikannya, kebersihan kulitnya, teteknya, keramahannya. Dua bulan sejak dia ikut kami, saya sudah mulai punya pikiran kotor. Saya mulai mencari cara untuk bisa meniduri Sri. Maukah dia? Istri saya sama sekali tidak mencurigai saya. Baginya saya adalah pria yang culun dan setia. Dunia saya hanya duania kantor dan rumah. Setiap kali dia menghubungi saya, ya saya hanya di kantor atau di rumah. Itulah yang membuatnya merasa tenteram, tidak menaruh curiga apa-apa. Bodoh.

Serangan terhadap Sri saya lakukan pada suatu malam ketika istri saya keluar kota. Birahi saya muncul sejak siang. Istri saya berpesan kepada Sri supaya kalau malam Nisa tidur dengan dia. Soalnya istri saya paham betul tabiat saya kalau tidur malam. Susah bangun sekalipun anak menangis keras di sisi saya. Sejak sore Nisa bersama saya, bercengkerama di depan TV, lalu tertidur sekitar jam 19.00. Saya tiduran di sebelahnya sambil nonton TV. Tapi sebenarnya pikiran saya sedang kacau oleh birahi dan keinginan untuk menikmati tubuh Sri. Tetek gadis itu benar-benar sangat menggoda saya. Seperti apa rupanya tetek besar seorang gadis? Saya ingin meremas-remasnya, ingin mengulum dan menjilatinya.

Saya telah memasang perangkap sejak sore. Tapi tidak ada reaksi apa-apa. Saya tiduran dengan berbalut sarung, tanpa baju. Hanya CD saja. Jam 20.00 Sri meminta Nisa untuk dibawa ke kamarnya. Saya pura-pura menolaknya.
"Sudah biar tidur sama saya saja," kata saya.
"Nanti dimarahin Ibu. Katanya Bapak kalau tidur.."
"Ahh sudahlah," saya memotongnya.
"Nanti saja, saya masih pingin di dekat Nisa," sahut saya.
"Saya sudah mengantuk, Bapak."
Saya diam saja. Gadis itu mengenakan kaos denga rok span di atas lutut. Dia duduk melipat lutut di sebelah Nisa. Rambutnya tergerai sebahu. Hmm. Sepasang pahanya yang putih tersembul dari roknya.
"Sudah kamu tiduran di situ dulu nanti kalau sudah waktunya aku bangunin terus kamu bawa Nisa ke kamarmu," kata saya.

Perangkap saya pasang. Dia tampak ragu dan bingung.
"Sana ambil bantal kamu!" perintah saya.
Dia beranjak. Sebentar kemudian datang lagi dengan membawa bantal dan selimut. Dia rebahkan tubuhnya di sisi Nisa. Dia balut tubuhnya dengan selimut. Tenggorokan saya seperti tersekat. Kering. Haus rasanya. Saya tidur dengan Sri hanya dibatasi si kecil Nisa. Sri mencoba memejamkan mata. Sesekali melirik ke arah TV. Lalu saya tidur menghadap ke arahnya. Memandanginya. Rupanya dia tahu saya memandangi. Sekilas dia memandang saya, lalu memejamkan mata. Saya memandangi terus. Semakin kagum, dan semakin panas dingin tubuh saya. Penis saya sudah tegang sejak tadi. Saya bingung bagaimana mengawali. Maukah Sri menerima saya? Kalau dia melawan? Kalau berteriak-teriak? Kalau besok minta keluar? Pikiran saya mulai kacau. Antara berani dan tidak. Saya mencoba tersenyum kepadanya ketika dia melirik saya. Dia tak bereaksi. Tampaknya dia tahu apa yang berkecamuk dalam benak saya.

Saya memanggil namanya pelan. Dia membuka matanya.
"Kamu cantik sekali." Dia terbelalak dan merapatkan selimutnya.
Saya terus memandanginya. Lalu saya lihat dia tersenyum tipis.
"Kamu cantik sekali," kata saya lagi.
Wajahnya merah. Timbul keberanian saya. Saya mencoba meraih jemarinya yang tersembul dari selimut. Dia kaget dan menariknya. Saya hentikan serangan saya. Sesaat kemudian saya coba raih helai-helai rambutnya. Saya elus kepalanya. Dia diam. Saya makin berani.
"Kamu pernah punya pacar?"
"Sudah ahh Bapak. Nggak boleh gitu," katanya.
Nisa bergerak-erak seperti mau bangun. Sri mencoba menengkan dengan menepuk-nepuk punggungnya. Kesempatan itu saya gunakan untuk meraih tangannya. Saya gengam. Dia diam, hanya matanya yang lurus ke arah mata saya. Saya cium tangan itu. Penis saya makin tegang. Saya ciumi punggung tangan itu, lalu telapak tangannya. Tak ada rekasi. Saya makin berani. Secepat kilat saya bergeser tempat. Kali ini di belakanganya.
"Bapak jangan gitu, ahh," dia menepis tangan saya yang mencoba memeluknya.
"Kenapa?"
"Nggak boleh. Nanti dimarahin Ibu."
"Kan Ibu nggak ada?"
"Nanti dibilangin sama Adik. Dik Nisa, besok bilangin ke mama, Papa nakal ya?" Sri berbicara pelan kepada Nisa.

Saya tersenyum dan kembali memeluknya. Kali ini dia diam. Saya merapatkan badan kepadanya.
Saya gesek-gesekkan penis saya ke tubuhnya. Dia menggelinjang sebentar, dan berusaha menjauh, tapi tubuhnya terantuk tubuh kecil Nisa. Saya makin beringas. Saya buka selimutnya. Saya usap kakinya. Ke atas, di paha. Dia mendesis dan berusaha menghindar.
"Saya tidur di kamar saja ahh."
Dia mencoba bangkit tapi saya menahannya.
"Jangan."
"Bapak nakal sih."
Saya menghentikan aksi. Sesaat kemudian hanya tangan saya yang saya taruh di pingangnya. Dia diam saja. Lalu saya kembali memeluknya. Ahh tepatnya mendekap dia. Saya gesek-gesek pelan tangan saya di bagian perutnya. Dia tak bereaksi. Saya terus berusaha memberi rangsangan dengan menyusupkan jari saya ke kulit perutnya. Tampaknya berhasil. Dia mendesis. Tak ada perlawanan. Tangan saya merayap pelan ke atas sampai terentuh dinding yang sangat tebal. Tetek yang luar biasa besarnya. Benar-benar baru kali ini saya liat tetek sebesar ini. Saya sentuh pelan-pelan. Saya takut dia menolaknya. Tapi tidak ada reaksi.

Baru ketika saya pelan-pelan meremas, tubuhnya terlihat bergerak-gerak. Dia melenguh. Saya makin kalap. Remasan makin keras, dan menyelusuplah tangan saya ke dalam BH-nya. Tersentuh dagihg kenyal. Saya raba, saya remas. Sri menggelinjang. "Hh.." Tangannya mencengkeram tangan saya. Saya mulai menaiki tubuhnya. Sarung saya lepas. Saya hanya bercelana dalam. Sri memejamkan mata. Saya cium bibirnya dengan tangan saya tetap meremas-remas payudara besarnya. Tanpa saya duga, dia membalas ciuman saya. Bakan menghisap lidah saya dengan rakus. Bibir saya bergerak turun ke leher. Selimut telah lepas dari tubuhnya. Saya singkap kaosnya, dan akhirnya, saya lihat kutang itu terlalu kecil untuk teteknya yang super besar. Hanya dengan sekali geser. Putingnya telah tersembul. Saya cium puting itu. Saya hisap, dan saya gelitik. Dia meronta-ronta. Tangannya memeluk saya erat-erat. Lalu saya cium lagi bibirnya.

"Kamu pernah melakukan dengan cowok?" bisik saya sambil memainkan lidah di telinganya.
"Belum."
Tangan saya bergerak ke bawah, ke celah CD-nya, mengelus-elus semak-semak lembut, dan menggelitik sebuah celah yang telah basah. Sri mencengkeram kepala saya, lalu menariknya. Dia mencium bibir saya. Melumatnya. Lidah saya disedot dengan hebatnya. Saya permainkan tangan di bawah, menyusuri sepasang bibir vagina. Kadang memutar-mutar di ujung bibir. Ketika mencoba masuk ke sebuah lubang, saya tahu, gadis ini masih perawan.

Tangan Sri telah mengcook penis saya. Mengocok dan meremas-remas dengan sangat kuatnya. Sakit. Persis seperti yang dilakukan Rosi, ipar saya di Taman KB malam itu. Saya buka CD Sri, hingga pangkal kakinya, lalu dia menendang sendiri CD itu, melayang ke dekat TV. Dia juga menarik CD saya.
"Kamu masih perawan Sri?" taya saya.
Dia mengangguk sambil terus mengocok penis sya. Kocokan yang kasar.
"Kamu mau saya masukkan ini saya?" saya memegang tangannya yang sedang mengocok penis.
Dia mengangguk. Tapi saya takut. Saya tak berani megambil keperawanannya. Biar bagaimana saya masih punya rasa kasihan. Tak tega saya. Benar-tbenar tak tega. Tapi nafsu telah menguasai kami.
"Saya ciumin saja ya?" Dia mengangguk-angguk.

Saya membalikkan tubuh saya, mengangkat kedua pahanya yang padat. Memeknya disinari cahaya TV. Saya mulai menjilati. Meskipun tercium aroma yang tidak enak, saya tidak mempedulikan. Saya terus menjilatinya. Sri mengerang-erang. Saya coba menaruh penis saya di depan mulutnya. Tapi dia hanya meremas dan mengocoknya. Ketika lidah saya makin beringas menjilati memeknya, barulah dia memasukkan penis saya di mulutnya. Saya sibakkan bibir memeknya. Saya jilat-jilat isinya, jari tengah saya mencoba menusuk pelan. Sri mengangkat pantatnya. Mulutnya menghisap-hisap penis saya. Terdengar bunyi sangat keras.

Si Nisa masih pulas tanpa terganggu perang di sebelahnya. Ketika saya merasa hendak ejakulasi, saya tarik penis saya. Saya ingin sperma saya jatuh di luar mulutnya. Serentak dengan itu saya mengulum kelentit. Sri menarik pinggul saya dan menghisap kuat penis saya. Srtt srrtt Sperma saya pu terpancar. Sri berusaha mendorong keluar tubuh saya. Tapi kali ini saya justru menekannya. Saya tidak ingin penis saya lepas dari mulutnya. Seluruh mani saya telah keluar. Sebagian telah masuk ke dalam kerongkongan Sri. Dia tampak muntah-muntah. Suaranya sangat keras. Saya jadi ketakutan. Dia menampung muntahan dengan selimutnya. Saya menjadi iba. Saya pijat-pijat tengkuknya. Beberapa saat kemudian dia mulai tenang. Saya ambilkan air, dan di meminumnya.
Dia memukuli dada saya. "Bapak nakal. Bapak nakal." Saya lega.
"Tapi kamu masih utuh kan? Kamu tidak kehilangan mahkotamu, kamu tidak akan hamil."
Dia tersenyum lalu beranjak menuju kamar mandi. Saya puas. Benar-benar puas.

Perseligkuhan dengan Sri saya ulangi beberapa kali. Banyak sekali kesempatan terbuka. Segalanya berjalan sangat lancar. Kami melakukannya tidak hanya ketika istri saya serang keluar kota. Tetapi juga siang hari saat istri kerja dan aku pulang diam-diam. Bedanya, Sri tak lagi mau membuka CD-nya. Dia bersedia mengulum penis saya. Jadi aku hanya berhak atas bibir dan tetek. Bagi saya itu lebih dari cukup. Saya memang tidak menginginkan memek Sri. Biarlah itu menjadi milik suaminya kelak.

Suatu saat, entah karena apa, istri saya meminta Sri keluar. Sri sangat terpukul. Dia menangis sesenggukan. Saya juga kaget dan takut. Ada apa sebenarnya? Apakah istri saya tahu yang terjadi antara saya dan Sri? Akhirnya istri saya berterus terang, sebenarnya dia tak ingin Sri keluar.
"Semua ini karena ibu," kata istri saya kepada Sri.
Sebagai gantinya ibu telah menyediakan pembantu. Seorang perempuan yang buruk rupa. Hitam, dekil, dan udik. Hmm.
Kepada Sri istri saya mencarikan kerja di sebuah toserba yang cuku besar. Ini berkat bantuan relasi istri saya. Sri gembira bukan main meskipun sedih harus berpisah dengan Nisa. Sejak itu saya tak pernah bertemu dia lagi. Tapi berharap suatu saat bisa bertemu ketika dia telah bersuami, dan mengulang apa yang pernah kami lakukan. (Sri, jika kamu tahu, saya menunggumu)

Pembantu berikutnya yang menjadi pelampiasan narfsu saya bernama Mumun. Usianya sama dengan Sri. Meskipun tak secantik Sri, namun dia cukup menarik untuk ukuran pembantu. Pendekatan dengannya bahkan lebih lama dibandingkan yang saya lakukan terhadap Sri. Yang saya lakukan pertama adalah saya mencubit lengannya sambil lalu. Beberapa kali itu saya lakukan. Lama-lama dia berani membalas. Tentu tanpa sepengetahuan istri dan anak-anak saya. Waktu itu si sulung kelas 3 SD sedangkan si bungsu masih kecil.

Dari mencubit lengan meningkat menjadi meremas tangan. Bahkan kemudian ketika dia menunggui si kecil tidur di depan TV saya berani mencuri-curi mencium pipinya. Saya bahkan mulai merayu dan mencoba mencium bibirnya, tapi dia menolak. Saya tak menyerah, dan akhirnya berhasil. Rupanya itu ciuman pertama bagi dia, sekaligus pergumulan pertama. Saya tak berhasil menyentuh payudaranya. Apalagi memeknya. Hanya meremas kutangnya. Dia juga tidak mau memegang penis saya. Tetapi saya sempat ejakulasi.

Sejak pergumulan itu secara sembunyi-sembunyi dia memanggil saya "sayang". Lucu. Terutama ketika saya pulang kerja. Dia ambilkan minuman dan bilang, "Minumnya sayang." Pernah suatu ketika, saat di dapur dan saya menggodanya, dia melontarkan panggilan itu. Bersamaan dengan itu istri saya muncul. Hampir kiamat rasanya. Tapi saya lihat istri saya tidak menunjukkan kecurigaan apa-apa. Sikapnya tak berubah.

Mungkin nalurinya saja yang membuatnya mencium aroma skandal saya dengan Mumun. Akhirnya Mumun dikeluarkan dengan alasan "Tidak beres dalam bekerja." Sejak itu saya tidak tahu kabar tentang Mumun. Pembantu-pembantu penggantinya tak ada lagi yang berwajah "layak" untuk digauli. Pernah sih ada perempuan berkulit bersih. Meski tidak cantik tapi cukup menggiurkan. Sayangnya dia telah bersuami. Suaminya seorang tukang bangunan. Saya tak berani menyentuh perempuan itu. Takut. Lagi pula perempuan itu amat santun, lemah lembut, dan sangat menyayangi kedua anak saya, sehingga saya berusaha menjaga agar perempuan itu betah bersama kami.

Tamat

Kurasa tidak perlu aku ceritakan tentang nama dan asalku, serta tempat dan alamatku sekarang. Usiaku sekarang sudah mendekati empat puluh tahun, kalau dipikir-pikir seharusnya aku sudah punya anak, karena aku sudah menikah hampir lima belas tahun lamanya. Walaupun aku tidak begitu ganteng, aku cukup beruntung karena mendapat isteri yang menurutku sangat cantik. Bahkan dapat dikatakan dia yang tercantik di lingkunganku, yang biasanya menimbulkan kecemburuan para tetanggaku.

Isteriku bernama Resty. Ada satu kebiasaanku yang mungkin jarang orang lain miliki, yaitu keinginan sex yang tinggi. Mungkin para pembaca tidak percaya, kadang-kadang pada siang hari selagi ada tamu pun sering saya mengajak isteri saya sebentar ke kamar untuk melakukan hal itu. Yang anehnya, ternyata isteriku pun sangat menikmatinya. Walaupun demikian saya tidak pernah berniat jajan untuk mengimbangi kegilaanku pada sex. Mungkin karena belum punya anak, isteriku pun selalu siap setiap saat.

Kegilaan ini dimulai saat hadirnya tetangga baruku, entah siapa yang mulai, kami sangat akrab. Atau mungkin karena isteriku yang supel, sehingga cepat akrab dengan mereka. Suaminya juga sangat baik, usianya kira-kira sebaya denganku. Hanya isterinya, woow busyet.., selain masih muda juga cantik dan yang membuatku gila adalah bodynya yang wah, juga kulitnya sangat putih mulus.

Mereka pun sama seperti kami, belum mempunyai anak. Mereka pindah ke sini karena tugas baru suaminya yang ditempatkan perusahaannya yang baru membuka cabang di kota tempatku. Aku dan isteriku biasa memanggil mereka Mas Agus dan Mbak Rini. Selebihnya saya tidak tahu latar belakang mereka. Boleh dibilang kami seperti saudara saja karena hampir setiap hari kami ngobrol, yang terkadang di teras rumahnya atau sebaliknya.

Pada suatu malam, saya seperti biasanya berkunjung ke rumahnya, setelah ngobrol panjang lebar, Agus menawariku nonton VCD blue yang katanya baru dipinjamnya dari temannya. Aku pun tidak menolak karena selain belum jauh malam kegiatan lainnya pun tidak ada. Seperti biasanya, film blue tentu ceritanya itu-itu saja. Yang membuatku kaget, tiba-tiba isteri Agus ikut nonton bersama kami.

"Waduh, gimana ini Gus..? Nggak enak nih..!"
"Nggak apa-apalah Mas, toh itu tontonan kok, nggak bisa dipegang. Kalau Mas nggak keberatan, Mbak Res diajak sekalian." katanya menyebut isteriku.
Aku tersinggung juga waktu itu. Tapi setelah kupikir-pikir, apa salahnya? Akhirnya aku pamit sebentar untuk memanggil isteriku yang tinggal sendirian di rumah.

"Gila kamu..! Apa enaknya nonton gituan kok sama tetangga..?" kata isteriku ketika kuajak.
Akhirnya aku malu juga sama isteriku, kuputuskan untuk tidak kembali lagi ke rumah Agus. Mendingan langsung tidur saja supaya besok cepat bangun. Paginya aku tidak bertemu Agus, karena sudah lebih dahulu berangkat. Di teras rumahnya aku hanya melihat isterinya sedang minum teh. Ketika aku lewat, dia menanyaiku tentang yang tadi malam. Aku bilang Resty tidak mau kuajak sehingga aku langsung saja tidur.

Mataku jelalatan menatapinya. Busyet.., dasternya hampir transparan menampakkan lekuk tubuhnya yang sejak dulu menggodaku. Tapi ah.., mereka kan tetanggaku. Tapi dasar memang pikiranku sudah tidak beres, kutunda keberangkatanku ke kantor, aku kembali ke rumah menemui isteriku. Seperti biasanya kalau sudah begini aku langsung menarik isteriku ke tempat tidur. Mungkin karena sudah biasa Resty tidak banyak protes. Yang luar biasa adalah pagi ini aku benar-benar gila. Aku bergulat dengan isteriku seperti kesetanan. Kemaluan Resty kujilati sampai tuntas, bahkan kusedot sampai isteriku menjerit. Edan, kok aku sampai segila ini ya, padahal hari masih pagi.Tapi hal itu tidak terpikirkan olehku lagi.

Isteriku sampai terengah-engah menikmati apa yang kulakukan terhadapnya. Resty langsung memegang kemaluanku dan mengulumnya, entah kenikmatan apa yang kurasakan saat itu. Sungguh, tidak dapat kuceritakan.
"Mas.., sekarang Mas..!" pinta isteriku memelas.
Akhirnya aku mendekatkan kemaluanku ke lubang kemaluan Resty. Dan tempat tidur kami pun ikut bergoyang.

Setelah kami berdua sama-sama tergolek, tiba-tiba isteriku bertanya, "Kok Mas tiba-tiba nafsu banget sih..?"
Aku diam saja karena malu mengatakan bahwa sebenarnya Rini lah yang menaikkan tensiku pagi ini.

Sorenya Agus datang ke rumahku, "Sepertinya Mas punya kelainan sepertiku ya..?" tanyanya setelah kami berbasa-basi.
"Maksudmu apa Gus..?" tanyaku heran.
"Isteriku tadi cerita, katanya tadi pagi dia melihat Mas dan Mbak Resty bergulat setelah ngobrol dengannya."
Loh, aku heran, dari mana Rini nampak kami melakukannya? Oh iya, baru kusadari ternyata jendela kamar kami saling berhadapan.
Agus langsung menambahkan, "Nggak usah malu Mas, saya juga maniak Mas." katanya tanpa malu-malu.

"Begini saja Mas," tanpa harus memahami perasaanku, Agus langsung melanjutkan, "Aku punya ide, gimana kalau nanti malam kita bikin acara..?"
"Acara apa Gus..?" tanyaku penasaran.
"Nanti malam kita bikin pesta di rumahmu, gimana..?"
"Pesta apaan..? Gila kamu."
"Pokoknya tenang aja Mas, kamu cuman nyediain makan dan musiknya aja Mas, nanti minumannya saya yang nyediain. Kita berempat aja, sekedar refresing ajalah Mas, kan Mas belum pernah mencobanya..?"

Malamnya, menjelang pukul 20.00, Agus bersama isterinya sudah ada di rumahku. Sambil makan dan minum, kami ngobrol tentang masa muda kami. Ternyata ada persamaan di antara kami, yaitu menyukai dan cenderung maniak pada sex. Diiringi musik yang disetel oleh isteriku, ada perasaan yang agak aneh kurasakan. Aku tidak dapat menjelaskan perasaan apa ini, mungkin pengaruh minuman yang dibawakan Agus dari rumahnya.

Tiba-tiba saja nafsuku bangkit, aku mendekati isteriku dan menariknya ke pangkuanku. Musik yang tidak begitu kencang terasa seperti menyelimuti pendengaranku. Kulihat Agus juga menarik isterinya dan menciumi bibirnya. Aku semakin terangsang, Resty juga semakin bergairah. Aku belum pernah merasakan perasaan seperti ini. Tidak berapa lama Resty sudah telanjang bulat, entah kapan aku menelanjanginya. Sesaat aku merasa bersalah, kenapa aku melakukan hal ini di depan orang lain, tetapi kemudian hal itu tidak terpikirkan olehku lagi. Seolah-olah nafsuku sudah menggelegak mengalahkan pikiran normalku.

Kuperhatikan Agus perlahan-lahan mendudukkan Rini di meja yang ada di depan kami, mengangkat rok yang dikenakan isterinya, kemudian membukanya dengan cara mengangkatnya ke atas. Aku semakin tidak karuan memikirkan kenapa hal ini dapat terjadi di dalam rumahku. Tetapi itu hanya sepintas, berikutnya aku sudah menikmati permainan itu. Rini juga tinggal hanya mengenakan BH dan celana dalamnya saja, dan masih duduk di atas meja dengan lutut tertekuk dan terbuka menantang.

Perlahan-lahan Agus membuka BH Rini, tampak dua bukit putih mulus menantang menyembul setelah penutupnya terbuka.
"Kegilaan apa lagi ini..?" batinku.
Seolah-olah Agus mengerti, karena selalu saya perhatikan menawarkan bergantian denganku. Kulihat isteriku yang masih terbaring di sofa dengan mulut terbuka menantang dengan nafas tersengal menahan nafsu yang menggelora, seolah-olah tidak keberatan bila posisiku digantikan oleh Agus.

Kemudian kudekati Rini yang kini tinggal hanya mengenakan celana dalam. Dengan badan yang sedikit gemetar karena memang ini pengalaman pertamaku melakukannya dengan orang lain, kuraba pahanya yang putih mulus dengan lembut. Sementara Agus kulihat semakin beringas menciumi sekujur tubuh Resty yang biasanya aku lah yang melakukannya.

Perlahan-lahan jari-jemariku mendekati daerah kemaluan Rini. Kuelus bagian itu, walau masih tertutup celana dalam, tetapi aroma khas kemaluan wanita sudah terasa, dan bagian tersebut sudah mulai basah. Perlahan-lahan kulepas celana dalamnya dengan hati-hati sambil merebahkan badannya di atas meja. Nampak bulu-bulu yang belum begitu panjang menghiasi bagian yang berada di antara kedua paha Rini ini.

"Peluklah aku Mas, tolonglah Mas..!" erang Rini seolah sudah siap untuk melakukannya.
Tetapi aku tidak melakukannya. Aku ingin memberikan kenikmatan yang betul-betul kenikmatan kepadanya malam ini. Kutatapi seluruh bagian tubuh Rini yang memang betul-betul sempurna. Biasanya aku hanya dapat melihatnya dari kejauhan, itu pun dengan terhalang pakaian. Berbeda kini bukan hanya melihat, tapi dapat menikmati. Sungguh, ini suatu yang tidak pernah terduga olehku. Seperti ingin melahapnya saja.

Kemudian kujilati seluruhnya tanpa sisa, sementara tangan kiriku meraba kemaluannya yang ditumbuhi bulu hitam halus yang tidak begitu tebal. Bagian ini terasa sangat lembut sekali, mulut kemaluannya sudah mulai basah. Perlahan kumasukkan jari telunjukku ke dalam.
"Sshh.., akh..!" Rini menggelinjang nikmat.
Kuteruskan melakukannya, kini lebih dalam dan menggunakan dua jari, Rini mendesis.

Kini mulutku menuju dua bukit menonjol di dada Rini, kuhisap bagian putingnya, tubuh Rini bergetar panas. Tiba-tiba tangannya meraih kemaluanku, menggenggam dengan kedua telapaknya seolah takut lepas. Posisi Rini sekarang berbaring miring, sementara aku berlutut, sehingga kemaluanku tepat ke mulutnya. Perlahan dia mulai menjilati kemaluanku. Gantian badanku sekarang yang bergetar hebat.

Rini memasukkan kemaluanku ke dalam mulutnya. Ya ampun, hampir aku tidak sanggup menikmatinya. Luar biasa enaknya, sungguh..! Belum pernah kurasakan seperti ini. Sementara di atas Sofa Agus dan isteriku seperti membentuk angka 69. Resty ada di bawah sambil mengulum kemaluan Agus, sementara Agus menjilati kemaluan Resty. Napas kami berempat saling berkejaran, seolah-olah melakukan perjalanan panjang yang melelahkan. Bunyi Music yang entah sudah beberapa lagu seolah menambah semangat kami.

Kini tiga jari kumasukkan ke dalam kemaluan Rini, dia melenguh hebat hingga kemaluanku terlepas dari mulutnya. Gantian aku sekarang yang menciumi kemaluannya. Kepalaku seperti terjepit di antara kedua belah pahanya yang mulus. Kujulurkan lidahku sepanjang-panjangnya dan kumasukkan ke dalam kemaluannya sambil kupermainkan di dalamnya. Aroma dan rasanya semakin memuncakkan nafsuku. Sekarang Rini terengah-engah dan kemudian menjerit tertahan meminta supaya aku segera memasukkan kemaluanku ke lubangnya.

Cepat-cepat kurengkuh kedua pahanya dan menariknya ke bibir meja, kutekuk lututnya dan kubuka pahanya lebar-lebar supaya aku dapat memasukkan kemaluanku sambil berjongkok. Perlahan-lahan kuarahkan senjataku menuju lubang milik Rini.
Ketika kepala kemaluanku memasuki lubang itu, Rini mendesis, "Ssshh.., aahhk.., aduh enaknya..! Terus Mas, masukkan lagi akhh..!"
Dengan pasti kumasukkan lebih dalam sambil sesekali menarik sedikit dan mendorongnya lagi. Ada kenikmatan luar biasa yang kurasakan ketika aku melakukannya. Mungkin karena selama ini aku hanya melakukannya dengan isteriku, kali ini ada sesuatu yang tidak pernah kurasakan sebelumnya.

Tanganku sekarang sudah meremas payudara Rini dengan lembut sambil mengusapnya. Mulut Rini pun seperti megap-megap kenikmatan, segera kulumat bibir itu hingga Rini nyaris tidak dapat bernapas, kutindih dan kudekap sekuat-kuatnya hingga Rini berontak. Pelukanku semakin kuperketat, seolah-olah tidak akan lepas lagi. Keringat sudah membasahi seluruh tubuh kami. Agus dan isteriku tidak kuperhatikan lagi. Yang kurasakan sekarang adalah sebuah petualangan yang belum pernah kulalui sebelumnya. Pantatku masih naik turun di antara kedua paha Rini.

Luar biasa kemaluan Rini ini, seperti ada penyedot saja di dalamnya. Kemaluanku seolah tertarik ke dalam. Dinding-dindingnya seperti lingkaran magnet saja. Mata Rini merem melek menikmati permainan ini. Erangannya tidak pernah putus, sementara helaan napasnya memburu terengah-engah.Posisi sekarang berubah, Rini sekarang membungkuk menghadap meja sambil memegang kedua sisi meja yang tadi tempat dia berbaring, sementara saya dari belakangnya dengan berdiri memasukkan kemaluanku. Hal ini cukup sulit, karena selain ukuran kemaluanku lumayan besar, lubang kemaluan Rini juga semakin ketat karena membungkuk.

Kukangkangkan kaki Rini dengan cara melebarkan jarak antara kedua kakinya. Perlahan kucoba memasukkan senjataku. Kali ini berhasil, tapi Rini melenguh nyaring, perlahan-lahan kudorong kemaluanku sambil sesekali menariknya. Lubangnya terasa sempit sekali. Beberapa saat, tiba-tiba ada cairan milik Rini membasahi lubang dan kemaluanku hingga terasa nikmat sekarang. Kembali kudorong senjataku dan kutarik sedikit. Goyanganku semakin lincah, pantatku maju mundur beraturan. Sepertinya Rini pun menikmati gaya ini.

Buah dada Rini bergoyang-goyang juga maju-mundur mengikuti irama yang berasal dari pantatku. Kuremas buah dada itu, kulihat Rini sudah tidak kuasa menahan sesuatu yang tidak kumengerti apa itu. Erangannya semakin panjang. Kecepatan pun kutambah, goyangan pinggul Rini semakin kuat. Tubuhku terasa semakin panas. Ada sesuatu yang terdorong dari dalam yang tidak kuasa aku menahannya. Sepertinya menjalar menuju kemaluanku. Aku masih berusaha menahannya.

Segera aku mencabut kemaluanku dan membopong tubuh Rini ke tempat yang lebih luas dan menyuruh Rini telentang di bentangan karpet. Secepatnya aku menindihnya sambil menekuk kedua kakinya sampai kedua ujung lututnya menempel ke perut, sehingga kini tampak kemaluan Rini menyembul mendongak ke atas menantangku. Segera kumasukkan senjataku kembali ke dalam lubang kemaluan Rini.

Pantatku kembali naik turun berirama, tapi kali ini lebih kencang seperti akan mencapai finis saja. Suara yang terdengar dari mulut Rini semakin tidak karuan, seolah menikmati setiap sesuatu yang kulakukan padanya. Tiba-tiba Rini memelukku sekuat-kuatnya. Goyanganku pun semakin menjadi. Aku pun berteriak sejadinya, terasa ada sesuatu keluar dari kemaluanku. Rini menggigit leherku sekuat-kuatnya, segera kurebut bibirnya dan menggigitnya sekuatnya, Rini menjerit kesakitan sambil bergetar hebat.

Mulutku terasa asin, ternyata bibir Rini berdarah, tapi seolah kami tidak memperdulikannya, kami seolah terikat kuat dan berguling-guling di lantai. Di atas sofa Agus dan isteriku ternyata juga sudah mencapai puncaknya. Kulihat Resty tersenyum puas. Sementara Rini tidak mau melepaskan kemaluanku dari dalam kemaluannya, kedua ujung tumit kakinya masih menekan kedua pantatku. Tidak kusadari seluruh cairan yang keluar dari kemaluanku masuk ke liang milik Rini. Kulihat Rini tidak memperdulikannya.

Perlahan-lahan otot-ototku mengendur, dan akhirnya kemaluanku terlepas dari kemaluan Rini. Rini tersenyum puas, walau kelelahan aku pun merasakan kenikmatan tiada tara. Resty juga tersenyum, hanya nampak malu-malu. Kemudian memunguti pakaiannya dan menuju kamar mandi.

Hingga saat ini peristiwa itu masih jelas dalam ingatanku. Agus dan Rini sekarang sudah pindah dan kembali ke Jakarta. Sesekali kami masih berhubungan lewat telepon. Mungkin aku tidak akan pernah melupakan peristiwa itu. Pernah suatu waktu Rini berkunjung ke rumah kami, kebetulan aku tidak ada di rumah. Dia hanya ketemu dengan isteriku. Seandainya saja..

Tamat

Seandainya saja karena kurang pengalaman dan pemahamannya, kemudian Pak Anggoro menuruti kemauan berontakku, pasti aku akan jatuh pada kekecewaan yang berkepanjangan. Bukankah kita sering mendengar, bahwa seorang istri baru bisa meraih orgasmenya pada saat dia diperkosa. Lelaki-lelaki kasar, penuh keringat dan debu telah memperkosanya. Semua perlawanannya sia-sia. Kontol lelaki itu dipaksakannya menembus kemaluannya. Dan pada saat kontolnya telah tenggelam dilahap vagina sang istri tersebut, dan sang pemerkosa mulai dengan kasarnya mengayun dan memompa kontolnya ke memeknya, baru sang istri tersebut mendapatkan kenikmatan yang tak terpana. Selanjutnya sang istri ketagihan. Tetapi suaminya tak pernah bisa memberikannya, walaupun suaminya tampan, bersih dan rapi. Tetapi tidak lagi mampu memicu birahi istrinya. Mungkinkah hal seperti itu juga mengidap pada diriku?

Pak Anggoro tidak menyelesaikan ciuman dan jilatannya hingga beliau mendekat ke pangkal pahaku. Dia lepas ikatan kimonoku. Dengan agak kasar dia balikkan tubuhku agar tengkurap. Dan dia merangkak diatasku. Dia menuju punggungku. Dia cengkeram bahuku. Dia gigit kudukku. Sekali lagi karena gelinjang birahiku, aku berusaha berontak. Untung saja tangan Pak Anggoro sangat kuat menjeratku. Ditindihnya aku dengan badannya yang berbobot 75 kg itu. Dan sedikit banyak hal itu telah membuatku benar-benar kesakitan dan menyesakkan nafasku.

Tetapi saat bibir dan lidah Pak Anggoro kembali melumat-lumat, hingga seluruh dataran serta lembah punggungku basah kuyup oleh ludahnya, segala siksaan tadi lenyap berubah menjadi nikmat birahi yang sangat kurindukan. Dengan terus merangsek tangan-tanganku agar tidak memberontak, ciuman dan jilatan Pak Anggoro melata ke pinggulku. Betapa tak tertahankan kegelianku. Di tempat ini, di pinggulku sedemikian banyak saraf-saraf peka birahiku. Aku hanya bisa berteriak mengaduh. Umpatanku tidak lagi muncul. Hanya teriakan karena deraan nikmat yang terus memenuhi kamar President Suite Pak Anggoro ini. Dan kembali kudapatkan sensasi erotik, saat tangan-tangan kuatnya membelah bukit pantatku disusul kemudian lidah Pak Anggoro menjilati duburku. Pak Anggoro yang boss besar kantor suamiku ini, kini sedang menjilati lubang pembuangan istri anak buahnya. Lidahnya yang besar dan panjang mencuci analku. Kerut-kerut analku di sedot-sedotnya. Lubang analku disedot-sedotnya. Kemudian aku ditunggingkannya agar lubang pantatku menjadi lebih terbuka hingga seluruh wajah Pak Anggoro mudah tenggelam ke dalamnya.

Aku sudah lelah menggeliat dan berteriak. Suaraku sudah parau. Aku hanya bisa menangis sekarang. Aku menangis karena rasa berjuta nikmat yang berbaur. Aku menangisi rasa nikmatku. Di sini aku mulai merasakan bahwa impianku akan hadir kembali. Rasa ingin kencing yang mendesak dari dalam vaginaku menandakan bahwa aku telah dekat dengan orgasmeku. Rasa ingin kencing itu terus menanjak. Aku seakan melihat dataran pasir yang empuk dan luas. Aku melihat kedamaian dan kelegaan birahi. Aku ingin mendarat di atasnya. Kurasakan kesempatan orgasmeku ini hadir semakin melaju menuju ambangnya. Kuisyaratkan pada Pak Anggoro. Aku menaikkan pantatku menjemput jilatan-jilatan lidahnya. Aku menaik-naikkan pantatku dan meregangkan kaki-kakiku menahan nikmat gatalnya memekku karena menahan keinginan kencingku. Pak Anggoro langsung memahaminya.

Dia bangkit berdiri di belakang analku. Kontolnya yang keras lurus ke depan dia sodorkan ke bibir vaginaku. Kurasakan kontolnya melekat dan kemudian dengan sedikit dorongan yang berulang, kontolnya amblas ditelan vaginaku. Aku seperti akan pingsan menerima kenikmatan ini. Seperti anjing jantan pada betinanya, Pak Anggoro setengah berdiri memelukku dengan kontolnya menerjang memekku. Mulailah ayunan dan pompaan kontol Pak Anggoro keluar masuk ke kemaluanku. Aku menggoyang-goyang dan maju mundur mengimbangi iramanya yang sangat membuatku kegatalan di seputar vaginaku. Terus terang inilah salah satu posisi favoritku. Aku merasakan kenikmatan yang maksimal dengan posisi begini. Bayangkan saja, bukankah kontol yang ngaceng cenderung mencuat ke atas dari akarnya. Saat menggosok dalam vagina, kontol seperti itu menggelitik dinding atas vaginaku dengan lebih kuat hingga titik pekaku rasanya di garuk dengan ulek-ulek sambal yang besar. Kemudian dalam posisi "Doggy Style" ini, vaginaku cenderung lebih sempit mengetat. Jadi semua urat-urat pekaku akan lebih mencengkeram kontol siapapun yang menembus memekku. Sayangnya Mas Adit tidak bisa melakukan cara seperti ini. Karena kontolnya yang terlampau kecil tidak akan mampu melewati bongkahan pantatku yang gede ini. Maka yang akan terjadi adalah, kontolnya hanya akan sedikit menyentuh gerbang vaginaku. Kontol Pak Anggoro yang jauh lebih panjang dan besar langsung bisa menggelitik tepi-tepi bibir rahimku.

Aku jadi binal. Kegatalanku sangat merasuk dalam vaginaku. Aku ingin menggaruknya. Kugoyangkan pantatku maju mundur sehingga gesekan batang kontol Pak Anggoro benar-benar kurasakan seakan-akan melumat dinding vaginaku. Aku mendesah dan merintih setiap kali Pak Anggoro menusuk maupun menarik kontolnya. Aku kagum dengan stamina Pak Anggoro. Apakah ini berkat minuman anggur Chinanya tadi? Apakah juga rasa birahiku yang semakin meninggi dikarenakan satu sloki anggur yang disodorkan Pak Anggoro kepadaku tadi? Mungkin saja. Badanku merasa lebih panas dan aliran darahku yang lebih cepat benar-benar membuat birahiku meletup-letup dan aku seakan kewalahan dalam melawan kegatalanku sendiri yang hebat melanda nonokku.

Desakan birahiku yang semakin menghebat dikarenakan kegatalan tak terkira dari vaginaku membuatku menjadi liar dan buas. Aku lupa daratan. Aku ingin jadi penguasa. Aku ingin Pak Anggoro menuruti mauku. Aku ingin Pak Angoro diam telentang dan biar aku saja yang akan memperkosanya. Aku benar-benar tak tahan lagi. Aku bangkit. Dengan tetap mempertahankan kontol Pak Anggoro dalam memekku, aku membelakanginya dan mencoba memompa dan menaikturunkan pantatku ke kontolnya. Kuraih leher Pak Anggoro yang diresponsnya dengan menjemput dan langsung memeluk buah dadaku sambil bibirnya mendekat ke bibirku. Kami saling berpagu dan melumat-lumat.

Pompaan pantatku diterima Pak Anggoro dengan erangan bak serigala yang mendapatkan mangsa dan dengan taring-taringnya merobek daging-dagingnya dengan buas. Dengan keliaran dan kebuasan nafsuku, aku akan mengubah posisiku. Aku menginginkan apa yang menjadi keinginanku. Kulepaskan kontol Pak Anggoro dari vaginaku. Kudorong dia agar telentang di kasur. Kemudian kunaiki tubuhnya yang besar itu. Aku beringsut hingga kontolnya berada tepat di bawah vaginaku. Kuraih dan kuarahkan kontolnya ke lubang memekku. Nonokku yang menyempit membuat terobosan kontol Pak Anggoro tidak langsung bisa tertelan vaginaku. Aku harus lebih menekannya dengan sekaligus menggeliat kecil memutar pantatku. Dengan cara itu lubang vaginaku akan lebih longgar. Dan akhirnya kemaluanku dapat menelan seluruh batang kontol Pak Anggoro.

Dalam posisi ini aku melakukan gerakan "tekan dan maju-mundur", sambil menekan lebih ke bawah, pantatku maju mundur untuk membuat batang keras Pak Anggoro bisa seakan menggaruki gatalnya rongga vaginaku yang dipenuhi peka birahi, dan Pak Anggoro akan merasakan nikmat kontolnya yang dilumat-lumat nonokku. Inilah kenikmatan yang sama-sama dirasakan oleh Pak Anggoro dan aku. Kegatalan yang tetap meruyak dalam vaginaku memaksaku mempercepat goyangan pantatku. Bahkan Pak Anggoro kuminta tidak bergerak agar dapat lebih merasakan betapa vaginaku meremas dengan ketat kontolnya. Dan Pak Anggoro patuh saja, karena dengan cara itu dia telah merasakan kenikmatan luar biasa tanpa harus melakukan gerakan yang melelahkan. Aku juga melakukan "tekan dan putar", dengan cara menekan nonokku ke bawah lebih keras kemudian memutar-mutar pantatku. Dengan cara itu aku dapat menikmati bagaimana kontol Pak Anggoro "mengobok-obok" rongga vaginaku, dan Pak Anggoro merasakan nikmat kontolnya yang diremas-remas oleh vaginaku. Dua cara tersebut kujadikan andalan di samping sesekali juga melakukan "pompa naik turun" atau pompa maju-mundur" yang selalu berulang kulakukan.

Variasi dan selang-seling teknik di atas akan menghasilkan sejuta nikmat birahi. Apalagi dalam melaksanakannya dibarengi dengan permainan remasan tanganku pada dada, ketiak dan pinggul Pak Anggoro, dan sebaliknya remasan tangan-tangan Pak Anggoro pada pinggulku dan buah dada serta puting-putingku. Sungguh kenikmatannya tak akan pernah kami lupakan. Kami secara berbarengan menjerit, mendesah, merintih dan mengerang. Dan lahirlah simfoni gerak dan suara-suara erotik bagaikan operet birahi oleh dua "artis penikmat seksual" yang sangat gaduh dalam kamar mewah President Suite Grand Hyatt Hotel itu. Dan akibatnya adalah aliran darah kami yang semakin cepat terpacu, birahi kami terbakar menyala-nyala. Kami bergerak mendekati keliaran.

Semua remasan, desahan, pompaan, sedotan, gerakan maju-mundur, sedotan, semuanya menjadi tingkah laku yang cepat dan kasar. Simfoni bibir-bibir kami menjadi racauan tak terkendali. Saling melukai, saling mencaci dan mengumpat dengan mata-mata kami yang terbeliak karena kesetanan birahi kami sendiri.
"Ayo Bu Adit pelacurku, sundalku, nikmat mana kontolku dan kontol Adit? Ayoo Buu jawab.., nikmat manaa.., hah?".
"Aaayoo Anggoroo, teruzz, kontolmu enhhaakk.., teruzz, Anggoroo.., anjingkuu.., terusszzhh".
Entah apa lagi. Semua kata-kata begitu saja terlontar tanpa takut akan ada sanksi sopan-santun maupun etika dan batas kesopanan. Semua kata-kata itu menjadi begitu indah dan nikmat di telinga-telinga kami.

Dan disinilah "puncak jamuan malam" bagi Pak Anggoro dan "puncak nikmat pesta perselingkuhan" bagiku, sama-sama kami raih. Rasa ingin kencingku yang sedari tadi telah mengalir membahana dan rasa ingin muntahnya kontol Pak Anggoro yang menerima kombinasi serangan nikmat dari nonokku secara bersamaan mewujud. Dengan teriakan keras mirip lolong serigala lapar di malam hari dari mulut lupa diri Pak Anggoro serta teriakan keras penuh beban histeris dari mulutku, Pak Anggoro memuntahkan spermanya. Dan cairan birahiku pun meledak tumpah ruah, mewujudkan orgasmeku yang paling nikmat yang pernah kudapatkan.

Gerakan kami tetap terus meninggi hingga kami berdua benar-benar tidak menyisakan apapun pada tubuh-tubuh kami. Seakan tubuh-tubuh kami secara menyeluruh mencair menjadi sperma dan cairan birahi. Kemudian segalanya hilang, lumpuh dan sunyi. Seperti laiknya orang jatuh pingsan, segala yang kami pegang terlepas. Tangan-tangan kami, jepitan dan penetrasi kami lumpuh kendor dan lepas. Kami jatuh ke ranjang. Terlena dan pulas. Kami tertidur.

Saat aku terbangun karena kedinginan ruang AC kamar, kusempatkan untuk turun membuang air kecil. Kulihat Pak Anggoro sudah meringkuk dalam selimutnya. Kemudian aku kembali tertidur. Kami terbangun sekitar pukul 9 pagi. Cahaya matahari yang hangat terasa menembus celah-celah tirai gorden hotel mewah ini. Aku menggeliat dan melepas senyum pagiku pada Pak Anggoro yang sudah bangun lebih dahulu dan sedang membaca koran pagi di sofa. Dia lempar koran itu dan menyongsongku rebah kembali ke "ranjang pengantin" kami malam ini. Dia jemput bau kecut tubuhku. Dia cium aku. Dia cium ketiak, payudara, perut maupun pahaku. Dia jilat dan kulum betis dan jari-jariku. Itulah "ucapan selamat pagi" Pak Anggoro padaku. Aku seakan putrinya yang baru terbangun setelah selama seribu satu malam terlena dalam ayunan sihir nenek sakti. Aku sangat bahagia dan perasaan tersanjungku terbit di pagi hari saat aku bangun ini.

Kuambil dan kupakai kembali kimono kamar tidurku. Aku bangkit menyusulnya duduk di sofa. Dari kursinya, Pak Anggoro menghubungi room service. Dia minta 2 American breakfast dengan masing-masing double, telur setengah matang campur madu Arab. Kami saling mendekat, mendekatkan tubuh. Aku bersandar di dadanya. Pak Anggoro memelukkan tangannya pada dadaku. Tak banyak kata-kata yang keluar dari mulut kami. Pikiran-pikiran kami berkelana sesuai dengan apa-apa yang telah rutin dan biasa menjadi kehidupan kami. Aku teringat bunga di rumah yang seharusnya sedang kusirami pada jam-jam ini.

Tak sampai 10 menit, American breakfast kami telah dihidangkan. Kami sarapan dengan tetap tidak banyak berkata-kata. Selesai sarapan aku mandi. Air panas hotel mewah ini sungguh menyegarkan semua sendi-sendi tubuhku. Keluar dari kamar mandi, kulihat Pak Anggoro sibuk telepon sana sini. Mungkin memang demikian kehidupan seorang eksekutif seperti dia. Kemudian Pak Anggoro pergi mandi. Selesai mandi, masih dalam kimono kami masing-masing, kami kembali duduk di sofa. Dan kembali tubuh-tubuh kami saling mendekat dan melekat. Kemudian kami saling berpagut. Saling melumat, bertukar lidah. Sesekali Pak Anggoro menggigit bibirku, dan aku membalasnya. Tanganku menyusup ke dalam kimononya. Bulu-bulu tubuhnya tetap saja membuatku merinding dan bergetar. Aku sedikit mendesah.

Bersambung ...

Pak Anggoro mengikuti tanganku, menyusupkan tangannya memeluk tubuhku. Pagutan kami menjadi lebih intim. Dan terdengar desahan-desahan kecil keluar dari mulut-mulut kami. Tanganku meremas punggungnya. Tangan Pak Anggoro mengelus punggungku. Kutempelkan payudaraku ke dada berbulu Pak Anggoro. Tiba-tiba terdengar bel di pintu. Pak Anggoro bangkit menghampiri. Kulihat seorang petugas dengan seragam dinasnya menyerahkan bungkusan besar dalam tas kantong yang cantik dan secarik kertas tanda pengiriman barang pada Pak Anggoro. Setelah ditandatanganinya lembar kertas pengiriman itu, dia raih bungkusan besar tersebut dan beranjak mendekatiku.

"Maaf Bu Adit, ini bukannya apa-apa. Saya hanya memperkirakan bahwa Bu Adit perlu ganti gaun setelah gaun yang kemarin lecek Ibu pakai. Coba lihat Bu. Mudah-mudahan pas buat Ibu".
Ini merupakan bagian dari sedemikian hebatnya Pak Anggoro menghargaiku. Semua detail ia pikirkan. Rasanya kalau aku tolak akan mengurangi kebahagiaannya. Dengan hati-hati dan ucapan terima kasih, kuterima bungkusan dalam tas kantong cantik itu. Aku buka kertas bungkusnya. Aku temukan dos besar dengan tulisan tanda logo Oscar Lawalatta Fashion. Ah, bukan main wawasan Pak Anggoro pada trend mode yang disukai ibu-ibu seusiaku. Aku pandang Pak Anggoro dengan senyum bahagiaku. Kemudian dos itu aku buka. Sungguh surprise bagiku. Ini sungguh luar biasa. Sutra Obin dalam jahitan "houture couture" Oscar Lawalatta. Sungguh luar biasa bagiku. Aku langsung memperkirakan harga gaun seperti ini. Paling tidak 5 juta rupiah Pak Anggoro telah membelanjakannya pada rumah fashion si Oscar. Kulihat, tidak lupa juga nampak bungkusan yang lebih kecil, pakaian dalam sutra pula berikut celana dalam dan BH-nya. Aku tidak dapat menyembunyikan kegembiraanku. Kucium Pak Anggoro di bibirnya. Kusampaikan kekagumanku. Dan ukuran gaun itu, yang ternyata pas dengan ukuranku, M, medium.

Untuk menyenangkan hatinya, kuambil dan kurentang gaun Oscar itu. Terdiri dari 2 potong, rock & blus. Sutra Obin, yang demikian lembutnya, dengan pola kembang berwarna hijau lumut dan ungu menyebar pada latar kain berwarna merah muda. Oscar yang terkenal dengan gaya sedikit liar, dimana bagian bawah sengaja diekspresikan bebas menampilkan bahan baku yang indah dari Obin, membuat gaun itu sangat berkarakter. Aku senang dengan hal-hal yang berkarakter seperti ini. Setelah kupantas-pantaskan di depan cermin rias, aku pamerkan pada Pak Anggoro. Dengan selera humor yang kumiliki, aku bergaya bak peragawati di atas catwalk-nya. Kami berdua tertawa terbahak penuh ceria dan bahagia di pagi itu. Sekali lagi kami saling merangkul dan berpagut. Aku tahu, Pak Anggoro masih ingin menikmati tubuhku. Ciumannya melepas nafsu birahinya dan tangannya menggerayang melepasi kancing-kancing baju Oscarku. Tali-talinya dilepaskan dari ikatannya.

Dengan senang hati kuserahkan tubuhku untuk dinikmatinya. Aku masih tetap tawanannya dan aku akan melayaninya hingga dia benar-benar merasakan kepuasannya secara total. Aku menyelinapkan tanganku ke celana dalamnya. Dan kini kontolnya yang hangat ada dalam genggamanku. Dia menuntunku ke sofa besar. Aku dipangkunya. Pak Anggoro melepas ikatan kimononya sendiri hingga kami sama-sama setengah telanjang, hanya menyisakan celana dalam kami. Wajahnya langsung tenggelam ke ketiakku. Dia jilat dan lumat-lumat ketiakku. Kemudian merambat ke buah dadaku berikut puting-putingnya. Aku mulai menggelinjang. Birahi segera merambati tubuhku. Apalagi saat bulu-bulu tubuh Pak Anggoro kembali menyentuh bagian-bagian tubuhku.

Aku pasrah menerima serangan ciuman dan jilatan di seluruh tubuhku. Kubiarkan Pak Anggoro betul-betul seakan melahap tubuhku. Aku meraba, mengelus dan memijit kontolnya yang semakin mengencang dan membesar. Juga aku meraba bagian peka tubuhnya yang lain. Tangan kananku mencoba meremas bokongnya yang gempal itu. Jari-jari tanganku mencoba merambat ke analnya. Kuraba, bulu-bulu analnya sangat lebat hingga merimbuni lubang analnya. Ingin rasanya aku menikmati aroma wilayah ini. Aku mendesah. Pak Anggoro merebahkan tubuhnya ke sofa sambil menarik tubuhku yang membelakanginya. Kemudian dia raih kaki kananku ke atas. Aku tahu. Dia akan menembakkan kontolnya dari arah belakangku. Aku mencoba membantu dengan meraih kontolnya untuk kuarahkan pada memekku. Sambil saling berpagut dan melumat, kontol Pak Anggoro menembus memekku. Vaginaku melahap seluruh batangnya. Kemudian dia mulai memompa.
Saat itu dia berbisik di telingaku.
"Bu Adit, aku sangat mengagumi Ibu. Ibu sangat mempesona dan berkarakter. Aku selalu ngaceng kalau mengingat Ibu. Tadi malam aku bangun dan perhatikan Ibu yang telanjang. Oh, indah sekali. Aku ingin lebih lama memandangi, tetapi karena AC kamar yang sangat dingin aku tunda keinginanku. Aku selimuti Ibu".
Aku tidak membalas perkataannya. Aku hanya melepas senyumku dan lebih melumatkan ciumanku. Aku sangat senang dan bahagia bertemu dengan pria seperti Pak Anggoro. Bisa bercinta dengannya. Dan dia sangat menghormatiku. Dia telah menunjukkannya pada setiap servicenya bahkan sejak awal pertemuan kami kemarin.

"Bu, Bu Adit mau nggak kalau..?", pertanyaannya tidak diteruskan.
Aku hanya mendesah, "Heecchh..?".
"Saya ingin sekali lagi ngentot mulut Bu Adit", dia melanjutkan maksudnya.
Sekali lagi aku tidak menjawabnya melalui kata. Aku memeluknya dengan penuh semangat dan nafsu. Dan Pak Anggoro yang langsung tahu, bahwa aku akan dengan segala senang hati melakukan keinginannya. Dia bangkit dan membopongku ke ranjang. Kali ini dia yang bergolek telentang. Dia ingin aku yang berperan aktif. Aku sambut keinginannya. Aku turun dari ranjang dan berlutut meraih kaki-kakinya. Seperti yang dilakukannya padaku kemarin, kulakukan hal yang sama padanya sekarang. Dengan segenap perasaan dan kelembutan, aku mulai menjilat dan menggigiti kaki, jari-jari kaki, telapak kaki dan tumit-tumitnya.

Pak Anggoro menggelinjang. Dia mengaduh-aduh kenikmatan. Tangannya meremas bantal di ranjang. Matanya membeliak ke atas menerawang menikmati birahinya yang terlempar dan terayun-ayun dalam alun gelombang samudra nikmatnya bercinta. Ciuman dan jilatanku merambati kaki-kakinya. Betis, paha dan selangkangannya. Bulu-bulu itu sangat membuatku bergairah. Aku meremas-remas bagian-bagian tubuhnya dengan penuh greget. Ciumanku menyedot hingga meninggalkan cupang-cupang memerah di paha dan selangkangannya. Aroma selangkangannya membuatku setengah gila menerima kenikmatannya. Kubenam-benamkan mukaku ke selangkangannya itu. Rambutku yang panjang beberapa kali kusibakkan agar tidak menghalangi isapan dan sedotan bibirku. Dan saat mulutku mulai mengulum biji pelirnya, tangan Pak Anggoro tak kuasa lagi untuk diam. Diraihnya rambutku dan dihelanya ke atas hingga terasa pedih pada kulit kepalaku. Rambutku yang meruapakan mahkotaku itu diremas-remasnya. Aku sengaja belum menyentuh kontolnya yang telah menjulang keras dan kaku. Batangnya penuh dilingkari urat-urat dan kepalanya yang tegang mengkilat-kilat masih belum menarikku untuk menjamahnya.

Ada keinginanku yang akan kulakukan terlebih dahulu. Ini adalah obsesiku yang terlahir tadi saat mulai bercumbu. Aku ingin menciumi lubang pantatnya. Aku ingin menenggelamkan mukaku ke celah bokongnya yang telah kuraba bulu-bulunya yang sangat rimbun tadi. Dan puncak keinginanku itu langsung didorong oleh gejolak libidoku. Kubalikkan tubuh Pak Anggoro yang tinggi besar itu. Kini aku seakan berubah menjadi betina yang dengan liar dan buasnya menggapai mangsanya. Tahu mengenai laba-laba betina yang akan dikawini oleh laba-laba jantannya? Begitu sang jantan selesai melakukan tugasnya, maka seketika itu pula si betina akan merangsek dan menangkapnya. Ya, sang jantan itu akhirnya dilahap dalam arti sebenarnya sebagai mangsanya.

Dan aku telah 'menangkap' Pak Anggoro. Dalam tingginya birahi yang sedang melandanya, Pak Anggoro akhirnya akan menyerah terhadap apapun yang akan kulakukan. Saat aku menyaksikan pesona bulu-bulu kelelakian yang tumbuh di mana-mana di tubuh Pak Anggoro, nafsu betinaku muncul. Aku langsung membenamkan diri di selangkangan belakangnya. Aku cium dan kujilati tempat itu. Dan aku terus merangkak lebih ke atas. Aku memintanya dengan isyarat agar Pak Anggoro menungging. Dan pesona bulu anal di celah pantat Pak Anggoro yang rimbunnya hingga menutupi analnya kini terpampang tepat di depan wajahku. Celah pantatnya kurekahkan. Kulihat samar-samar lubang duburnya. Kudekatkan wajahku. Aku mulai menciuminya. Semerbak bau analnya langsung menyergap hidungku. Aku sudah lupa daratan. Kubenamkan saja hidungku ke dalamnya. Lidahku menari-nari mencari lubang itu.

Pak Anggoro mengaduh. Tangannya menggapai-gapai untuk meraih kepalaku. Aku tahu, dia ingin agar aku lebih membenamkan kepalaku lagi ke dalam bokongnya. Sementara itu tangan kiriku meraih kontolnya yang menggelantung. Tetap tegang. Kukocok kontolnya itu pelan. Kuelus kepalanya, jari-jariku meraba lubang kencingnya. Rupanya Pak Anggoro telah menemukan puncak dari segala puncak nikmat birahinya. Dia langsung mengambil alih perananku. Dia kembali menjadi penguasaku. Dan aku kembali tunduk pada kemauannya. Dia balik telentang.
"Aku mau keluarr.., Bu Aditt.., isep kontolku, Buu.., ayyoo isepp Buu..".
Ah, saatnya datang. Kraih kontolnya dan kugenggam. Kudekatkan bibirku. Aku mulai menyapu kepalanya dengan jilatan-jilatanku. Kemudian kutelan kepala dan batang itu. Aku tahu, kalau sudah seperti ini, Pak Anggoro tidak akan mungkin mampu bertahan.

Dan saat cairan lendir panas menyemprot langit-langit mulutku, dengan teriakan histeris keras, Pak Anggoro kembali meremas-remas kepalaku. Pantatnya diangkat-angkat hingga menyodok tenggorokanku. Aku terus memompanya dengan mulutku hingga tangan Pak Anggoro merenggut kepalaku.
"Sudah, sudah Bu. Aku nggak tahan. Ngilu banget rasanya, Bu.., lepaskan Bu Aditt.., oohh".
Kulepaskan kontolnya dari mulutku. Aku kecapi spermanya di mulutku. Dan kemudian kutelan. Wow, sarapan keduaku.
"Ah, maaf Bu Adit. Sakit ya?", tangannya mengelus kepalaku.
Aku menggeleng sambil merapat dan mencium dadanya. Aku masih terbawa emosiku. Rasa erotisku masih hinggap pada tubuhku. Tapi aku tidak akan memaksakannya pada Pak Anggoro agar membuatku menerima kemurahannya dan meneruskan cumbuannya setelah spermanya tumpah ini. Aku sendiri cenderung bersikap menggantung. Biarlah kusimpan untuk kesempatan yang lain saja.

Disinilah kelebihan seorang perempuan. Dia sudah cukup puas jika telah melihat pasangannya dapat menikmati kepuasannya. Itu merupakan kepuasan utamanya. Dan untuk para lelaki egois, menganggap hal itu masalah biasa. Dianggapnya memang para perempuan tak terlalu memerlukan orgasme pada setiap persenggamaan. Dan toh memang terbukti, anak-anak tetap lahir, kehidupan rumah tangga tetap berjalan seperti biasa dan sebagainya dan sebagainya.
Tapi Pak Anggoro ternyata memang berbeda. Dia masih berusaha merespons ciumanku di dadanya. Hanya saja naluriku sudah berkata untuk mencukupkannya dulu. Aku katakan pada Pak Anggoro bahwa rasanya badanku sudah lelah dan ingin agar pertemuan ini segera disudahi. Dia dapat memakluminya.

Dia telepon ke front office untuk segera check out dan agar disiapkan administrasi pembayarannya. Aku pergi mandi sekali lagi. Aku perlu meyakinkan diri bahwa aku dalam keadaa segar dan bersih saat aku pulang nanti. Ketika Pak Anggoro juga telah kembali merapikan diri dan siap pulang, dia mendekatiku. Dari saku celananya, dia keluarkan amplop putih yang menggembung.
"Maaf Bu Adit, aku ingin menyatakan rasa bahagia dan terima kasihku. Ini sama sekali bukan pembayaran, Bu. Ini adalah kebahagiaan yang ingin kushare bersama Ibu. Terimalah".
Aku tahu dia memberiku uang. Kali ini aku menolaknya. Kusampaikan bahwa aku juga senang dengan apa yang telah kami alami bersama, bisa saling bertemu dan meraih kenikmatan bersama. Kukatakan bahwa apa yang telah ditunjukkan dan diberikannya padaku sangat luar biasa untukku. Kukatakan juga bahwa aku merasa sangat dihormati, dihargai dan aku merasa sangat tersanjung karenanya. Aku tidak pernah dan tidak akan pernah mengaitkan hal-hal seperti ini dengan urusan uang. Kukatakan bahwa sebenarnya aku adalah "penikmat seksual" dalam arti sebenarnya. Aku tidak harus mencari yang tampan, kaya dan sebagainya. Aku akan suka pada siapapun yang memang kusuka. Dan itu semua harus ada nilai seninya. Nilai seni bercinta. Dan tak seorangpun mampu membeli kenikmatan seni bercinta itu.

Pak Anggoro memandangiku. Dia nampak mengagumi cara pandangku pada kehidupan seksualku. Dia baru memahami bahwa demikianlah aku adanya.
"Ah, maaf Bu Adit mengenai masalah villa Bogor itu. Dengan ucapan Ibu barusan, rasanya saya keliru kalau berprasangka buruk pada Ibu. Maafkan saya, Bu".
"Tetapi, janganlah Ibu tolak kebahagianku ini. Dengan pemahamanku mengenai bagaimana Bu Adit memandang seni cinta tadi, aku semakin menghormati Ibu dengan sepenuh hati saya".
Dan Pak Anggoro tetap memaksaku untuk menerimanya. Akhirnya aku membiarkannya saat amplop itu disisipkan ke kantong plastik indah dari Oscar, yang sekarang fungsinya adalah untuk membawa pulang pakaian kotorku. Kami sepakat, Pak Anggoro akan mengantarku hingga ke lobby Sogo Departement Store dalam bangunan yang sama dengan Grand Hyatt Hotel ini di lantai bawah.

Sebelum benar-benar keluar pintu kamar, sekali lagi kami saling berpagut dan melumat cukup lama. Pukul 2 siang aku sudah di rumah. Ada beberapa surat yang disisipkan ke bawah pintu. Saat aku mengeluarkan pakaian kotorku ke mesin cuci, kutemukan amplop pemberian Pak Anggoro. Tebal juga. Kutengok isinya. Oohh.., tidak salahkah ini..? Kudapati 2 ikat 100 ribuan rupiah dan 7 lembaran 100 US dollar-an. Bukankan ini artinya senilai lebih dari 25 juta rupiah Pak Anggoro telah membagi 'kebahagiaannya' untukku. Wow, bukan main orang itu. Bukan berarti aku bahagia karena nonokku telah dapat menghasilkan uang sebanyak itu, tetapi yang kurasakan adalah adanya getaran erotis saat memegang ikatan-ikatan uang itu. Bagaimanapun uang itu memang ada kaitannya dengan nonokku yang sempat dinikmati lelaki lain yang bukan suamiku. Dan untuk kenikmatan yang didapatkannya itu, dengan senang hati dia mengeluarkan uang sebanyak itu untukku. Kemana harus kusimpan ini? Tentu aku tidak ingin diprasangkai oleh Mas Adit dengan uang sebanyak ini. Menyenangkan sekaligus membingungkan. Ah biarlah, untuk sementara uang ini tidak akan kugunakan. Akan kumasukkan saja ke rekening bank-ku. Mungkin ini juga merupakan rejekiku yang harus kubagikan pada orang lain yang lebih memerlukannya.

Dan sesuai dengan janji Pak Anggoro, sekitar 10 hari sepulang bertugas dari Kalimantan yang dinilai sukses oleh perusahaan, Mas Adit kemudian diangkat menjadi Wakil Direktur. Hal itu terjadi 20 hari lebih cepat daripada yang pernah dibicarakannya padaku. Saat pengangkatan jabatannya yang baru, semua jajaran karyawan perusahaannya hadir untuk memberikan selamat pada Mas Adit dan juga kepadaku sebagai istrinya.

Jakarta, April 2003

Tamat

Bulu-bulu tangannya sempat menyentuh tanganku. Aku langsung merinding. Aku tidak mampu berpikir apa-apa lagi. Otakku langsung tumpul oleh darahku yang sudah dikuasai birahi pula. Kurasakan mata Pak Anggoro tak sedetikpun melepaskan pandangan hausnya dariku. Ada sedikit rasa kikuk pada diriku. Adakah yang salah? Atau semata pandangan penuh kekaguman? Tetapi aku berusaha yakin bahwa yang kedualah penyebabnya. Untuk sore ini aku memang sangat hati-hati dalam menjaga penampilanku. Aku memilih dengan cermat apa-apa saja yang akan kupakai. Bagaimanapun aku adalah seorang perempuan yang selalu merindukan kehormatanku. Setidak-tidaknya mata lelaki yang terpesona akan kecantikanku pasti akan sangat membahagiakanku.

Setelah mandi air panas dengan segala pewangi alami yang biasa kugunakan, aku menyiapkan pakaian, aksesori, parfum yang tepat dan make up. Beberapa pilihan dan model baju, rok dan sepatu kupertimbangkan masak-masak. Aku ingin tampil sebagai wanita yang cantik, penuh percaya diri, sensual dan seksi namun anggun. Terakhir, ada 2 baju yang harus kupilih, modelnya hampir sama. Hanya warnanya yang berbeda, yang satu merah muda, dan yang lainnya ungu tua.
Akhirnya kupilih yang ungu tua. Ini cocok dengan deskripsiku tadi, penuh percaya diri, sensual dan seksi namun anggun. Model ini mirip dengan yang kupakai saat berjalan bersama Rendi. Dengan tali kecil tipis pada bahuku yang akan sangat menawan para lelaki, begitu komentar suamiku saat aku memakai baju ini, kain sutra Thailand yang mahal, membuat lekuk tubuhku membayang dengan sangat lembut. Bagi pria penuh selera, begitu kubayangkan lelaki seperti Pak Anggoro ini, penampilanku akan sangat menyentuh selera birahinya. Aku tersenyum sendiri membayangkan kepuasan yang akan kuraih, demi melihat Pak Anggoro yang bersimpuh memujaku.

Untuk bibirku yang tak perlu diragukan lagi mirip bibir Sarah Ashari ini, kulekatkan lipstick Margo yang membuat kesan wet look hingga seakan bibirku basah dan mencuat siap menerima lumatan bibir lelaki manapun. Aku juga memakai parfum La Roche yang sangat lembut tetapi tak akan pernah terlupakan selama bertahun-tahun oleh siapapun yang sempat menyentuhnya. Mengenai rambutku, aku paling senang melepas urai rambutku. Aku merasa kesan kewanitaanku akan sangat nyata karena rambutku ini. Saat terkena angin, kunikmati geraiannya yang sesekali terbang menutupi mukaku, dan saat tanganku menyibakkannya akan menunjukkan pesona diriku bagi lelaki yang berada di dekatku. Dan sesekali kusibakkan rambut ke belakang dengan leherku, yang merupakan pesona sensual sendiri yang terpancar dari gayaku.
Aku juga memakai sepatu warna ungu tua bertali dengan hak tinggi. Warnanya kebetulan pas dengan warna gaun yang akan kupakai. Ini sesungguhnya sepatu murah. Tetapi aku memang tidak gila merk berkat kesadaran dan pengetahuanku tentang desain yang baik. Kuperoleh sepatu ini dari sebuah boutique kecil di Pondok Indah. Dengan sepatu ini nampak tumitku yang lembut mirip telur ayam kampung dan betisku yang sangat aduhai, begitu kata Indri tetanggaku, istri pelaut yang lesbi dan sangat suka menggigiti betisku ini.

Makanan pesanan Pak Anggoro datang. Pelayan menurunkan makanan tersebut dari meja dorongnya. Kusaksikan surprise Pak Anggoro untukku. Pertama, tiram rebus yang diimpor khusus dari Laut Tengah dengan kaviar ikan sturgeon dari sungai Mekong. Disuguhkan di atas kulit tiram keperakan yang cukup besar. Kedua, salad mangga dengan lemon yang dibubuhi prosciutto atau ham Itali. Kemudian segelas red wine. Pak Anggoro sangat tepat dalam membaca selera makan impianku. Semua makanan itu sangat ideal bagiku yang selalu mempertimbangkan bobot tubuhku. Makanan-makanan pilihannya itu tepat energi dan tidak mengancam kolesterolku. Aku tidak tahu berapa harga untuk semua makanan super mahal itu. Dan untuk Pak Anggoro sendiri, dia hanya minum teh Assam dari India dengan gula batu.

"Silakan, Bu Adit. Ini sekedar apetizer. Nanti makan besarnya di kamar saja. Saya sudah atur".
Sekali lagi dia meremas jari-jari kiriku. Selangit rasanya aku tersanjung.
"Aku memang hanya minum teh seperti ini, dimana saja, kapan saja".
Diam-diam setiap kali kulirik Pak Anggoro. Dia terus menerus menatapku bak serigala yang benar-benar lapar. Tetapi dengan usianya yang sudah cukup sepuh, walaupun birahinga datang memacu, dia adalah serigala yang bijak dengan ketenangannya yang luar biasa. Dia sangat menguasai medan dan iramanya yang terus mengalir penuh improvisasi. Dan dia selalu memiliki jalan keluar untuk menghindarkan suasana kebisuan. Sambil meremas jari-jariku, dia menanyakan cat kukuku, gaun sutraku, warna lipstick-ku, aksesorisku dengan penuh antusias.

Setelah aku menikmati hidangan hebat ini, Pak Anggoro mengajakku beranjak. Pada billingnya kulirik tagihan makannya, US$ 250. Wow, paling tidak hanya dalam tempo 5 menit telah kutelan Rp. 1,5 juta masuk ke perutku.
President Suite Pak Anggoro berada di lantai 7. Dari tempat ini nampak panorama malam Jakarta yang penuh lampu-lampu. Begitu memasuki kamar, kuperhatikan ruang tamunya yang besar dengan sofa-sofanya yang mewah. Tempat tidurnya King Size yang mewah pula. Pak Anggoro duduk di salah satu sofa yang tersedia, kemudian memanggilku, memintaku duduk di pangkuannya. Dengan kesadaran birahi seorang perempuan taklukan dan budak yang harus patuh pada tuannya, aku mendekat. Bukankah aku tawanannya, kini?

Belum pernah seumur-umur aku mengalami tremor hingga gigiku menggerutuk menggigil seperti ini. Seorang bapak, boss yang sangat gentleman, kharismatik, memanggilku dan memintaku duduk di pangkuannya. Dia begitu percaya diri, bahwa semuanya pasti akan beres. Sikapnya itulah yang membuatku langsung bertekuk lutut. Dan saat telah berada di dekatnya, tangan kanannya menjemput, meraih pinggulku dan dengan penuh kelembutan ditariknya aku ke pangkuannya. Sambil membenamkan wajahnya ke leherku, Pak Anggoro berbisik.
"Bu Adit, kamu sangat mempesonaku. Bu Adit sangat cantik. Sangat seksi".
Tangan kananku secara otomatis merangkul bahunya agar aku tidak terjatuh. Sementara itu tangan kanan Pak Anggoro meraih paha kiriku agar posisi dudukku lebih ke tengah pangkuannya. Mendengar bisikannya, semangat birahiku langsung hadir. Aku ingin mendapatkan lebih dari sekedar bisikan di leherku. Tangan kiriku kurangkulkan ke lehernya hingga kedua tanganku saling berpegangan di belakang kuduknya. Posisi seperti itu menggiring wajah Pak Anggoro lebih bergeser ke dadaku. Tenggelam ke bukit-bukit ranumku yang sudah setengah terbuka karena model gaunku yang memang menampilkan belahan payudaraku. Pak Anggoro menyapukan wajahnya pada dadaku. Menghirup aroma dari dadaku itu.

"Paakkhh.., hh..".
Kurasakan tangan Pak Anggoro mulai menyingkap gaunku. Tangannya mengelus pahaku yang sintal ini. Aku semakin merinding. Akhirnya kami saling melumat. Ciuman Pak Anggoro sungguh maut. Ciuman seorang pria yang telah matang dan penuh perasaan serta penghargaan pada lawan mainnya. Dari sebuah ciuman, kurasakan bahwa Pak Anggoro bukanlah lelaki egois. Dia mau menerima dan sekaligus juga menikmati saat memberi. Lidahnya yang besar menyeruak ke rongga mulutku, mengorek dan mengisap ludahku sambil tangan kanannya mulai menelusuri celah selangkanganku. Aku mulai menggelinjang dan serasa terbakar darahku. Birahiku mulai memanas dan menanjak.

Ciuman Pak Anggoro membuatku benar-benar terhanyut. Mau tak mau aku tergerak untuk memberikan respons dengan penuh perasaan juga. Aku menyedot lidahnya, juga ludahnya. Dan Pak Anggoro memberikannya untukku. Aku rasakan kini, bahwa dengan ciuman saja kita bisa mendapatkan ribuan warna dan nuansa, dimana setiap warna dan nuansa itu benar-benar memiliki bentuk kenikmatan yang berbeda-beda. Dan itu berkat pemahaman akan makna ciuman dengan gerakan anggota tubuh yang lain yang sama-sama menggiring sensasi kita dalam menapaki birahi yang diharapkan akan terus memuncak.
Saat menyedot lidah dan ludah itulah, tangan Pak Anggoro menelusuri tepian celana dalamku di celah selangkanganku. Paduan kerja lidah dan tangan seperti inilah yang membuatku terbawa melayang-layang dalam langit penuh kenikmatan. Dan aku harus belajar menyelami irama dan makna dalam menapaki birahi ini. Saat aku harus melakukan balasan ciuman atau sedotannya, aku mulai dengan sedikit menggoyang pinggulku, untuk menunjukkan pada Pak Anggoro betapa nikmat sentuhan yang dilakukannya pada tepian celana dalamku itu.

Tidak keliru jika dikatakan bahwa seks itu sesungguhnya merupakan suatu seni. Ciuman, rabaan, desahan, rintihan, goyangan bahkan sibakan rambut atau cubitan kecil di pinggul atau jambakan rambut hingga lawan cumbunya merasakan pedihnya kulit kepalanya atau cakaran kuku-kuku pada punggung. Hal seperti itulah yang harus dimiliki oleh para suami dan istri. Dan hal seperti itulah yang kuanggap tidak pernah secara serius diusahakan oleh suamiku sendiri, Mas Adit. Dia hanya seorang egois yang hanya asyik dengan pekerjaannya. Dia tak pernah mengusahakan bagaimana agar istrinya juga mendapatkan kepuasan. Bukan sekedar kepuasan materi. Dia sama sekali tidak pernah merasakan apa sesungguhnya yang kubutuhkan. Lembutnya bercumbu dalam ciuman, nikmatnya sapuan lidah yang sesekali merambah ke daguku, gigitan bibirku pada bibirnya atau sebaliknya, erangan dan desahan kecil dari mulut-mulut kami, remasan-remasan jari-jari lentikku pada kuduk Pak Anggoro, rabaan jari-jari Pak Anggoro pada tepian celana dalamku yang sesekali melewati batas tepian itu dan menyentuh atau mengusap atau bahkan memilin bibir-bibir vaginaku telah menggiring semakin jauh dan tingginya nafsu birahi kami.

Kurasakan Pak Anggoro semakin terbakar hingga panasnya juga langsung membakar diriku. Nafsu ini setapak-setapak menanjak. Dan rasanya pada saatnya akan meroket. Aku sudah dapat merasakan kalau pangkuan yang sedang kududuki menggelembung. Kontol Pak Anggoro sudah mengganjal di bokongku. Setiap kali aku harus memepetkan tubuhku agar lebih mepet ke tubuhnya. Sekali lagi Pak Anggoro menunjukkan improvisasi matangnya. Dia raih kaki kananku dan diangkatnya hingga kini aku setengah miring dan setengah membelakangi tubuhnya. Kakiku di sandarkannya ke sandaran jok sofa. Dan akibatnya selangkanganku menjadi terbuka dan gaunku melipat ke pinggulku hingga celana dalamku langsung tampak.
Kini tangan kananku yang tidak lagi menggelayut pada lehernya kuangkat ke atas belakang jatuh ke tangan sofa kiri tanpa pegangan. Ketiakku terbuka lebar, demikian pula dada dengan belahan payudaraku.

Bibir Pak Anggoro lepas dari bibirku. Pagutan dan ciumannya berubah menjadi sedotan dan jilatan pada ketiakku. Sementara tangan kanannya mulai meliar meremas memekku dan jari-jarinya mulai menembus lubang vaginaku. Aku mulai mendesah histeris. Tangan kiriku serta merta meraih rambutnya yang setengah botak itu dan meremasnya dengan penuh kegatalan birahi. Betapa kenikmatan birahi dalam kualitas yang sangat tinggi tengah menyeruak dalam relung tubuhku dan terus memacu libidoku untuk terus menapaki ke jenjang puncaknya. Kegatalan pada liang vaginaku memaksaku untuk menjerit lembut sembari mengangkat pantatku untuk menjemput jari-jari Pak Anggoro yang telah menari-nari dalam liang surgaku.

Tiba-tiba aku ingin sekali meraba dan mengelus dada Pak Anggoro yang tentu bulunya lebat sebagaimana yang kulihat pada tangan-tangannya. Tangan kiriku melepaskan remasan rambutnya menuju ke kancing-kancing kemejanya untuk melepaskannya. Walau hanya 2 atau 3 kancing yang terlepas, telah cukup bagi tanganku untuk menyeruak masuk mencapai dadanya yang gempal penuh bulu itu. Perasaan merinding kembali menyergap nafsuku saat tapak-tapak tanganku merasakan lebatnya bulu dada Pak Anggoro. Kuraba tubuhnya lebih ke dalam seakan hendak memeluknya. Lagi-lagi aku mendesah hebat.

Goyangan pinggul serta gerakan pantatku untuk menahan kegatalan serta menjemput tusukan jari-jari Pak Anggoro dalam liang vaginaku membuat ciuman dan jilatannya semakin meliar pada seluruh wilayah dadaku. Dengan bantuan tanganku, Pak Anggoro kini juga sudah menyedot putingku yang semula masih tersembunyi dalam BH-ku. Kenikmatan ciuman dan jilatan Pak Anggoro telah mendorong tanganku untuk merogoh payudaraku keluar dari gaun dan BH-ku.

Bersambung ...

Kini irama percumbuan sudah berganti menjadi upaya intensif untuk secepatnya meraih puncak kenikmatan. Mulutku meracau hebat menahan derita dan sekaligus siksaan yang nikmat. Pantatku naik turun menjemput jari-jari Pak Anggoro agar lebih intens mengocok nonokku. Tangan kiriku meremas belikat dan ketiak Pak Anggoro yang penuh bulu. Dan Pak Anggoro dengan tenang dan dinginnya terus melahap dadaku, payudaraku, puting-puting payudaraku sekaligus jari-jari tangan kanannya merogoh liang vaginaku dan mengorek-orek saraf-saraf pekaku di dalamnya.

Tiba-tiba perasaan ingin kencing-ku hadir. Ini hebat sekali. Kami belum melepas selembar pakaianpun dari tubuh. Tanda-tanda aku akan kembali meraih orgasmeku dimulai dengan perasaan kencingku yang seperti ini. Seperti perasaan yang sama saat aku disetubuhi Rendi, Burhan, Wijaya dan Basri kemarin, rasa ingin kencingku ini sangat mendesak-desak datang dari dalam vaginaku. Mungkinkah aku akan meraih orgasme hanya dengan ciuman dan permainan jari-jari tangan Pak Anggoro?

Pak Anggoro sangat pengertian akan apa yang sedang berlangsung pada diriku. Dan beliau pasti juga sangat tahu bagaimana cara menyelesaikannya. Beliau biarkan tangan-tanganku yang liar mencubit dan mencakar-cakar tubuhnya. Beliau bebaskan aku untuk mendesah dan merintih sekeras-kerasnya. Beliau penuhi keinginanku akan jari-jarinya agar lebih menembus lagi dalam-dalam ke liang vaginaku. Beliau tingkatkan sedotan, ciuman dan jilatannya ke ketiakku, ke dada ranumku, ke payudaraku, ke puting-putingku. Dan aku kini bak kuda betina yang penuh kelaparan dan kehausan.

Sampai dengan saat, yang pada akhirnya, orgasmeku datang, kuangkat pantatku tinggi-tinggi. Kakiku bergerak kesana kemari merangsek apapun yang bisa kujadikan tempat pijakan agar cairan birahiku bisa tumpah tanpa hambatan. Tangan kananku meraih, meremas dan nyaris merobek kemeja Pak Anggoro. Aku berteriak sekeras-kerasnya dalam kamar President Suite yang sangat mewah dan kedap suara itu. Dan akhirnya, cairanku, cairan birahiku, air mani keperempuananku meledak, membanjir panas membasahi tangan-tangan Pak Anggoro, tanpa lagi ada yang mampu membendungnya.

Yang kuingat setelahnya hanyalah aku merasakan tubuhku diangkat ke kasur dan di telentangkannya dengan kaki-kakiku tetap terjuntai ke karpet kamar mewah ini. Kulihat sepintas Pak Anggoro menjilati tangan kanannya yang basah oleh cairan birahiku. Kemudian beliau membungkukkan tubuhnya, kepalanya dia benamkan ke selangkanganku dan tenggelam ke celana dalamku. Aku rasakan kemudian mulut Pak Anggoro menyedoti basahnya celana dalamku dan menjilati cairan-cairanku. Aku biarkan, sementara sambil menikmati derasnya cairan yang belum kunjung habis, terasa nonokku mengempot-empot memompa dan memeras cairanku agar keluar dengan tuntas. Aku menarik nafas panjang. Kumaklumi bahwa Pak Anggoro masih menapaki nafsunya dan masih jauh dari puncak kenikmatannya. Aku juga ingat kata seorang temanku bahwa perempuan seperti aku bukan tidak mungkin meraih orgasme secara berturut-turut berkesinambungan, multiple orgasm.

Saat darahku sudah sedikit mereda, kesadaranku akan kehadiran Pak Anggoro telah pulih secara utuh, sementara aku yakin dengan kemungkinan multiple orgasm itu, kuraih bahu Pak Anggoro ke atas tubuhku. Kuraih tubuhnya agar menindih tubuhku. Kucoba kuraih celananya, kulepas ikat pinggang dan kancing-kancingnya. Pak Anggoro tahu keinginanku yang juga memang keinginannya pula. Dengan celananya yang masih setengah merosot hingga ke pahanya, dia mengeluarkan kontolnya dari celah celana dalamnya. Aku sempat sekilas melihatnya. Ukurannya tidak luar biasa. Biasa-biasa saja. Sedikit lebih kecil daripada kontol Basri tetapi yang pasti lebih besar daripada kontol Mas Adit suamiku. Kontol Pak Anggoro sangat tegang dan keras. Dalam usia beliau, mungkinkah dia menggunakan obat-obatan khusus agar kontolnya bisa ngaceng sebegitu rupa?

Aku merenggang melebarkan pahaku. Nonokku telah siap menerima tusukan kontol Pak Anggoro. Setelah beliau menempelkan kepalanya tepat pada lubang vaginaku dari celah celana dalamku yang sebelumnya dikuaknya, direbahkannya tubuhnya ke tubuhku. Tubuhku menggeliat hebat saat disentuh bulu-bulu yang tumbuh di sekujur tubuhnya. Tubuhku yang lembut dan halus serta relatif kecil ditindih dengan tubuh Pak Anggoro yang putih gempal penuh bulu-bulu. Perasaan merinding langsung merasuki sanubariku. Gelombang nafsu birahiku dengan cepat kembali melandaku. Kontol yang mulai didesakan ke memekku terasa menembus lubang vaginaku. Aku menjerit kecil. Selanjutnya Pak Anggoro mulai mengayun.

"Jeng Marinii.., Jeng Marinii, Jeng Marinii, Jeng Marinii..", dia mendesah dengan memangil-manggil nama asliku.
Begitu terus berkepanjangan setiap kali kontolnya dengan pelan masuk dan dengan pelan pula ditariknya keluar. Cara seperti itu terus terang sangat menyiksa birahiku. Aku meracau. Mataku membeliak-beliak. Kepalaku menggoyang ke kanan dan ke kiri menahan nikmatnya tusukan. Dan rasanya aku kembali ingin kencing. Kuisyaratkan pada Pak Anggoro agar ayunannya dipercepat. Pantatku menggelinjang-gelinjang naik turun ingin mempercepat ayunan dan pompaan kontol Pak Anggoro ke memekku. Apakah aku akan merasakan yang namanya multiple orgasm?

Genjotan Pak Anggoro semakin dipercepat. Bibirnya langsung mencaplok bibirku. Aku kembali menikmati ciuman hebat Pak Anggoro. Lidahnya yang besar itu menyeruak ke rongga mulutku, mencari ludahku, mencari lidahku. Aku berikan semuanya. Aku mengimbangi genjotannya dengan memutar-mutar pantatku dengan bayangan dan harapan bahwa kontol Pak Anggoro akan lebih menghunjam dan menikam memekku dengan lebih keras. Keinginan dan desakan kencing dari dalam vaginaku tak mampu lagi kutahan. Aku menjadi sangat haus.

"Aaahh, Pak Anggoroo.., ludahi mulutku Paakk, aku hauuss, oohh.."
Setelah sadar nanti aku tidak habis heran, dari mana keinginan mulutku untuk diludahi Pak Anggoro. Aku terus mengangakan mulutku. Aku lihat di bibirnya, Pak Anggoro membuat gumpalan-gumpalan air liur untuk diludahkan ke mulutku. Dan setiap gumpalan yang jatuh kukecapi kemudian kutelan. Berkali-kali gumpalan itu jatuh dari mulutnya dan kutelan. Birahiku meledak, meletup-letup dan mendongkrak seluruh tubuhku. Genjotan kontol Pak Anggoro serta ludah-ludahnya yang dijatuhkan ke mulutku membuatku kehilangan kendali. Orgasmeku telah kembali muncul di ambangnya. Dan Pak Anggoro sendiri kurasakan juga sudah mencapai ambangnya. Kontolnya terasa semakin sesak memenuhi rongga vaginaku. Saraf-saraf pekaku pada dinding vaginaku terus memijat dan meremas batangan kontol itu. Dan isyarat terakhirpun akhirnya muncul.

Dengan pagutan keras serta jambakan pedih pada rambutku, kontol Pak Anggoro menyemburkan lahar panas di dalam vaginaku. Kedutan-kedutan besar kurasakan memompa keluar seluruh cadangan air mani dari kandungannya. Air mani Pak Anggoro terasa sangat kental dan legit. Entah sebanyak apa yang tumpah ke kemaluanku itu. Dan yang kemudian aku rasakan sangat luar biasa hebat adalah, pada saat bersamaan, multiple orgasm-ku juga muncrat tak tertahan. Berjuta rasanya. Lebih dalam dan lebih memeras nikmat daripada yang pertama, dengan tanpa mengurangi kenikmatan yang pertama tadi.

Kukuku menancap dan telah membuat punggung Pak Anggoro sedikit terluka. Pak Anggoro tidak mempersalahkan nafsuku yang menggila itu. Kami berpacu dalam dera nikmat tak terhingga hingga nafas kami mereda. Keringatku bersimbah walaupun AC kamar mewah ini sangat dingin. Kami langsung rebah. Sepi. Kecuali nafas-nafas panjang kami.
Untunglah, akhirnya suhu dingin AC kamar mewah ini menyelimuti tubuh-tubuh kami yang baru saja terbakar, hingga dengan cepat kami merasakan kesegaran kembali. Keringatku akhirnya hilang. Kami terlelap dalam nafas dan jiwa yang sangat lega. Hening.

Aku terbangun saat kurasakan ada yang menyibakkan wajahnya di selangkanganku, di nonokku. Rupanya Pak Anggoro sedang menjilati kemaluanku. Dia menyedot cairan-cairan di dalamnya. Kali ini cairan campuran antara milikku dan miliknya sendiri. Rupanya hal demikian bukan jadi masalah bagi Pak Anggoro yang nampaknya termasuk kategori "pengejar kenikmatan" ini. Dan kulihat juga, ternyata kontolnya belum juga surut dari ereksinya. Aku jadi teringat, mungkin itu karena pengaruh obat perangsang seperti Viagra, barangkali.

Dia tahu bahwa aku terbangun. Aku mengelus kepalanya. Kubiarkan dia memuaskan dirinya. Bahkan aku membantunya dengan cara mengeluarkan desahan-desahan. Orang seusia Pak Anggoro akan peka terhadap desahan perempuan seperti aku yang usianya sama dengan usia anaknya. Itu memang fantasi seks orang-orang seumurnya. Menyetubuhi daun-daun muda dan masih mampu menunjukkan kejantanannya dan bahkan masih mampu membuat perawan mudanya blingsatan menahan nikmat.
Aku lihat kini tangannya meremas kontolnya sendiri. Ah.., aku jadi iba. Aku tiba-tiba merasa bersalah. Apakah aku belum sepenuhnya memberikan kepuasan padanya. Sementara dia telah memberikan kepuasan padaku. Aku telah dibuatnya orgasme berturut-turut sebanyak 2 kali, sesuatu yang tak pernah kudapatkan dari Mas Adit suamiku. Aku harus menolongnya. Aku mencoba beringsut menjangkau tubuhnya, kakinya. Tanpa melepas sedotan bibirnya pada vaginaku, aku berusaha menindihkan tubuhku dan mendekatkan wajahku ke selangkangannya. Aku mainkan hubungan gaya 69 untuk Pak Anggoro.

Nampaknya Pak Angoro langsung menikmati apa yang kulakukan padanya. Desahannya langsung kudengar. Desahan yang tersendat-sendat, setiap kali aku melakukan jilatan ataupun isapan pada kontolnya, pelirnya, jembutnya atau yang lain lagi di sekitar selangkangannya. Aku lakukan dengan sepenuh nikmat yang bisa kurasakan dan kudapatkan. Selangkangan Pak Anggoro yang sangat bersih, putih dengan bulu-bulu di pahanya, aromanya, sangat merangsang birahiku. Aku menciumi dan menjilati selangkangan dan kontol Pak Anggoro dengan nafsu binalku. Dan ketika saatnya datang, Pak Anggoro bangkit. Tubuhku dibangunkannya dan disenderkannya ke "back-drop" tepian ranjang hotel itu. Diberikannya bantal pada punggungku. Kemudian dia turun ke lantai mendekatkan selangkangannya kepadaku. Tepat di wajahku. Dengan kaki kirinya naik ke kasur dan kaki lainnya tetap di lantai, dia sorongkan ujung kontolnya ke bibirku. Dia menginginkanku mengulum kontolnya. Dia ingin memompa mulutku. Aku langsung melahap kontolnya. Aku ingin Pak Anggoro mendapatkan kepuasan dari layananku. Aku ingin tunjukkan padanya bahwa aku juga mampu memberikan yang terbaik dari yang terbaiknya yang pernah dia dapatkan dari orang lain.

Aku terus mengulum sambil menggenggam kontolnya agar tetap pada lubang mulutku. Kemudian sesekali kukeluarkan dan kusapu kepalanya dengan lidahku. Dengan membeliak sambil mendongakkan kepalanya ke langit-langit kamar mewah ini serta menikmati kulumanku, pantat Pak Anggoro maju mundur mendorong kontolnya untuk merespons pompaan mulutku. Desahan nikmatnya terus datang bertubi. Tangannya meraih kepalaku untuk memastikan bahwa mulutku selalu mengulum kontolnya. Tangan kananku berpegang pada pahanya yang berbulu lebat itu. Aku masih merinding setiap kali tanganku menyapu bulu-bulu itu.

Aku merasakan betapa Pak Anggoro sangat menikmati posisi ini. Beberapa kali jari-jari tangannya mengelus bibirku yang monyong karena kontolnya yang menyesaki mulutku. Dia elus-elus bibirku. Mungkin dia melihat dan menikmati keindahan yang kontras dari sebuah bibir cantik, lembut dan mungil milikku ini dengan kontol miliknya yang kaku penuh urat-urat yang dengan kasarnya menyesaki mulut itu. Akhirnya kurasakan kedutan besar dari kontol Pak Anggoro. Spermanya memancar dari kantongnya. Aku akan selalu mengenang saat-saat seperti ini. Kedutan inilah yang selalu kunantikan dan kurasakan nikmatnya pada tanganku yang menggenggamnya. Kedutan ini berasal dari saluran besar berupa pipa urat spermanya yang terpompa keluar dikarenakan desakan birahi yang sudah sampai di puncaknya. Kedutan pertama disusul dengan kedutan kedua, ketiga, keempat, kelima, keenam sampai ke tujuh.

Bersambung ...

Mulutku sengaja diam untuk menampung semua cairan kental yang tumpah ini. Pada kedutan yang ketujuh, mulutku sudah penuh. Aku menganga dan menunjukkannya pada Pak Anggoro. Dia meraih kepalaku, mengelus dan mencium sedikit bibirku. Dia menginginkanku menelan seluruh spermanya. Dan hal itu langsung kulakukan sekaligus untuk membasahi tenggorokanku yang selalu haus sperma ini.

Pak Anggoro langsung rubuh ke ranjang. Tangan-tangan dan pahanya terentang seluas ranjang King Size itu. Sepertinya aku sedang menyaksikan beruang putih yang kelelahan setelah menyetubuhi betinanya. Bulu-bulu dadanya itu, aku sedemikian terobsesinya, bahkan setelah orang ini menumpahkan demikian banyaknya lendir kontolnya ke mulutku.
Sementara Pak Anggoro masih tergolek, aku menyiapkan air panas untuk mandi. Kini jam menunjukkan pukul 10 malam. Kami telah berasyik masyuk tanpa jeda selama hampir 2 jam. Dan kepuasan orgasme yang telah kuraih, benar-benar karena pasanganku, Pak Anggoro yang sangat mengenal seninya bercinta. Dia sungguh menikmati setiap detail cinta yang kupersembahkan padanya. Entah itu berupa sentuhan, pijitan, kecupan, jilatan, sedotan dan gigitan yang telah kulakukan pada lembah dan bukit-bukit tubuhnya ataupun yang sebaliknya dia lakukan pada tubuhku.

Aku juga sangat kagum betapa semua ulahnya langsung mendongkrak saraf-saraf erotisku. Hanya dengan permainan jarinya pada klitoris serta dinding-dinding dalam vaginaku, Pak Anggoro telah melemparkanku ke langit kenikmatan yang sangat tinggi, hingga aku bisa meraih orgasmeku. Aku sangat puas. Aku jadi teringat Mas Adit. Kamu juga bisa Mas, pasti bisa kalau kamu tidak egois. Aku sudah membuktikan, bahwa kepuasan bukan semata-mata diperoleh karena ketampanan atau kecantikan, muda, besar ataupun panjangnya ukuran, tetapi lebih kepada wawasan, kecerdasan, sikap toleransi untuk tidak egois, selera dan kepekaan, daya imajinasi, kreatifitas dan kemauan yang serius. Aku ingin berterus terang Mas, kalau saja aku diberikan kesempatan, aku selalu siap menolongmu.

*****

Segarnya air panas. Aku membersihkan semua sisa-sisa persetubuhanku tadi. Lendir mani dalam vaginaku belum sepenuhnya bersih, walaupun Pak Anggoro sudah menyedotnya tadi. Dengan kimono lembut yang tersedia untuk sepasang tamu kamar mewah itu, aku keluar dari kamar mandi. Pak Anggoro sudah bangun, sedang duduk setengah telanjang di sofa. Lagi-lagi aku tetap tergetar menyaksikan bulu-bulu dadanya itu. Mungkin karena baru kali ini aku mendapatkan dan merasakan nikmat birahiku pada saat tersentuh bulu-bulu itu. Pak Anggoro bangkit untuk mandi setelah sebelumnya dia menelepon room service untuk menghidangkan makan malam yang menunya telah dia pesan bersamaan dengan kedatangannya sore tadi.

Aku mengeringkan rambutku. Beberapa saat setelah kami mandi dan sama-sama memakai kimono lembut hotel ini, terdengar bel pintu yang lembut. Pak Anggoro membukanya. Dia persilakan para pelayan menyiapkan perjamuan malam di ruang yang tersedia. Aku beranjak ke beranda menyaksikan lampu-lampu Jakarta. Aku tidak ingin bertemu dengan orang lain. Siapa tahu saja di antara mereka ada yang mengenalku. Sekitar 10 menit kemudian Pak Anggoro menjemput dan menggandengku menuju perjamuannya. Wah, kulihat kemewahan Resto Grand Hyatt pindah ke ruang kamar mewah Pak Anggoro. Dengan lampu ruang yang cahayanya difus (buram temaram), nampak lilin-lilin di meja perjamuan menjadi sedemikian romantisnya. Aku sepintas ingat kemewahan suasana makan di kapal Titanic yang tenggelam itu.

Dengan latar belakang desah nyanyian Julio Iglesias, penyanyi Latin yang seksi dan lembut pujaan jutaan wanita itu, suasana dalam ruangan ini menjadi sedemikian fantastik dan eksotik. Aku merasa Pak Anggoro sungguh-sungguh ingin memanjakanku. Aku merasa sangat tersanjung juga terharu. Sedemikian hebatnya dia menghargaiku. Entah benar atau tidak kesanku ini. Atau mungkin juga sekedar pernyataan kepuasannya pada kesediaanku untuk mengulum kontolnya tadi. Ah, tentu saja bukan. Bukankan makanan ini sudah dia pesan sejak awal kedatangannya tadi. Pak Anggoro menarikkan kursi untukku. Kusaksikan makanan serba laut yang mahal terhidang berlimpah di meja. Rasanya ini makanan yang cukup untuk orang se-RT. Demikian banyak dan beragam. Ini semua dimaksudkan untuk memicu dan memacu selera makan kami berdua.

Aku lihat ada lobster dalam "chinese cuisine" yang ditampilkan utuh dengan cangkangnya di atas dagingnya yang telah diiris-iris. Ada kakap yang diiris tipis-tipis untuk dicelupkan dalam saus yang spesial. Ada tumis sirip hiu yang dimasak dalam saus tomat dan arak china. Ada tim kerapu yang pasti masih segar karena berasal dari aquarium restoran hotel ini, dengan daun bawang, seledri dan arak China juga. Di samping kananku, yang juga sebelah kanan Pak Anggoro, kulihat sup kepiting Alaska dengan abalone dan jamur China. Ah, akau tidak tahu lagi dengan yang lain. Aku banyak tidak tahu masakan apa saja ini. Tetapi aromanya yang merebak memang langsung membuat perut kami jadi terasa sangat lapar.

Dibuka dengan minum teh cina yang pahit, Pak Anggoro di seberang meja sana mengajakku untuk mulai melahap hidangan perjamuan di meja. Di akhir perjamuan kulihat Pak Anggoro meraih sebuah botol berisi anggur, menuangnya satu sloki dan menenggaknya. Dia bilang itu adalah anggur tua asli yang dicampur ramuan sehat dari China. Untuk menghargai tawarannya, aku minum satu sloki. Kurasakan nikmat dan sangat segar. Terasa sedikit keras, tetapi lebih tepat jika disebut lembut. Badanku langsung merasa hangat.

Selesai makan yang berlangsung hampir 1,5 jam karena juga diisi obrolan santai sana sini hingga makanan benar-benar turun ke perut, kusampaikan pujian kepada Pak Anggoro akan selera pilihannya yang hebat pada jamuannya malam ini. Kusampaikan kagumku mengenai lilinnya, Julio Iglesias-nya, lobsternya, kepiting Alaskanya, tumis sirip hiunya, minuman anggur Chinanya dan sebagainya. Dia hanya tersenyum. Kedua tangannya meraih kedua bahuku yang kemudian bergeser turun menyusup masuk ke kimonoku, yang memang tanpa kancing kecuali tali pinggang yang kuikat kendor. Dia meraih dan merangkul pinggulku hingga membuatku langsung merinding oleh sentuhan bulu-bulu tangannya itu. Kemudian dengan pandangan yang penuh makna dan dalam, dia berbisik kepadaku.
"Bu Adit, semua ini tak ada artinya dibandingkan keindahan dan kenikmatan yang telah dan akan saya rengkuh kembali darimu. Rekah bibirmu, ranum payudaramu, puting-putingmu, wangi ketiakmu, lembut bokongmu, lembut lubang pantatmu, getas betismu, wangi pahamu, wangi selangkanganmu, legit memekmu, keras itilmu, gurih cairan birahimu. Bu Adit, sungguh-sungguh kenikmatan surgawi yang aku telah temukan di dunia. Saya, Bu Adit, akan terus menerus memendam hasrat birahi pada Ibu Adit sepanjang hayat saya. Akan selalu merindukan indah dan nikmatnya celah, lembah dan bukit-bukit yang Bu Adit miliki ini. Tak ada kata-kata yang sepadan untuk mengucapkan kenikmatan yang kurasakan selama 2 jam terakhir bersama Bu Adit ini".
Kemudian dia mencium dan melumat lidahku sambil tangannya meremas bokongku.

Wow, aku mabuk kepayang oleh romantisnya Pak tua ini. Nafasku seketika terasa sesak. Aku berada dalam keadaan antara tersipu, terharu dan tersanjung. Kalau toh ini semua semata sikap emosi romantisnya Pak Anggoro, bagaimanapun ia telah mengucapkannya secara langsung dan lugas kepadaku hingga pantaslah apabila membuatku yang saat ini bagai tawanannya bertekuk lutut padanya. Aku sungguh-sungguh sangat tersipu, sangat terharu dan sekaligus sangat tersanjung.

Selepas mencium dan melumat bibirku, tanganku beranjak menyusup ke celah kimononya. Aku memeluk tubuhnya. Kusandarkan kepalaku pada dadanya yang penuh bulu itu. Saat bibirku menyentuh puting susunya, secara refleks aku mencium kemudian mengulum dan menggigit kecil putingnya itu. Bulu-bulu tubuhnya yang lekat pada tubuhku semakin membuat mabuk kepayangku tak tertolong lagi. Aku menciumi dada Pak Anggoro sambil merintih lembut. Demikian pula Pak Anggoro mengeluarkan desahan beratnya sambil tangannya menyapu rambutku. Masih kudengar samar-samar rayuan Julio Iglesias tadi.

Pelan, sambil terus saling berpelukan dan melumat, kami beringsut menuju peraduan. Begitu melewati ambang pintu ruang makan, Pak Anggoro merengkuh punggung dan pahaku kemudian mengangkatnya, menggendongku. Dibawanya aku dan direbahkannya ke ranjang. Aku merasa, sekaranglah perjamuan besar yang sesungguhnya bagi Pak Anggoro. Akulah yang akan jadi santapan utama perjamuannya. Dan yang 2 jam pertama tadi hanyalah "apetizer" atau makanan pembuka bagi beliau untuk mengawali jamuan besarnya sekarang ini. Bagai kijang yang telah lumpuh oleh panah beracun cinta yang dilepaskan Pak Anggoro, aku sepenuhnya menjadi tawanan birahinya. Dan aku sendiri memasuki ambang kenikmatan penyerahan diri. Suatu bentuk kenikmatan nafsu birahi yang hadir karena ketidak mampuan untuk berkata "tidak" karena dengan penyerahan diri tersebut aku sedang menyongsong pucuk-pucuk birahiku yang penuh kenikmatan.

Tanpa ada yang dilepaskan dari tubuh-tubuh kami, aku dan Pak Anggoro kembali bercumbu. Ternyata dia tidak langsung menindihku sebagaimana yang kubayangkan sebelumnya. Aku diseretnya ke tepian ranjang hingga setengah kakiku terjuntai. Pak Anggoro bersimpuh di lantai meraih kakiku dan mulai mencium. Mulai dengan kaki kiriku, bibir dan lidah Pak Anggoro menyisiri telapak kaki, betis dan jari-jari kakiku. Lidahnya menari di antara celah-celah jari kakiku dan bibirnya mengulum. Gelinjang yang sangat dahsyat langsung menerpaku. Aku tak bisa menghindar untuk tidak menggeliat-geliat. Kegelian yang amat sangat menyerangku pada setiap jilatan dan sedotan bibir Pak Anggoro. Puas menggauli telapak, tumit dan jari kaki kiriku, ganti tangannya meraih kaki kananku. Dia melakukannya seperti yang sebelumnya dilakukannya pada kaki kiriku. Dan kembali aku menggeliat menahan kegelihan yang amat sangat. Aku juga mendesah dan merintih, meminta agar Pak Anggoro menghentikan manuver bibir dan lidahnya. Tapi tentu saja tidak bisa, kenikmatan yang demikian saja dipotong di tengah jalan. Justru desahan dan rintihan serta gelinjang kaki-kakiku memacu nafsu Pak Anggoro naik semakin menggila. Entah berapa kali aku dengan tanpa sengaja menendang mukanya.

Setelah puas menciumi dan menjilati kakiku, bibir dan lidahnya merambat ke kedua betisku. Betisku yang getas (keras tetapi mudah patah, atau pecah, sebagai gambaran tentang betisku yang sekal tetapi sangat peka terhadap berbagai sentuhan lelaki) dia lumat hingga kuyup oleh ludahnya. Kegelian yang amat sangat segera menyerangku setiap kali lidahnya yang terasa sedikit kasar itu menyapu pori-pori betisku. Ketika dia terus naik menuju ke nonokku sebagai pusat kenikmatan dunia digigitnya lututku. Langsung kakiku berontak kegelian. Tangan-tangannya yang kuat menahan kakiku, sementara bibir dan lidahnya terus melumat lututku. Aku sangat tersiksa rasanya. Seluruh punggungku seperti dirambati jutaan semut, bulu kudukku berdiri. Perasaan sangat merinding merata pada bagian belakang tubuhku. Kini tangankulah yang kuharapkan bisa melepaskanku dari siksaan yang nikmat ini. Aku bangkit setengah duduk. Kurenggut kepala Pak Anggoro dan menolaknya dari ciuman di lututku. Tetapi aku tidak cukup kuat, perempuan ringkih lemah seperti aku ini melawan ganasnya beruang yang menancapkan rahang-rahangnya pada lututku ini. Tapi aku terus melawannya, berusaha menendangnya, berusaha melepaskan diri dari cengkeramannya.

Setelah dari lututku, wajah Pak Anggoro merangsek ke atas lagi. Dengan tangan-tangan kuatnya yang memegang erat-erat kedua pahaku, kembali bibir dan lidah Pak Anggoro melumat pahaku.
"Ooouuhh, jangan, jangan! Aku bencii, aku benci kamuu Anggoroo! Setaann kamu Anggoroo!".
Aku melupakan rasa hormatku pada Pak Anggoro, mengumpat sambil berontak sejadi-jadinya. Aku mengumpat meracau layaknya perempuan kemasukan jin. Suaraku menjadi parau kehabisan suara. Untunglah, Pak Anggoro tenang saja. Sangat paham dan tenang. Hebat. Terus saja dia melakukan hal tersebut. Dia menjadikan dirinya seorang sadistis yang menikmati penderitaan dan kesakitan orang lain. Dan disinilah aku menemukan apa yang disebut sebagai "sensasi birahi". Mungkin bagi Pak Anggoro yang sudah matang dalam petualangan seksnya, dia tahu persis dan sering mengalami reaksi lawan cumbunya seperti begini. Sikapnya yang tenang merupakan bentuk toleransi birahinya agar lawan cumbunya berkesempatan meraih sensasi erotiknya.

Bagiku sendiri, dalam instingku yang sangat jauh, semua upaya perlawananku sebenarnya bukan untuk membuat lawanku menyerah. Semua perlawananku itu adalah merupakan ungkapan kenikmatan tak terhingga yang disebabkan nafsu birahi yang melemparkanku jauh ke langit, ke bintang-bintang nikmat tak terperi. Kenikmatan yang menghempaskanku, jiwaku, saraf-saraf pekaku, darahku hingga ke titik yang paling ekstrim.

Bersambung ...

Aku berdiri di belakang Mbak Eliz, sepertinya dia belum menyadari kehadiranku, kupeluk dari belakang, kudekap erat dan kuremas buah dadanya sambil menciumi tengkuknya, dia menggelinjang hebat, apalagi bersamaan dengan kuluman suaminya pada putingnya, desahannya berubah menjadi jeritan liar nan nikmat menggairahkan.
"Aaagghh..sshh..ehhmm" sambil menggoyang goyangkan kepalanya, rambut indahnya tergerai menutupi wajahnya yang kemudian disibakkan suaminya.

Aku berdiri di atas sofa, posisi penisku sejajar kepala Mbak Eliz, kusodorkan penisku yang tegang ke mulutnya, dia meraih dan mengocoknya, kulihat Mbak Eliz memandang ke arah suaminya sebelum akhirnya memasukkan penisku ke mulutnya, tanpa mengentikan goyangan pinggulnya. Penisku segera keluar masuk mulut Mbak Eliz, tepat di muka suaminya yang sedang meremas remas kedua buah dadanya, kini Mbak Eliz mendapat dua penis di atas dan dibawah. Istriku hanya berdiri tersenyum melihat kami bertiga dan memandangku saat merasakan nikmatnya kuluman Mbak Eliz.
Kupegang rambut indah Mbak Eliz yang tergerai di mukanya dan kukocokkan penisku ke mulutnya membuat dia tidak bisa bebas bergerak kecuali hanya bergoyang pinggul. Aku sudah tak mempedulikan lagi suaminya, yang hanya menonton bagaimana penisku mengisi mulut istrinya tercinta.

Hanya beberapa menit kami mengeroyok Mbak Eliz, ternyata sensasinya terlalu tinggi baginya, tak lama kemudian kurasakan cengkramannya pada penisku mengeras menegang, gerakannya tidak beraturan dan,
"Ooouugghh..yess..yaa..yaa.. oh Mass" jeritnya orgasme, dia menggeliat di pangkuan suaminya sambil tetap mencengkeram penisku. Tubuh Mbak Eliz melunglai memeluk suaminya, aku turun dan kucium pipinya yang masih bersandar di bahu sang suami, napasnya masih menderu, sempat kudengar dia berucap "terima kasih Mas", entah ditujukan ke aku atau suaminya.

"Giliranku" kata Lily, aku duduk di samping Mas Surya yang masih memangku istrinya. Lily berlutut di selangkanganku dan memasukkan penisku ke mulutnya, Mbak Eliz turun dari suaminya, menggenggam dan mengocok penisnya yang masih tegang dan basah karena vaginanya, dikulumnya penis itu seakan membersihkan dari cairannya. Istriku sambil mengulumku meraih penis Mas Surya yang masih dalam kuluman istrinya, lalu mengocoknya setelah ditinggalkan Mbak Eliz ke kamar mandi.

Mas Surya beralih ke belakang istriku, mengatur posisinya bersiap untuk doggie. Tak lama kemudian istriku sudah menerima kocokannya dari belakang, dengan liarnya menghentakkan tubuhnya ke tubuh istriku yang masih bergairah mengulumku, sesekali kulumannya terlepas karena sodokan keras Mas Surya. Desahannya tertahan penisku yang ada di mulutnya, gerakan Mas Surya makin ganas, ditariknya rambut istriku dan menyodoknya dengan keras, tubuh istriku terdongak karena sodokannya, tapi dia tidak pedulikan, sodokan kerasnya tidak melemah, semakin istriku menggeliat nikmat membuatnya semakin bersemangat.

Sambil mengocok, tangannya tak pernah lepas dari tubuh istriku, dielusnya punggung dan pantatnya lalu diremasnya kedua buah dadanya yang menggantung bebas. Dengan cepat istriku sudah bisa menyesuaikan dengan gaya permainan liar Mas Surya, kembali dia mengulum penisku, kupegang dan kuelus rambutnya, sesekali kutekan ke arah penis supaya masuk ke mulutnya sebanyak mungkin, meski dia tidak pernah bisa memasukkan semuanya.

Kami berganti posisi, istriku duduk di pangkuanku, tapi sebelum dia memasukkan penisku ke vaginanya, Mas Surya sudah mendahului menyapukan kepala penisnya, dan melesak kembali ke vaginanya. Istriku menoleh ke Mas Surya, dia hanya membalas dengan senyuman, kini Mas Surya mengocok istriku yang duduk di pangkuanku. Dia mendesis di pelukanku menerima kembali kocokan Mas Surya.

"Mbak suaminya nakal nih, merebut jatah suamiku" teriak istriku sambil mendesah ketika melihat Mbak Eliz keluar kamar mandi. Mbak Eliz terlihat makin cantik dengan rambutnya yang tergerai basah dan hanya berbalut handuk, buah dadanya makin kelihatan montok berisi tertutup handuk putih.
"Biarin aja, itulah balasan kalau kalian menggoda istri orang, tetangga lagi, bikin mereka kapok mas" jawab Mbak Eliz mencium suaminya lalu duduk di sampingku. Tak kuperhatikan buah dada istriku yang berayun-ayun di mukaku, kutarik tubuh Mbak Eliz mendekat, kulempar handuk penutup tubuhnya, aroma wangi tercium dari tubuh segarnya ketika kucium leher dan bibirnya, kami saling mengulum sambil aku memangku istriku yang menerima kocokan Mas Surya.
"Pindah ke kamar yuk, disini kurang bebas" usul Mbak Eliz
Tanpa menunggu jawaban, kudorong istriku turun dari pangkuanku lalu kutuntun Mbak Eliz menuju kamar, sekilas masih kulihat Mas Surya meneruskan kocokannya terhadap istriku, dia menyetubuhi istriku dari belakang sama sama berdiri, berpelukan dan berciuman.

Sesampai di kamar, kurebahkan tubuh telanjang Mbak Eliz dan langsung kutindih, kususuri tubuhnya yang segar sehabis mandi, terasa lebih menggairahkan, aku paling menyukai membenamkan mukaku di antara kedua bukit di dadanya yang montok. Tak lama kemudian istriku dan Mas Surya masuk kamar, ketika kami sedang ber-69 dengan Mbak Eliz di atas, mereka langsung mengambil posisi doggie. Istriku mengatur posisi tubuhnya hingga kepalanya di antara kakiku dan bisa mengulumku bergantian dengan Mbak Eliz ketika suaminya mengocoknya dari belakang, aku tak bisa melihat dengan jelas, tapi bisa merasakan ketika dua mulut dan dua lidah sedang berada di kejantananku baik secara bersamaan maupun bergantian, terasa kenikmatan yang berlebihan.

Ranjang serasa bergoyang ketika kudengar jeritan nikmat istriku akibat hentakan kuat dari Mas Surya, kulihat dari celah paha Mbak Eliz, Mas Surya menjambak rambut istriku hingga dia terdongak ke belakang dan menyodoknya dengan keras, buah dada istriku berayun-ayun tak beraturan karena sodokan itu.

"Mas, gantian dong" pinta Mbak Eliz pada suaminya, tanpa menunggu jawaban dia langsung turun dan nungging di samping istriku. Mas Surya melepaskan istriku dan bergeser di belakang istrinya, langsung penisnya melesak ke vagina Mbak Eliz dengan kecepatan tinggi seperti yang dia lakukan pada istriku, kontan Mbak Eliz menjerit seperti terkaget menerima perlakuan suaminya yang kasar itu, tapi tak ada tanda protes, justru kulihat expresi kenikmatan di wajahnya yang cantik. Kuraih buah dadanya yang montok berayun ayun dan kuremas sambil kupermainkan putingnya, membuat Mbak Eliz makin histeris dalam desahannya.

Istriku yang ditinggal Mas Surya, beralih ke atasku, mengatur posisinya sebelum akhirnya melesakkan penisku ke liang vaginanya. Jeritan nikmat keluar dari mulutnya saat penisku menerobos masuk. Setelah terdiam sesaat, mulailah goyangan pinggulnya di atasku, penisku terasa di remas remas, gerakan istriku semakin liar, kunikmati sambil meremas remas buah dada Mbak Eliz yang sedang mendapat kocokan dari suaminya.

Melihat istriku bergoyang liar dan menggairahkan, Mas Surya rupanya tergoda juga untuk kembali menikmati istriku yang memang lebih liar dibandingkan istrinya, ditinggalkannya istrinya yang sedang mendesah nikmat, tak dipedulikannya suara protes dan kecewa dari Mbak Eliz. Dia berdiri di samping Lily yang sedang terbakar kenikmatan, menyodorkan penisnya yang masih basah dari Mbak Eliz ke mulutnya, istriku segera meraih penis itu dan langsung mengulumnya sambil tetap bergoyang pinggul dan turun naik di atasku.

Penis Mas Surya yang tidak terlalu besar segera masuk semua ke mulutnya tanpa hambatan, dia tidak mengalami kesulitan meng-handle dua penis secara bersamaan. Kedua penis mengocoknya di atas dan dibawah secara bersamaan, Mbak Eliz yang cemberut segera kutarik dalam dekapanku, dia merebahkan kepalanya di dadaku sambil memandangi penis suaminya meluncur di mulut istriku. Mbak Eliz berlutut di sisi istriku, kedua wanita itu bergantian mengulum dan menjilati penis Mas Surya dengan rakusnya.

Kami berimprovisasi dengan berbagai gaya dan posisi di semua tempat di kamar itu, sepertinya sudah menjadi kodrat bahwa aku lebih sering menikmati Mbak Elis dan Mas surya lebih menyukai istriku.
Tak ada aturan, yang capek boleh berhenti yang masih kuat silahkan melanjutkan, permainan selalu bervariasi, kadang MMF, FFM atau MMFF. Anehnya, Mas Surya yang tadi cepat orgasme, dengan berame rame seperti ini justru bisa bertahan lebih lama, bahkan istriku sempat dibuat kewalahan.

Kami saling mereguk dan memberi kenikmatan yang seolah tak pernah habis dinikmati. Selama di kamar tak seutas benang menutupi tubuh kami, bahkan ketika Room Boy mengantar makan malam, hanya Mas Surya yang berbalut handuk yang menerimanya, karena aku lagi sibuk mereguk kenikmatan dengan istriku dan istrinya.

Setelah memberi tahu teman teman di Villa bahwa mungkin kami pulang pagi karena terjebak kemacetan di Cianjur, malam itu kami habiskan dengan pesta penuh nafsu seakan there is no tomorrow. Kami bebas melakukan dengan siapa saja, dimana saja, posisi apa saja, its wild sex, meski cuma kami berempat.

Yang paling mengesankan adalah bercinta bertukar pasangan di keremangan malam yang dingin di udara terbuka, karena tempat kami memang jauh di pojok yang jarang dilewati orang. Dinginnya angin malam tak mampu mengusir gairah nafsu kami yang memang sedang memuncak.

Keesokan harinya kami kembali ke Villa pukul 11 pagi, beberapa pertanyaan muncul mengiringi kedatangan kami, karena memang HP kami matikan untuk menghindari gangguan. Tak ada yang curiga dengan apa yang telah kami lakukan semalam, bahkan beberapa ibu ibu kasihan melihat kami yang kelihatan kurang tidur dan capek, mereka mengira kita kecapekan karena terjebak macet sehingga menginap di Cianjur, padahal itu jauh dari realita, justru kami kurang tidur dan capek karena nikmat.

Akhirnya kami kembali membaur dengan tetangga lainnya, terhadap Mas Surya dan Mbak Eliz kami bersikap sewajarnya seperti tidak terjadi apa apa, begitu juga mereka, tidak ada perubahan sikap kami pada mereka, paling tidak didepan banyak orang.

Sesekali aku masih bisa mencuri cium ataupun pelukan ataupun rabaan dari Mbak Eliz saat berdua, istriku hanya tersenyum saja melihat tingkah lakuku itu.

Kami masih berkeinginan untuk melakukannya lagi di lain waktu dan kesempatan, tak perlu menunggu liburan atau di puncak.

Tamat