Gadis itu.. Tinggi badannya 170cm dengan postur tubuh yang sepadan hemm.. Lekuk bodinya yang sangat gitar itu sangat merangsang. Belum lagi pakaiannya yang tertutup tapi terbuka. He he hee.. Maksudku dia mengenakan blus merah yang tertutup dari lehernya dengan berkerah shang-hai dengan kancing-kancing warna emas yang manis dan tertib berbaris dari leher hingga bagian bawah pinggangnya. Memakai rok warna hitam yang 10cm dari lutut, bersepatu mirip pantovel dengan tali yang melintang di bawah pergelangan kakinya.. Payudaranya yang berukuran 36B itu.. Rambutnya terurai panjang hingga punggung, wajahnya yang cantik nyaris serupa dengan penyiar sebuah stasiun TV Fifi Aleyda Yahya.
Marissa namanya, selalu mengusik kalbuku hingga kini. Aku mulai mengenalnya dalam sebuah pertemuan, dia adalah supervisor bagian valas disebuah bank terkemuka di ibukota. Kebetulan waktu itu tampil dalam business gathering sebagai penyanyi dari trio tiga cewek, teman sekerjanya.
Aku adalah seorang eksekutif.. Pernah gagal dalam pernikahan jadi kini sendiri kalau orang bilang sih duren, duda keren he he he. Sejak pertemuan business gathering, aku semakin tertarik padanya; dengan segala usahaku mencari tahu nomor ponselnya, kemudian aku menjadi nasabahnya.. He he he perlu modal juga nich untuk pe de ka te sehingga diam-diam aku bisa setiap hari menelponnya untuk ikut main valas. Pada suatu kesempatan yang baik, aku berhasil mengundangnya makan siang, keluar sebentar dari kantornya. Berusaha aku menyatakan ketertarikanku.. Dan dia menolaknya cukup halus namun terlalu tegas bahasanya hingga hati ini tersinggung, sakit rasanya hatiku saat cintaku nyata-nyata ditolaknya.
Dikesempatan lain saat aku menelponnya guna menanyakan kondisi valas hari itu, dilayaninya dengan dingin sehingga yang berkembang dari dalam hati ini adalah amarah yang begitu besar karena merasa harga diriku telah terinjak-injak.
*****
Marissa tak berkutik, matanya mendelik melihat wajahku.
"Haa.. Ha.. Ha.. Haa!!"
Sia-sia saja dia karena aku memakai topeng twinky winky teletubbies. Tangannya sudah terikat erat ke belakang oleh tali plastik warna kuning yang melilit dan melingkari buah dadanya yang menyembul. Menggenakan 'kostum sexynya' seperti saat aku memandangnya pertama kali itu. Blus merah itu lho.. Kakinya yang panjang dan sexy itupun sudah tak berdaya dan terikat jadi satu mulai dari kedua lututnya, kemudian kakinya yang bersepatu sexy itu. Oh.. Aku sungguh sangat terangsang melihat keadaannya yang sangat tidak berdaya itu. Aku adalah penggemar berat shibari hogtie ala Jepang yang sangat indah dan teliti dalam ikat mengikat. Hemh.. Ini juga salah satu kegagalan pernikahanku karena mantan istriku sangat tidak suka untuk aku ikat. Marissa masih meronta-ronta tak berdaya di apartemanku. Matanya akhirnya aku tutup dengan lakban sebagaimana aku menyumbat mulutnya. Bagaimana dia bisa ada di kamarku? Biar pembaca tidak penasaran.. Beginilah ceritanya.
Waktu itu menunjukkan kira-kira jam 23.00. Suasana di jalan relatif sepi di Senin malam itu. Lama telah aku pelajari bahwa di akhir bulan Marissa biasanya pulang jam 23.00 dan mengendarai taxi. Aku telah memarkirkan Mitsubishi Kudaku 10 meter sebelum kantornya.. Biasanya Marissa pasti berjalan sejauh itu untuk mencari taxi karena tidak ingin bersaing dengan pemakai taxi lainnya. Aku berdiri di sisi jalan dengan kepala bertopi dan berkacamata hitam. Secepat kilat aku menyambar mulutnya dengan saputangan yang mengandung cloroform. Marissa langsung lemas.. Langsung aku angkut ke dalam jok mobil belakang. Serta dengan langkah awal pengamanan aku sumbat mulutnya dengan lakban serta mengikat tangannya ke belakang dengan lakban yang sama.
Aku bergerak meninggalkan tempat itu, melarikan mobilku ketempat yang lebih sepi. Ku parkir sejenak.. Kulihat Marissa masih belum sadar.. Hemm langsung aku pindahkan ke dalam sebuah koper besar yang sudah kusiapkan dibagasi. Lalu meluncurlah Kudaku menuju apartemant. Tanpa curiga apa-apa pihak keamanan hanya tersenyum saat aku tiba dan mendorong koperku itu masuk ke lift.. Naik ke lantai 14 masuk ke apartemanku 1404. Kubuka koperku, Marissa yang masih belum sadar itu aku ikat ulang dengan tali plastik kuning.. Yach begitulah ceritanya.
"Mmmpphh.. Mmmpphh.. Praanngg!!"
Lamunanku buyar saat kulihat Marissa meronta-ronta hingga kakinya menendang gelas wineku hingga terjatuh dan pecah!
"Crreett.."
Lakban yang menutup matanya aku lepas. Sementara aku sudah melepaskan topeng teletubbies yang kupakai. Sadar Marissa bahwa dia diculik olehku, matanya menunjukkan kebencian dan kemarahan namun hanya mmpphh.. mmpphh.. saja yang terdengar di kamarku.
"Oh Chachaku sayang.. Kalau kamu tidak menolak cintaku, kejadiannya tidak akan seperti ini.."
Wajahku menunjukkan penyesalan padanya lalu perlahan aku cabut lakban yang membungkamnya sambil mengancam.
"Awas kalau kamu berteriak..".
"Mmmpphh.. Haah.. Haah.." Marissa mengambil nafas.
"Apa yang kamu lakukan Mas Dody.. Di mana aku sekarang.. Lepaskan aku.. Lepaskan ugh.. Ugh," kalimat yang pasti akan keluar dari mulut Marissa sambil meronta-ronta.
"Wallah.. Kamu ini lucu sekali.. Mana mungkin aku lepasin kamu ha.. Ha.. Ha.. Haa..!"
"Tenanglah Chacha, kamu aman di sini.. Salahmu menolak cintaku beginilah akibatnya..!"
"Apa yang Mas mau dari saya? Kenapa Mas menculik saya?" tanyanya
"Sudah..!! Kamu diam dulu.. Kalau enggak aku lakban lagi mulutmu!!" ancamku seraya bersiap-siap merobek lakban..
"Jangan Mas.. Jangan"
Lalu aku bopong Marissaku yang terikat itu ke kamar tidur yang satu lagi di apartemanku. Aku baringkan dia di tempat tidur itu serta menutup tirai-tirai yang ada di kamar itu serta membiarkannya terikat disitu dengan lampu menyala.
"Selamat beristirahat Chacha.. Semoga kamu betah disini.." ledekku kemudian mengunci kamar itu dari luar.
Jadilah Marissa terikat erat dan disekap di salah satu kamar di apartemanku. Di kamar itu sudah aku siapkan kamera ccTV yang sangat kecil terpasang tepat menyoroti tempat tidur sehingga aku dengan mudah memonitor keberadaannya dari kamar tidurku. Malam itu aku membiarkan Marissa 'menikmati' keberadaannya di kamar itu. Aku hanya mengamatinya dari kamarku saat melihatnya bergerak meronta-ronta di kamarnya.
Pagi itu aku sempat menengoknya di kamarnya lalu kusuapi dirinya dengan sarapan pagi nasi goreng buatanku.
"Siapa yang masak Mas.." Marissa yang sudah agak tenang, dalam keadaan terikat erat, mulai membuka pembicaraan.
"Siapa lagi?" balasku bertanya.
"Mas.. Aku mesti ke kantor nich.. Lepasin dong.."
"Kamu bohong.. Kamu khan baru mulai cuti 2 (dua) minggu.." sergahku.
"Wah kok Mas tahu??"
"Senin siang aku telpon kamu mau tanya Euro, seperti biasa kamu dengan sombongnya menolak telponku.. Tanpa sengaja kolegamu bilang kamu mau cuti besok.. Nah berliburlah kami disini haa.. Ha.. Ha.. Haa..!"
Sejenak wajah cantik yang agak tenang itu berubah khawatir.. Aku memang sudah mempelajari kehidupannya. Marissa yang mandiri ini memang hidup jauh dari Ayahnya di Surabaya. Ibunya sudah wafat 5 tahun yang lalu dan Ayahnya kawin lagi. Marissa mengontrak di salah satu rumah susun yang cukup representatif di kawasan Benhil. Jadi bagiku sungguh tepat momentum yang kudapatkan untuk menculiknya. Usai sarapan dan minum teh hangat, mulutnya aku jejali saputangan yang masih mengandung cloroform.. Lalu aku sumbat lagi dengan lakban, kembali Marissa tertidur lalu aku mengunci kamarnya dan meninggalkannya untuk pergi ke kantor.
Sebagai seorang eksekutif, jam kerjaku lebih fleksible. Jam 13.00 aku mampir ke rumah untuk melihat keadaan tawananku.
"Halo Chacha.. Kamu tidak nakal di rumah khan??" sapaku.
"Mmmpphh.. Mmpphh.." jawabnya.
"Bentar.. Bentaarr.." lalu aku buka lakbannya. "Lapar yaa?"
Marissa hanya mengangguk.. Lalu "Mau pipis.." lanjutnya.
Langsung aku membopongnya dipundakku, membawanya ke toilet.. Menyingkapkan roknya ke atas, menurunkan pantynya dalam keadaan kaki masih terikat serta menunggunya.
"Maass, sudah.."
Aku bantu dia membersihkan vaginanya lalu aku bopong kembali ke kamarnya.
"Chacha.. Baik-baik ya kamu di sini.. Jangan macem-macem, nanti jam 18.00 aku kembali," ujarku sambil membiarkannya terikat tanpa menyumbat mulutnya.
Dua hari sudah aku menyekap Marissa di rumahku. Hari-hari dijalaninya dengan ketidak berdayaan. Aku belum berniat melakukan apa-apa pada dirinya, hingga pada suatu hari. Aku pulang agak malam dan agak mabuk karena terlalu asyik dengan mitra kerjaku. Aku sangat bernafsu saat melihatnya tertidur pasrah terikat di kamarnya. Mulutnya hari ittu kembali aku lakban.. Ough naluriku bangkit saat melihatnya hari itu tetap terlihat sexy. Tanpa ia sadari.. Aku lepaskan ikatan di kakinya namun melipat dan mengikatnya ke betis masing-masing, setelah sebelumnya celana dalamnya aku lepaskan.
"Aaarrgghh.." suara Marissa terkejut saat tanpa basa-basi aku memasukkan penisku ke dalam vaginanya yang masih kencang itu dan disambut darah segar keperawanannya. Serta merta aku menggenjot tubuh Marissa mulai dari perlahan hingga semakin cepat berirama.
"Ooh.. Oh.. Ooohh..!" desah Marissa.
"Aaahh.." puas diriku berejakulasi pada rahim Marissa seiring sprema yang menyembur tumpah ruah ke rahimnya lalu terkulai lemas di sisi Marissa.
Lalu aku membelai-belai rambutnya yang panjang terurai itu sambil berbisik,
"Aku pasti mengawinimu Chacha.. Aku akan menjadi ayah untuk anakmu"
Marissa hanya bisa menangis terisak-isak.
Sejak kenikmatan itu, aku selalu memuaskan nafsuku untuk terus-menerus memperkosa Marissaku yang sexy itu. Hidup yang penuh kesendirian ini menjadi begitu bergairah. Setiap hari itu juga aku tunjukkan cintaku dan perhatianku padanya, meski tidak pernah aku lepaskan ikatan di tubuhnya. Dalam masa penculikan itu, Marissa mulai ketagihan dan tidak jarang dia yang mulai meminta.
"Mas Dody.. Perkosa aku dong.." Aku lihat Marissa tidak sedang pura-pura; nyaris seminggu dia disekap di apartemanku membuatnya ketagihan dengan gaya pemerkosaanku.
Sekali ini untuk pertama kalinya aku 'memperkosa'nya dengan foreplay, he he he mana bisa begitu ya.. Tapi hari makin hari mungkin Marissa merasakan sayang dariku meski segalanya berawal dari sebuah penculikan. Namun aku bisa rasakan bahwa dia mulai mencintaiku. Tidak adalagi permintaannya untuk melepaskan ikatannya karena hari ke dua ke tiga aku sempat melepasnya untuk mandi dan hanya terbelenggu borgol pada kedua tangannya atau kadang hanya mengikat kakinya dengan rantai yang biasa dipakai untuk anjing.. Atau sesekali membiarkannya terikat rantai anjing itu di sebuah pilar yang ada di apartemanku. Jadi tidak selamanya Marissa terikat seperti manakala pertama kali aku culik. Memang aku belum terlalu yakin 100% kalau dia tidak akan melarikan diri. Tapi yang aku tahu pasti, aku senang melihatnya terikat karena gairahku akan bangkit dan pada akhirnya bisa membahagiakannya.
Memasuki minggu kedua.. Sisa 4 hari lagi Marissa akan kembali bekerja; aku mengembalikan keberadaannya sebagaimana korban penculikan.. Aku jadi sangat tidak ingin melepaskannya.. Aku berniat menculiknya dan mengikatnya selama-lamanya.
TAMAT