Terus terang aku berteriak bukan benar-benar menyuarakan hatiku. Aku hanya berteriak demi gengsiku. Aku akan menangis penuh penyesalan seandainya Tardjo lantas dengan kecut meninggalkan aku. Terus terang kata-kata jorok brutal Tardjo tadi tiba-tiba menjadi sensasi birahi yang menggelegak menghantam sanubari libidoku. Aku merasakan birahi nikmat mendengar kata kontol belum puas, ngentot nonokku, menjilati kontolnya, ah, merinding dan bergetar merasakan betapa kata-kata itu menjadi demikian merangsang nafsu birahiku. Aku ingin mendengarnya lagi, aku ingin Tardjo mengucapkannya lagi untukku. Aku ingin ada kata-kata yang lebih kotor lagi. Aku ingin Tardjo mengucapkan keinginan kotornya padaku lagi.
Tetapi ternyata dia tidak bicara lagi. Dia bertindak. Dia mencabut dari memekku kontolnya yang masih kuyup oleh lendir spermanya yang tercampur dengan cairan birahiku. Dia merangkaki tubuhku. Dia melangkahi payudaraku untuk mendekatkan kontolnya ke wajahku. Untuk menjejalkan ke mulutku. Sungguh mati aku sangat jijik menghadapi ini. Mulutku belum pernah mencium apalagi mengulum kontol. Aku sangat jijik karena memang belum pernah aku melakukannya walaupun suamiku sering minta agar aku melakukannya. Walaupun kedua tanganku masih tetap terikat, aku mati-matian menggeliat-geliat untuk berusaha menolaknya. Aku pandang hanya binatang saja yang melakukan cara macam ini. Tetapi Tardjo yang menjadi demikian terbakar nafsunya melihat geliatan tubuhku tidak memintaku. Dia memaksa aku. Dia telah berhasil memperkosa kemaluanku, dan kini dia akan memaksa mulutku untuk menerima kontolnya.
Dan Tardjo memiliki banyak cara. Dia memencet hidungku hingga aku kesulitan mengambil nafas sampai mulutku terpaksa terbuka untuk bernafas. Pada saat itu kontolnya langsung disodokkan dan dijejalkan ke mulutku. Reaksi pertamaku adalah gelagapan dan rasa muak yang tak terhingga. Aku mau muntah. Tetapi keinginan itu seketika lenyap ketika Tardjo dengan tiba-tiba dan sangat kurang ajar meraih kepalaku, menjambak rambutku dan kemudian berkali-kali menampari pipiku. Kali ini aku sungguh-sunguh merasa direndahkan harga diriku. Seorang sopir macam Tardjo beraninya menampar istri bossnya.
Tetapi Tardjo sudah kerasukan setan. Dan yang hadir pada diriku kini bukan lagi gengsi tetapi ketakutan yang amat sangat pada orang yang kerasukan setan. Aku jadi terpaksa membiarkan kontolnya yang disodok-sodokkan ke mulutku. Aku pasif, tidak menggerakkan mulutku sama sekali, tetapi Tardjo kembali menamparku,
"Ayo, Bu, isep-isep kontol enak, Bu, kulum, ayo, enak ini bu..", antara ketakutan dan merinding birahi yang sangat, aku diserang gemetar hebat. Dan diluar kesadaranku akhirnya aku mengulum kontolnya. Aku menggerakkan bibirku. Aku menjilatinya. Rasa asin yang menyergap lidahku membuat aku terkaget. Tetapi Tardjo sama sekali tak memberikan aku ruang untuk menolak. Kontolnya sedikit demi sedikt dijebloskan ke mulutku hingga menyentuh tenggorokanku. Kemudian ditariknya sedikit untuk kembali dijebloskannya lagi, demikian di ulang-ulanginya hingga aku jadi ber-adaptasi. Aroma sekitar selangkangannya yang semula sangat membuat aku mual kini tak terasa lagi. Rasa jijikku menyurut.
Paksaan yang tak bisa kutolak menggiring aku untuk kompromi. Aku menerima dengan setengah perasaanku, sementara aku mencoba meraba dimana kenikmatannya. Sampai-sampai orang-orang suka membicarakan hal macam begini, bagaimana rasa nikmat melakukan oral seksual dengan mengkulum dan mejilati kontol lelakinya. Dan saat tangan Tardjo juga meremasi buah dadaku dan memainkan pentilku aku tak bisa mengelak, nikmat birahi melumati kontol lelaki segera merambati aku pelan, pelan, pelan dan kemudian menerkam diriku dengan hebatnya. Situasi serasa berbalik 180 derajat, akulah kini yang mengerang dan mendesah sambil dengan penuh penghayatan dan nafsu birahi aku memperdalam dan memompa kontolnya dengan seluruh haribaan mulutku. Tardjo tahu aku sudah bisa dia taklukkan. Dan aku merasakan gelinjang nikmat bagaimana sebagai perempuan terhormat ditaklukkan oleh kontol supirnya.
Aku merasakan sensasi seksual sebagai budak nafsu supir boss suamiku. Kini aku menjadi pihak yang banyak menuntut. Aku ingin Tardjo menumpahkan seluruh nafsunya ke tubuhku. Setiap tindakan kasarnya menambah nikmat birahiku. Keinginan untuk menyerah sebagai budak taklukannya merupakan ungkapan yang sangat sensasional untuk nafsu birahiku. Aku ingin direndahkan. Aku ingin dihina. Aku ingin dijajah oleh Tardjo. Aku bahkan ingin disakitinya. Untuk itu aku berontak habis-habisan hingga kontolnya lepas dari mulutku. Aku tendang sebisaku apa yang aku bisa tendang. Aku cakari tubuhnya. Aku maki dia dengan kasar,
"Anjing kamu Tardjo, babi, setan!", dan rupanya perlawananku langsung memancing kemarahannya. Aku ditamparinya hingga bibirku pecah dan berdarah. Dia memaki aku,
"Dasar pelacur kamu, cabo murahan, pemakan tai!", katanya dengan kasar sambil meraih mukaku dengan kedua tangannya.
Dipegangnya mulutku pada rahang bawah dan atasnya. Dipaksakannya aku membuka mulutnya. Kemudian di ludahi mulutku. Dia ludahi lagi. Dia ludahi terus mulutku. Dia gumpalkan air liurnya ke bibirnya kemudian diludahkannya kemulutku. Dan setiap kali dia membuang ludahnya ke mulutku, setiap kali pula dia pencet hidungku hingga aku gelagapan dan terpaksa aku menelan ludahnya. Tiba-tiba merinding dingin dan gemetar seluruh tubuhku, seakan badai kutub utara menyergap aku. Seluruh saraf-saraf dan ototku mengejang. Aku merasa kegatalan birahi yang sangat pada kemaluanku dan membuat rasa ingin kencingku meledak-ledak. Aku tahu perlakuan kasar Tardjo telah memancing nafsu birahiku dengan dahsyat. Dan kini aku akan kedatangan nikmat orgasme yang tak kuduga-duga akan secepat ini sebelumnya.
Aku sudah tenggelam dalam badai birahi yang tak lagi terkendali. Ludah Tardjo telah mendongkrak libidoku dan mendorongku untuk kembali mencengkeram dan memepet-pepetkan selangkanganku ke tubuh Tardjo sebagai ungkapan kegatalan nonokku sambil aku merintih dengan histeris dan setengah teriak,
"Tardjo, masukin kontolmu, Djo, entot aku lagi, Djo, tolong, entot aku lagi", tentu saja dia heran akan sikapku yang berbalik 180 derajat.
Dan langsung Tardjo menyambut gembira histerisku itu. Tetapi dia tidak langsung menjawab permintaanku. Dia melepaskan terlebih dahulu tanganku dari ikatannya. Dia nampak begitu yakin bahwa aku telah benar-benar dia kalahkan. Dia ingin merasakan bagaimana aku akan sepenuhnya mengekspresikan kenikmatan yang dia berikan. Dia ingin aku menggunakan tangan-tanganku untuk memelukinya dikarenakan birahi yang membakar diriku.
Dengan penuh keyakinan dia kangkangkan selangkanganku. Dia arahkan kontolnya ke nonokku yang dengan serta-merta pantatku naik tinggi-tinggi menjemputnya. Kontol itu langsung.. bleezzhh.. menghunjam dan ditelan memekku bulat-bulat. Dengan tanganku yang terbabas aku memeluki tubuh keringat Tardjo dengan sepenuh puas hatiku. Dengan cepat pantatku goyang memutar dan memompa naik turun.
Saat orgasmeku benar-benar berada di depan gerbang puncak nikmat, aku berbalik dengan cepat ganti menindih tubuh Tardjo. Doronganku adalah menghunjamkan kontolnya untuk lebih dalam meruyak menusukki nonokku. Dan saat itulah, cakar-cakarku melukai bahu Tardjo dengan disertai teriakkan seperti anjing betina yang melonglong keenakkan dientot jantannya, orgasmeku akhirnya muncrat, tumpah ruah membuat nonokku menjadi banjir dan kuyup. Dengan cepat kuterkam mulutnya dengan mulutku, kuhisap-isap lidah dan ludahnya untuk menghapus dahaga birahiku dan menuntaskan puncratan cairan birahiku. Kuhisap terus, kuhisap terus, kuhisap terus hingga akhirnya aku tergeletak lemas ke kasur pengantinku. Sepintas aku lihat Tarjo bangkit dan meloco kontolnya. Dia mengeluarkan spermanya beberapa saat kemudian disertai dengan teriakkan lepas birahinya dengan sekeras-kerasnya. Dia puncratkan sperma hangatnya ke tubuhku, ke dadaku, ke mukaku, ke rambutku. Sesudah ber-galon-galon spermanya tersedot keluar, Tardjo jatuh lemas ke kasur di sebelahku. Aku terlena.
Entah berapa lama aku tertidur kecapaian hingga terbangun saat kulihat Tardjo bergerak bangun. Mataku yang kini selalu terpaku pada kontolnya melihat betapa kontol gede itu belum nampak surut juga dari tegang kakunya. Kontol itu masih nampak ber-ayun-ayun setiap kali pemiliknya bergerak ke-sana-kesini. Kulihat dia bergerak turun.
Dia balikkan tubuhku kemudian dia tarik kakiku hingga tungkai kakiku terjuntai ke lantai. Dia rabai lubang pantatku. Kemudian aku rasakan dia membenamkan wajahnya di sana untuk menciumi dan menjilati lubang analku. Rasa gatal yang sangat dengan cepat kembali menggelitik nafsu birahiku. Suamiku tak pernah menjilati pantatku, apalagi lubangnya sebagaimana yang dilakukan Tardjo kini. Aku tidak berfikir lagi untuk menolaknya, rasanya Tardjo sudah menaklukkan aku secara total, aku pasrah apa maunya saja. Saat dia menjilati dan menusukkan lidahnya ke lubang anusku aku langsung menggelinjang. Tanganku bergerak kebelakang meraih kepalanya, aku ingin Tardjo lebih tenggelam lagi menjilat pantatku. Tetapi Tardjo bergerak bangkit sambil beberapa kali meludahi lubang anusku. Dia tusukkan jar-jarinya ke lubang itu. Aku kesakitan dan mengaduh. Dia tidak ambil pusing.
Dan ketika kontolnya dia asongkan ke analku, aku baru tahu, rupanya Tardjo ingin melakukan sodomi padaku. Aku rasanya tak mampu berkutik. Aku menjadi tawanan yang sudah lunglai kehabisan tenaga untuk melawan musuhku. Dan saat rasa sakit yang langsung menerpa pantaku karena kontol Tardjo memaksakan untuk menembusinya, aku tak menahan diri lagi untuk berteriak sekeras-kerasnya. Aku benar-benar tak tahan menerima tusukkan kontolnya di pantatku. Aku belum pernah merasakan sodomi, bahkan berpikir saja tak pernah.
Rasa panas dan pedih pada bibir dan dinding anusku tak tertahankan lagi. Aku berusaha berontak menghindar, tetapi justru membuat aku semakin terkunci oleh jepitan tubuhnya yang sambil terus menggerakkan pantatnya merangsek dan mendorong serta menarik kontolnya memompa anusku. Kini aku benar-benar diperlakukan seperti anjing betina, Dengan setengah tengkurap di tepian ranjang dan kaki terjuntai ke tanah, aku dipaksa menerima peralakuan sodomi pada pantatku. Aku terguncang-guncang oleh sodokkan ritmisnya. Anusku terasa sangat panas seperti kecabean dan pedihnya luar biasa. Kembali aku menangis. Aku melolong karena rasa sakit yang amat sangat.
Tardjo menikmati banget apa yang dia bisa raih dari tubuhku. Dengan terus menyodomi analku dia memelukku dari belakang, menciumi kudukku habis-habisan sambil tangannya merangkul tubuhku dan meremasi payudaraku. Kudengar nafasnya yang mengendus dengan buas menyertai nafsu birahinya yang benar-benar telah menjadi binatang liar yang tak terkendali lagi.
Saat akhirnya kontol itu terus mempercepat pompaannya, aku tahu bahwa Tradjo telah mendekati puncak birahinya. Untuk yang kesekian kali dia akan menyemprotkan air maninya ke dalam tubuhku. Di antara panas dan pedih yang merobek-robek lubang pantatku aku terguncang-guncang di atas ranjang pengantinku sambil meraung kesakitan. Aku merasakan betapa sodomi ini begitu menyiksaku. Kepalaku langsung pening, mataku terasa menggelap ber-kunang-kunang. Kuremasi pinggiran kasurku dalam upaya menahan kepedihan itu. Yang aku pikirkan hanyalah kapan siksaan ini berhenti dan selesai. Aku nyaris kehilangan kesadaranku saat Tardjo kembali menyemprotkan lahar panasnya di lubang analku. Lendirnya melicinkan bibir dan dindingnya hingga rasa sakit ini sedikit berkurang. Tardjo kembali berteriak histeris, melolong bak anjing jantan yang telah memuasi betinanya. Kemudian kembali dia lemas dan rebah penuh keringat menindihi punggungku. Aku lemas sekali. Aku berharap Tardjo sudah lemas dan puas pula hingga tidak lagi memaksa aku untuk menampung kebrutalannya lagi. Aku harap selekasnya Tardjo meninggalkan aku. Aku sudah tak mampu lagi melayaninya. Percuma. Aku nggak akan mampu lagi menikmatinya. Dan harapanku benar terpenuhi.
Tetapi caranya sungguh menunjukkan kekurang-ajarannya. Tanpa memperhatikan keadaanku, tanpa ada omongan "ba bi Bu" enak saja Tarjo turun dari ranjangku. Dengan tanpa mencuci apa-apa pada tubuhnya, ditariknya kembali celana panjangnya yang tetap nyangkut di pahanya dan menutup resluitingnya serta mengikat kembali ikat pinggangnya. Dan kemudian dengan se-enaknya dia ngeloyor pergi,
"Terima kasih, Bu. Maafin saya, ya, Bu", demikian kering kata-katanya, seolah apa yang telah terjadi bukan hal yang luar biasa. Kemudian dengan sama sekali tidak menunggu reaksiku dengan cepat dia meninggalkan aku yang masih tergolek telanjang di tempat tidurku.
Sesudah lebih dari 1 jam dia melampiaskan nafsu hewaniahnya untuk mendapatkan kepuasan birahinya dengan cara memaksa menggauli aku, dengan menembusi nonokku, mulutku dan yang terakhir lubang duburku tanpa khawatir akan suamiku yang bisa kapan saja muncul pulang tiba-tiba, kini sepertinya pahlawan yang meninggalkan musuhnya yang sedang sekarat dia pergi begitu saja tanpa tanda-tanda dan jejak yang bisa dijadikan alibi kecuali hatiku yang terluka dan bimbang.
Aku bimbang, benarkah Tardjo telah memperkosa aku? Dengan kenikmatan yang begitu luar biasa yang kudapatkan dari pemerkosaku aku menerima perbuatan Tardjo sebagai sesuatu yang tak akan pernah kusesali seumur hidupku. Masih pantaskah aku disebut istri yang setia bagi Mas Dibyo? Ah, lelaki dimana-mana sama saja, membingungkan. Dasar bajingan kamu, Jo.
Bersambung...