AKU, SINTA, ANNA DAN TEMANNYA HENNY

Suatu ketika aku mengambil cuti dari kantor selama seminggu atas bujukan Anna. Saat itu Dicky sedang mengikuti workshop dari perusahaannya selama dua minggu di Jerman. Rupanya Anna sudah berencana untuk berlibur ke Bali dengan mengajakku dan Sinta, keponakannya. Sinta yang juga sedang libur semesteran, tidak menolak. Apalagi ia tahu bahwa tantenya Anna telah menyediakan dana yang cukup bagi kami untuk berlibur. Henny yang kesepian juga ditelepon Anna dan diajak bersama kami.

Kami mengambil dua kamar di sebuah hotel berbintang di Denpasar. Pelayan hotel yang mengira aku dan Anna sebagai suami-isteri menawarkan kamar mewah bagi kami. Kami tidak keberatan dan mengambil president-suite, sedangkan Henny dan Sinta tidak menolak diberikan kamar standar.

Hari pertama di sana kami habiskan dengan bermain ke pantai Sanur sambil bercengkerama. Ketiga perempuan itu memakai bikini mandi di pantai bersama-sama denganku. Kami saling menyiramkan air laut dengan canda dan tawa. Sesekali kucubit pantat atau pinggul mereka satu persatu. Mereka yang tak bisa mengejarku, hanya dapat memaki dan berteriak-teriak. Malam harinya kami bertiga menikmati jamuan dinner yang romantis, sebab dengan hanya diterangi oleh cahaya beberapa lilin pada meja-meja dan obor di sekitar kami, para tamu hotel tersebut makan dan minum. Kulihat beberapa turis asing dan turis domestik makan di dekat kami. Kami berempat tidak menghiraukan mereka dan memesan makanan yang kami sukai. Pukul 20 kami memasuki ballroom hotel tersebut dan berdansa diiringi lagu-lagu klasik. Pertama-tama Anna menjadi teman dansaku, kemudian berganti dengan Henny. Sedangkan Sinta sempat berdansa dengan seorang turis asing. Saat berdansa dengan Henny sambil memeluk tubuhnya erat-erat, Anna mendekati kami dan berbisik, “Hen, Gus, yuk kita ke kamar aja …”

“Koq cepet-cepet sayang, udah nggak tahan ya?” goda Henny sambil melirik dengan seulas senyum manis.

Anna mencubit pinggul Henny sambil berkata, “Ah, paling-paling kamu juga ntar yang duluan minta kalau sudah di kamar.” Kulepaskan pelukan pada pinggul Henny dan mengikuti Anna yang sudah berjalan keluar ballroom tersebut. Henny memanggil Sinta dan tak berapa lama kulihat mereka menyusul kami menuju lift hotel tersebut. Di dalam lift, Anna memeluk leherku sambil menciumi bibirku. Kupeluk pinggangnya sambil memagut erat-erat bibirnya. Sinta dan Henny hanya tersenyum sambil berpegangan tangan melihat ulah kami berdua. Kami berjalan di koridor menuju kamarku dan Anna. Setelah menaruh tulisan “Don’t disturb” pada pegangan pintu kamar, kami masuk.

Anna langsung menjatuhkan tubuhnya ke atas ranjang berukuran king size. Henny memegang remote TV dan memilih acara TV yang menarik sementara Sinta masuk ke kamar mandi. Kubuka bajuku dan celana panjang, lalu mengenakan celana pendek dan kaus oblong. Henny duduk di ranjang sementara Anna mulai bangkit dan memegang kedua belah pundak Henny. Dielus-elusnya pundak dan lengan Henny yang agak terbuka lalu mendekatkan bibirnya pada pundak Henny. Ciuman Anna pada pundak Henny membuat Henny kegelian, “Ahhh, geli Ann. Udah dehh.” Anna tidak menghentikan aksinya, tangannya terus beraksi bahkan kini sebelah tangannya merambah ke depan meremas-remas payudara Henny dari balik bajunya sedangkan sebelah tangannya yang lain mengelus-elus pinggul Henny. Henny yang semakin terangsang merebahkan dirinya ke belakang hingga kini ia terlentang sementara Anna berada di atas tubuhnya. Maka bebaslah Anna melanjutkan perbuatannya merangsang Henny. Kini bibirnya dilabuhkan pada bibir Henny. Keduanya berciuman dengan mesra. Jari-jari Anna bergerak mengelus pipi, leher dan dada Henny kemudian berhenti pada payudara Henny yang ia coba keluarkan dari balik bajunya. Henny mendesah sambil menggerakkan pundaknya menurunkan bajunya hingga terbukalah kini pundak dan dadanya. Gaunnya semakin tersingkap dan tangannya sendiri menurunkan gaun itu hingga turun dari pahanya jatuh ke lantai. Tampaklah BH dan celana dalam Henny yang berwarna hitam menerawang. Aku berdiri menonton tingkah laku mereka. Sinta yang sudah keluar dari kamar mandi berseru sambil mengambil tempat duduk di dekat ranjang, “Wah, atraksi sudah dimulai rupanya?”

Jari-jari Henny membalas belaian Anna sambil melakukan upaya melepaskan gaun yang dikenakan oleh Anna. Perlahan-lahan gaun Anna pun berhasil dibuka hingga sebatas pinggulnya. Terlihat kini BH Anna yang berwarna cream. Keduanya sambil berciuman bibir melakukan remasan pada payudara yang lain. Setelah berhasil melepaskan BH satu sama lain, mereka saling menciumi dagu, leher, pundak dan payudara yang lain. Anna kini menciumi payudara Henny dan sesekali menjilat dan mengisap putingnya. Dari bawah, Henny juga melakukan aksi yang tak kalah menarik dengan mengisap payudara Anna. Desahan keduanya semakin meninggi bersamaan dengan semakin terkuaknya gaun Anna. Sinta yang melihat tantenya masih mengenakan gaun mendekati bagian belakang tubuhnya dan membuka risleting gaun tersebut hingga terbuka seluruhnya dan menurunkannya hingga terlihat celana dalam berwarna sama dengan BH-nya. Celana dalam tersebut tidak luput dari aksi Sinta, dengan cepat dan tangkas ia buka. Aksi Sinta kubantu dengan membuka celana dalam Henny sambil mengelus-elus pahanya yang putih. Sinta kemudian menciumi pantat tantenya. Kulihat lidahnya mulai terjulur mencari-cari vagina dan klitoris tantenya yang semakin merintih. Henny yang terlentang dengan kaki masih menapak pada lantai kamar dan tubuh berada di atas ranjang mendapat giliran untuk kurabai paha dan kakinya. Kuarahkan lidah dan bibirku mulai tumitnya. Kuciumi tumitnya dan sela-sela jari-jari kakinya kugelitiki dengan lidahku. Ia semakin menggeliat mendapat perlakuan demikian, apalagi di bagian atas, payudaranya semakin kuat diisap dan diremas oleh Anna. Ciumanku semakin naik ke betisnya, lututnya dan pahanya. Lama berkutat pada pahanya dan kukuakkan lebar-lebar kedua belah pahanya hingga terlihatlah vaginanya yang merah jambu sangat merangsang. Sela-sela pahanya kujilati dengan lidahku dan beberapa saat kemudian barulah kuarahkan lidahku pada klitorisnya yang semakin membengkak. Rintihan Henny semakin kuat saat kujilati klitoris dan labianya. Apalagi saat kukuakkan kedua labianya lebar-lebar ke kiri dan kanan hingga terpentanglah liang vaginanya dan lidahku dengan cepat menerobos masuk ke dalamnya. “Guusss, kau apain memekku, sayang?” jeritnya.

Sinta telah menjilati vagina tantenya dari belakang. Anna mengerang dan mendesah diperlakukan demikian oleh keponakannya sendiri. “Ahhh, kau nakal Sin, kau jahati tantemu sendiri …..”

“Tante nggak suka, biar kuhentikan?” tanya Sinta sambil menghentikan aksinya.

“Nggak, nggak sayang … Tante cuma guyon, ayooo sayang terusin dong …” pintanya.

Sinta kembali menundukkan wajah dan menjilati anal dan vagina sambil meremas-remas pantat Tantenya.

Ujung hidungku menyentuh klitoris Henny saat kujilati vaginanya. Klitoris dan vagina Henny semakin kuat kujilati dan kuisap-isap, sehingga tak lama kemudian Henny menjerit nikmat karena orgasme. Ia mengangkat pinggulnya hingga seluruh permukaan vaginanya memenuhi mulut dan hidungku. Kedua payudaranya habis ditelan bergantian oleh Anna yang juga menyusul dirinya mencapai orgasme. “Ahh, akkkkuuuu ….. aaaakkhhhhh …. nikmattt … Sintaaaa …..” jeritnya sambil menggoyangkan pinggulnya kuat-kuat. Lidah Sinta kulihat ia julurkan dalam-dalam pada vagina Anna.

Baik Anna dan Henny tidak langsung tergolek lemas usai mendaki puncak kenikmatan, melihat Sinta masih berpakaian lengkap, keduanya bangun dan dengan sigap menyerang Sinta. Anna langsung menciumi bibirnya dan meremas-remas payudara Sinta dari luar bajunya sambil membukai gaunnya, sedangkan Henny meraba pinggul dan paha Sinta sambil membantu Anna membuka gaun Sinta. Dengan cepat keduanya berhasil menelanjangi Sinta dan merebahkan tubuh Sinta ke atas ranjang. Henny menciumi paha dan vagina Sinta sementara Anna menciumi bibir Sinta lalu mengangkangi wajah Sinta. Kini vaginanya tepat berada di atas mulut Sinta. Sinta yang baru saja menciumi vagina Tantenya tidak menolak kembali ia menjilati klitoris Anna dan mengisap labia vaginanya. Aku tak tahan melihat pemandangan tersebut apalagi sebelumnya sudah disuguhi aksi hebat dari permainan sebelumnya, segera membuka celana dan kaos, hingga menjadi orang keempat yang bertelanjang bulat di kamar itu. Karena sudah terangsang hebat melihat mereka, aku segera mencari posisi strategis. Kudekati Henny yang masih menciumi dan menjilati vagina dan klitoris Sinta. Kuraba dan kuremas payudaranya sambil menggeser tubuhnya agar beranjak ke samping. Kuciumi vagina Sinta yang sudah basah dan sambil memeluk pundak Henny dengan sebelah tangan, kuarahkan penisku pada vagina Sinta. Tangan Sinta ikut membantu mengarahkan penisku hingga tepat berada di permukaan vaginanya. Dengan suatu tekanan kumasukkan penisku dalam-dalam ke vagina Sinta hingga ia merintih, “Guuussss ….. aaaaakkkhhhhh …..”

Penisku kumaju-mundurkan ke dalam liang vaginanya yang sudah basah. Tanpa kesulitan kugerakkan penisku membuatnya semakin menggeliat. Henny meraba dan meremas-remas payudara Sinta sambil mencium bibir Anna yang juga merintih akibat dikerjai vaginanya oleh Sinta.

“Sinnnnn …. Tante mau dapet lagi nihhhhhh ….” rintih Anna.

“Sama Tante, gila nih si Agus, biasanya aku bisa bertahan lama, ini koq belum sepuluh menit sudah hampir sampai ….. aaakkkkhhhh …. oookkhhh … uuugggh..” desahan Sinta membalas rintihan Tantenya. Remasan jari-jari Henny kini disertai isapan bibirnya pada payudara Sinta, hingga tak lama kemudian kedua perempuan itu mencapai orgasme berbarengan.

Aku melihat geliat tubuh Sinta dan Anna semakin mempercepat gerakanku, terlebih saat penisku diguyur oleh cairan vagina Sinta saat ia mencapai orgasme. Kutarik penisku hingga sebatas lehernya lalu kutancapkan sedalam-dalamnya hingga pangkalnya, membuat Sinta terlonjak kaget tetapi merasa nikmat, “Akkkhhh Gusss …… gila kamu ….” Kuulangi gerakan itu secara beraturan, hingga geliat tubuh Sinta yang sempat mereda setelah mencapai orgasme, kembali meninggi akibat seranganku. Lagi-lagi ia menggoyangkan pinggulnya ke kanan kiri dan sesekali ke atas bawah. Kuingat salah satu gerakan pada Kamasutra, dengan menarik napas dalam-dalam kutarik penisku hingga lehernya lalu kubenamkan hingga pangkalnya. Mulut Sinta semakin kuat meracau, agaknya tak lama lagi ia bakal orgasme kembali, “Guuuus, gila kamu …. Mau kerjai aku lagi ya, padahal …. sssshhhh …. aakkhhhuuu .. sss.. sudah dapet tadi sayangggg…..” desahnya.

Kupegang kedua pinggulnya sambil menghentakkan tubuhku berulang-ulang hingga penisku menusuk dalam ke vaginanya, “Kita bareng ya sayang ???” bisikku sambil meneruskan perbuatanku. “Akkkhhh, Sinnn …. aku dapet sayang!” erangku sambil menghunjamkan penisku sedalam-dalamnya dan menikmati denyutan dinding vaginanya melumat penisku. “Yaaahhh, aku … aaakkkuu .. juga Gusssss…..” rintihnya sembari memelukku dan menancapkan kukunya pada punggungku. Kami berdua berpelukan sangat erat dengan tubuh bersimbah peluh.

Kami berdua lalu berbaring di ranjang tersebut sambil meredakan gejolak napas kami. Henny dan Anna sibuk berdua menjilati cairan kami kemudian mengikuti kami berbaring. Tengah malam Anna minta aku melayaninya dalam posisi berdiri. Henny dan Sinta tertidur lelap ketika kami berdua berpacu dalam nafsu. Karena tadi sudah ejakulasi, aku belum orgasme lagi ketika Anna mencapai orgasme untuk kedua kalinya. Ia kembali membaringkan tubuhnya di ranjang.

Henny yang terbangun sewaktu Anna membaringkan tubuh di sampingnya, melihatku masih berdiri di samping ranjang. Ia bangkit dan menuju kamar mandi. Kudengar suara air kencingnya. Ia kemudian keluar dari kamar mandi dan mengelus-elus pundakku sambil memintaku memberikannya kepuasan. Dengan kedua tangan bertumpu pada ranjang, Henny agak membungkuk menanti seranganku dari belakang. Aku menempatkan tubuh di belakang Henny. Kucari liang vaginanya dan kutusukkan penisku ke dalamnya. Kedua tanganku semula meremas-remas pantatnya, tetapi lama kelamaan kuarahkan ke depan meraih kedua payudaranya. Sesekali kedua pundaknya kupegang agar hentakan penisku dapat maksimal memasuki vaginanya.

“Gus, analku juga dong sayang …” pintanya berbisik.

Kucabut penisku dan kuambil cairan vaginanya ditambah air ludahku lalu kuoles pada penis, sehingga basah dan kini penisku menuju liang analnya. Kugoyangkan perlahan-lahan kepala penis memasuki liang analnya. Gesekanku disambut oleh pantatnya dengan gerakan mundur hingga penisku semakin dalam memasuki analnya. Kini kumaju-mundurkan tubuhku hingga penisku dengan bebas masuk keluar analnya. Jari-jari tangan kiriku kuarahkan melewati bagian depan tubuhnya dan mencari klitorisnya. Kutemukan tonjolan daging lembab yang kuraba-raba lembut dan sesekali kupilin dengan jari-jariku hingga menambah geliat pantat Henny. Sedangkan tangan kananku kuarahkan pada payudaranya, walaupun agak susah sebab sebelah tanganku bermain di sela-sela pahanya.

Tangan Henny kemudian menolakkan tangan kananku. Kulihat ia dengan sebelah tangan bertumpu pada ranjang menggunakan tangannya yang lain meremas-remas payudaranya sendiri. Agaknya ia ingin agar aku mengkonsentrasikan kedua tanganku pada vaginanya. Benar saja, setelah mendapat penolakan tadi, tangan kananku mengikuti tangan kiri menjelajah pada vaginanya. Klitorisnya dan labia vaginanya kuelus-elus. “Gusss, klitorisku jepit yang kenceng sayangg….. aaakhhh” pintanya sambil menggoyang-goyangkan pantatnya dengan gerakan erotis. Kuikuti permintaannya, kupercepat gesekan jari-jariku pada klitorisnya dan jari-jariku yang lain masuk keluar vaginanya.

“Gusss, aku mau orgasme niccchhh. Kamu kuat banget sih?” bisiknya di sela-sela rintihannya. “Masukin vaginaku lagi dong!!! Ssshhh … aaakkhhh …. ooouggghh..” pintanya sambil merintih.

Kucabut lagi penisku dari analnya dan dengan handuk kecil yang ada di dekat kami, sempat kubersihkan penisku dari noda-noda liang analnya. Aku tak ingin vaginanya infeksi karena kotoran dari analnya. Untungnya Anna selalu menyiapkan handuk kering dan basah di ranjang. “Buruan dong Gus, ntar sempat nggak keuber lagi nichhhh…” rajuknya manja demi melihatku masih membersihkan penisku.

“Ntar dulu, biar bersih sayang ….” kataku sambil kembali memasukkan penis ke dalam vaginanya.

“Oooohhhhh … yaaaa .…. gitu sayanggggg …. aaakkkhhh ….” jeritnya.

Kutekan penisku semakin dalam masuk dan keluar vaginanya sambil meremas-remas pinggulnya. Kucari liang analnya yang melebar akibat tusukan penisku tadi. Kuelus-elus dan kumasukkan ibu jariku ke dalam analnya. Aksiku membuatnya semakin terangsang. “Guusss…. aku mau dapet lagi nichhh…. aaaakkhhhh”

“Sabar sayang, aku juga mau dapet lagi. Biar enak, kita sama-sama ya?” kataku sambil menghentakkan penisku sekuat-kuatnya ke dalam vaginanya. Henny menjerit saat kutekan penisku ke dalam vaginanya. Ia berdiam diri menahan penisku dalam vaginanya, tapi kurasakan otot-otot di dalamnya bekerja dengan efektif meremas-remas penisku hingga lontaran spermaku begitu kencang memompakan cairan kenikmatan ke dalam liang vaginanya. Ibu jariku yang ada di dalam analnya turut mendapatkan remasan nikmat akibat bekerjanya otot analnya melakukan gerakan menjepit. Kurebahkan tubuhku di atas punggungnya sambil memeluk erat-erat tubuhnya dan meremas payudaranya. Henny menelungkup di atas ranjang dengan kaki masih menapak lantai dan menikmati penisku yang masih menancap dalam vaginanya.

Kami berdua berbaring bersisian sambil berpelukan. Di sebelah kami Anna dan Sinta tertidur nyenyak. Kuambil selimut menyelimuti kami berempat. Kami pun terlelap sampai pagi.

Pagi harinya kami bangun pukul 8 dan sarapan di restoran hotel. Kami menikmati roti dan sup asparagus sambil bercakap-cakap. Aku yang masih merasa lapar mengambil nasi goreng dengan telur dadar dan mata sapi. Anna yang melihatku tambah menggoda, “Nambah nich ye? Abis kerja bakti ya semalam?” Henny dan Sinta tertawa mendengar candanya.

Kami meminta mobil hotel mengantar kami melihat-lihat ke pasar dan kerajinan tradisional Bali. Tak terasa waktu sudah sore. Kembali kami bermain di pantai dan beberapa kedai kopi hingga matahari terbenam.

Malam harinya kami mencari makanan khas Bali di warung tenda milik penduduk setempat. Puas menangsal perut, kami kembali ke hotel. Pelayan hotel menawarkan kami untuk berdansa, tetapi Anna menggelengkan kepala. Tarian tradisional yang disuguhkan untuk tamu yang berkunjung lebih menarik minat Anna dan keponakannya walaupun Henny tak begitu tertarik, sehingga kami berempat memasuki ruang tari tradisional yang menampilkan penari-penari cantik Bali.

Kira-kira satu setengah jam menikmati suguhan tersebut, kami kembali keluar ke lobby hotel. “Gus, tanyain dong, ada nggak bioskop untuk orang dewasa di sini?” bisik Anna. “Tanyain petugas hotelnya dong?” Aku melangkah tapi Anna menarik bajuku dan berbisik, “Gus, kalau si petugas itu mau, sekalian ajak nonton ya?”

Aku tersenyum, mencoba menebak apa yang ada dalam pikiran Anna. “Hmm, mungkin melihat manisnya resepsionis itu, ia mau coba-coba memberikan pengalaman baru padanya,” pikirku. Kudekati resepsionis manis yang langsung menyapaku, “Ada yang bisa saya bantu, Pak?”

“Begini nona cantik, istri saya ingin nonton film, tapi tidak mau jauh-jauh. Apakah ada film dewasa yang cukup bagus untuk kami tonton di sini?” kuajukan permintaan sambil melirik papan nama yang tertera di dada sebelah kanannya. “Ayu,” nama yang indah seindah pemiliknya, batinku sambil menatap wajahnya yang menampilkan keaslian gadis Bali dengan rambut dikepang dua.

“Oh, ada Pak. Tapi biasanya ada biaya khusus untuk itu dan ruangannya agak terbatas. Bapak tidak keberatan untuk membayar lebih?” katanya agak berbisik.

“No problem, Non. Saya ingin istri saya dan kedua teman kami puas selama kami di sini.”

“Baik Pak. Silakan ikut saya,” katanya sambil memberi tanda agar temannya menggantikan dirinya karena mengantarkan kami ke ruangan yang ia katakan.

Kulambaikan tanganku ke arah Anna, Sinta dan Henny agar mengikutiku dan sang nona resepsionis tadi. Aku melangkah cepat menjejeri si nona, “Ayu yang manis. Apakah hanya kami yang nonton atau ada orang lain juga?” bisikku.

“Yah, itu tergantung permintaan Bapak. Kalau Bapak mau, bisa saja mengajak orang lain, tetapi jika tidak, cukup berempat, sebab ruangannya hanya disediakan enam kursi.”

“Apakah tugas Ayu bisa digantikan temanmu supaya bisa nonton bersama kami berempat?” tanyaku agak hati-hati.

“Wah, gimana ya Pak?” katanya sambil memperlambat jalannya. “Tapi nggak apa-apa deh, demi kepuasan tamu, saya akan minta teman saya untuk gantikan tugas saya. Asal tidak lama-lama ya Pak?”

“Nggak usah lama-lama, kan cukup satu film saja,” kataku.

“Oh ya,” Ayu bertanya padaku, “Pak, kategori apa yang mau ditonton?”

“Maksudnya kategori gimana?” tanyaku berlagak bodoh.

“Ah, Bapak nggak usah pura-pura deh. Maunya film yang satu X, dua X atau triple X? Gitu lho, Pak” katanya agak manja sambil menggerakkan lidah membasahi bibirnya.

“Yang triple aja deh non Ayu, biar ntar malam syur waktu kami di kamar,” kataku sambil mencubit pantatnya.

“Ihhh, Bapak genit, ntar ketahuan Ibu lho,” katanya sambil menoleh ke belakang, tetapi ia merasa aman sebab kami sudah berbelok dan tidak tampak oleh Anna, Henny dan Sinta.

Kami pun berjalan dan setelah memasuki beberapa lorong berliku-liku, kami sampai di suatu ruangan kecil ber-AC, hanya ada enam kursi di dalamnya, di bagian depan terdapat TV layar lebar. Keenam kursi itu sangat empuk, masing-masing memiliki lengan kursi, mirip kursi bioskop, tetapi lebih mewah. Setelah kami berempat mengambil tempat di kursi yang tersedia, Ayu mencari-cari film di rak di sebelah TV tersebut lalu memencet tombol play pada remote control yang ia pegang. Aku duduk di samping Anna, sedangkan Henny bersebelahan dengan Sinta. Keenam kursi tersebut terletak berjejer. Kini tinggal dua kursi kosong, di sebelah Sinta dan satu lagi di sebelah kiriku. Ayu beringsut ingin duduk di samping Sinta, tetapi tangannya ditarik oleh Anna, “Non, duduk di sini aja,” sambil menolak tubuhku menduduki kursi kosong di sebelah kiriku, sedangkan Ayu kini diapit olehku dan Anna di sebelah kanannya. Kulihat Ayu mengambil handphone-nya.

“Lho, mau sms siapa, Non?” tanya Anna.

“Anu Bu, tadinya kan saya hanya mengantar Bapak Ibu kemari. Teman saya tidak tahu kalau saya jadi ikut menemani di sini. Saya kabari dulu agar ia tidak mencari saya dan dapat menggantikan sementara tugas saya.”

“Ooohh gitu tokh, silakan saja,” kata Anna.

Tak berapa lama kudengar suara khas dan kulirik Ayu mengambil handphonenya, dan menggumam, “Ok, teman saya sudah membalas sms saya, tidak masalah, katanya.”

Film yang kami tonton mengisahkan tentang seorang raja yang mempunyai permaisuri cantik. Agaknya berbau India, tetapi pemainnya ada yang bule, ada juga orang India dan Asia lainnya. Romantisme sang raja dan ratu digambarkan lewat adegan seks yang lembut. Mula-mula kupikir Ayu memperdaya kami dengan film X satu, tetapi rupanya hanya adegan awalnya yang kelihatan agak tertutup. Ketika sang raja dibagian berikut digambarkan bermain dengan tiga orang selirnya tampak bagaimana penisnya dikulum ketiga selir tersebut. Kulihat di kegelapan ruangan Sinta dan Henny sudah semakin mendekatkan kursi mereka dan tangan keduanya saling menggenggam. Anna sesekali melirik Ayu yang duduk semakin gelisah di antara aku dan Anna. Sewaktu sang raja menyetubuhi salah seorang selirnya sementara kedua selir yang lain merabai dan menciumi payudara selir yang disetubuhi itu, kulihat tatapan mata Ayu semakin sayu dan tangannya yang tadinya memegang remote kini mengarahkan remote tersebut ke pangkal pahanya dan terkadang menjepit remote tersebut.

Anna yang melihat gelagat Ayu, memegang tangan kanan Ayu dan mengelus-elus jari-jarinya dengan lembut. Ayu agak tersentak diperlakukan demikian, “Bu, ahhh, jangan …” bisiknya perlahan mencoba menarik tangannya. Anna menahan tangan Ayu dengan kedua tangannya, “Nggak apa-apa manis, apakah kamu kujahati?” Ayu tidak berani membantah dan membiarkan tangannya dielus-elus Anna. Perlahan-lahan Anna mengangkat jari-jari Ayu ke dekat wajahnya dan menciumi jari-jari tersebut. “Ssshhhh … aaaahhh …” kudengar nafas Ayu. Di sebelah sana Henny dan Sinta sesekali berpagutan, keduanya tidak lagi sepenuhnya melihat ke layar film. Aku masih mengarahkan mata melihat ke layar film, tetapi sesekali melirik ulah Anna dan kedua perempuan di sebelah sana. Kulihat kini Anna mulai memasukkan jari telunjuk kanan Ayu ke dalam mulutnya dan melakukan gerakan mengisap. “Ohhhh ….” desahan Ayu kembali terdengar lirih.

Di layar kulihat bagaimana sang raja menyetubuhi ketiga selirnya secara bergantian. Sang ratu mengintip dari celah-celah pintu melihat bagaimana suaminya memuaskan ketiga selir itu. Terlihat wajahnya memendam nafsu dan rasa penasaran. Rintihan dan jeritan ketiganya semakin kuat di dalam ruangan kecil tersebut, hingga menambah rangsangan pada kami berlima yang ada di situ.

Bergantian jari-jari tangan kanan Ayu dimasukkan oleh Anna ke dalam rongga mulutnya. Tangan kiri Anna bergerak meraba-raba paha Ayu. Tanganku ikut merambah mendekati paha kiri Ayu, “Paaakkk, jangannn ….” desisnya sambil merapatkan kedua pahanya. Remote yang tadi ada di celah-celah pahanya kini sudah terjatuh ke lantai. Anna yang melihat penolakan Ayu bangkit dan mendekatkan wajahnya kepada Ayu. Dengan agak membungkuk, Anna mencium bibir Ayu yang sempat melakukan gerakan penolakan. “Mmmpppfff …. oooohhh …. Buu …. ssshhh.” Penolakannya tak menghasilkan sesuatu yang berarti, sebab kedua tangan Anna sudah memegang kedua pipinya hingga tak bergeming menerima lumatan bibir Anna. Lidah Anna terjulur masuk ke dalam rongga mulut Ayu dan beberapa pagutan liar Anna membuat Ayu semakin terlena. “Jaaanngaaan Bu, Ahhhh ….. ooohhh … ja…… …. ssshhhh …. uuukkkhh …” kini rintihan penolakannya sudah berganti dengan sambutan dan kuluman membalas ciuman Anna. Apalagi sewaktu jari-jari Anna bermain pada payudaranya, hingga Ayu mengerang lebih kuat lagi. Jari-jariku yang sempat kutarik dari atas paha Ayu, kembali mengelus-elus pahanya dan kuarahkan ke bawah mencari jalan masuk dari balik roknya ke pangkal pahanya. “Sssshhhh …. Pakkk …. aaakkhhh… Buuu” desisannya semakin tak beraturan.

Adegan berikut di layar sempat kulihat mengisahkan bagaimana sang ratu disetubuhi sang raja dengan doggy style dengan disaksikan oleh dua orang selirnya. Kedua selir itu mula-mula hanya menonton, tetapi kemudian saling berpelukan dan main 69, hingga menambah rangsangan bagi sang raja dan ratu. Setelah itu sang raja meminta mereka berdua meremas-remas payudara ratu dan menciumi bibirnya sambil menelentangkan sang ratu dan kembali menyetubuhinya. Kedua selir tersebut masih mengikuti perintah sang raja, tetapi ketika melihat permainan raja dan ratu, keduanya semakin liar. Yang satu mengangkangkan paha dan menaruh vaginanya tepat di atas wajah ratu sehingga sang ratu mencium dan menjilati vaginanya. Yang lain mengambil posisi nungging membelakangi sang raja dan memintanya menjilati vaginanya dari belakang. Lalu kedua selir itu saling berciuman dan meremas-remas payudara satu sama lain, sambil sesekali yang vaginanya ada di atas wajah ratu meremas-remas payudara dan puting ratu.

Adegan di layar itu menambah giat jari-jariku mencari celah-celah masuk ke dalam vagina Ayu. Kusingkapkan roknya hingga terlihatlah pahanya yang mulus di keremangan ruangan itu. Anna membantuku, mencari-cari risleting rok Ayu sambil terus menciumi bibir Ayu. Beberapa kancing baju Ayu sudah mulai terbuka dan sambil terus memagut bibir dan lehernya, Anna perlahan-lahan membuka baju Ayu. Aku mencoba menurunkan roknya setelah risleting rok tersebut dibuka Anna. Anna menarik lengan Ayu agar berdiri sejenak, lalu roknya kuturunkan tanpa kesulitan berarti. Kini Ayu hanya mengenakan BH dan celana dalam. Di sebelah sana kulihat Henny dan Sinta masih terus berciuman, tetapi baju keduanya sudah terbuka di bagian atas. Ayu sempat kulihat melirik ke arah Henny dan Sinta, tetapi kemudian menutup kelopak matanya sambil menikmati perlakuan Anna dan aku terhadap dirinya. Kuelus-elus celah-celah paha Ayu dan kurasakan rambut-rambut halus vaginanya. Kucari klitorisnya dengan jari telunjukku. “Ahhhh …. Pakkkkk … Shhhhh …. ooooohhhhhh …..” desisnya merasakan klitorisnya kuraba. Vaginanya mulai basah oleh rangsangan hebat yang kami hadiahkan padanya.

Adegan di layar kini memperlihatkan bagaimana sang ratu dihantam oleh sang raja dengan berbagai pose. Doggy style, monyet menggendong anak, teratai, scissors style, dan beberapa pose lain. Sang ratu menjerit-jerit karena nikmat dan kelelahan. Apalagi kedua selir tadi turut membantu raja mengerjai sang ratu. Setelah itu barulah sang raja menggilir kedua selir tadi.

Ayu semakin tak menentu duduknya merasakan kenikmatan mulai menguasai dirinya, terlebih lagi sewaktu aku membungkuk dan membuka kedua belah pahanya dan menciumi vagina dan klitorisnya. Rintihannya semakin tinggi akibat ulahku ditambah aksi Anna pada payudaranya. Aku memusatkan perhatian pada vagina dan klitoris Ayu. Rambut vaginanya tidak terlalu banyak, tetapi tampak rapi dicukur, dan baunya harum. Melihat bentuknya sekilas kuduga ia masih perawan, tetapi aku tak berani berspekulasi, “Kita buktikan nanti,” pikirku. Klitorisnya kuelus-elus dan kuciumi lembut. Sesekali kuisap, kusedot dengan berbagai gaya yang memabukkan dirinya. Geliatnya semakin menghebat. Kulirik sejenak, ada dua pasang kaki kini berdiri di samping kami. Rupanya Henny dan Sinta sudah mendekati kami bertiga. Dalam keadaan baju yang juga tak sepenuhnya lagi rapi, keduanya turut merangsang Ayu. Kedua payudara Ayu diserang oleh mulut, bibir dan lidah Henny dan Sinta, sedangkan bibir Ayu tetap berada di bawah kekuasaan Anna.

Lidahku terus bermain pada klitoris Ayu, kemudian kedua tanganku menguakkan labia vaginanya lebar-lebar hingga aroma khas menerpa hidungku. Kumasukkan lidahku sedalam-dalamnya, “Ooooohhhhhhh …….” jerit Ayu membahana di ruangan tersebut. Rintihannya semakin kuat ketika kumainkan lidahku dengan berbagai jurus maut, menusuk, mengisap, menyedot, membelai, mengait-ngait, dan menggetar-getarkan. Cairan vaginanya semakin banyak membasahi mulut dan lidahku. Beberapa kali pinggulnya bergerak maju mundur seolah-olah meminta lidahku masuk lebih dalam. Aku tak mau memasukkan jari-jariku ke dalam liang vaginanya, khawatir ia masih perawan, sayang rasanya jika keperawanannya hilang oleh jari-jariku dan bukan penisku.

Sinta berjongkok di dekatku dan membukai celana panjang sekaligus celana dalamku. Kemudian ia menarik tanganku agar berdiri sementara ia berjongkok di depan pahaku. Dielus-elusnya rambut kemaluanku, juga testisku. Kemudian lidahnya mulai menjilati sela-sela pahaku, testisku hingga ke arah anusku, lalu mengarah ke pangkal penisku. Tangannya menuntut penisku ke arah bibirnya. Ia ulas-ulas kepala penisku dengan lidahnya. Payudara Ayu terus diremas oleh Henny dan kini Anna turut meremas-remas sambil membuka BH-nya. Ciuman Henny dan Anna bergantian membuat bibir Ayu tak sempat beristirahat. Di sela-sela pagutan Henny dan Anna, kulihat Ayu sempat menatap penisku dikulum dan dijilati oleh Sinta. Jari-jari Anna di sela-sela paha Ayu turut menambah birahinya. Ia tidak hanya melihat film yang ada di hadapan kami, tetapi juga melihat live show yang dipertontonkan oleh Sinta dan aku, sambil menikmati remasan, kuluman dan ciuman Henny dan Anna. Desahan Ayu semakin kuat, tak menentu.

Kulihat Anna menarik kedua belah paha Ayu dan meletakkannya ke lengan kursi dan menggantung ke bawah. Kini Ayu dalam posisi duduk tetapi mengangkang dengan kedua kaki berjuntai ke bawah. Anna masih terus meremas-remas payudara Ayu sambil terus menciumi bibirnya, sedangkan Henny mengelus-elus paha Ayu. Kulihat tangan dan jari Anna disela-sela kesibukannya memberi kode padaku agar mendekati mereka. Kulepaskan penisku dari kuluman Sinta dan kudekati kursi tempat Ayu duduk. Aku menempatkan tubuhku persis di depan Ayu. Kedua kaki Ayu kemudian ditarik oleh Sinta dan Henny hingga mengangkang, tetapi posisi vaginanya yang merangsang semakin dekat pada penisku. Kuelus-elus vaginanya hingga ia kembali merintih, “Oooohhh ….. Pakkkk …..”

“Tenang sayang, kami akan memberikanmu pelajaran indah yang takkan kau lupakan seumur hidupmu …” kataku sambil mendekatkan penisku pada vaginanya.

Kepala penisku kugesek-gesekkan pada permukaan vaginanya hingga kurasakan cairan vaginanya mulai membasahi penisku. Kucoba mencari klitorisnya dengan menekan-nekan kepala penisku agak ke atas belahan vaginanya. Kelopak mata Ayu agak membuka mengintip perbuatanku terhadap vagina dan klitorisnya sambil terus merintih. Kuelus-elus klitorisnya dengan memakai kepala penisku, hingga kulihat geliat pinggulnya semakin tak beraturan. Anna masih terus meremas-remas payudara dan menciumi bibirnya, sedangkan Henny dan Sinta sambil memegangi kedua belah paha Ayu, melakukan belaian dan usapan yang semakin menambah kuat desahan dan rintihannya. Setelah puas mengerjai klitorisnya, kuarahkan penisku ke celah-celah vaginanya. Kuoles-oleskan kepala penis hingga sebatas lehernya membelai labia kiri dan kanannya bergantian, lalu kumasukkan pelan-pelan ke dalam liang vaginanya. “Oooouuuggghhhh …. aaaaahhhh … Pak,” desisnya sambil meliuk-liukkan tubuhnya, apalagi puting payudaranya kini diisap lagi oleh Anna. “Sssshhhh ….. aaaaahhhhh … Buuuuu …… aaauuuhhhkkkk …”

Penis kumasukkan semakin dalam, tetapi agak mengalami sedikit kesulitan. Aku berpikir, tentu selaput daranya belum koyak, artinya Ayu masih perawan. “Wah, benar-benar beruntung, bisa mendapat keperawanan seorang gadis Bali dibantu oleh teman-temanku,” pikirku.

“Paaakkkk, sakkkkittt …. ooookkhhhh … pelan-pelan Paaakkkk …. ssshhhh ….” rintihnya. Kulihat sedikit air mata menetes turun dari kedua kelopak matanya yang agak tertutup. Anna terus mencium bibir Ayu. Kuperhatikan wajah Ayu, ada setetes air mata turun dari kelopak matanya yang agak menutup. Kudekati wajahnya dan kucium kedua kelopak mata tersebut bergantian. Setelah itu, kucium lembut bibirnya. Apakah karena aku lelaki, sedangkan tadi yang menciumi dia perempuan, aku tak mengerti, tetapi kurasakan ciuman Ayu ini begitu mesra menyambut ciumanku. Bahkan lidahnya memasuki rongga mulutku dan mengait-ngait lembut lidahku dan menggelitik langit-langit mulutku. Sesekali kuisap lidahnya, sehingga ia memeluk rapat-rapat punggungku. Payudaranya masih diremas-remas oleh jari-jari Anna yang kini terjepit di antara dadaku dan payudara Ayu.

“Masih sakit, Non?” bisikku sambil memaju-mundurkan penisku ke dalam vaginanya.

“Nggak Pak, lagi Pak … aaaahhhh, yaaahhhh gitu Pak ….. Udah enak Pak … sshhhh …. ooohhhhh ….,” rintihnya sambil memeluk erat-erat leherku. Kurasakan denyutan vaginanya semakin kencang menyedot penisku. Tentu tak lama lagi ia bakal mencapai puncak kenikmatan.

“Aaaaaahhhhh ….. oooooouugggghhhh ….. sssssshhhhh ……. ” jeritan Ayu terdengar kuat menyaingi suara rintihan film yang masih terus berjalan. Sempat kulirik tayangan film memperlihatkan bagaimana sang raja kembali merangsek sang ratu, dibantu oleh dua selirnya mementangkan lebar-lebar paha isterinya dan menghunjamkan penisnya dalam-dalam. Kedua kaki sang ratu terbuka begitu lebar sedemikian rupa dan kedua selir tadi membengkokkan lututnya sambil berlutut di dekat sang ratu. Secara bergantian keduanya menaruh vaginanya di atas wajah sang ratu sambil meremas-remas payudaranya. Kemudian sang raja berdiri sambil menarik kedua kaki sang ratu, dengan penisnya tetap menancap pada vagina ratu. Kini tubuh sang ratu agak melengkung dengan kepala terletak di lantai berkarpet, di mana ia dapat melihat bagaimana penis suaminya masuk keluar vaginanya yang ada di atasnya. Kedua belah pahanya dikuakkan lebar oleh suaminya yang kini tidak hanya menghunjamkan penis ke vaginanya, tetapi berganti-ganti memasuki anal dan vaginanya, membuat sang ratu memekik-mekik kenikmatan. Setelah itu sang raja menusuk anal sang ratu dengan posisi menungging lalu membalikkan tubuh sang ratu hingga rebah terlentang di atasnya lalu bergantian kedua selirnya memasukkan dildo ke dalam vagina sang ratu yang menjerit-jerit hingga mengalami orgasme berkepanjangan. Saking hebatnya orgasme sang ratu, air seninya turut muncrat bersamaan dengan cairan vaginanya. Ayu sempat melirik ke layar melihat adegan itu.

Penisku semakin cepat menggempur vagina Ayu yang makin basah. Kesulitan yang kualami tadi tak lagi terjadi, setelah selaput daranya berhasil kutembus. Dengan suatu hentakan dahsyat kutekan penisku sedalam-dalamnya menerobos liang vaginanya, membuat Ayu menjerit, “Aaaaaaaahhhhhhh……” Dipeluknya aku erat-erat sambil mencium bibirku tanpa dapat kulepaskan. Denyutan dinding vaginanya berlangsung beberapa saat, seperti mpot ayam meremas-remas penisku hingga aku mengerang mengikutinya mendaki puncak kenikmatan, “Ooohhh, Ayuuuuuu …. nikmat …. ssshhh …. sayanggggg….” Kami berdua masih berpelukan lalu kulepaskan penisku dari vaginanya sambil menoleh melihat pada Anna, Henny dan Sinta yang berdiri di dekat kami berdua. Anna mengambil sapu tangan dan membersihkan bercak-bercak yang ada di paha Ayu. Sempat kulihat sekilas ada noda merah. Ketiganya tersenyum melihatku sedangkan Ayu tersipu-sipu sambil mengambil pakaiannya dan mengenakannya kembali. Anna, Henny dan Sinta memperbaiki pakaian mereka dan duduk kembali menatap film yang diputar. Tampaknya film itu hampir usai, sebab sang raja sedang duduk melihat sang ratu meredakan napas sambil pahanya dibersihkan oleh para selirnya. Anna berbisik pada Ayu, “Bagaimana Ayu, enak kan?”

“Ya Bu. Tapi koq Ibu tidak marah, suami Ibu main dengan saya di depan Ibu?”

“Nggak apa-apa sayang, aku malah senang melihatmu bisa memuaskan suamiku,” bisik Anna sambil membelai-belai wajah Ayu dan meraba bibir Ayu serta mencium bibir Ayu lagi. “Aku minta no. HP-mu ya, karena mau menghubungi kamu besok untuk memberikan hadiah atas pelayanan yang kau berikan.” Ayu menyebutkan no. HP-nya dan disimpan oleh Anna pada HP-nya.

“Besok kamu bisa minta ijin tidak bekerja, sayang?” tanya Anna lagi pada Ayu.

“Saya off besok, Bu.”

“Ok, kalau begitu, kamu bisa temani kami belanja besok siang ya?” pinta Anna sambil mencium kedua pipi Ayu. Ayu mematikan film yang kami tonton di sela-sela permainan panas kami yang berakhir pada terenggutnya keperawanan Ayu olehku dan menuju lobby hotel. Sambil melambaikan tangan pada Ayu yang menuju lobby untuk melanjutkan tugasnya, kami berempat masuk ke dalam lift menuju kamar. Hanya kami berempat di dalam lift itu menuju lantai di mana kamar kami berada.

“Gila lu Gus, bisa dapet keperawanan gadis Bali,” tukas Henny.

“Tauk nih cowok, beruntung banget ngikut kita liburan. Dapet tiga veggy gratis ditambah bonus satu selaput dara,” ujar Anna menimpali.

“Walaupun gitu, ntar malam kamu harus bisa memuaskan aku, ya Gus,” celetuk Sinta sambil memeluk pinggangku dan mencium bibirku. Kami keluar lift dan berjalan di koridor. Sinta dan Henny berbelok menuju kamar mereka sedangkan Anna memeluk pinggangku sambil menuju kamar kami. Sesampainya di kamar, telepon berdering, Anna mengangkat telepon tersebut, dan kudengar menjawab, “Gimana honey, kamu baik-baik aja?” Kupikir tentulah Dicky yang menelepon. “Ya, kami tadi nonton tarian tradisional di hotel, ini baru masuk kamar. Kami puas. Banyak cerita dech, pokoknya kalau balik ke Jakarta, kami bawain oleh-oleh yang banyak,” sambungnya. “Oh ya, dia ada nich, mau bicara?” tanya Anna sambil memberikan gagang telepon kepadaku.

“Ada apa, Bung?” tanyaku sambil mendekatkan telinga ke telepon.

“Gimana Gus, bini gue udah ada tanda-tanda hamil belum?” tanya Dicky.

“Waduh mana kutahu Dick, aku kan bukan dokter kandungan? Tapi yang jelas, nafsunya makin hebat belakangan ini, sampai kewalahan aku dibuatnya,” jawabku.

“Emang tuh, aku juga heran. Sebelum berangkat ke luar negeri, ia minta kulayani tiap malam, sampai kering rasanya lututku, ha … ha … ha … Apalagi kamu ya, bukan cuma dia, tapi masih ada dua wanita lain jadi dayang-dayangmu?” katanya lagi.

“Ngeri Dick, rasanya habis tubuhku diperas mereka bertiga, apalagi Anna, seakan tak ada puasnya. Aku minta pensiun nich….” kataku. Mendengar kata-kataku, Anna mendekat sambil mencubit pinggangku kuat-kuat. “Addduuhhh …” jeritku.

“Ada apa, Gus?” tanya Dicky.

“Ini lho, istrimu yang luar biasa, tidak terima ucapanku. Sampe biru pingganggku dicubitnya,” kuadukan Anna pada suaminya. Anna mendekatkan telinganya ke gagang telepon dan berbisik, “Say, udah malam nich, jangan lupa istirahat yang cukup ya biar fresh kalo pulang ke Jakarta, kita main rame-rame sayang …”

“Ya, ya, ya … Aku siap menerima tantanganmu sayang, tapi bilang pada Agus, jangan lupa menjemputku di bandara ya? Ok, salam buat Sinta dan Henny yang sexy ya! Mmmmuahhh,” kata Dicky menutup percakapan. “Selamat malam, sayang,” timpal Anna.

Baru saja gagang telepon diletakkan, sudah berbunyi lagi, “Koq lama banget bicara apa siapa sih, teleponnya sibuk terus?” tanya Sinta dari seberang sana. Kujawab, “Barusan Om kamu telepon nanyain kamu.”

“Idihhh bisa aja, paling kangen ama Tante dan Tante Henny,” kudengar suara Sinta bernada kesal. “Kami mau ke kamar kalian. Gimana, masih terima tamu, nggak? Kalau nggak, biar kami keluar aja jalan-jalan sampai pagi?”

“Gila, kalian mau ditawar ama turis-turis asing?” tanyaku, “Ya udah, datang aja kemari, pake nanya segala.”

“Ya deh,” jawab Sinta sambil menutup pembicaraan.

Tak berapa lama pintu kamar diketuk, kubuka pintu dan kulihat Henny dan Sinta berdiri di depan pintu dengan pakaian tidur yang agak tipis. Kutarik tangan keduanya, “Kalian apa-apaan sih, koq pakai baju gitu, ntar dilihat orang, bakal curiga tuh?”

“Biarin aja, sekali-sekali bikin heboh,” kata Henny sambil melangkah masuk dan menaruh pantatnya di sofa.

Anna yang berbaring dengan pakaian tipis hanya tersenyum simpul melihat keduanya.

Sinta yang masih berdiri di dekatku memeluk pinggangku dari belakang sambil menutup pintu kamar. Aku berjalan ke arah ranjang dan mengambil remote TV. Kucari siaran tengah malam. Seperti biasa, hotel itu menyediakan tayangan khusus dewasa baik film dari channel tertentu maupun video yang disalurkan spesial bagi tamu di kamar yang meminta. Video yang diputar masuk kategori X satu, hingga kucoba mencari film di saluran tertentu. Saluran dari beberapa stasiun TV di Eropa dan Vietnam menayangkan blue film. Kupilih yang ada ceritanya agar tidak membosankan jika hanya melihat orang yang begitu ketemu langsung saling cium dan bersetubuh.

Henny mengambil bantal dan meletakkan tubuhnya menelungkup di samping Anna, sedangkan aku di sisi lain tubuh Anna berbaring menelungkup dengan Sinta menindih punggungku dalam posisi sama-sama menelungkup. Kami berempat nonton film yang memperlihatkan seorang perempuan yang bertemu dengan mantan suaminya ketika berjalan-jalan di suatu taman rekreasi. Suaminya mengajak pria yang menjadi mantan suaminya ke villa tempat mereka menginap. Mereka makan malam bersama dan main kartu. Sesekali suaminya mencium si istri di depan mantan suaminya. Melihat mereka berciuman dan kadang si suami meremas-remas payudara istrinya, si mantan suami hanya dapat menelan ludah. Apalagi saat mantan istrinya itu mengajak suaminya ke kamar dan membiarkan dia sendirian di ruang tamu. Keduanya masuk kamar saling berpagutan bibir dan berpelukan lalu berbaring di ranjang dalam keadaan telanjang tanpa peduli si mantan suami perempuan itu mengintip dari balik daun pintu yang sengaja agak terbuka. Keduanya bercinta dengan ganasnya. Saking tidak tahannya, sang mantan suami yang melihat kemolekan mantan istrinya, beranjak memasuki kamar dan melihat mereka bercinta dengan berbagai gaya. Pada klimaksnya, si suami mencabut penis dari vagina istrinya dan meminta si istri melumat penisnya hingga ejakulasi di mulutnya. Setelah itu sang suami meminta mantan suami istrinya melayani istrinya. Tanpa dikomando dua kali, ia segera membuka seluruh pakaiannya dan naik ke ranjang bercinta dengan mantan istrinya itu, sementara pria yang satu lagi memberi penisnya dilumat mulut istrinya. Jadilah kedua “mulut” si perempuan dimuati oleh penis suami dan mantan suaminya. Orgasme demi orgasme dilampaui ketiga orang itu.

Sinta sudah mulai bereaksi saat melihat film itu. Jari-jarinya tak berhenti mengelus-elus seluruh tubuhku. Ia berupaya meraba penisku yang tertekan di bawah tubuhku. Aku berbalik terlentang hingga ia bebas melakukan aksi terhadapku. Henny dan Anna hanya melihat kami berdua sambil terus menonton film di TV.

Sinta tak sabaran lagi membuka celana pendekku dan melumat penisku sambil merebahkan wajahnya pada perutku. Kuelus-elus rambutnya sambil perlahan-lahan meraba payudaranya. Ia mengerang saat kutemukan dan kupelintir putingnya bergantian kiri dan kanan. Dijilatinya kepala penisku, batangnya hingga ke pangkalnya, dan kedua testisku bergantian ia masukkan ke mulutnya dan dikulum beberapa saat sambil meraba-raba pahaku dan mengelus-elus lubang analku. Kemudian ia masukkan penisku ke dalam mulutnya hingga pangkalnya. Tidak puas dengan rebah sambil melakukan hal itu, ia beringsut dan setengah membungkuk mulai memasuk-keluarkan penisku dalam mulutnya hingga kurasa penisku semakin membengkak dan rasa hangat mulai menjalari ubun-ubunku. Agaknya tak lama lagi Sinta akan melanjutkan ulahnya. Dugaanku tak salah, sebab dengan gerakan cepat, Sinta membuka gaun tidurnya bahkan celana dalam dan BH-nya, lalu dengan menghadap ke arahku, ia berjongkok di atas perutku, memegangi penisku dan memasukkannya ke vaginanya. Terasa olehku penisku mulai memasuki relung vaginanya yang basah. Beberapa tetes cairannya bahkan kurasakan pada pahaku. Barangkali ia sudah sangat horny. Dengan bertumpu pada kedua tangannya yang ia letakkan di atas perutku, Sinta menaik-turunkan tubuhnya di atas perutku hingga penisku leluasa masuk-keluar vaginanya. Sedotan vaginanya pada penisku terasa amat kencang, pertanda ia sudah benar-benar dilanda birahi. Desahannya semakin kuat ketika kedua tangan kugunakan untuk meremas-remas payudara dan putingnya. “Lho, lho, live show-nya sudah mulai ya?” tukas Henny melihat kami berdua. Anna hanya tersenyum melihat keponakannya menguasai diriku, sambil jari-jemarinya ia gunakan mengelus-elus payudara Henny dari luar baju tidurnya. Henny membalas dengan elusan jari-jari pada lengan dan pinggul Anna.

Gerakan Sinta semakin cepat dan rintihannya berpadu dengan suara perempuan yang bermain melawan dua pria film di TV. Sesekali kuangkat pinggulku agar penisku masuk lebih dalam ke vaginanya. Hal itu membuat Sinta semakin tak kuasa lagi menahan diri, berulang kali ia gesek-gesekkan vaginanya menelan penisku. Bukan hanya naik turun, ia pun menggoyang-goyangkan pinggulnya ke kanan dan kiri, bahkan sesekali memutar hingga penisku benar-benar tidak bisa melakukan perlawanan berarti selain pasrah terhadap aksi vaginanya. Penisku terasa semakin basah dan pangkal pahaku semakin becek oleh cairan yang menetes dari vaginanya.

Henny dan Anna lalu mendekati Sinta, yang satu menciumi bibir Sinta, sedang yang lain menciumi payudaranya. Lalu Anna berpindah ke belakang tubuh Sinta. Kuperhatikan ia mengelus-elus pantat Sinta. Mungkin jari-jarinya ia gunakan untuk merambah ke dalam anal Sinta. “Ahhhh, Tanteeee ….. enak tuchhh … terusin dongggg …..” desah Sinta sambil terus menggeliat-geliat. Payudaranya terus dicium dan diisap oleh Henny, sehingga serangan pada tiga arah membuatnya tak mampu lagi bertahan. Rintihan Sinta semakin kuat ketika ia semakin tinggi mendaki. Lalu kedua tanganku menarik pinggulnya hingga tubuhnya rebah menimpa diriku. Kedua bongkah pantatnya kuremas kuat-kuat ke arahku hingga penisku terbenam dalam-dalam pada vaginanya. “Guuussss, aku dapet sayang!” jeritnya. Guyuran cairan vaginanya pada penisku begitu banyak, sehingga semakin basah rasanya pangkal paha dan perutku. Henny menyedot kuat-kuat puting payudara Sinta, entah Anna, apa yang ia lakukan terhadap anal Sinta aku tak tahu.

Anna menarik tubuh keponakannya turun dari atas tubuhku dan menempatkan diri menggantikan Sinta menunggangi aku. Aku yang belum mencapai orgasme merasa senang menyambut gerakan Anna. Begitu ia naik ke atas perutku dan mulai menaik-turunkan tubuhnya di atas perutku, langsung kutarik rebah tubuhnya menimpa dada dan perutku, lalu kubalikkan dengan posisi terbalik. Kini ia berada di bawah, dengan posisi klasik, missionary style. Kedua pahanya kujepit dengan kedua pahaku, dan kubelitkan kakiku pada betisnya hingga penisku tertancap dalam tanpa dapat ditahan. Kugerakkan pantatku naik-turun hingga penisku masuk keluar vaginanya sambil payudaranya kuisap kuat-kuat. “Ahhhh, Gus, pelan-pelan, bisa putus ntar putingku ….” rintihnya.

Sinta terbaring sambil meredakan napasnya menatap Tantenya kukerjai. Henny yang belum apa-apa membantu aksiku memuaskan temannya. Diciuminya bibir Anna sambil meremas-remas sebelah payudara Anna yang tidak kulumat. Henny kemudian beranjak ke bawah dan tubuhnya menimpa punggungku, sebab kurasa kedua payudaranya menekan punggungku sedang pahanya menjepit kedua pahaku yang sudah mengunci paha Anna. Kini aku dijepit oleh dua perempuan. “Gila lu Hen, bisa mati kegencet aku …. Sssshhh ….. aaaahhhh ….” kata Anna di sela-sela desahannya. Tapi kekhawatirannya tak beralasan, sebab Henny tidak benar-benar menjatuhkan tubuhnya membebani aku, ia masih menahan tubuhnya agar tidak memberatkan temannya. Sambil tangan kirinya menahan tubuhnya agar tidak terlalu berat menimpaku, tangan kanannya merabai payudara Anna. Namun tak lama kemudian ia kembali mendekati kepala Anna dan menaruh vaginanya tepat di atas wajah Anna sambil menarik tubuhku agar berciuman dengannya. Aku mencium bibir Henny sambil terus merangsak vagina Anna yang semakin licin oleh cairan pelumas. Payudara Henny kuremas-remas sementara Henny meremas-remas dan memelintir puting payudara Anna sambil terus menggeliat-geliatkan pinggulnya di atas wajah Anna. Desahan Henny bercampur dengan rintihan Anna. Tak lama kemudian kurasakan aliran darahku semakin deras, kupercepat gerakan penisku sambil mengerang, “Annn… aku hampir sampai sayang ….” Anna membelai-belai pinggulku dan mendesakkan pinggulnya semakin ketat ke arahku hingga penisku ditelan habis oleh vaginanya. “Ahhhh, aku juga Gus, tahan ya? Kita sama-sama ….. oooouggghhh … aaakkkhhh …. ssshhhhh …. uuukkkhhhhhh ….” rintihannya semakin kuat berubah menjadi jeritan. Semprotan spermaku di dalam vaginanya terasa begitu kuat, lebih-lebih saat dinding vaginanya meremas-remas penisku. Aku menjatuhkan tubuh menimpa Anna, sedangkan Henny sudah menarik tubuhnya dari atas wajah Anna. Beberapa saat kemudian aku membalikkan tubuh berbaring terlentang di sisi Anna dan Sinta. Henny meraba-raba penisku dan menciuminya, “Ihhh pada curang, aku belum kebagian nich …” katanya. Anna dan Sinta hanya tersenyum menatap ke arahnya.

“Sabar Yang, ntar dulu, aku masih capek nich …” kataku. Henny masih terus menciumi dan menjilati penisku yang basah akibat sperma dan cairan vagina Anna. Penisku tidak setegang tadi lagi, tetapi dengan lihaynya, Henny mengocok-ngocok penisku, sehingga ketegangannya tetap bertahan. Aku merasa agak ngilu, tetapi kasihan juga melihat Henny menderita.

“Ok, sayang. Kamu nungging ya?” pintaku sambil merabai tubuhnya. Henny menuruti permintaanku, lalu menungging di depanku. Kuarahkan penisku ke vaginanya yang basah. Kujilati sebentar membaui aromanya yang spesifik. Kumainkan telunjukku mengait-ngait klitorisnya. “Udah dech, buruan Gus, nggak usah pake foreplay lagi, aku nggak kuat lagi nih…” desahnya.

Aku tertawa dan memenuhi perkataannya dengan menempatkan penisku tepat di vaginanya. Kumajukan tubuhku mendesak pantatnya hingga penisku masuk ke dalam vaginanya dengan telak. “Guuuussss….. ooooohhh … nikmatttttnnyaaaa…” desahnya sambil memaju-mundurkan tubuhnya agar penisku dapat leluasa bergerak maju-mundur ke dalam vaginanya. Kupegang kedua pinggulnya dan melanjutkan gerakanku. Kedua payudara Henny bergantung bak buah pepaya. Melihat itu, Sinta menempatkan diri terlentang di bawah tubuh Henny hingga mulutnya bebas mencium dan mengisap payudara Henny. Lama melakukan itu, Sinta meneruskan aksinya dengan turun terus ke arah perut dan vagina Henny dan memberikan vaginanya untuk diciumi Henny. Henny bak anak kecil mendapat mainan, segera melumat vagina Sinta sambil menikmati penisku pada vaginanya dan jilatan Sinta pada klitorisnya. Terlebih ketika jari telunjukku kumasukkan pelan-pelan ke analnya, membuat Henny semakin mengerang. Mungkin akibat pengaruh menyaksikan persetubuhanku dengan Sinta dan Anna sebelumnya, membuat Henny tak mampu lama-lama bertahan, dengan suatu sentakan kubuat ia menggapai titik kenikmatan dengan rintihan panjang, “Aaaaauuukkhhhh ……” Setelah itu, kami berempat berbaring kelelahan. Aku merasa tenagaku terkuras habis melayani nafsu ketiga perempuan itu. Tak sadar lagi aku tertidur dengan kepala Anna pada pahaku dan ketiakku disusupi wajah Henny sedangkan Sinta memeluk tubuh Henny dari belakang. Aku tertidur lelap hingga bangun pukul 8 dan melihat Anna baru selesai mandi dan sambil berhanduk, mematut diri di depan meja cermin. “Mana Henny dan Sinta?” tanyaku sambil membuka mata.

“Mereka sudah hengkang pukul 4 tadi,” katanya sambil menarik selimutku, “Sana, mandi! Bau tau!” Tubuhku yang telanjang terbuka ketika selimutku disingkapkan oleh Anna. Aku melangkah menuju kamar mandi sambil melabuhkan ciuman kecil pada kuduknya. Aku pun mandi dan berkemas-kemas.

Kami sarapan di restoran hotel. Usai makan, Anna mengambil HP-nya, “Ayu … Ayu ya?” Lalu ia lanjutkan, “Kamu bisa temui kami di hotel sejam lagi biar temani kami belanja?” Setelah mendapatkan jawaban dari seberang, ia katakan, “Baiklah, kami tunggu ya! Trims.”

Kami duduk-duduk di taman hotel sambil menikmati suasana pagi yang cerah. Tak lama kemudian Ayu datang dengan celana panjang coklat tua dan t-shirt berwarna kuning gading. Rambutnya yang sebahu dibiarkan tergerai hingga menampakkan kecantikan alamiahnya. “Ke mana kita Bu?”

“Ah kamu … Dari semalam manggilnya Bu melulu sih, apa aku sudah begitu tua?” kata Anna, “Panggil Mbak keq …” sambung Anna sambil berdiri mengajak kami bertiga untuk berjalan.

“Ya deh, ke mana kita Mbak?” ulang Ayu sambil tersenyum melirik ke arahku.

Aku membalas senyumnya sambil mengikuti langkah mereka. “Kita cari oleh-oleh dan souvenir khas sini ya?” kata Anna seraya memegang tangan Ayu.

Kami berlima kemudian berbelanja. Cukup banyak juga makanan dan minuman khas Bali yang kami bawa. Selain itu, kami juga membeli beberapa ukiran patung buatan sana. Lalu Anna mengajak kami masuk ke suatu toko seluler. Setelah melihat-lihat, ia berkata pada Ayu, “Nah, semalam kan Mbak janjikan mau memberikan hadiah pada Ayu. Mbak liat HP kamu sudah kuno, perlu diganti tuh. Sekarang pilihlah mana yang kamu suka!”

Ayu tersipu-sipu, “Wah, ulang tahun saya masih lama, Mbak. Koq dikasih hadiah sekarang sih?”

“Sudahlah, nggak usah menolak. Ayo, kamu pilih deh!”

Ayu agak segan, tetapi karena didesak oleh Anna, juga dibantu oleh Henny, ia tak berani menolak lagi. Mula-mula ia memilih HP Nokia di bawah harga Rp 1 juta. Namun Anna tidak setuju dan meminta pelayan toko mengambil sebuah HP Nokia high-end seharga Rp 4 juta. Ayu terkejut melihat hal itu. “Ah, kemahalan tuh Mbak, saya cukup yang murah saja.”

“Sudahlah, tak baik menampik permintaan orang, apalagi kamu sudah saya anggap adik sendiri,” kata Anna sambil meminta pelayan toko mencoba HP tersebut. Setelah mendapat penjelasan seperlunya dan memasukkan no. HP lama Ayu ke dalam HP baru tersebut dan membelikan voucher pulsa buat Ayu, kami meninggalkan toko tersebut dan diajak Anna masuk ke toko busana. Di sana mereka membeli beberapa pakaian, termasuk untuk Ayu yang semakin jengah karena dibelikan beberapa macam barang. Dengan bungkusan yang cukup banyak, kami mencari rumah makan yang menyajikan suguhan nikmat atas saran Ayu.

Puas mengisi perut, kami pun kembali ke hotel. Ayu yang memang sedang tidak bertugas, diminta oleh Anna menemani kami hingga malam, sebab besok siang kami sudah kembali ke Jakarta. Ayu tidak keberatan dan mengikuti kami ke kamar Anna dan aku. Setelah meletakkan barang-barang, kami duduk-duduk di ruang tamu kamar itu. Tak berapa lama, Anna masuk ke kamar mandi. Terdengar suara air pada bathtub, agaknya ia kegerahan sehingga mau mandi, pikirku. Agak lama di dalam kamar mandi, kemudian kami dengar suaranya berseru.

“Ayu, tolong ambilin bajuku dong, ketinggalan di atas kasur …” pintanya pada Ayu.

Ayu menatap kami satu persatu, seakan-akan memintakan persetujuan kami. Ia agak risih mungkin, sebab orang baru, tetapi justru ia yang dimintai tolong oleh Anna. Tampak keragu-raguan di matanya. “Udah Ay, kan kamu yang dimintai tolong ama Tante, buruan …” desak Sinta sambil mengunyah-ngunyah kacang Bali yang kami beli.

Ayu menoleh ke arah ranjang dan beranjak mengambil gaun Anna dan menuju pintu kamar mandi. “Ini Mbak,” katanya.

“Masuk aja, pintunya nggak dikunci koq,” kudengar suara Anna.

Ayu masuk untuk memberikan gaun tersebut, tetapi tak lama kemudian terdengar suaranya bernada kaget, “Ahhh … Mbak, jangann ….” Aku penasaran, entah apa lagi yang dilakukan Anna terhadapnya. Henny cuma melempar senyum padaku, sedangkan Sinta pura-pura tak tahu dan menikmati makanan kecil di atas meja. Aku berjingkat-jingkat ke arah kamar mandi, kulihat pintunya agak terbuka. Kuintip ke dalam dan kulihat membelakangi pintu, tubuh Ayu sedang dipeluk oleh tubuh telanjang Anna sambil diciumi bibirnya. “Mmmppfff … aaahhhh …” desah Ayu berusaha menolak tubuh Anna. Namun Anna tidak melepaskan jepitannya pada pinggang Ayu, justru ia tarik tubuh Ayu semakin kuat hingga keduanya seperti dua orang yang sedang bergulat. Dengan suatu paksaan, Ayu berhasil didudukkan oleh Anna di atas closet sambil terus diciumi bibirnya dan t-shirtnya dijelajahi oleh tangan Anna. Mendapat serangan mendadak, Ayu tak bisa bertahan lagi, ia hanya terduduk sambil menerima kuluman bibir Anna pada bibirnya dan remasan jari-jari Anna pada dadanya. Ia mulai mendesah. Kuintip terus mereka. Kulihat bagaimana tangan Anna dengan lincahnya membuka t-shirt yang dikenakan Ayu hingga terlihat sebagian payudaranya yang masih terbungkus BH berwarna putih. Celana panjangnya tak luput dari sasaran tangan Anna yang dengan cepat mengarah pada risleting belakang dan setelah membuka celana tersebut, segera melemparkannya ke dekat wastafel bersama-sama t-shirt Ayu. Ayu masih terus mendesah menikmati jilatan lidah dan kuluman bibir Anna yang gesit pada bibir, dagu, leher dan dadanya. Sambil mencium dan menjilat, Anna membuka kaitan BH Ayu hingga terpampanglah payudaranya yang indah. Tubuh Ayu yang sawo matang kini hanya dibalut oleh celana dalam. Payudaranya menggantung indah, tampak sangat alami, belum kendor. Anna melumat putingnya sehingga membuat Ayu semakin mendesah. “Mbaaaakkk … ssshhh …. aaaakkhhhh … Udah Mbak, aku …. aaaaahhh …. “

“Kenapa sayang? Kamu kesakitan ya?” bisik Anna sambil menghentikan kuluman bibirnya tetapi terus mengelus-elus tubuh Ayu.

Ayu menggelengkan kepala, tetapi matanya terlihat sayu karena mulai dilanda oleh birahi. “Mbak terusin ya, biar kamu puas sayang ….” kata Anna sambil meneruskan elusan dan remasan jari-jarinya di sekujur tubuh Ayu.

“Susu kamu indah sekali, sayang!” kata Anna sambil membelai-belai payudara Ayu dan putingnya. Memang dibandingkan ketiga perempuan itu, payudara Ayu kulihat paling bagus. Bentuknya tidak terlalu besar, tetapi putingnya tidak seperti payudara pada umumnya menonjol dengan besar yang sama dari pangkal hingga ujungnya, tetapi bak kerucut, mulai dari pangkal hingga ujungnya. Payudara Ayu juga terasa kenyal, tidak terlalu kendor seperti Anna yang sudah menikah cukup lama, apalagi dengan Henny yang menurutnya suami gelapnya sangat suka meremas-remas dan mengulum putingnya hingga memerah. Milik Ayu sama sekal dengan payudara Sinta yang belum menikah, tetapi walaupun lebih kecil daripada punya Sinta, tampak masih asli, pertanda tidak banyak jari dan mulut yang sudah mengulumnya. Belakangan baru kutahu, bahwa Ayu masih lugu, ia punya pacar anak seorang pejabat di Denpasar yang kini sedang studi lanjut di Prancis.

Kini jari-jari Anna turun ke perut dan sela-sela paha Ayu sehingga spontan Ayu menutup rapat-rapat kedua belah pahanya. Namun hal itu hanya berlangsung sekejap, sebab ketika kedua putingnya dilumat bergantian sambil diremas-remas payudaranya oleh Anna, kembali Anna meraba pahanya dan membukanya perlahan-lahan. Kini ia tidak menolak dan semakin melebarkan kedua pahanya. Jari-jari Anna bergerak mengelus-elus pangkal paha Ayu yang semakin kuat mendesah. Celana dalam Ayu tak lama kemudian dibuka oleh Anna hingga ia pun telanjang bulat. Keduanya dalam keadaan berdiri berpelukan dan berpagutan mesra. Desahan Ayu kembali terdengar saat Anna menurunkan ciuman bibir dan jilatan lidahnya ke leher, payudara, perut dan berhenti di pangkal paha Ayu. Rambut kemaluan Ayu ia geraikan dan lidahnya terjulur ke dalam vaginanya. Ayu merintih sambil meremas-remas rambut Anna. Kubuka celana dan bajuku dan dengan bertelanjang, aku masuk ke dalam kamar mandi dan mendekati keduanya. Ayu agak terkejut demi melihatku masuk, tetapi ia tak mampu melakukan apa-apa ketika sambil kucium bibirnya, kuangkat tubuhnya dan kupondong keluar dari kamar mandi diikuti oleh Anna dari belakang. Sambil menggendongnya dengan kedua tanganku, kuciumi bibirnya dan kumainkan lidahku dalam rongga mulutnya.

Kubaringkan tubuh Ayu terlentang di kasur dan terus kuciumi bibir dan seluruh wajahnya sementara Anna kembali menciumi vagina Ayu. Sinta dan Henny hanya menatap kami bertiga. Ayu merintih ketika lidah Anna membelai dan bibirnya mengisap klitorisnya. Sambil melakukan hal itu, jari telunjuk Anna masuk ke dalam liang vagina Ayu, “Aaaahhhhh, sakiiitt … Mbakkkk ….” jerit Ayu.

“Tenang sayang, kan semalam sudah enak waktu ditembus Agus?”

Ayu hanya menatapnya sayu sambil mengatur napasnya yang semakin tak menentu akibat deraan nafsu yang semakin tinggi saat putingnya kumainkan dengan jari-jariku.

“Mbak pelan-pelan aja ya sayang?” kata Anna sambil mengorek-ngorek liang vagina Ayu dengan telunjuknya. Bisa dipastikan, vagina Ayu semakin basah akibat tusukan jari Anna. “Nah, sudah enakan sekarang?” tanya Anna sambil menatap wajah Ayu. Ayu menjawab dengan suara berbisik, “Yahh, sssh … yah .. enak Mbak …. aaahh ….”

Anna mempercepat jarinya masuk-keluar vagina Ayu, hingga Ayu semakin kuat merintihan. “Ahh …. ssshhh … mmmppfff…. aaauuhhh …. oooggghhh …” Anna tidak menghentikan ciuman dan permainan lidahnya, bahkan semakin mengganas dengan jari-jari yang semakin intens masuk dan keluar liang vagina Ayu.

“Anna, jangan kencang-kencang dong sayang, kasihan Ayu ….. lihat nich wajahnya menahan sakit ….” kataku berlagak kasihan pada Ayu sambil mengisap puting payudaranya bergantian.

“Kalau gitu, kustop aja, Ayu?” Anna pura-pura bertanya sembari menghentikan jari dan mulutnya serta memandang wajah Ayu.

Ayu dengan mata terpejam menggeleng-gelengkan kepalanya, “Nggak Mbak, jangan distop, nggak … ja …. jangaaannn Mbak, oohh …. terus … terusin … aahh … ssshh …”

Anna tersenyum sambil kembali mengisap klitoris dan labia vagina Ayu serta memasuk-keluarkan jarinya ke liang vagina Ayu. Lidahnya bahkan turun sesekali ke sela-sela antara vagina dan anal Ayu, serta mulai beroperasi di seputar lubang anal Ayu, hingga membuat gadis Bali itu menggeliat kegelian dan mengangkat pinggulnya. Aku mengajari dan meminta Ayu untuk menciumi dadaku. Mula-mula ia agak menolak, tetapi karena payudaranya terus kucium dan kujilati, lama-lama ia terangsang untuk menjilati dadaku. Awalnya, lidahnya terjulur menyentuh puting susuku. Lidahnya yang basah membuatku merasa nikmat, juga ketika kedua bibirnya mulai mencoba memasukkan putingku ke dalam mulutnya. Apalagi waktu lidahnya menjilati putingku sambil bibirnya mengisap putingku yang tak sebesar putingnya.

Tiba-tiba Ayu menjerit, “Auwwww … aaahhh …. dingin …. ” Kutoleh ke arah bawah. Tanpa kuperhatikan, Sinta dan Henny sudah mendekati kami. Rupanya Sinta menaruh buah anggur dingin yang kami beli di supermarket ke sela-sela vagina Ayu hingga ia terkejut. Namun setelah beberapa kali Sinta menggesek-gesekkan buah anggur di celah-celah labia vagina Ayu, ia tidak lagi kaget, malah semakin menikmati sensasi aneh yang ditimbulkan perbuatan Sinta. Setelah membasahi sebuah anggur dengan cairan vagina Ayu, Sinta mengambilnya dan memasukkannya ke dalam mulutnya sendiri tanpa rasa jijik sedikit pun. Henny melakukan hal serupa terhadap Ayu. Kini tiga perempuan itu mengerumuni vagina Ayu. Sinta dan Henny bergantian memasukkan buah anggur ke vagina Ayu lalu memakan anggur tersebut setelah dilumuri cairan vagina Ayu. Mereka melakukan hal itu sambil sesekali berciuman. Anna turut dalam aksi mereka dalam berciuman sambil terus menjilati klitoris dan seputar pangkal paha Ayu. “Aaahh …. uuhhh… eeehhhsshhh ….. ooooohhhh ….” rintihan Ayu terdengar. Aku masih meneruskan kulumanku pada puting dan payudara Ayu. Memang amat mengasyikkan melumat dan menciuminya. Aku tak tahu apakah karena masih jarang dilumat dan diremas, tetapi bentuk payudaranya benar-benar cantik.

Rabaan dan ciumanku semakin turun ke perut Ayu hingga dari bawah tubuhku, iapun terangsang untuk menciumi perutku. Pusarnya kucium dan kujulurkan lidah menggelitik. Pinggang dan pinggulnya kuciumi dan kujilati membuat geliat tubuhnya semakin hebat, terlebih dengan aksi Anna yang semakin mempercepat jari-jarinya masuk keluar vagina Ayu dan bibir serta lidah Henny dan Sinta yang turut menciumi dan menjilati sekujur paha, lutut dan turun ke tumit serta jari-jari kakinya.

Sambil melakukan isapan dan jilatan, kuarahkan penisku ke mulut Ayu. Ia sempat memegangi penisku dan hanya mengocok-ngocoknya di samping pipinya. Tetapi kupaksakan dengan sebelah tangan memegang pangkal penis dan memasukkan kepala penis perlahan-lahan memasuki mulutnya. “Mmmmppppfff …. aaakkhh …” desahnya agak menolak, tetapi setelah penisku masuk dan kuangkat pantatku ke atas seakan-akan ingin mencabut, justru mulutnya melakukan gerakan mengisap, hingga penisku urung keluar dari mulutnya. Aku tersenyum karena bujukanku agar ia mengoral penisku berhasil. Kunaikturunkan pantatku agar penisku dapat masuk keluar mulutnya yang mungil. Terasa bahwa bibir dan lidahnya belum pandai mengoral, tetapi aku tak peduli. “Biarlah ia belajar,” pikirku.

Sensasi luar biasa memenuhi tubuh Ayu, hingga ketika lidah dan bibirku bertemu dengan lidah dan bibir Anna di klitoris dan vaginanya, ia mengerang dan merintih sambil menggeliat-geliatkan pinggulnya dengan gerakan tak beraturan. Kuraba klitorisnya. Indah sekali, saat begini tegang, kira-kira sebesar biji kacang tanah. Kuingat-ingat klitoris Anna yang saat tegang cuma sebesar biji kacang hijau, sedangkan Henny, karena disunat waktu kecil, malah lebih kecil lagi, walaupun setelah diraba dan diciumi, reaksinya tak kalah hebat dengan klitoris milik Anna. Sedangkan klitoris Sinta, lebih besar daripada milik Henny, tetapi tak sebesar milik Anna.

“Tahu nggak kamu …. klitorismu indah sekali, Ayu sayang!” bisikku sambil terus menciumi klitoris Ayu. “Betul nggak An?” tanyaku pada Anna. Anna tidak menjawab, hanya meneruskan tingkahnya menciumi vagina dan sela-sela paha Ayu.

Sekonyong-konyong Ayu melengkungkan tubuhnya sambil menjerit lirih dengan nada panjang, “Ooooooohhhh ….” Kami berempat yang tahu ia bakal orgasme, memperhebat serangan kami dengan lidah, bibir dan jari-jari kami. Vaginanya yang berbau harum kujilati dan kutusukkan lidahku sekuat-kuatnya ke klitorisnya yang sudah amat tegang lalu kuisap kuat-kuat. Dari arah berlawanan, lidah Anna masuk sedalam-dalamnya ke liang vagina Ayu. Penisku yang ada dalam mulut Ayu terasa amat kuat diisap, bahkan giginya dengan gemas melakukan gigitan lembut pada batang penisku. Untungnya aku masih bisa menguasai diri untuk tidak memuntahkan spermaku dalam mulutnya. Cairan vagina Ayu dengan derasnya mengalir dari dalam vaginanya, bahkan terasa ada yang muncrat mengenai wajahku dan wajah Anna. Aku agak kaget. Wah, semalam tidak gini, koq sekarang bisa gini, pikirku. Anna tertawa melihat wajahku yang bak orang dungu dan masih mengangkang di atas wajah Ayu. Kugeser tubuhku ke samping tubuh Ayu sambil mengelus-elus payudara dan putingnya. Ayu mendesah. Di bagian bawah, Henny dan Sinta tidak lagi menciumi jari-jari kaki, lutut dan paha Ayu, tetapi sudah berpelukan dan berpagutan mesra sambil meremas-remas. Baju keduanya sudah acak-acakan. Bahkan Henny sudah hampir telanjang, dengan baju yang sudah tersingkap dan BH serta celana dalam yang sudah mulai terbuka di sana-sini. Sinta sendiri sudah tidak mengenakan baju lagi, kecuali BH yang hanya bertengger di atas payudaranya sebab tali pengaitnya sudah terbuka, tetapi celana dalamnya masih utuh di balik celana panjangnya yang masih ia pakai.

Sambil mengusap-usap wajahku yang terkena semprotan cairan Ayu, ia bilang, “Gus, Gus, ada juga sainganku sekarang nich, yang bisa nyemprot pipis sekalian air mani …..”

Usai berkata demikian, ia gunakan jari-jarinya masuk-keluar dengan cepat ke liang vagina Ayu. “Mbaaakkk,” rintih Ayu sambil mencoba menahan jari Anna dengan tangannya, tapi upayanya tak berhasil, sebab Anna terus memainkan jari-jarinya, “Aaaahhhh ….. sssshh… oooohhhh ….. uuuhhh ….. eeehhhh …. mmmppppffff …. aakhh ….”

Usaha Anna untuk mengerjai vagina Ayu mendatangkan hasil lanjutan, sebab tak lama kemudian Ayu mengangkat pinggangnya sambil vaginanya kembali memuntahkan amunisi yang berikut. Kini wajah Anna yang menutupi vagina Ayu dan mengisap dan menjilati cairan yang keluar dari dalamnya. Geliat pinggul dan pantat Ayu terlihat amat erotis. Aku tak habis pikir, wanita yang tampak begitu lugu dan sopan ini ternyata memiliki potensi seksual yang hebat. Aku terpana melihat Anna begitu buasnya menghantar Ayu menggapai puncak kenikmatan. Ayu terengah-engah, keringatnya bercucuran. Kuambil handuk kecil dan kulap tubuhnya yang telanjang. Ia berusaha menggapai selimut di kakinya untuk menutupi ketelanjangannya karena rasa malu. Namun Anna menahan selimut tersebut dan berkata, “Nggak usah, sayang. Masak tubuhmu yang begini indah tidak boleh kami pandangi?”

Kulihat wajah Ayu yang agak sawo matang memerah akibat malu. Ia rapatkan pahanya erat-erat sambil menggunakan kedua telapak tangannya menutupi kedua payudaranya. Aku hanya tersenyum melihat tubuhnya yang telanjang bak patung Yunani kuno terbuat dari batu pualam.

Anna yang melihat barangku masih tegang, dengan cepat meletakkan tubuh di depanku dengan posisi menungging. Kuarahkan penisku dan kumasuki vaginanya yang memang sudah basah kuyup. Sambil bertelekan pada kedua tangannya, mulut Anna mencari-cari payudara Ayu yang masih ia tutupi dengan kedua telapak tangannya. Anna kembali menciumi dan mengisap payudara Ayu dan putingnya yang unik. Ayu mencoba menolak, “Mbaakk, jangan …. aku udah capek … aaahh….” Namun usahanya gagal karena kedua tangannya dipentang ke kanan kini oleh Henny dan Sinta sambil keduanya kini ganti menciumi bibir Ayu. Tubuh Ayu kembali menggeliat-geliat akibat perlakuan ketiga perempuan itu pada bibir dan payudaranya. Rintihan Ayu berpadu dengan desahan Anna yang kusetubuhi dengan doggy style. Kupegang kedua belah pantat Anna sambil menghentakkan pantatku kuat-kuat menghunjamkan penisku ke dalam vaginanya. Melihat geliat pinggul Anna yang semakin meliuk-liuk, kurapatkan dadaku pada punggungnya sambil meraih kedua payudaranya yang menggantung. Kuremas-remas payudara dan putingnya sambil penisku terus masuk keluar vaginanya. “Gus, Gus ….. aahhh … Gussss ….” rintih Anna.

“Kenapa sayang? Masih kurang kencang?” tanyaku berbisik di telinganya.

“Yah … yahh … ssshh ….. aaahhhkkk ….. oooggghhh …. lebih kuat sayang, lebih kencangggg …. oooohhh …. auuuuhhh …. awwwww…..” rintihannya berkembang menjadi pekikan ketika kutancapkan penisku sedalam-dalamnya hingga ujungnya terasa menembus hingga rahimnya. “Aaaaawwwww …… aaaahhhh …..” jerit Anna, dan kurasakan cairan vaginanya membasahi penisku.

“Akkkuuu juga Mbaaakkk …. Aaahhhhh ….” Erangku sambil berusaha semakin merapatkan tubuhku ke tubuhnya. Melihatku hampir orgasme, Henny dan Sinta buru-buru melepaskan pegangan mereka atas kedua tangan Ayu dan menolakkan tubuhku serta berebutan mendekatkan wajah mereka ke penisku. Tangan Sinta berhasil lebih dulu menjangkau penisku. Ia masuk-keluarkan penisku ke dalam mulutnya sedangkan Sinta menciumi paha dan testisku. Beberapa saat kemudian spermaku keluar dengan sangat lincah menyemprot wajah mereka. Keduanya menjilati spermaku sambil bergantian mengisap dan menjilati sekujur penisku. Ayu yang terbaring di bawah Anna agak melotot menatap tindakan Sinta dan Henny. Tangannya berhasil meraih selimut dan menutupkannya ke payudaranya, tetapi pangkal pahanya luput sehingga masih memperlihatkan belahan vaginanya yang indah. Ia berusaha untuk bangkit dari posisinya, tetapi tangan Anna mencegahnya dan membaringkannya kembali. Ayu tak bisa menolak, apalagi Anna menjepit tubuhnya dengan menggunakan kedua pahanya mengunci pinggul Ayu. Jari-jari Anna bermain di kening dan wajah Ayu, “Kamu manis sekali, sayang. Terima kasih sudah menemani kami ya?” Ayu hanya terdiam, seulas senyum tersungging, tetapi lebih mirip seringai.

“Kamu menyesal karena tidak gadis lagi, sayang?” tanya Anna mendesak sambil mengelus-elus rambut Ayu.

“Nggak Mbak. Aku cuma belum siap menerima. Semuanya begitu cepat dan aku …. aku … begitu bodoh ….” bisiknya sambil menggigit bibir dan air matanya menetes perlahan-lahan dari kelopak matanya yang terpejam.

“Jangan menyesali semua ini. Cepat atau lambat semua orang akan mengalaminya. Kamu takut kalau calon suamimu takkan menerima keadaanmu nanti?”

Ayu tidak menjawab, ia hanya terisak-isak. “Tenang, tenanglah. Cowok sekarang pun banyak yang nakal. Apa sebanding, kalau kamu masih perawan dapet suami yang ternyata sudah tidak perjaka lagi?” kata Anna lagi sambil mengusap-usap wajah Ayu dan mengeringkan air matanya. Lalu sambungnya lagi, “Kamu sudah punya cowok? Atau malah calon suami?”

Ayu berbisik sambil menutupi sekujur tubuhnya dengan selimut, “Calonku sedang studi lanjut ke luar negeri, Mbak. Mmmm …… aku takut, sebab ia anak pejabat di Denpasar. Aku sebenarnya tidak begitu suka padanya. Aku dijodohkan oleh kakek dan dorongan orang tua. Sebetulnya tidak suka, sebab orangnya agak mata keranjang. Tapi gimana lagi ….. kata orang tua, kasta kami sama derajat dan sudah dijodohkan sebelum kami lahir,” tuturnya dengan tatapan mengambang.

“Nah, apa kubilang, kan? Udah deh, aku juga dulu menikah tidak perawan lagi, tapi suamiku maklum. Yang penting gimana nantinya setelah nikah,” sambutnya berceramah. “Lalu, kapan kamu menikah dengannya?”

“Kata orang tuaku tahun depan ia kembali dari luar negeri dan karena akan menduduki jabatan penting di perusahaan ayahnya, ia harus menikahi diriku sebelumnya.”

“Jadi, buat apa dong kamu kerja di hotel?” kini Henny ikut nimbrung ingin tahu.

“Yah itung-itung cari pengalaman, Mbak. Kalau sudah kawin, mana bisa lagi kenal sama orang banyak, kan? Lagi pula, rasanya rugi, sudah pernah kuliah di akademi pariwisata. Ini pun karena aku ngotot aja, tadinya orang tua mau pingit aku sampai calon suamiku kembali dan mengawiniku,” jawabnya. “Aku pernah dengar dari seorang teman yang pernah kursus keluar negeri yang kebetulan satu kota dengan calonku, lalu kuminta ia menyelidiki. Menurutnya, calonku itu suka main perempuan di sana. Aku sedih juga kalau harus menikah dengan orang seperti itu,” lanjut Ayu.

“Sudahlah sayang. Kamu jangan murung. Sekarang kamu punya kakak yang bisa jadi tempatmu mengadu. Kalau kamu mau jalan-jalan ke Jakarta, telepon atau sms aja, nanti kukirim uang ongkosmu ya?” Anna menghiburnya sambil mengelus-elus anak rambut di kening Ayu.

Kulihat wajah Ayu tidak semuram tadi lagi setelah mendengar perkataan Anna. Aku mendengar dialog mereka sambil mengambil tempat duduk di sebelah Anna di atas ranjang. Sinta masuk kamar mandi dan terdengar suara air; lama ia tidak keluar, mungkin berendam di bathtub. Henny duduk di sebelah Ayu sambil ikut mengusap-usap rambutnya.

“Aku permisi dulu, ya Mbak,” kata Ayu sambil berusaha bangun dari tidurnya.

“Lho, mau cepat-cepat ke mana? Kan Ayu off hari ini? Bukankah kemarin sudah janji menemani kami hari ini? Iya, nggak, Ann?” kata Henny sambil meminta tanggapan Anna.

“Ya. Aku jadi sedih lho. Kalau kamu pulang sekarang, berarti kamu marah padaku. Lalu apa artinya kamu sudah kuanggap kayak adikku sendiri?” gumam Anna dengan mimik sedih. “Tapi, terserah Ayu dech, yang jelas, aku akan merasa kehilangan, kalau kamu pamit sekarang…” Anna menambahkan, wajahnya tampak memelas, air matanya turun menetes dari kedua matanya.

“Mbak, Mbak, jangan gitu dong …” sekarang ganti Ayu yang merasa tidak enak. Ia bangun dan memeluk tubuh Anna dengan tubuhnya yang setengah terbuka akibat selimut yang tersingkap waktu ia berusaha memeluk badan Anna. “Aku minta maaf. Oke, aku akan di sini menemani Mbak, tapi ntar malam aku harus pulang, sebab tidak pamit nginap tadi pada kakakku,” tukasnya sambil menyunggingkan senyum.

“Nah, gitu baru adikku. Aku senang sebab sebagai anak bungsu, aku tidak pernah merasakan bagaimana punya adik. Sekarang ada kamu. Kapan-kapan kamu datang ke Jakarta kalau liburan, ya Ay?” wajah Anna berseri-seri dan membalas pelukan Ayu. Aku memakai celana dalam dan duduk di kursi dekat TV.

Kudengar suara pintu kamar mandi terbuka, Sinta keluar dengan hanya mengenakan handuk meliliti tubuhnya sebatas payudara hingga pahanya. Ia kelihatan begitu muda, seksi dan mempesona.

“Ada apa Gus, liat-liat?” tanyanya sambil tersenyum padaku.

“Wah, serasa melihat bidadari turun dari kahyangan,” kataku memuji.

“Dasar buaya darat …..” katanya mendekatiku sambil memencet hidungku. Henny dan Anna tersenyum mendengar kata-kata Sinta. Aku berlagak tidak menghiraukan Sinta, tetapi ketika ia beranjak akan mengambil bajunya di kamar mandi, seolah-olah tak sengaja, tanganku menarik ujung handuknya, hingga terlepas dan terbukalah tubuhnya.

“Gila Gus, kamu memang nakal ya?” rutuknya dengan wajah cemberut sambil mendekati aku. “Orang kayak gini harus dikasih pelajaran,” katanya lagi sambil mencubit putingku. Diserang tanpa persiapan, membuatku gelagapan, walaupun berusaha menghindar, salah satu putingku berhasil ia cubit.

“Aduuuhh, sakit nih Sin! Kamu jahat deh!” aku pura-pura marah.

“Ya, ya, aku minta maaf sayang, kuobati deh,” tukasnya berlagak menyesal, lalu ia dekatkan bibirnya ke putingku yang terkena cubitannya, ia ulas dengan lidahnya. Aku menggeliat, apalagi saat bibirnya mengulum putingku dan diisap-isapnya dengan berirama dan sesekali digigitnya lembut. Aku mengerang, “Mmmmhhhh …. Aaahhh….”

“Kenapa sayang? Sakit ya?” tanyanya sambil membelai-belai dada dan perutku.

“Nggak, terusin dong ….” gumamku merasakan nikmat mulai menjalari tubuhku.

Sinta kembali menjilati dadaku, turun ke perutku dan jari-jarinya mengelus-elus penisku dari arah bawah celana dalamku. Lidahnya lama bermain di pusarku sambil jari-jarinya kini berusaha membuka celana dalamku dan mencuatlah penisku yang sudah kembali tegang. Lidahnya menjulur, ujungnya menyentuh lubang pipisku hingga penisku berdenyut menahan nikmat. Bibirnya tak ketinggalan membasahi batang penisku, lalu tangan kanannya memegang pangkal penisku dan memasukkan penisku ke dalam mulutnya. Aku mengerang sambil menikmati ciuman, jilatan dan kulumannya pada penisku. Mataku memejam, namun sempat kulihat bagaimana Ayu menatap kami dengan tatapan yang sulit dilukiskan. Tentu sejak semalam ia sudah tanda tanya, koq Anna bolehkan “suaminya” bersetubuh di depan matanya sendiri, bahkan Anna yang seakan-akan memprovokasi persetubuhan itu, dan malah membiarkan keponakannya ikut main. Walaupun berbaring di antara tubuh Henny dan Anna sambil jari-jari keduanya meraba-raba tubuh Ayu, tetapi tatapan mata Ayu terus tertuju padaku dan Sinta.

“Kamu pasti penasaran melihat kami, Ayu sayang?” kudengar ucapan Anna. “Agus itu adalah teman baikku. Suamiku justru memintanya untuk menemaniku selama ia keluar negeri. Kami benar-benar saling sayang, walaupun takkan mungkin saling memiliki. Yah, untungnya kami hanya sebatas berbagi cinta, sebab bagaimanapun statusku dan suami sudah terikat dalam perkawinan. Masyarakat belum bisa menerima kenyataan semacam ini, bukan?”

“Lalu, Mbak Henny ini apanya Mbak Anna?” tanya Ayu sambil menatap wajah Anna.

“Ini teman baikku yang nasibnya tidak beruntung. Ia hanya jadi istri simpanan. Untungnya Agus ini mau berbagi kenikmatan, hingga ia tidak jajan di luaran sana. Kalo nggak, hiiiyyy, bisa-bisa ia kena Aids karena main ama gigolo,” Anna berkisah. “Sedang Sinta itu, adalah keponakanku yang ntar lagi jadi sarjana.” Ia berhenti sesaat sambil membelai-belai rambut Ayu yang tergerai di bahunya dan dadanya. Diusap-usapnya lembut rambut Ayu yang ada di atas payudaranya sambil merabai putingnya. “Ssshhhh …. aaaahhh …” Ayu kembali mendesah sambil menyimak penuturan Anna.

“Kami sebenarnya adalah manusia-manusia kesepian dan haus cinta. Aku sudah kawin bertahun-tahun, belum punya anak. Henny juga belum dapat anak. Sinta masih kuliah dan sempat patah hati karena pacarnya main gila dengan perempuan lain. Agus belum nikah karena belum dapat pasangan yang cocok. Makanya kami minta ia menemani kami supaya kami tidak kesepian.”

Jilatan bibir, lidah dan sedotan mulut dan bibir Sinta semakin kerap dan berirama memasuk-keluarkan penisku ke dalam rongga mulutnya. Bahkan kadang-kadang ia masukkan sampai pangkalnya hingga terasa kepala penisku menyentuh ujung tenggorokannya. Beberapa kali ia tersedak. Air ludahnya cukup banyak meleleh di sela-sela bibirnya.

“Kamu tidak suka berteman dengan kami setelah semua yang kuceritakan?” tanya Anna sambil menatap dalam-dalam mata Ayu.

Ayu menunduk, tetapi tangan Anna mengangkat dagunya hingga ia tak kuasa melawan dan melihat ke wajah Anna. “Jawablah Ayu! Kalau memang kamu tidak suka, tidak apa-apa. Aku tidak keberatan, kalau kamu melupakan kami dan kami tidak perlu mengganggu kamu lagi kalau datang kemari. Kamu tidak usah terikat janji untuk datang ke rumahku di Jakarta,” tegas Anna.

“Nggak Mbak. Jangan marah dong! Aku cuma sedih …” jawabnya.

“Kenapa kamu sedih? Karena kegadisanmu hilang oleh perbuatan kami semalam?” desak Anna lagi.

“Aku tak tahu, Mbak. Aku bingung mau berbuat apa …..”

Sementara itu, penisku semakin kuat diisap oleh Sinta. Bunyi yang khas terdengar di kamar itu, “Sleeeppp …. ssssleeep …. sssleeepppp ….” Sinta kulihat semakin ganas mengulum penisku dan dengan suatu gerakan tak terduga ia berdiri dan meletakkan tubuhnya di atas pangkuanku sambil memegangi penisku tepat di bawah vaginanya. Maka melesaklah penisku masuk ke dalam liang vaginanya. Kemudian ia mengatur gerakan tubuhnya naik turun di atas pangkuanku sambil kedua tangannya memeluk leherku dan bibirnya mencari-cari bibirku untuk ia ciumi dan jilati. Kubalas ciumannya seraya meremas-remas payudaranya yang semakin rapat ke dadaku. “Sssshhh ….. Gus, addduhhhh …. nikmatnyaaaaa …. oooohhhhh ……” rintih Sinta mempercepat laju tubuhnya dan sesekali menggeliatkan pantat dan pinggulnya agar vaginanya dapat memeras penisku.

Kudengar Anna kembali berkata, “Sudahlah sayang, yang penting kita jalani hidup ini seperti air mengalir mengikuti ke mana alam membawanya” Anna berfilsafat sambil mendekatkan bibirnya mengulum bibir Ayu. Ayu sempat ingin menolak, tetapi kedua tangan Anna telah memegangi kedua pipinya sedemikian rupa, sehingga bibirnya tak dapat berkelit dan mandah saja saat bibir Anna menyentuhnya. Semula bibirnya mengatup, tidak membalas kuluman bibir Anna, tetapi saat bibir Anna mengisap bibir atas dan bibir bawahnya bergantian, ia terdorong untuk membalas, apalagi sewaktu lidah Anna menjejahi tiap inch permukaan bibir dan kembali memasuki rongga mulutnya. Henny mendekatkan pipinya ke pipi Ayu dan bibirnya juga melakukan kecupan di sana sini. Menyadari kehadiran Henny, Anna sekali-sekali memberi kesempatan pada Henny untuk turut mencium bibir Ayu. Kelopak mata Ayu terpejam saat wajahnya dijelajahi bibir dan lidah dua orang perempuan itu. Bibirnya yang lebih banyak tertutup dan pasif, kini lebih banyak membuka seperti orang kehausan, menantikan tindakan apa yang selanjutnya akan dilakukan mereka terhadap bibirnya.

“Ahhh ….. aaaauuuuhhhh …. oooohhhkkkk …. Guusssss …. sedappppp …. aaaahhhh, nikmat ……. iiiihhhh ….. hhhhmmmm …. oouuuggghhh ….. penismu kuat betul sayang!” puji Sinta sambil menekan penisku dalam-dalam memasuki vaginanya.

“Indah sekali bibirmu, sayang?” celetuk Henny sambil terus mengisap bibir Ayu.

“Mmmmppppffff …. Mbak … aaakkkhhh …. ssshhh …. oookkkhhhh …..” desah Ayu.

Lidah Anna dan lidah Henny berpautan di atas bibir Ayu dan serempak kedua lidah itu masuk ke mulut Ayu melakukan gelitikan. Tubuh Ayu agak bergetar kulihat ketika lidah ketiganya bertemu saling menjilat. Lidah Henny masih terus bergerak-gerak liar di mulut saat lidah dan bibir Anna semakin turun menjilati leher dan dada serta perut Ayu. Lagi-lagi Ayu mendesah, terutama dengan semakin liarnya jilatan Anna pada perut, pinggul dan sela-sela pahanya. Ia merintih, “Aaaauuhhh ….. ooooohhhh …. uuhhhh …. ssshhh … eesssttt …….”

Setelah sekitar sepuluh menit Sinta menunggangi tubuhku, kurasakan liang vaginanya semakin kuat menyedot penisku. Aku tak ingin cepat-cepat ejakulasi, sebab ingin memberikan cairan kenikmatanku dinikmati Ayu. Segera kucabut penisku. Kuangkat kedua belah paha Sinta dan kutaruh tubuhnya di atas kursi tanpa sandaran dengan kaki dan kepala menjuntai. Agar ia segera mendaki puncak kenikmatan, kumasukkan jari tengah tangan kananku ke dalam vaginanya dan melakukan tekanan masuk dan keluar dengan cepat sambil jari-jari tangan kiri merangsang klitorisnya. Meskipun Sinta agak protes karena vaginanya tidak mendapatkan cairan spermaku, tetapi dengan permainan jari-jariku perjalanannya menuju gerbang kenikmatan telah semakin dekat. Ia mengerang, merintih dan akhirnya menjerit, “Aaaaahhhhhhh ………… Ggguuuusssssssss ……” tubuhnya bergetar kala merasakan orgasme, kedua pahanya merapat satu sama lain hingga jari-jariku terjepit dengan ketatnya dalam rongga vaginanya. Wajahku dengan cepat turun mendekati pahanya dan lidahku menjilati cairan vaginanya yang segar. Kuisap klitorisnya sambil bibirku mengisap-isap rambut kemaluannya mengeringkan setiap tetes cairan kenikmatannya.

Kutengok ke arah ranjang, Henny kini tidak lagi menguasai bagian atas tubuh Ayu, tetapi berganti posisi dengan Anna yang kini menciumi payudara Ayu, sedang Henny kini menjilati klitoris dan vagina Ayu sambil meremas-remas pinggul Ayu. Ayu merintih dan menggelinjang-gelinjang. Ketiganya kudekati, aku naik ke atas ranjang. Melihatku mendatangi mereka, Henny memberikan ruang di dekatnya agar aku turut membantunya mengerjai bagian bawah tubuh Ayu.

Aku berlutut menghadap sela-sela paha Ayu. Kupegang penisku pada pangkalnya dan kutekan-tekan kepala penis pada celah-celah vaginanya dan sesekali membentur klitorisnya yang kembali tegang. Setelah itu, batang penisku kuletakkan membentang tepat di antara kedua labia vaginanya dan kupukul-pukulkan dengan lembut. Merasakan hal itu, Ayu semakin naik birahi. Tangannya tanpa ia sadari berusaha mencapai klitorisnya dan mengusap-usapnya lembut. “Aaaahhhhh …… aaauuuuhhhhh ….. ssshhh, mmmmpppfff …… ssssshhhh ….. aaaahhh ….. oooouugggghhhh …. Massss….. terusin, aahhhh ….. ooogghhhh…..” rintihnya.

“Apakah aku menyakitimu, sayang?” bisikku sambil menatap wajah Ayu dan penisku hanya kuletakkan di celah-celah vaginanya tanpa kugerakkan sama sekali.

“Oooohhh …. tidak …. ssshshhh …. aaahhh … uuuuhhhh ….. aaahhhhkkk … makks … maksudku …. terussss …. lagiiii …….. oooouggghhhh ….” rintihnya. Aku paham, ia tak lama lagi bakal klimaks. Maka kembali penisku kugerakkan. Kini tidak sekadar mengelus permukaan vaginanya, tetapi mulai menggesek-gesek liangnya, membuat matanya yang terpejam justru membeliak-beliak menahan nikmat. “Ahhhhhh …. yaaahhh …. ooohhh!”

“Gus, kamu sadis, kasihan tuch, udah minta … malah kamu permainkan dia?” tukas Henny sambil mencubit pinggulku. Aku tersenyum dan membalas meremas payudara Henny. Penisku yang kini tepat ada di depan lubang vagina Ayu kumasukkan pelan-pelan tetapi Ayu justru malah mengangkat pinggulnya menyambut penisku agar masuk lebih dalam. Penisku masuk hingga sebatas kepalanya, lalu kucabut, kumasukkan lagi lebih dalam hingga leher penis, kucabut lagi, begitu seterusnya. Setiap hunjaman semakin dalam daripada yang sebelumnya, tetapi gerakannya masih lamban. Geliat pinggul Ayu semakin tak beraturan apalagi di atas, Anna terus mencecar payudara dan putingnya. Kuamati payudaranya sudah memerah di sana sini, terkena gemasnya ciuman bibir dan lidah Anna. Putingnya kulihat semakin memanjang dan tegang di bawah kuluman bibir Anna. Sinta menonton kami bertiga sambil duduk mengangkang di kursi memperlihatkan belahan vaginanya yang merangsang.

Kuingat salah satu trik dalam Kitab Kamasutra, kumasukkan penisku sekali, dua kali, tiga kali, empat kali, lima kali dengan gerakan lamban dan hanya terbenam setengah batangnya ke vagina Ayu, lalu pada hentakan keenam dan ketujuh kubenamkan dengan gerakan cepat dan dalam hingga pangkal penisku tepat menjepit labia Ayu pada pangkal pahanya. Ayu semakin merintih dan mengerang, “Aaaahhh ….. sssshhh …. aoooohhh …. uuuhhhh …. sssshhhh …. Ooooggghhhh ….. mmmpppfff …… aaauuuuhhh …..” Pada jurus ketiga trik tadi, kurasakan penisku semakin hangat oleh siraman air mani Ayu yang mengguyur semakin deras. Penisku semakin kuat dijepit oleh dinding vagina Ayu. Denyut-denyut otot-otot vaginanya begitu kencang. Lidah Henny bermain di seputar perut dan pahanya mencium dan menjilati hingga Ayu benar-benar terangsang hebat. Kedua tangan Ayu meremas kedua belah pantatku dan merapatkannya lebih dekat pada tubuhnya. Kurasa tak lama lagi aku akan orgasme seiring dengan orgasmenya. Kuhentakkan penisku dengan gerakan semakin cepat, kuingat bagaimana bintang film dalam Kamasutra melakukan hunjaman maut hingga pasangannya menjerit-jerit kenikmatan. Kupraktekkan gaya tersebut dengan menarik kedua kaki Ayu dan menaruhnya pada pundakku hingga penisku benar-benar mendapat ruang sebebas-bebasnya menusuk vaginanya. Ayu menjerit dengan suara melengking sambil melepaskan cairan kenikmatannya. Penisku kurasakan diguyur hebat di dalam vaginanya. Saking penuhnya penisku ditelan vaginanya, tekanan air seninya bersamaan dengan cairan vaginanya meleleh keluar dan membasahi sprey ranjang itu. Kuangkat kedua kakinya dan kukangkangkan ke kanan kiri dengan ditekan pahaku, sehingga penisku kini benar-benar terbenam dalam-dalam ke vaginanya. Kembali Ayu memekik akibat hunjamanku yang tidak ia duga-duga, lagi-lagi keluar cairannya, namun kini bersamaan dengan spermaku. Tubuhku bergetar saat memompakan spermaku ke dalam vaginanya. Henny dengan gesit menjilati vagina Ayu dan sesekali lidahnya terjulur ke penisku. Sedang Sinta meremas payudara Ayu serta mengisap putingnya. Anna memagut bibir Ayu dengan liar tanpa memberinya kesempatan bernapas. Kupeluk pinggang Ayu sambil melakukan getaran-getaran kecil dan lembut dengan penisku di dalam vaginanya. Ayu merintih panjang, “Oooooooohhhhhhh ……………” Aku mempertahankan posisi tersebut beberapa saat lalu merebahkan diri di samping Ayu sambil mencium bibirnya.

Henny masih terlihat bagaikan orang kehausan, ditariknya tangan Sinta ke arah dadanya. Sinta meremas payudara Henny sambil mencium bibirnya. Anna yang melihat mereka merasa kasihan pada Henny. Ia bangun dari ranjang dan entah dari mana, ia ambil sebuah dildo bertali yang ia ikat di pinggangnya, lalu ia tempatkan dirinya di sela-sela paha Henny yang dipaksa oleh Sinta menelungkup. Dildo itu ia gesek-gesekkan sebentar di celah-celah vagina Henny dan tak lama kemudian ia masukkan lebih dalam dan semakin dalam, membuat Henny merintih-rintih sambil meremas-remas sprey yang sudah acak-acakan.

Aku dan Ayu menyingkir agak ke tepi ranjang agar memberikan ruang gerak yang cukup bagi ketiganya. Kupeluk Ayu yang rebah tiduran pada dadaku sambil menikmati pemandangan menarik tiga perempuan itu.

Setelah menancapkan dildonya, Anna menggulirkan tubuh berbaring terlentang tanpa melepaskan dildo dari vagina Henny. Sinta membantu menempatkan tubuh Henny yang masih ditancap dildo Anna menelentang di atas tubuh Anna. Setelah itu, Henny disergap oleh Sinta. Dirabai payudaranya dan diciumi sambil jari-jarinya bermain merangsang vagina dan klitoris Henny. Henny mengerang dan mendesah, terutama waktu Sinta turun lagi ke vaginanya dan membasahi anal Henny dan menarik tubuh Henny agar mencabut dildo Anna dan memegangi dildo tersebut tepat di liang anal Henny. Henny semakin merintih saat analnya dimasuki dildo Anna. Ia menaik-turunkan tubuhnya pelan-pelan di atas perut Anna. Tiba-tiba entah dari balik bantal, Sinta mengambil dildo yang lain, lalu ia ulas-ulas di labia Henny dan ia masukkan ke liang vagina Henny. Henny merintih dan merintih. Kedua belah pahanya dibuka lebar-lebar olehnya. Sinta mempercepat laju dildo di tangannya masuk keluar vagina Henny. Tak berapa lama, Henny menjerit dan mencapai orgasme. “Aaaauuwwww ….. nikmat amat sihhhhh …. ooohhhhhh …… sssshhh ……” Kini lega hatiku telah memberikan kepuasan pada ketiga perempuan itu.

Tak terasa gelap mulai membayang. Kami bertiga terbaring kelelahan, apalagi aku yang habis-habisan menyemprotkan sperma. Aku tak sempat lagi mandi, sebab Anna dan Sinta kembali memintaku melayani mereka. Tante dan keponakan itu benar-benar buas mengerjaiku, bahkan Anna begitu getol memintaku menyodominya dengan doggy style dan memberikan punggungnya bagi keponakannya menelentang dan memberikan vaginanya kujilati.

Henny sudah kelelahan, walaupun tak menolak waktu kusetubuhi lagi dengan menaruh setengah tubuhnya di atas ranjang sedangkan kakinya berjuntai ke lantai hingga penisku melesak sedalam-dalamnya ke vaginanya. Usai melayani mereka, aku mendekati Ayu. Kupangku tubuhnya dan kupeluk serta kucium bibirnya, kataku “Kamu benar-benar luar biasa, sayang!”

“Ah, bohong! Kamu yang hebat, bisa bikin empat wanita menjerit-jerit!” elaknya. Aku tersenyum dan mencium bibirnya lagi. “Kapan-kapan, kalau aku kemari, kamu harus temani aku ya?” pintaku.

“Nggak janji ya? Liat nanti deh!” jawabnya.

Malam itu, kami tak keluar untuk makan, kami menelepon pelayan agar mengirim pesanan makanan kami ke kamar. Agar pelayan yang notabene adalah teman Ayu tidak curiga melihat Ayu ada di kamar bersama-sama kami, ia kami sembunyikan di kamar mandi sewaktu kiriman makanan datang. Kami berlima makan dengan hanya mengenakan pakaian minim. Usai makan, kami tidak lagi bersetubuh, tapi hanya saling berciuman dan berpelukan. Ayu pamit pada kami tepat pukul 22, sebab ia tak berani menginap. Sedangkan Sinta dan Henny kembali ke kamar mereka. Anna dan aku tinggal di kamar dan tidur hingga matahari naik cukup tinggi. Karena flight kami sore, kami tak perlu khawatir ketinggalan pesawat. Kami berkemas-kemas setelah sarapan dan diantar mobil hotel menuju bandara. Tak kulihat Ayu masuk kerja hari itu. Tetapi saat menunggu boarding, HP-ku berdering, kulihat ada smsnya masuk, “Mas Agus, aku tidak ngantar ya. Sedih rasanya berpisah, apalagi dengan kamu, orang yang memberiku kenangan indah, sebab kamulah suamiku sebenarnya. Selamat jalan kasih. Kenanglah aku, sayang!” Wah, romantis juga kalimatnya. Kubalas dengan tak kalah mesra, “Dindaku, maafkan aku yang telah menodai dirimu. Cintamu akan selalu kukenang. Berikan daku kesempatan untuk mengenangmu lagi suatu waktu nanti. Cium mesraku untukmu seorang!”

Pernah aku berdinas ke Kupang, tetapi pulangnya kusempatkan singgah dan menginap di Bali sambil menelepon ke Jakarta dengan alasan kehabisan tiket pesawat, hingga terpaksa tak masuk esok harinya. Maklum hari kejepit, jumat, tanggung pikirku. Kuhabiskan bermalam di suatu hotel sejak jumat hingga minggu; tak berani menginap di hotel tempat Ayu bekerja agar tidak kepergok teman-temannya. Tapi kutelepon Ayu agar menemaniku tidur malam jumat, sedangkan esoknya ia masuk kerja. Dan untungnya, ia tidak bertugas hari sabtunya, sehingga kami berdua memadu cinta sepanjang hari tanpa terganggu oleh apapun. Minggu siangnya barulah aku kembali ke Jakarta.

Setelah itu, Ayu pernah ke Jakarta menemuiku, tetapi pada orang tua dan kakaknya ia katakan berlibur di rumah Mbak Anna, agar mereka tidak menaruh curiga. Dua malam ia menginap denganku di suatu hotel di Puncak. Setelah itu barulah kuajak ia bermalam di rumah Anna. Anna sangat cemburu sewaktu tahu bahwa Ayu sudah datang dua hari sebelumnya dan menghabiskan dua malam di Puncak denganku. Namun ia maklum, sebab ia sadar bahwa diam-diam Ayu sangat mencintai aku, tetapi tak mungkin bersatu denganku karena sudah dijodohkan dengan anak pejabat di Bali. Ayu mula-mula risih waktu Anna memohon dirinya bersedia melayani Dicky, tetapi karena desakanku, akhirnya ia mau, meskipun kemudian ia mengakui bahwa amat sungkan main dengan Dicky, sebab ia amat menyukai diriku. Untungnya Dicky tidak marah dan maklum. Malah mereka mendesak kami agar kawin lari, tetapi Ayu takut akan karma, sehingga memilih untuk menikah dengan pria yang tak dicintainya demi orangtuanya. Itulah kebersamaanku yang terakhir dengan Anna dan Dicky, sebab tak lama sesudahnya Anna hamil oleh benih dariku. Aku pun makin jarang bertemu mereka, apalagi setelah Anna melahirkan. Ada perasaan rindu melihat bagaimanakah rupa anakku yang dilahirkan Anna, tetapi waktu mengingat segala dosa-dosaku, rasanya tak mampu melihat dunia ini.

Henny kudengar ditinggal mati oleh suami gelapnya yang telah membelikan rumah dan harta baginya. Suami gelapnya terlibat korupsi dan ketika akan diadili, meninggal kena serangan jantung sebelum kasusnya sempat diperiksa. Walhasil, Henny tidak tersentuh. Pernah ia meneleponku agar bertemu. Ia memohon agar aku menikahinya, tetapi kukatakan kalau di hatiku tak ada cintaku padanya, sebab saat itu aku sering membayangkan Ayu. Henny akhirnya tak mendesakku lagi, walaupun agak terpukul, ia mau menerima kenyataan. Namun ia memintaku memberikan kenangan terindah baginya tepat tiga minggu sebelum pernikahannya. Kami mengadakan rendezvous di suatu hotel mewah atas biayanya. Kami menginap dan bercinta selama dua hari dua malam di hotel itu. Aku sayang pada Henny, tetapi tak mampu membalas cintanya. Daripada kelak hidupnya merana, hampa tanpa cintaku dan hanya memiliki tubuhku tanpa cinta, kujelaskan padanya itulah hal terbaik bagi kami. Menurut penuturannya, setelah menikah dengan seorang guru teman sekolahnya dulu, ia membantu ekonomi keluarganya dengan membuat peternakan dan memajukan pertanian di kampungnya. Setelah menikah, ia pernah meneleponku dari kampungnya memberitahukan tentang pesta pernikahannya. Anna, suaminya Dicky dan putri mereka (anakku tentunya), serta Sinta hadir waktu itu. Namun yang membuatku terperanjat, ia berbisik di telepon mengatakan bahwa sebelum menikah ia sudah telat menstruasi. “Ini pasti anakmu, Gus, sama seperti Anna. Tapi aku puas, sebab walaupun tak bisa memiliki dirimu, ada bagian dirimu yang selalu hadir dalam hidupku,” tuturnya. Dari suaminya, ia mendapatkan dua orang anak. Anna sendiri, hanya sekali itu hamil, sebab seperti kata dokter, Dicky tak bisa membuahi rahim Anna. Untungnya tak ada keluarga mereka yang tahu hal itu, sehingga rahasia itu tetap tersimpan rapi.

“Ah, ternyata Tuhan menderaku dengan cara-Nya,” batinku. Entah mensyukuri atau mengutuki diri sendiri, aku kadang-kadang termenung memikirkan anak-anakku yang hadir dalam rumah tangga Anna dan Henny. “Maafkan ayah kalian ini, nak!” Bagaimana kelak tanggung jawabku di hadapan Yang Maha Kuasa?

Ayu pernah berkirim sms padaku memberitahukan ia akan menikah. Sejak itu tak pernah lagi ada kabarnya, walaupun beberapa kali kucoba menghubungi atau mengirim sms. Entah sudah berganti nomor, pikirku. Tetapi waktu ulang tahunku, ia kirim ucapan selamat lewat sms dengan nomor lain. “Gus, moga hidupmu bahagia, sayang! Kuharap kau dapatkan jodohmu yang baik. Sun sayang dari Ayu yang tak bisa melupakanmu.” Saat kutelepon, ia sempat menjawab dan lebih setengah jam kami bercerita melepas rindu. Ia katakan bahwa anaknya sudah lahir dari suami yang dulu dijodohkan orangtuanya. Aku tertawa waktu ia katakan bahwa wajah putranya mirip sekali denganku, “Mungkin karena aku sering memimpikan dan membayangkanmu, ya Gus?” katanya. Untungnya, sejak anak mereka lahir, suaminya tidak lagi main perempuan. Mungkin takut kena karma, kata Ayu. Sempat ia berbisik di telepon, “Walaupun suamiku baik, tapi ia tak sehebat kamu lho di ranjang, Gus. Kadang-kadang aku suka berkhayal main denganmu. Ah …. tau dech … dosa ya mengkhayal gitu?” tanyanya. Aku hanya tertawa mendengar ucapannya. Lalu ia katakan, “Gus, biar tidak ada yang curiga, jika aku rindu, aku akan menghubungimu dengan nomor yang berbeda-beda. Aku tak berani memberikan no. HP-ku yang tetap, takut pas kamu nelepon, yang ngangkat suami atau pembantuku.” “Nggak apa-apa Ay, aku tak mau kalau rumah tangga kamu berantakan karena aku,” jawabku waktu itu. Namun suatu waktu, Ayu datang ke Jakarta dan kami bertemu. Kisah ini merupakan suplemen tersendiri, walaupun tidak sepanas kisah-kisah sebelumnya.