Pesona Warni

Beberapa kali aku menjumpai lelaki atau perempuan yang memiliki daya tarik dan pesona seksual yang sangat luar biasa. Mereka ini dengan mudah membuat lawan jenisnya atau ’sejenis’-nya bagi ‘pecinta sejenis’ bertekuk lutut. Bagiku perempuan macam presenter TV Tessa Kaunang atau lelaki macam bintang iklan dan sinetron Reynaldi termasuk diantara mereka yang memiliki pesona seksual yang kumaksud.

Sangat nikmat rasanya ‘ditaklukkan’ oleh lelaki ataupun perempuan macam itu untuk kemudian melayani dan menjadi budaknya. Akan rela aku menciumi sepatu dan kaos kakinya. Akan kucuci celana dalamnya dengan ludahku hingga larutan sisa kencing atau keringatnya larut dan bisa kutelan kembali. Aku akan rela menceboki lubang-lubang pembuangannya sebagai tugas setiap pagiku. Aku akan memandikannya dengan jilatan-jilatan lidahku hingga tak tersisa noda barang sedikitpun pada semua celah-celah tubuhnya.

Pada orang macam ini apapun yang keluar dari dia rasanya nikmat untuk kita lahap. Aku akan serta merta telan apabila dia membuang ludah ke mulutku. Aku akan menjilati lubang tainya hingga tak ada yang tersisa. Aku akan minum kencingnya. Aku akan sodorkan mukaku kemudian membuka mulutku untuk menampung kencingnya yang kuning pekat. Aku bisa mencuci mukaku pula dengan cairannya itu.

Beberapa waktu yang lalu Randi, seorang lelaki yang memiliki pesona seksual macam itu telah mengisahkan pengalamannya pada anda melalui tulsan-tulisanku ini. Kini giliran kisahku sendiri yang kualami saat ketemu sesama perempuan yang memiliki pesona seksual sebagaimana Randi tersebut di atas. Namanya hanyalah sederhana, Warni.

Dia hanyalah pembantu rumah tangga. Dia adalah pembantu rumah tangga Bu Mitro tetanggaku. Dialah perempuan yang sangat lugu atau blo’on dan tak begitu cantik. Tetapi Warni ternyata mampu membuat aku kelenger dan menggelepar oleh pesona seksualnya. Posturnya jangkung semampai. Tingginya 168 cm, berat kira-kira sedikit di atas 50 kg. Walaupun hidungnya agak pesek dan kupikir betisnya juga terlalu gede untuk ukuran dia namun kulitnya macam bawang. Putih dan bersih.

Mungkin karena lugunya atau blo’onnya dan kulitnya yang putih bersih inilah yang membuat aku sangat kasmaran padanya. Sungguh, aku pengin banget berkesempatan memanjakan sesama perempuan macam Warni ini.

Pada suatu pagi Bu Mitro bersama Warni bertandang ke rumah. Dia berpamitan untuk pulang ke Jombang karena ada urusan keluarga. Mungkin akan makan waktu selama 5 hari. Untuk itu dia titip-titip rumah sambil nitipkan pembantunya Warni kepadaku.

“Jeng Marini, tolong titip-titip rumah. Sama ini Warni biar ‘nemenin’ jeng Marini selama saya pulang mudik. Jeng bisa suruh dia membersihkan rumah dan lain-lainnya”.

Wwooww.. Sungguh tak pernah kuduga akan muncul kesempatan macam begini.

Walaupun mendapat durian runtuh aku nggak menunjukkan kegirangan yang terlalu, khususnya kepada Warni. Aku ingin dia bisa bergerak leluasa tanpa banyak aku suruh macam-macam, biarlah dia melakukan sesuatu sebagaimana maunya hingga tak ada rasa takut atau malu padaku. Sementara itu aku bisa sepuasku memandangi tingkah laku Warni yang di mataku serba mempesona itu.

Tuh, lihat, jalannya. Sungguh aduhai. Paduan antara perut dan pinggulnya begitu harmonis. Saat melangkah untuk jalan nampak seindah perut dan pinggul harimau lapar saat mengendap–endap calon mangsanya. Perubahan otot kanan kemudian kiri saat melangkah, irama langkahnya dan lenggang lengannya tak terkatakan sensualnya. Nggak cukup kata-kata untuk menyiratkan pesona itu.

Aku membayangkan kedua pahanya yang saling gesek dan dari sana menimbulkan keringat dengan aroma. Betapa nikmat bisa tenggelam di antara kedua pahanya itu. Libidoku langsung melonjak-lonjak menyaksikan sesama perempuan yang begitu mempesona itu. Tanpa sadar jari-jariku merabai pentil tetekku dan melintir lembut. Khayalan birahiku langsung terbang membawa hidungku menyelusup ke paha-paha Warni. Ampuunn.. Sedapnya..

Sejak siang dia kuajak makan bersama satu meja, bahkan beberapa kali aku mencomot makanan dari piring Warni dan dia juga mau mencomot dari piringku. Bahkan dia menerima cuilan gigitanku dan memakannya demikian pula aku minta cuilan bekas gigitannya untuk kumakan. Semua itu merupakan caraku untuk membuat Warni merasa akrab dan dekat dengan aku. Siasat ini ternyata manjur. Pada sore harinya dia sudah berani ngomong santai. Bahkan dia bisa bilang.

“Mbak Marini, saya pinjam blusnya dong. Soalnya bajuku di dalam kamar yang terkunci oleh ibu,” katanya.

Aacchh.. Tiba-tiba aku melihat adanya peluang yang begitu lebar. Dengan serta merta kujawab,

“Boleh, boleh, sangat boleh. Pilih saja yang kamu suka. Nanti Mbak bantu kamu bagaimana memakainya agar kamu kelihatan sangat cantik, sayangg..” rasanya nggak akan sia-sia aku memangilnya ’sayang’ untuk kelas pembantu macam Warni ini.

Uucchh.. Aku nggak sangka reaksi Warni pada ucapanku barusan.

“Bener Mbak? Bener Mbak Marini mau bantu aku?? Uucchh.. Seneng banget dong, soalnya Mbak khan cantik banget,” begitu girangnya dia berbalik dari tumpukan bajuku dan langsung menubruk dan memeluk aku.

Begitulah dia merasa bisa bermanja-manja padaku. Aku memang tak lagi memandang Warni sebagai pembantu. Aku ingin dia benar-benar tanpa jarak bersamaku.

Dengan spontan dia menciumi aku, pipiku dan tanganku untuk menujukkan kegembiraan dan terima kasih kepada ‘Mbak’-nya. Namun aku yang menerima tubrukan dan ciuman darinya bukannya seperti menerima kegirangan adik. Libidoku langsung greenng.. Birahiku dengan lembut dan pasti menyongsong pesona Warniku ini. Apalagi saat bau keringatnya menyergap hidungku, entah ketiaknya atau dadanya, aku langsung melayang dalam hasrat seksual bersama Warni ini.

“Aku bilang Mbak paling cantik deh di sekitar sini. Bahkan mungkin di seputar daerah sini,” katanya memuji kecantikanku.

Aku sangat gembira. Berarti dia memperhatikan aku pula selama ini.

“Ah, siapa yang ngomong begituu..??” kataku pengin tahu.
“Banyak teman-teman pembantu di sekitar sini yang ngomong begitu. Kalau ngobrol kecantikkan pasti Mbak Marini yang selalu jadi contoh. Kata mereka Mbak seperti bintang sinetron. Bener, nih Mbak,” Warni berusaha meyakinkan aku.
“Ya sudah sana, teruskan mau pakai baju yang mana,” kataku mendorong kegembiraan hatinya.

Dengan lugunya dia memilih-milih bajuku untuk dipakainya. Dan aku berdiri mendekat. Aku sudah ketagihan akan bau badannya. Aku ingin cepat membantu mengenakan busananya. Aku sudah tak sabar untuk lekas menyentuhi bagian-bagian tubuh erotisnya.

Begitu mendekat secercah bau keringat ketiaknya langsung merangsek ke hidungku. Bau itu sangat alami. Warni belum mengenal bau wewangian pabrik. Ini adalah bau asli dari Warni yang anak desa Sukabumi itu. Aku tergetar. Sepertinya mimpi-mimpi birahiku semakin mendekat kepada kenyataan. Aku menjadi sangat sensitif. Sentuhan kecil dari apapun milik Warni langsung menyerang hasrat seksualku. Aku merinding dan gemetar.

Sini, Warnikuu.. Biarlah Mbak bantuu.. Aku rindu bau keringatmu Warnii..

Dia menunjukkan padaku baju yang disukainya. Woo.. Dia rupanya pengin memakai baju ‘u can see’ yang sering aku pakai. Dan untuk roknya dia memilih model kulot yang berkancing di larik kirinya. Dengan membuka kancing-kancing itu Warni bisa langsung telanjang. Entah dari mana dia melihat model macam itu. Aku sudah tak sabar membantu memakaikannya.

Pertama kusuruh menanggalkan baju dan roknya yang sedang dia pakai hingga dia berbugil kecuali celana dalam putih dan BH-nya. Wwuiihh.. Aku benar-benar kasmaran kalau begini. Di depanku serasa aku sedang menjumpai bidadari. Semua bagian tubuh Warni menunjukkan keindahan sempurna serta seks appeal-nyayang sangat kuat. Lihat..

Pahanya begitu getas dan langsing bagai belalang. Bahunya bidang. Sambungan antara bahu dan dada ditandai dengan celah ketiaknya yang lebar. Alangkah sedapnya untuk tenggelam ke sana. Buah dadanya sangat ranum montok mendesaki BH-nya. Tali BH itu.. Erat menimbulkan alur legok pada bahu dan punggungnya. Dan, bahkan peragawatipun rasanya tak memiliki leher seindah leher Warniku ini. Perutnya yang kencang membentuk pinggul seksi. Disinilah letak saat Warni jalan bagai harimau lapar. Pinggul itu sangat luwes dan uuhh.. Seksi bangeett..

Kembali aku mendekat. Aku ingin menghirup bau tubuh alami anak desa ini. Aku berbisik sedikit berdesah,

“Kamu sangat cantik dan seksi, Warr..”

Dia begitu gembira dengan pujianku. Dia merangkul aku dan mencium pipiku. Tak apa. Yang aku dapatkan jelas, bau tubuhnya langsung menerpa hidungku. Aku mencoba memperpanjang ketelanjangannya. Kuraih lengannya dan kuamati jari-jari tangannya. Jari-jariku mengelusi jari-jarinya. Aku juga meremasinya.

“Jarimu kok indah banget sih, Warr..” dan aku berkesempatan mencium dan mengecup-kecup jari itu.

Rupanya Warni merasakan getaran di sana. Ditariknya cepat tangannya. Aku nggak kecewa. Aku pikir biar dia tahu aku mendekatinya dengan hasrat birahiku.

Aku minta dia berbalik memunggungi aku. Kini kulihat rambut halus dikuduknya. Rambut yang sangat indah di perbatasan leher dan kepalanya itu demikian lembut dan memberikan sentuhan indah tak terhinga. Tumbuh di atas leher yang sangat jenjang rambut itu menjadi pesona seksual yang begitu mempesona aku.

Aku minta dia mengangkat lengannya. Kini aku lihat kontur tubuh yang langsing ini. Pangkal lengannya melebar melahirkan lembah ketiak yang demikian indah pula. Aku tak tahan untuk diam. Tangan kanan kiriku menyentuh. Dari iga hingga ketiaknya tangan-tanganku mengelusi tubuh Warni. Kembali dia menggelinjang. Namun kali ini dia tak mengelak. Kemudian aku mencium kuduknya.

“Aacch.. Mbakk.. Geli banget seehh..”
“Habis aku geregetan banget melihat lehermu yang indah…” aku tersenyum.
“Kapan memakai bajunya Mbak?” Warni mulai nggak sabar.
“Sabar dong.. Mbak khan lagi mencari dimana letak keayuan tubuhmu. Nanti akan mendapatkan baju macam apa yang tepat buat kamu. Coba sini menghadap aku lagi,” aku berpura-pura mikir dan mengukur-ukur dadanya dengan tanganku.
“Coba pakai pilihan kamu tadi,” untuk menyenangkan hatinya aku mengalah.

Warni menyusupkan blusnya melalui kepalanya. Dan ‘u can see’ memang sangat indah untuk Warni.

“Wooww.. Kamu jadi bintang sinetron yaa.. Cantik banget nih.. Coba kamu lihat di depan cermin. Tuh di kamar”

Saat dia melangkah ke cermin aku kembali melihati bokongnya yang dibungkus celana dalam putihnya. Khayalku langsung terbang membawa bibirku untuk menciumi bokongnya itu.

Kini aku pakaikan rok bawahnya. Sebelumnya kugunakan kesempatan untuk merabai pinggul, bokong, paha dan betisnya. Aku berpura mengukur panjang dengan langkah-langkah jariku. Aku senang menikmati aroma alami tubuhnya. Aku bilang sebaiknya Warni melakukan manicure dulu. Aku akan memotong kuku-kuku kakinya dan mencuci dari debu yang menempelnya.

Warni heran, kok aku mau sih memotong kuku dan mencuci kakinya. Aku jawab bahwa aku adalah senang dengan keindahan. Dan selalu berusaha menjaga agar keindahan itu tidak luntur karena tak terpelihara. Wajahnya yang lugu semakin membuat aku geregetan untuk cepat melumat bibirnya. Dia mengagumi keteranganku.

Aku suruh Warni mengambil baskom dengan air thermos yang hangat. Dia duduk di bangku dan aku jongkok. Kakinya kucelupkan ke dalam baskom air hangat itu dan mulai mencucinya. Kusikat kuku-kukunya dan kubersihkan dakinya. Sesudah bersih kuambil handuk kecil untuk mengeringkannya. Semuanya itu aku lakukan dengan penuh kelembutan. Warni jadi sangat penurut mengikuti permintaanku.

Kuajak Warni ke kamar dan kuminta untuk rebah ke ranjang. Aku juga rebah namun dalam posisi sungsang, kakiku ke arah kepalanya dan kakinya di arah kepalaku. Aku raih kakinya untuk aku urut dengan cairan wangi untuk menyehatkan jari-jari kaki. Seakan memang demikianlah seharusnya aku menarik kaki Warni agar menindih dadaku dengan telapak kakinya menghadap ke wajahku. Nampaknya Warni begitu menikmati perlakuanku hingga terkantuk-kantuk.

Terbersit bau kaki Warni. Bau sandal jepit. Namun keindahan yang nampak menepis keraguanku untuk mendekatkan hidungku ke telapak kakinya itu. Aku perhatikan jari-jari kakinya bukan jari anak desa yang harus menggendong air dari ‘belik’ dengan ‘lodong’ ke rumah.

Jari-jarinya itu nampak seperti jari-jari peragawati. Aku tak tahan hanya memandanginya. Pelan-pelan kudekatkan hidungku, bibirku dan lidahku. Aku nekat. Mulai mengulum dan melumati jari-jari kakinya itu. Aku menunggu reaksi Warni.

Kaki itu terkaget namun lantas diam. Yang kudengar berikutnya adalah desah..

“Mbak.. Kok beginii.. Sih mbaakk..”

Geliatnya membuat aku sedikit menahan kakinya agar tak lepas dari kulumanku. Lidah dan bibirku merasakan kesat licin pori-pori jari kakinya. Aku melumatnya hingga kurasakan keringat tipisnya larut dalam ludahku. Aku menikmati dengan menelannya.

“Saya merinding mbaakk..” tanganku juga mulai mengelus-elusi betisnya.
“Aachh.. Enak banget siihh..” aku lega.

Mulai aku menggigit. Telapak kakinya kujilati dan juga aku menggigitnya. Dia benar-benar menggelinjang.

“Mbaakk.. Ampuunn.. Geli bangett..”

Kini mulai ada perlawanan. Namun bukan untuk menghindar. Itu perlawanan dalam geliat nikmat hasrat syahwat yang mulai menerpa sanubari Warni. Aku hanya semakin erat memegangi betisnya. Lidahku melata dan kugigit tumit Warni. Uucchh.. Tumit ini bak ujung telur ayam kampung. Begitu indah namun nampak begitu rentan. Dengan halus aku menjamahnya. Kulepaskan gigitan lembut di atasnya dan kembali keringat tipis tumitnya larut dalam ludahku yang langsung kusedot menelannya.

Sekali lagi Warni berontak menggeliat. Namun bukannya melawan. Geliatnya ternyata untuk mengubah posisi. Dia kini tengkurap. Dan yang kusaksikan adalah sebuah kejutan sensual. Lereng, lembah dan gunung muncul dari tubuh Warni yang setengah telanjang. Dari arah telapak kakinya yang sedang dalam pagutanku aku menyaksikan betis yang bak padi bunting kemudian menjauh nampak lipatan lututnya yang mengandung kerutan. Disana biasanya tersimpan aroma keringatnya. Lidah dan bibirku mulai melata naik.

Saat aku mulai menyentuh kemudian melepaskan jilatan serta sedotan kecil bibirku pada betis mulus itu,

“Adduhh.. Mbak Marini.. Enak bangeett.. Teruss mbaakk.. Enak bangett mbakk..”

Walaupun aku sudah menduga sebelumnya, namun suara desah dan racau Warni ini tetap merupakan kejutan bagiku. Aku merasakan bahwa kini sepenuhnya kegelisahan syahwatku telah pudar. Hasrat akan cinta sesama perempuan mendapatkan saluran dengan desah serta rintih Warni ini. Kini aku mulai meliar tanpa ragu. Aku sedot kuat-kuat betis itu hingga meninggalkan cupang. Warni menjerit,

“Mbaakk.. diapain akuu.. Mbaakk…” jeritan yang sangat indah merangsang syahwat telingaku.

Tanganku mulai meliar pula. Rabaan-rabaan kulepaskan pada pahanya serta gundukkan bokongnya. Aku terus melata, ciuman dan kenyotan bibirku naik merambah pelataran pahanya yang dduuhh.. Sangat mulusnyaa.. Rupanya semua ini merupakan sensasi bagi Warni. Dia menggelinjang hebat. Tubuhnya menggeliat-geliat menahan derita nikmat syahwat. Tangannya bergerak kebelakang langsung meraih rambutku,

“Mbakk.. Terusin Mbaakk.. Teruss mbakk.. Enak mbaakk..” ditarik-tariknya rambutku. Dia sepertinya ingin agar aku menciumi bokongnya. Ahh.. Warnii.. Jangan khawatir.. Aku akan menuju ke sana..

Tanpa lagi ragu aku menggiring wajahku menuju bukit kembar bokongnya yang terbungkus celana dalam putih ini. Aku memang ingin menikmati aroma bokong berikut celana dalamnya. Aku belum ingin melepaskan bungkusnya itu.

Aku langsung ‘nyungsep’ menenggelamkan wajahku ke bokong indah itu. Aromanya langsung menyergap hidungku. Aku menarik nafas dalam-dalam untuk sebanyak mungkin menyedoti baunya yang sangat khas.

Ternyata naluria alami Warni berjalan sebagaimana seharusnya. Gejolak syahwat yang melanda berkat serangan ciumanku menuntun dirinya untuk bergerak nungging. Dengan kepala beserta dadanya yang merayap di ranjang dia nagkat pantatnya tinggi-tinggi. Ini artinya dia memberikan kesempatan padaku untuk sepuasnya menciumi maupun menjilati pantatnya. Dan tak mungkin kulewatkan.

Lidahku mencari tepian celana dalam itu kemudian menggigitnya. Dengan mulutku aku perosotkan celana itu hingga pantat Warni ter-ekspose putih telanjang. Melihat apa yang memang pasti kulihat aku langsung seperti kerasukkan. Aku menyaksikan sebuah paduan harmonis dalam bentuk nyata. Sebuah gundukkan licin tanpa cacat mengarah ke bawah. Nonok Warni menunjukkan cembung bibirnya berikut kelentitnya yang bak sayap kupu-kupu kembar menunggu kumbang menyentuhnya. Lidahku mengeluarkan liur.

Lebih naik lagi kulihat sebuah titik pusat yang diseputari keriputan lembut yang membentuk titik pusat itu. Aku pastikan itulah lubang dubur Warni. Ooww.. Kenapa lubang itu demikian mempesonaku?? Ahh.. Aku merasakan ada yang mengalir becek dari vaginaku.

Cairan birahiku tak mampu kubendung. Apa yang kusaksikan mendesaki cairan ini untuk merembes keluar. Aku memang telah sangat terangsang. Aku ingin selekasnya melepaskan jilatn-jilatanku. Aku ingin menikmati indahnya lubang dubur Warni di lidahku. Aku mulai melepaskan jilatanku.

Aku mulai dari bawah. Dengan mendesakkan mulutku ke vagina di selangkangannya aku menjilati bibir vaginanya itu. Aku juga telah merasakan adanya cairan yang lengket asin. Aku yakin Warni telah terbakar birahi. Aku semakin liar mendesaki kemaluannya. Aku menyedoti cairan lengketnya.

Kemudian ciumanku menaik aku merambati bukit terjal mengantar lidahku menuju lubang duburnya. Warni meracau dan merintih tak tertahan,

“Mbaakk.. Belum pernah aku nikmat seperti ini mbaakk.. Tolong Mbakk terusinn yaa.. Aku enak banget mbaakk Marini. Terus jilati ya mbakk..” ah entah apa lagi racaunya itu.

Duburnya tidak langsung kujilat. Aku membaui dulu. Hidungku mengusel-uselnya dulu. Aku ingin bau sebenarnya kutangkap sebelum terkontaminasi dengan ludahku. Aku merasakan bau yang hangat. Bau khas dan hangat dari lubang dubur.

Uselan hidungku pasti memindah alihkan aroma duburnya itu ke hidungku. Sesudah itu baru dengan penuh serta merta dan dahsyatnya nafsu aku menjilati lubang itu. Dduuhh.. Warnii.. Kenapa kamu cepat pinterr siihh.. Warnii.. Aku sayang kamuu.. Biar aku jilati lubang taimu aku mau dan sayang kamuu..

Tak kuduga, tiba-tiba Warni seperti kemasukan setan. Dia berteriak histeris dambil bangkit langsung memeluk aku,

“Mbakk, mbakk, mbaakk.. Gimana inii.. Saya jadi seperti inii.. Rasanya haus bangeett.. Tenggorokanku kering bangeett.. Mbakk.. Saya takuutt..” sambil nampah wajahnya merah, bingung dan ngap-ngapan.

Serta merta aku peluk dia. Aku ciumi pipinya, lehernya, dagunya kemudian bibirnya. Uuhh.. Ternyata dia langsung merangsek aku. Dia ‘terkam’ aku dan mencakar punggungku. Seperti serigala betina dia pagut bibirku dan melumatnya. Dia nampak sangat ‘kehausan’, dia ingin minum sebanyak mungkin ludahku, dia benar-benar tak terkendali. Keringatnya mengucur deras dari seluruh bagian tubuhnya.

Aku langsung mengerti. Semua hal ini adalah ‘first time’ bagi Warni. Dia mengalami ‘kekagetan syahwat’. Dia merasakan sangat nikmat namun sekaligus takut, ‘ada apa ini’, dia asing dengan nikmat yang melandanya. Dan ciuman-ciumanku menurunkan ‘tensi’nya. Dia nampak reda dan pelan-pelan menjadi tenang.

Saat telah kembali menguasai dirinya dia dengan ‘dalam’ membalas ciuman dibibirnya,

“Maafin saya ya Mbak.. Sungguh aku tadinya nggak ngerti lho.. Tetapi aduuhh.. Mbak Marini pinter sekali.. Aku merasakan enaakk bangett.. Aku pengin terus begini mbaakk…”

Ahh.. Aku jadi iba. Warni terlampau lugu. Namun aku juga nggak boleh setengah jalan. Aku melepasi baju dan rokku. Kini aku setengah telanjang, tinggal ber-BH dan celana dalam saja. Aku langsung menurunkan ciumanku ke dadanya, ke ketiaknya, ke tulang iganya. Dia terus bergelinjangan, namun tak mau berhenti,

“Teruss Mbakk.. Teruss..” dan aku menyambutnya.

Kini aku ‘ngusel-usel’ perutnya. Kujilati pusernya. Aku jilati pinggulnya. Tangan-tanganku mulai mencakar lembut paha-pahanya. Juga jari-jariku mulai menyentuhi bibir vaginanya. Syahwat birahi Warni menanjak tajam tanpa ’shock’. Dia tetap menjadi menguasai diri. Sesekali dengus desah dan rintihnya mengiba-iba. Aku yakin dia minta aku puaskan. Yaa.. Aku akan ke sana.

Lumatan bibir dan jilatan lidahku meluncur turun lagi. Aku menemukan rambut-rambut halus di seputar kemaluan Warni. Sangat nikmat menciumi gundukkan kemaluan sementara dagu atau pipi menyentuhi rambut itu. Kemaluan Warni sungguh mempesona. Sebuah bukit kecil merah ranum, ditengahnya ada belahan lembut dan lereng kecilnya. Dan lebih ke bawah lagi aku menemukan gelambir klitoris yang bak sayap kupu-kupu.

Merah bening mewarnai sepasang klitoris itu. Dan yang langsung menyergap aku adalah aroma pedesaannya. Kemaluan Warni sungguh wangi seperti akar pandan. Bibirkku langsung melumat tepiannya. Dan seketika pula rambutku terjamah tangan-tangan Warni yang meremasinya. Dia menahan gelegak syahwatnya. Serasa dia hendak mencabik rambutku dari kulit kepalaku. Rasa pedih menjadi penyedap birahiku dalam menjilat dan melumat-lumat vagina Warni. Sungguh dialah anak perawan desa. Dan ketika klitorisnya aku emut dan kenyot tak ayal pula dia berteriak nyaring,

“Aampuunn.. Mbak Marinii.. Jangann.. Hah.. Hahh.. Hahh.. Aammppuunn..” dia benar-benar gelagapan.

Oleh karenanya aku perlu diam sesaat. Aku kembali mengelusi pahanya pelan agar dia tenang lagi.

“Mbaakk.. Enak bangett.. Tetapi saya nggak kuat rasanyaa..”

Namun sambil mengucapkan ‘nggak kuat rasanya’ Warni merebahkan diri kembali dengan membiarkan memeknya berada di depan bibirku. Aku maknai bahwa dia ingin aku meneruskan apa yang telah aku mulai. Kini tanpa ragu aku langsung mencium kemudian melumati vaginanya. Desah dan rintihnya bertubi namun kuacuhkan. Lidahku sudah menyeruak jauh ke lubang vaginanya. Aku rasa cairan birahi Warni telah mengalir deras sejak awal tadi. Aku sepertinya menyedot kelapa muda. Cairan birahinya kuteguk-teguk dan kurasai asin kentalnya. Aku tak bosan melumati memek dengan wangi akar pandan ini.

Warni bergelinjangan. Dia mengangkat-angkat pantatnya. Rasanya dia berharap aku menusukkan lidahku lebih dalam lagi. Inilah bentuk kegatalan yang paling puncak. Yang kulakukan kemudian adalah menyedotnya kuat-kuat. Gelambir klitorisnya ku kenyot-kenyot dan menggigitnya kecil.

Kini aku gelisah, syahwatku demikian mendesaki wilayah vaginaku. Serasa pengin kencing. Keringatkupun mulai turun mengucur. Tubuhku memanas terbakar gelora birahiku sendiori. Aku merasakan kegatalan tak terhingga pada dinding vaginaku. Aku ingin menggaruk. Dengan apa?

Sementara Warni tengah mendaki puncak syahwatnya. Pantatnya naik turun dengan semakin tak terkendali. Gatal vaginanya untuk menjemputi lumatan bibir dan jilatan lidahku. Aku rasa beberapa detik ke depan dia akan histeris menyambut orgasmenya. Aku cepat bergeser menindih kedua tungkai kakinya. Aku pepetkan selangkanganku tepat ke salah satu lututnya. Aku menggesek-gesekkan vaginaku ke lutut Warni untuk menyalurkan kegatalan vaginaku. Warni abai. Dia hanya berurusan dengan orgasmenya yang semakin mendekat. Dan..

“Hoocchh.. Hhoocchh.. Hhaacchh.. Hhoocchh.. Mbak Marinii.. Ampuunn.. Mbakk.. Mbaakk..”

Dia peluk aku dengan tangannya yang juga mencakar. Barut-barut langsung menandai punggungku. Rasa pedih langsung kurasakan. Namun rasa pedih itu berbarengan pula dengan nikmat yang melanda aku..

Ahh.. Bisa jugaa akhirnyaa.. Aku dan Warni meraih orgasme secara bersama. Namun aku tak langsung berhenti. Aku masih menggeseh-gesekkan kemaluanku pada lutut Warni. Sementara puncratan cairan birahi Warni terus menderas keluar dari memeknya. Aku menampung dalam penuh mulutku. Aku meminumnya. Aku menelan rasa asinnya. Sungguh cairan perawan ini sewangi akar pandan dan mengingatkan pada legit air kelapa muda. Dd.. Duhh.. Duhh.. Warnikuu..

Demikianlah aku menikmati perawan Warni. Malam itu dia menjadi kekasihku sepenuhnya. Kami menjadi sepasang kekasih yang saling menikmati madu. Rasanya tak kenal waktu. Menjelang subuh baru kami terlena.

Pelampiasan syahwat sesama perempuan antara aku dan Warni berlangsung hingga Bu Mitro balik. Selama 5 hari tak ada waktu untuk yang lain. Kami saling memanjakan, memberi dan menerima dengan segala kepuasan syawati. Aku sangat menyayanginya dan sebaliknya Warni menyayangi aku.

Memang yang terbaik kemudian adalah mengakhirinya. Warni balik mesti bekerja untuk Bu Mitro dan aku kembali melayani Mas Aditya suamiku.

Tak kusangkal, pada waktu-waktu tertentu apabila ada kesempatan aku dan Warni kembali berasyik masyuk.