Kisah yang betul-betul nyata ini aku alami kira-kira pada tahun 1996, ketika aku masih umur 16 tahun dan aku masih duduk di kelas 3 SMP di kotaku. Waktu itu aku sudah bergabung dengan salah satu klub senam yang memang menjadi salah satu olahraga favorit anak-anak seusiaku, selain sepak bola dan bulu tangkis tentunya. Aku sendiri tidak tahu kenapa aku dimasukkan ke klub senam, kok bukan yang lainnya, karena aku masuk bukan karena kehendakku tapi kehendakorangtua dan aku sendiri tidak bisa menentang dan membantah, karena disamping aku harus patuh sama orangtua dan lagian aku tahu kalau setiap orangtua pasti memilih yang terbaik untuk putranya.
Tiap hari sehabis pulang sekolah aku musti latihan dengan baik dan giat, karena kalau tidak latihan satu hari saja, maka orangtuaku pasti mendanpratku habis-habisan dan besoknya aku pasti mendapat hukuman dari pelatihku. Mulai disuruh push up, set up, scot jump dan lain-lain. Tapi hasil didikan yang begitu keras dan melelahkan itu cukup bagus, terbukti kami selalu dikirim ke kejuaraan baik tingkat desa, kecamatan atau kabupaten bahkan tingkat propinsi pun pernah kami rasakan. Dan itu semua tidak lepas dari sistem pembinaan di tubuh klub yang aku tempati.
Bayangkan saja tiap kelompok (1 kelompok terdiri dari 10 anak) mempunyai 1 palatih yang tentunya sangat profesional dan tidak diragukan lagi kemampuannya. Dan aku pun beserta 9 anak lainnya, juga dilatih oleh seorang pelatih yang profesional. Om Ferdy begitu biasanya dia di panggil. Sedangkan nama lengkapnya **** (edited). Dia seorang laki yang kira-kira umur 32 tahun, bertubuh tinggi tegap, agak gempal, berbulu lebat baik di dada, tangan dan ketiaknya. Walaupun wajahnya biasa-biasa saja tapi tidak mengurangi ke-macho-an dan keperkasaannya. Apalagi tatapan mata dan senyumnya, aku yakin dapat meruntuhkan semua gadis-gadis di dunia ini. Walaupun dia agak dingin tapi hatinya baik dan sopan sekali. Malah kadang-kadang dia suka humor. Karenanya banyak anak-anak yang ingin dilatihnya. Mungkin karena dia teman dekat ayahku sehingga aku sangat beruntung dilatih oleh Om Ferdy. Seorang pelatih tampan, gagah, macho dan profesional tentunya. Pada mulanya aku tidak menghiraukan semua itu. Biar dia macho kek, tampan kek aku tidak perduli, toh dia laki-laki aku pun laki-laki memang mau apa pikirku kala itu. Mungkin karena faktor usiaku yang masih anak-anak dan belum mengenal dunia yang macam-macam, hingga aku tidak tertarik sedikitpun padanya.
Akhirnya aku hanya berlatih, berlatih dan berlatih. Dan Om Ferdy aku anggap sebagai ayahku sendiri, karena dia begitu sayang dan perhatian padaku ketimbang pada yang lainnya. Waktuitu aku tidak mengerti kenapa dia seolah-olah menganak-emaskan aku dan selalu lebih dekat pada diriku ketimbang pada anak-anak yang lainnya. Sehingga tak heran jika banyak teman-temanku yang iri melihat perhatiannya Om Ferdy padaku yang melampui batas. Hingga suatu hari ketika kami sedang latihan, "Aldy, kakinya kurang lurus!" instruksinya ketika aku kurang sempurna dalam melakukan teknik trampolin (salah satu teknik dalam senam dengan posisi kaki di atas dankepala di bawah). Sejurus kemudian dengan ketelatenannya dia meluruskan kakiku. Tapi tegangannya kali ini terasa aneh sekal. Dia tidak hanya memegang betisku yang perlu diluruskan tapi pahaku juga ikut-ikutan dipegang dan agak mengelus-elus daerah yang merangsangkan itu, hingga akhirnya aku tidak konsentrasi lagi dan posisiku langsung rusak, karena merasa geli sekali diraba-raba begitu rupa. "Lho kok berhenti, ayo ulangi lagi," katanya. Tanpa menugguperintah yang kedua kalinya aku pun mengulangi teknik trampolin. Tapi kali ini salah lagi katanya, aku pun mencobanya lagi tapi salah lagi, begitu seterusnya hingga aku mengulangi teknik ini berpuluh-puluh kali tapi selalu kegagalan yang aku dapatkan.
Aku sendiri tidak tahu mengapa teknikku salah terus katanya, padahal bagiku sudah benar dan tidak ada yang salah.
"Sudah Aldy, nanti kamu cedera," katanya.
"Tapi aku belum bisa Om," bantahku.
"Oke, karena waktunya sudah habis kamu boleh istirahat. Tapi oh ya nanti kamu bolehke rumahku untuk menambah porsi latihan, bagai mana mau?"
"Hmm.. oke," jawabku enteng.
Memang aku sering menambah porsi latihan apalagi kalau ada teknik yang belum aku kuasai, tanpa disuruHPun aku pasti menambah porsi latihanku di rumah Om Ferdy. Dan memang, di rumah kontrakannya ada ruangan khusus untuk menambah porsi latihan.
Setelah aku pamitan sama orangtua, kira-kira jam 19:00 WIB aku berangkat ke rumah Om Ferdy. Sesampainya di sana aku merasa heran, yang ada kok cuma aku yang lainnya mana? pikirku. Karena kalau menambah porsi latihan itukan biasanya sama teman-teman satu kelompok. Tapi kali ini kok aku sendirian. Tapi akhirnya aku tidak mengacuhkan keadaan ini. Mungkin Om Ferdy ingin memberiteori khusus pada diruku, pikirku kala itu. "Oke, ganti baju dan segera kita mulai," katanya. Aku pun langsung ganti baju (cuma pakali celana pendek dan telanjang dada). Tapi anehnya matanya yang tajam itu selalu menatapku bagai burung elang yang mau menangkap mangsanya. "Gila! kenapa dia?" gerutuku dalam hati. Tapi aku tak menggubris semua itu. "Oke kita mulai Al!" suruhnya. Dengan gerakan yang sangat lincah bagai burung walet aku pun memperagakan satu persatu teknik yang aku pelajari. Mulai teknik trampolin, pommel horse dan lain-lain. "Coba kamu ulangi lagi teknik trampilon!" suruhnya. Tanpa ba-bi-bu aku pun mengulangi teknik itu.
"Tangannya kurang lurus!"
"Begini Om?"
"Bukan, begini lho.."
Dia memegangi tanganku untuk diluruskan. Tapi anehnya dia tidak meluruskan tanganku malah mengelus-elus tangan yang masih dalam posisi tegak itu, hingga membuatku tidak konsentrasi lagi dan aku hampir jatuh kalau tidak ada tangan kekar dan hangat menangkap pinggangku. Ternyata tangan yang hangat dan kekar tadi itu tangannya Om Ferdy, yang tahu-tahu sudah membopongku.
"Terima kasih Om."
"Are you welcome."
"Turunkan aku Om!" pintaku, karena aku malu dibopong lama-lama dengan cuma pakai celana pendek dan telanjang dada.
Tapi bukan jawaban yang aku terima tapi sebuah kecupan lembut dan hanagat sekali tiba-tibamendarat dikeningku.
"Apa maksud Om?"
"Nanti kamu akan tahu," katanya, sembari membawaku ke tempat tidurnya.
Entah mengapa aku tidak berontak waktu itu. Padahal aku ingin menolak tapi bagai terhipnotis diriku menurut saja ketika aku dibawa ke kamar yang harum sekali dan dipenuhi gambar-gambar cowok. Dengan lembut sekali dia membaringkan aku seiring kecupan yang mendarat dikeningku dengan sangat mesra sekali.
Oh nikmatnya kecupan yang membuatku terlena, pikirku kala itu. Entah mengapa aku ingin diperlakukan yang lebih dari sekedar kecupan dari laki-laki yang menjadi pelatihku ini. Kemudian bibirnya yang hangat itu mencium pipiku dengan beringasnya, dengan sesekali menjilati pipiku yang masih ranum itu. Sejurus kemudian bibirnya memagut bibirku. Oh.. betapa nikmatnya pertemuan dua bibir itu, membuat aku mabuk kepayang. Apa lagi ketika dia menyuruh mengeluarkan lidahku, lalu lidah yang aku julurkan itu disedotnya dalam-dalam penuh arti sejuta nikmat. Sedangkan tangan Om Ferdy tak tinggal diam. Dengan pengalamannya dia mengelus-elus pahakuyang lembut dan lunak itu dengan sangat mesra sekali. Dibelainya pahaku yang segar itu, hinggamembuat darah mudaku mendesir tak karuan. Setelah puas menjilati dan mengecup wajahku, kini giliran ketiakku yang mendapat jilatan dan kecupan yang sangat hangat oleh lidahnya yang sesekali dikeluarkannya. Baik ketiak kanan dan kiri tak luput dari incarannya. Lalu susuku yang mendapat giliran berikutnya. Kadang dihisap, kadang ditarik, kadang digigit dan kadangdengan lidahnya dia memutar-mutar puting susuku searah bentuknya.
"Oh.. enaak.." rintihku.
"Kamu suka Aldy," katanya, sambil tangannya melepaskan celana pendek dan CD yang aku pakai.
"Teruskan Om!" pintaku.
Medapat permintaan seperti itu langsung saja dia memburu perut dan pusarku yang merangsangkan sekali. Sedang aku sendiri pun tidak tinggal diam. Merasakan Om Ferdy mempermainkan gairahku, dengan pengalamanku yang tergolong minim, kupreteli semua busana yang melekat pada tubuhnya. Mungkin dia mengerti yang aku mau hingga dia tidak memberontak tatkala kulepas busana yang dipakainya. Sempat kaget aku melihat dzakar yang sudah menantang di depan mata.
"Wow besar sekali."
"Kamu pasti suka, cobalah!"
"tidak ah aku tidak bisa Om."
"Coba dulu!"
Dengan agak memaksa dia menyuruhku untuk mengoral zakarnya yang belepotan prescum itu. Agak tersedak kerongkonganku ketika zakar yang berukuran kira-kira 21 cm itu masuk ke mulutku sampai pangkalnya. Sedangkan dengan pengalamannya dia mencoba membantuku dengan memaju-mundurkan kemaluannya yang besar itu. Oh.. enaak sekali rasanya. Sedangkan tanganku pun tidak tinggaldiam. Dengan tangan kiriku, kupermainkan buah zakarnya yang agak kemerah-merahan itu. Kuelus dengan hati-hati sekali dan penuh pengertian, lalu benda yang ada telurnya itu aku tarik perlahan-lahan. "Oh enaak teruskan Al!" rengeknya, sambil menggelinjang tidak karuan.
Sedangkan tangan kananku kugunakan untuk mengocok zakarku sendiri yang sudah berdiri daritadi. Rupanya dia betul-betul pengalaman sekali, terbukti jika aku mempercepat kulumanku padadzakarnya dia mempercepat gerakannya, begitu juga sebaliknya bila aku memperlambat gerakanku dia pun memperlambat gerakannya. "Oh enaak.." rancaunya, tatkala lidahku memainkan lubang kecil yang berada di ujung benda yang kenyal itu. Aku memeng paling suka mempermainkan lubang kecil itu. "Hmm.. lezaat.." mungkin begitu pikirku kala itu. Setelah agak lama aku mengulumpisang ambon Om Ferdy, rupanya dia dikuasai oleh nafsu birahi yang tak tertahankan, hingga wajahnya bersih itu makin lama makin memerah bak kepiting di rebus. "Aku mau keluar Al.." rintihnya, seiring dengan cepatnya gerakan Om Ferdy dan akhirnya, "Crott.. crott.. crott.." Kami mengeluarkan mani hampir beesamaan. Kutelan semua sprema Om Ferdy yang walaupun agak asin itu tapi nikmat sekali, lalu kujilati sisinya. Begitu pula dia, dijilatinya spermaku yang muncrat kemna-mana, di jilatinya satu persatu, mulai mani yang ada di zakarku, lalu di pahakusampai di ubin pun di lahapnya habis. Tidak ada kata-kata yang dari keluar dari mulut kamiberdua, karena kenikmatan dan kebahagian dan kenikmatan yang kami rasakan tidak bisa dilukiskan dengan kata-kata.
Bersambung . . . .