Dua malam sudah kami menginap di rumah kebun milik Om Tei. Dua malam yang penuh dengan cinta dan gelora birahi. Dua malam pula aku terus berusaha membujuk agar Bahar mau singgah di mess sepulangnya nanti dari kebun ini. Tapi dia tetap bersikukuh tak mau memenuhi permintaanku. Sikapnya ini sempat membuatku kesal.
"Abang takut ketemu Pak Gun, ya?" aku memulai menyinggungnya waktu kami berdua sedang berbaring menjelang waktu tidur.
Bahar menggeleng, "Bukan begitu Mas. Kehadiranku di mess nanti pasti akan bikin kaget dia, dan ini bisa membuat suasana jadi tak enak"
Bahar menyebut Pak Gun dengan sebutan 'dia'. Seperti ada rasa antipati. Alasan yang dikemukakan Bahar pun rasanya juga terlalu berlebihan. Sebab sejauh yang kukenal, Pak Gun orangnya cukup toleran dan pengertian.
Kedatangan Bahar ke Manado kemarin memang mendadak. Demikian juga kepergian kami ke kebun ini. Dan Pak Gun belum tahu itu semua. Aku memang tak selalu pamit bila meninggalkan mess, kecuali untuk urusan yang penting. Apalagi pikiranku waktu itu lebih banyak terpusat pada kehadiran Bahar yang mendadak, jadi tak sempat pamitan dengan orang mess.
"Abang terlalu berlebihan.." kataku setengah menggumam. ".. Sebenarnya, ada apa sih, Bang?" lanjutku ingin mendapatkan jawaban yang lebih jelas dan tegas.
Bahar terhenyak mendengar intonasi kalimat terakhirku yang sengaja kubuat serius. Matanya menatapku, seperti menyimak sesuatu.
"Kenapa?" tanyaku membalas tatapannya itu.
Bahar menarik nafas sebentar, "Ehmmhh..," ia mendesah sebentar, lalu, ".. Saya hanya risih saja dengan orang-orang di mess nanti.."
"Terutama risih dengan Pak Gun, kan?" sahutku menambahi. Dan Bahar diam tak menyahut.
Selama ini aku dan Bahar memang, dan tentu saja, menjaga kerahasiaan hubungan kami. Barangkali Bahar merasa risih, karena di mess sudah ada orang yang telah mengetahui hubungan kami, meskipun orang itu-Pak Gun-tak ada bedanya dengan kami berdua. Jadi kenapa harus risih?
Hingga menjelang tidur, Bahar tetap tak memberikan jawaban apakah ia jadi mau mampir ke mess atau tidak.
"Ya sudah.., terserah..," akhirnya aku menyerah dengan sikapnya yang tetap diam.
Hari ketiga akhirnya menjadi sebuah antiklimaks. Pagi-pagi, begitu bangun tidur, aku rasanya sudah mau uring-uringan. Barangkali kalau tak berada di rumah Om Tei, mungkin sudah kulampiaskan kekesalanku menghadapi sikap Bahar semalam yang kukuh itu.
Pagi itu rasanya malas sekali untuk beranjak dari tempat tidur. Aku masih duduk tepekur di pinggir ranjang membelakangi tubuh Bahar yang masih terlelap, ketika tiba-tiba kurasakan tangannya menggapai punggungku. Aku hanya meliriknya sesaat. Malas untuk menanggapi.
"Mas.." tegurnya dengan suara masih parau. Aku tak menyahut. Diam.
Tubuhnya lalu beringsut mendekatiku. Masih dalam posisi berbaring, kedua tangannya lalu dilingkarkan ke pinggangku dari belakang, seperti tengah memeluk guling. Aku tetap duduk tak bergeming.
"Sudah bangun belum, sih?" tegurnya mencoba menggodaku yang tetap diam tak menanggapi. Aku harus bisa bertahan dari godaannya yang kadang-kadang memang jahil itu. Makanya aku segera berdiri, menepis kedua tangannya dari pinggangku dan beranjak masuk ke kamar mandi. Menutup pintunya. Klik! Langsung mandi.
Sebelum pintu kamar mandi kututup tadi, sempat kudengar Bahar berteriak 'Hey!' memprotes sikapku yang tak mengacuhkannya pagi ini.
Air mandi yang sejuk lumayan meredakan emosiku yang sudah tersulut sejak semalam. Sebenarnya aku paling benci bila pagi-pagi sudah uring-uringan. Bisa-bisa kebawa terus sepanjang hari. Bahar tahu persis kebiasaan jelekku itu.
Ada sekitar seperempat jam aku membersihkan badan. Ketika keluar dari kamar mandi, sayup-sayup kudengar alunan lagu blues. Kupikir Om Tei yang menyetelnya. Karena orang tua itu memang suka sekali dengan musik jenis ini dan cukup banyak pula koleksi piringan hitamnya. Tapi ternyata Bahar yang punya kerjaan.
Kulihat ia tengah bersandar menghadap keluar jendela kamar sambil merokok. Ia masih dalam 'pakaian tidurnya', bercelana dalam saja. Tubuhnya tampak bergoyang-goyang pelan mengikuti irama blues yang sendu, romantis dan mendayu-dayu itu.
Sebenarnya, bias matahari pagi yang menerobos jendela besar di kamar ini telah menciptakan sebuah siluet yang indah pada tubuh tegap yang hanya terbalut cawat putih tipis itu. Tapi aku mencoba tak menghiraukannya. Aku harus segera berpakaian karena saat itu tubuhku hanya terbalut handuk saja.
Tapi, sialan! Lemari pakaian tak bisa kubuka. Beberapa kali kutarik pintunya, tapi tak mau terbuka juga. Tampaknya terkunci dan kuncinya entah kemana. Pasti Bahar yang bikin ulah, gerutuku langsung menuduh, karena ia yang kemarin memasukkan tas dan pakaian kami ke lemari ini. Bagaimana aku bisa berpakaian? Dia kalau sedang usil, ada saja kelakuannya.
Kubalikkan badanku dan kutatap tubuhnya yang masih bersandar santai menghadap keluar jendela. Kudengar ia bersiul-siul di sela-sela isapan rokoknya. Aku hanya bisa mendengus. Sebal!
Tiba-tiba tubuhnya berbalik dan melihatku. Dia menghentikan siualannya dan mematikan rokoknya pada tepi jendela dan membuang puntungnya keluar. Lalu tersenyum ke arahku.
"Eh, Mas Har. Sudah selesai mandinya?" tanyanya seperti basa-basi, tapi nada suaranya lebih terdengar seperti meledek.
Aku diam, kesal. Dia masih terus tersenyum, lalu melanjutkan siulannya mengikuti lagu berikutnya. Tubuhnya kemudian pelan-pelan menuju ke arahku sambil sedikit bergoyang-goyang mengikuti irama blues. Tangannya terentang seolah mengajakku untuk ikut menikmati irama lagu itu.
Sebenarnya kalau sedang tak kesal, akan kutanggapi kegilaannya pagi ini. Karena goyangan tubuh yang hanya bercelana dalam itu terlihat sexy, sangat sexy. Apalagi sesekali pinggulnya sengaja bergerak secara erotis. Menyentak-nyentak mengikuti bunyi bass irama blues yang khas berdentum-dentum. Tapi aku tetap diam saja. Bahkan sesekali aku menutup mataku dan menggeleng-gelengkan kepalaku untuk menunjukkan bahwa aku sedang tak mau menanggapi candanya pagi ini. Tapi anehnya, pejaman mata dan gelengan kepalaku itu kurasakan bukan sebagai sikap penolakan, tapi lebih disebabkan karena aku sulit untuk menepis godaannya.
Melihat sikapku, Bahar tak jadi menghampiriku. Tinggal beberapa tapak lagi ia menghentikan langkahnya. Tapi sikapnya tetap santai. Jarinya menjentik-jentik, kepalanya bergerak-gerak dan pinggulnya bergoyang-goyang pelan di tempat ia berdiri. Bibirnya bersenandung menikmati irama.
"Mana kunci lemarinya?!" akhirnya aku keluar omongan dengan nada kesal sambil menadahkan tanganku ke arahnya.
"Di sini.." katanya tenang sambil menunjuk ke bagian depan celana dalamnya. Sementara tubuhnya terus bergoyang-goyang dengan santainya. Dasar tengil!
"Bang! Aku serius nih!"
"Aku juga serius..," dia tetap tenang sambil bersiul-siul.
Akhirnya kubanting tubuhku ke kursi dekat lemari pakaian dengan perasaan jengkel. Tak tahu musti berbuat apa lagi. Kalau saja kondisiku tidak hanya berbalut handuk seperti ini, aku pasti sudah keluar meninggalkannya sendirian di kamar ini.
Dia kalau semakin dikejar biasanya malah semakin menjengkelkan. Tapi apa lagi yang bisa kuperbuat? Mau tak mau aku terpaksa duduk memperhatikan tingkahnya yang pagi ini seperti anak kecil ingin diperhatikan. Barangkali dia sedang kerasukan setan kebun!, umpatku.
Lagu berikutnya terdengar sangat kental irama bluesnya, membuat gerakan Bahar makin menjadi-jadi. Sesekali kedua tangannya diangkatnya ke atas, menampakkan bulu lebat yang tumbuh subur di sepanjang ketiaknya. Sambil mengangkat tangan begitu, pelan-pelan pinggulnya bergerak ke kiri dan ke kanan. Maunya erotis, tapi aku lebih melihatnya seperti seorang binaragawan yang tengah beraksi. Hampir saja aku tertawa geli melihat gayanya yang konyol. Tapi aku masih gengsi menampakkan reaksiku atas kegilaannya itu.
Dasarnya Bahar memang sedang berniat untuk menggoda. Dan ia tahu persis bagaimana harus menggodaku. Kini, masih dengan tangan terangkat dan pinggul berputar-putar pelan, tubuhnya lalu berbalik membelakangiku. Kemudian pelan-pelan kedua tangannya turun ke arah pantatnya. Mengelus-ngelus, meremas dan lalu memutar-mutar kedua bongkahan padat yang tertutup celana dalam putih itu. Hey, dari mana dia belajar menari dengan gaya striptease seperti itu?
Aku akhirnya harus tersenyum. Tapi aku akan tetap tak akan menanggapi keinginannya pagi ini. Akan kulihat sampai sejauh mana ia akan tahan. Kubiarkan ia memanaskan sendiri tungku birahinya, dan biar ia sendiri yang menuntaskannya. Aku tak mau terlibat! Bahkan seseru apapun pertunjukkan yang dipertontonkan padaku; seperti ketika kedua tangannya pelan-pelan mulai memelorotkan bagian belakang celana dalamnya, sehingga sedikit demi sedikit belahan dan bukit pantatnya yang berbulu itu mulai terkuak. Lalu ditingkahi dengan goyangan yang erotis.
Kulihat beberapa kali matanya melirik ke arahku dan tersenyum. Kelihatan sekali ia mau menggodaku. Cepat-cepat aku pasang muka acuh tak acuh, meski dalam hati aku mulai senang dengan hiburan gratis yang dipertontonkan padaku.
Aku belum pernah melihat pertunjukan striptease. Apa dan bagaimana striptease itu, aku pun tak pernah membayangkannya. Apalagi striptease yang dilakukan oleh laki-laki. Tapi pagi ini, ada orang yang dengan sukarela memberiku gambaran bagaimana striptease itu. Mungkin bukan gambaran yang memuaskan, karena Bahar bukanlah profesional untuk itu. Ia melakukannya karena ingin menggoda dan merayuku yang pagi ini sedang ngambek berat.
Bersambung . . . . .