Pelan-pelan digesernya tubuh kami beringsut ke bawah pancuran. Dan ketika curahan air mulai menimpa-nimpa, rasa segar langsung terasa. Basahlah seluruh tubuh kami. Dalam kondisi basah kuyup begini, kulit jadi terasa lebih licin. Tubuh kami yang tengah bergelut itu terasa berpilin-pilin satu sama lain. Setiap sentuhan terasa meluncur-luncur licin. Menimbulkan rasa geli yang nikmat. Apalagi Bahar kemudian mulai menggesek-gesekkan bagian bawah tubuhnya. Gerakannya erotis sekali. Aku tak lagi sanggup mengimbangi. Kubiarkan apa saja yang diperbuatnya. Lebih-lebih ketika tubuhnya pelan-pelan merayap ke bawah dan begitu sampai di pangkal pahaku, mulutnya langsung menyergap.
Bahar adalah lelaki yang aku tahu persis apa yang diinginkannya. Apalagi dalam bercinta. Ia tak mau diinterupsi bila tengah asyik melakukan sesuatu yang ia inginkan. Tapi ia konsisten. Ia akan melakukannya dengan baik dan memuaskan kedua belah pihak. Maka kubiarkan mulut dan lidahnya beraksi di bawah sana. Aku tak bisa melihat dan memang tak mau melihat. Aku hanya mau meresapi apa yang tengah ia lakukan.
Tak hanya batang dan kepala kemaluanku yang jadi sasaran. Tapi seluruh daerah selangkanganku layaknya wilayah kebun yang harus dirambahnya. Lipatan pahaku beberapa kali diusik oleh kumis dan berewoknya yang sudah basah kuyup itu. Lalu lidah dan mulutnya cukup lama bergerilya di kedua bulatan pelirku. Cukup lama ia bermain-main di situ. Sebelum akhirnya gerakannya makin bergeser dan berhenti pada celah di bawahnya. Aku harus meregangkan salah satu kakiku dengan bertumpu pada salah satu batu besar yang ada di situ untuk memberi keleluasaan padanya bermain-main di bawah selangkanganku.
Lalu, entah sejak kapan, tubuh kami tiba-tiba sudah bergeser ke arah batu gunung besar yang ada di bilik mandi itu. Tahu-tahu Bahar telah mendorong rebah badanku dan meneruskan permainan mulutnya di lubang kecil bagian bawah tubuhku. Kedua kakiku disampirkan pada bahunya. Membuatnya makin leluasa menyiapkan diriku untuk persetubuhan yang tampaknya sudah lama tak dilakukannya.
Bagaimana aku bisa menolak semua ini. Rasa nikmat yang ditimbulkan melambungkanku ke atas langit biru yang bisa kulihat dengan jelas dalam posisi telentang seperti ini. Pohon-pohon tampak beroyang karena angin. Sementara tubuhku mulai gelisah bergoyang karena telusuran lidahnya. Serangga dan binatang di sekitar kebun terdengar bersuara-suara mungkin karena kelaparan. Sementara aku melenguh dan mendesah karena mulai menginginkan.
Ketika aku makin gelisah dan kedua kakiku mulai menyentak dan menjepiti kepala Bahar, perlahan baru ia mulai menyadarinya. Tubuhnya pelan-pelan mulai beranjak. Lalu diangkatnya kaki kiriku ke arah bahunya sementara kaki kananku dibiarkan menjuntai di atas batu gunung besar itu. Memposisikan aku sedemikian rupa sehingga selangkanganku terbuka, siap untuk sebuah permainan.
Kututup mata ketika kulihat ia mulai membimbing miliknya ke arah sasaran. Kurasakan sebuah benda pejal kenyal berusaha diselipkan ke celah tubuhku. Pelan tapi pasti. Lalu mulai kurasakan bagian yang membonggol mulai berhasil menelusup. Diulir-ulir sebentar untuk kemudian makin ditekan menembus ke dalam..
Kubuka mata. Bahar menatapku serius. Wajahnya basah kuyup oleh air pancuran. Air tampak menetes-netes dari cambang dan berewoknya yang juga basah kuyup. Matanya memerah penuh nafsu. Nafsu yang sedang tinggi-tingginya dan butuh penyaluran. Maka kuberikan isyarat padanya untuk segera melanjutkan. Dan ia menurut.
Sambil tetap terus menatapku, Bahar lalu mulai menekan pantatnya ke depan. Menekan dan terus menekan. Perlahan kurasakan gesekan batang kemaluannya masuk menelusur menggelitik dinding di sekujur liang pelepasanku. Aku sampai menggigil kenikmatan. Sementara ia kulihat mengigit bibirnya sendiri ketika seluruh kejantanannya telah berhasil tertancap masuk hingga ke pangkalnya. Sejenak tangannya mencengkeram kuat kaki kiriku yang masih tersampir di pundaknya. Seolah ingin meresapi sejenak terjadinya penyatuan tubuh kami.
Kembali aku menatap Bahar dari posisiku yang masih telentang. Kali ini ia mencoba tersenyum ke arahku. Meski wajahnya tampak tegang. Aku membalasnya. Bukan senyum itu saja yang kubalas. Tapi penyatuan tubuhnya pun kusambut dengan membuat gerakan tertentu pada bagian bawah tubuhku.
Tak beberapa lama kemudian secara perlahan Bahar mulai memacu tubuhnya. Maju mundur. Pelan. Pelan. Kemudian bergerak memutar-mutar. Sedikit tapi nikmat sekali. Lalu ada beberapa kali secara perlahan-lahan pula ia bergerak mencabut untuk kemudian menusukkannya kembali. Perlahan. Penuh penghayatan..
Di sela gemercik air pancuran, mulai terdengar desah dan lenguh kenikmatan dari mulut laki-laki yang pernah kuibaratkan bagai kerbau liar itu. Bahar sama sekali tak kuatir suaranya akan terdengar di sekitar kebun ini. Lenguhannya begitu lepas bahkan sesekali berteriak tertahan. Mungkin ia sudah paham dan yakin bahwa situasi di sini aman-aman saja. Om Tei yang sudah renta mungkin bukan sebuah ancaman yang perlu diwaspadai.
Aku di bawah telentang pasif saja. Lalu kucoba meraih batang kemaluanku sendiri dan mengocoknya pelan-pelan. Tapi tangannya segera merebutnya dan gantian dia yang melakukannya. Rupanya ia ingin memberi servis untukku. Maka sambil tubuhnya terus menggenjot, tangan kiri Bahar melakukan gerakan masturbasi padaku. Kali ini gantian akulah yang mulai melenguh kenikmatan. Karena tangannya begitu ritmis memilin dan meremas milikku. Seiring dengan hentakan pinggulnya yang makin lama kurasakan makin gencar mendesak-menyentak.
Dulu Bahar pernah mengatakan padaku bahwa hal yang paling disukainya ketika bermain seks dengan sesama lelaki adalah karena"ada sesuatu yang lebih nyata untuk dinikmati". Aku tak tahu maksudnya apa. Apakah yang dimaksud adalah anal seks, oral seks? Ataukah ketika dua kelamin laki-laki bertemu telah memberikan gambaran nyata pada si lelaki itu sendiri? Aku tak tahu. Biarlah Bahar punya persepsi sendiri. Setidaknya hal itu menunjukkan bahwa ia adalah orang yang punya sikap dan punya pikiran yang jelas terhadap suatu hal.
Entah pikiranku sedang kemana. Tahu-tahu di tengah jalan pendakian menuju puncak kenikmatan, tiba-tiba Bahar mencabut batang kemaluannya dan segera membalikkan tubuhku untuk tengkurap. Jemarinya lalu menelusup ke lipatan pantatku dan merangsang daerah itu. Tampaknya dia ingin memasukiku dari belakang. Dan aku pikir akan lebih leluasa kalau aku dalam posisi merangkak saja.
Batu gunung tempatku bertumpu cukup menolong, karena permukaannya yang halus akibat sering terkena air, sehingga lututku tak terasa sakit waktu aku memposisikan tubuh untuk merangkak.
Bahar terus merangsangku di daerah itu. Sesekali jari tengahnya bergerak menggelitik dan menusuk perlahan. Kadang berhenti di dalam dan bermain-main menelusuri sekujur dinding bagian dalam. Badanku sampai menggigil karena kegelian. Dan ketika segalanya telah dirasa siap, ia pun mulai melakukan penetrasi dari belakang dalam sekali genjot. Dan dalam posisi begini, tusukan dan kepejalan kemaluannya sangat terasa sekali.
Dia kini memeluk tubuhku dari arah punggung. Tangan kanannya kemudian mengarah ke selangkanganku dan langsung meraih ketegangan yang ada di sana. Meremas-remas lalu mengocoknya pelan-pelan. Sementara tangan kirinya mengatur posisi kepalaku sehingga kami bisa berciuman dari sisi samping. Suara lumatan dan kecupan beradu dengan suara lenguh kenikmatan kami berdua.
Sementara di belakang sana, kurasakan sekali kedua pantatku berkali-kali berbenturan dengan paha gempal miliknya. Benturan itu menimbulkan suara kecipak yang cukup keras karena kedua tubuh kami dalam keadaan basah oleh air pancuran. Sesekali ia menekan kuat pantatnya ke depan dan melakukan tusukan sedalam-dalamnya, lalu kedua pahanya menjepit pinggulku kuat-kuat. Sepertinya ia sedang kegemasan dan ingin menguasai tubuhku sepenuhnya.
Aku mengimbangi semua itu dengan mengatur konstraksi otot cincin di bagian belakang tubuhku. Bahar tampak kesenangan dengan apa yang kulakukan. Berkali-kali ia membisiki aku untuk terus menjepitnya seperti itu. Enak sekali, katanya.
Mulut kami masih sibuk saling melumat, ketika kurasakan nafasnya makin menderu dan mulutnya menggeram tak jelas.
"Mashh.. Aku mau keluar.. Mau keluarhh.. Ohh.. Ohh," ia mengerang-erang.
"Yah.. Yah..," aku mencoba meresponnya
Kuputar-putar pinggul dan pantatku dengan gencar dan terus kuatur ototku untuk menjepit miliknya yang sekarang terasa memenuhi lubang di belakang sana. Kami bekerjasama mencoba untuk segera mencapai puncak permainan birahi ini. Tangan kanan Bahar kini tak lagi mengocok milikku, tapi sudah meremas-remasnya dengan kelima jarinya. Liar dan kasar.
Aku pernah bilang pada Bahar bahwa ia mempunyai tangan yang bagus. Besar dan kokoh. Jari-jarinya kukuh. Lengannya gempal penuh bulu. Tapi ia menolak kupuji seperti itu. Katanya tangannya tak lebih dari tangan seorang kuli. Waktu itu kami sempat ribut dan aku sempat menggigit lengannya karena gemas akan keteguhannya mempertahankan pendapat. Entah apakah gigitanku masih ada bekasnya di sana.
Tangan itu kini masih terus liar meremas milikku. Seolah Bahar tengah meremas miliknya sendiri yang tertancap dalam di bagian belakang tubuhku.
Dan akhirnya semua berpuncak pada teriakan tertahan dari mulutnya yang terdengar memenuhi langit kebun. Orgasmenya datang!
Ia segera mencabut miliknya, membalikkan tubuhku dan menyemprotkan air maninya ke atas perut dan dadaku. Suaranya menggeram dan meracau tak karuan. Ada beberapa semprotan bahkan mengena ke wajahku. Setiap semprotan diiringi dengan desahan 'aahh' yang panjang dari mulutnya. Senang rasanya melihat ekspresi seorang lelaki dalam puncak birahinya. Apalagi ketika ujung kemaluannya menyemprotkan cairan putih kental berkali-kali, sebuah pemandangan yang sangat merangsang untuk dilihat.
Kupikir Bahar akan meredakan sebentar 'amarahnya'. Tapi belum juga tetesan terakhir tuntas keluar, Bahar sudah langsung menerkam batang kemaluanku dan melumatnya bagai anak kecil kehausan. Ia melakukannya dengan sangat serius seolah ingin segera menciptakan puncak kenikmatan buatku.
Aku kaget juga mendapat serangan mendadak seperti itu. Kugenggam kepalanya yang terus bergerak-gerak tak karuan di jepitan pahaku. Mulutnya kurasakan lebih sering melakukan isapan-isapan dari pada menjilat. Membuat tubuhku meregang menikmati kenikmatan isapannya yang kuat itu. Bibirnya memang tebal dan kuat. Itu yang membuatnya bisa memberikan layanan oral seks dengan baik. Apalagi lidahnya itu lebih banyak bermain-main di daerah kepala kemaluanku yang sekarang makin sensitif itu.
Maka tak lama kemudian mulai kurasakan ada desakan kuat dari dalam kantung pelirku, berdesir-desir mengalir sepanjang pipa kemaluan, dan akhirnya meledak pada pucuk kepala yang membulat. Memancar dan menyemprot keluar dan langsung dilahap oleh mulut Bahar.
Dia bahkan mengimbangi ejakulasiku dengan gerakan lidahnya. Membuatku meronta-ronta tak kuasa lagi menahan geli kenikmatan yang amat sangat. Tapi Bahar tak mau melepasnya, bagai anak kecil yang berusaha mempertahankan botol susu kesukaannya. Air mataku sampai keluar merasakan puncak birahiku itu. Mulutku hanya bisa mendesis-desis dan sesekali berteriak tertahan ketika mulutnya masih rajin mengisap bagian kepala kemaluanku yang ukurannya kini makin tampak membesar dan berwarna gelap mengkilap karena lendir. Lendirku yang bercampur dengan air liurnya.
Akhirnya aku diam dan hanya bisa tersengal-sengal saja selama ia melamuti batang kemaluanku. Mengulum dan menjilatinya hingga bersih. Kubiarkan saja. Toh, sudah lama ia tak melakukan itu padaku.
Aku tetap berbaring telentang di atas batu gunung itu, sampai akhirnya Bahar mendekapku dari belakang dan membisikkan kata-kata mesra padaku. Aku berusaha menoleh dan menciumnya.
"Kalau setiap kali Abang menjilatiku sampai bersih seperti itu, rasa-rasanya aku tak perlu mandi lagi."
"Betul?" tanyanya dengan mimik lucu. Aku mengangguk.
Tak kusangka ternyata anggukanku ditindaklanjuti olehnya dengan berusaha menjilati seluruh tubuhku. Aku sampai meronta-ronta berusaha melepaskan diri.
Siang itu langit nampak biru. Pepohonan menghijau, dan tebing nampak angkuh dalam warna terakota. Siang itu akhirnya berujung pada sebuah keindahan.
Tamat