"Bang, tolong jemput mereka sore ini ke bandara ya, soalnya mereka enggak ngerti Jakarta tuh," kata Dina, adik perempuanku semata wayang melalui telepon tadi pagi.
Yang dimaksudnya dengan mereka itu adalah Pandu dan Ricky dua temannya waktu di SMU kemaren. kalau yang namanya Pandu bukan hanya sekadar teman buat Dina, adikku itu. Denger-denger sih mereka pacaran sampai sekarang. Makanya Dina jadi super sibuk mengurusi keberangkatan si Pandu ini ke Jakarta. Aku yang kebetulan kos di Jakarta ini akhirnya ketiban pulung memberi tempat tumpangan buat mereka sebelum punya kos sendiri di Jakarta.
Pandu dan Ricky berasal dari kota kelahiranku di Palembang. Lulus SPMB di Universitas Indonesia membawa keduanya ke Jakarta sini. Sementara Si Dina, adikku itu, harus berpuas hati lulus di Universitas Sriwijaya di Palembang. Niatnya tahun depan, tuh anak, akan nyobain SPMB lagi, supaya bisa lulus di Universitas Indonesia. Jadi bisa deket-deket dengan cowoknya, Si Pandu itu. Dasar deh, enggak nyangka aku, si Dina yang waktu kecil sangat pemalu itu, sekarang bisa genit kayak gitu. Ngejar-ngejar lelaki he.. he.. he.. Tapi gimanapun juga aku tetap sayang dengan dia. Karena cuman dia adikku cewek satu-satunya. Kami empat bersaudara. Dua saudaraku yang lain, pejantan juga kayak aku.
Helmy adikku yang pertama, saat ini bertugas di Surabaya. Lulusan Akademi Angkatan Udara dua tahun yang lalu. Sedangkan adikku yang kedua Teddy, saat ini masih kuliah di Institut Tekonologi Bandung, semester lima. Adikku yang nomor dua ini emang yang paling pinter di antara kami. Sejak dulu hobbynya ngutak-atik rumus fisika. Pelajaran yang paling membosankan buatku. Adikku yang terakhir, ya Si Dina itu. Baru lulus SPMB dan siap-siap kuliah di Fakultas Ekonomi UNSRI. Dia sih lumayan pinter juga. Tapi entah kenapa enggak bisa lulus di Universitas Indonesia tahun ini. Mungkin belon rezekinya mungkin. Mudah-mudahan tahun depan dia bisa lulus. Si Dina ini manja luar biasa orangnya.
Aku sendiri, Rizal. Hanya lulusan Akademi Pariwisata dari sebuah Perguruan Tinggi Swasta di Jakarta sini. Kampusnya cukup elit, terletak dikawasan selatan Jakarta. Bintaro tepatnya. Banyak anak-anak orang kaya, sepertiku, he.. he.. he.., dan para model yang kuliah disini. Saat ini aku bekerja sebagai manajer marketing di sebuah club kebugaran di Jakarta. Anak perusahaan sebuah hotel bintang lima yang sangat terkenal di Jakarta, tempat aku sebelumnya bekerja. Melihat prestasiku yang bagus selama di hotel ditunjang dengan penampilan fisikku, bukan sombong lo, yang bugar dan bertampang cakep maka aku dipercayakan mendapatkan jabatan itu disini.
Tinggiku 180 cm. Mungkin ini pengaruh karena sejak SD dulu aku sudah keranjingan renang. Bentuk badanku ramping namun atletis. Otot-ototku terbentuk dengan sempurna. Sejak SMA aku rutin main basket dan membentuk otot di fitness. Aku memang orang yang paling doyan olah raga. Karena memang aku suka dengan badan yang selalu sehat dan tidak kelebihan lemak.
Dengan penampilan fisikku yang seperti ini (sekadar informasi saudara-saudaraku juga cakep-cakep lo, mungkin karena dalam tubuh kami mengalir darah Arab, China, dan Palembang asli) waktu SMA dulu teman-temanku selalu menyarankanku untuk ikutan ajang pemilihan model. Tapi aku tak suka. Aku dengar kehidupan model bisa menjadikan laki-laki sejantan apapun menjadi bergaya feminin. Nah, itulah yang tak kusukai. Yang paling heboh penyimpangan seksual juga lazim terjadi. Bekerja menjadi manajer marketing club kebugaran dan sebelumnya di hotel, memang tidak membuatku menjadi feminin. Aku tetap jantan seperti adanya diriku. Namun prilaku penyimpangan seksual ini yang tak bisa kuhindari.
Sejak bekerja di hotel kehidupan seksku menjadi liar. Yang lebih parah orientasi seksualku menjadi biseks. Aku jadi bisa ngeseks dengan cewek dan cowok sekaligus. Awalnya karena godaan dari tamu-tamu pengunjung hotel. Tante-tante girang yang kelebihan duit rupanya tak bisa menahan nafsu saat melihatku. Juga para laki-laki kaya yang memang homoseks atau sudah menyimpang prilaku seksualnya. Ingin mencoba variasi seks dengan berhubungan cinta sejenis.
Entah akhirnya aku menemukan kenyataan bahwa diriku membawa sifat bawaan biseks atau karena memang libidoku yang kelewat tinggi maka aku bisa enjoy melakukannya. Awalnya tak ada motivasi uang dalam pemikiranku saat melayani keinginan seks mereka. Karena memang uang bukan masalah buatku. Seperti kukatakan tadi, orang tuaku kaya. Namun lama-lama kupikir sayang juga menolak duit yang mereka berikan. Paling tidak duit itu bisa kupakai untuk foya-foya. He.. he.. he..
Kebiseksualanku semakin parah sejak jadi manajer marketing di club kebugaran ini. Gimana enggak parah, cewek dan cowok yang melatih tubuh disini benar-benar menggairahkan birahi sih. Cantik-cantik, ganteng-ganteng, dan body mereka oke punya semua. Banyak dari kalangan selebriti. Terlalu sayang bila dilewatkan begitu saja.
Banyak banget ya aku cerita tentang diriku. Sementara itu dulu deh. Kayaknya aku harus segera menjemput dua tamuku sekarang. Kalau aku tak menjemput mereka, bisa-bisa aku kena omelan adikku Si Dina yang manja itu. Maklum ajalah, dia kan cewek satu-satunya, bungsu lagi. Apa yang dikatakannya jadi seperti wahyu saja. Berdosa kalau tak dikerjakan. he.. he.. he.. Oh ya, sebelum berangkat ke bandara, sebagai informasi aja buat elo-elo semua. Umurku sekarang sudah 27 tahun. Belum kawin juga. Sementara si Helmy adikku akan nikah tahun ini. Sebenarnya aku sudah niat buat kawin. Tapi belon ada cewek yang cocok. Lagian kupikir-pikir kawin dan enggak sama aja sih. kalau cuman untuk muas-muasin nafsuku aja, aku bisa ngelakukannya dengan siapa aja yang aku suka. Jadi soal kawin enggak usah terlalu buru-buru juga enggak apa-apa.
Pesawat baru aja mendarat saat aku tiba di Bandara. Sebentar lagi Pandu dan Ricky pasti bakal nongol. kalau si Pandu aku sudah kenal. Soalnya Dina pernah mengenalkannya denganku. Anaknya oke. Ganteng dan tinggi proporsional. Sepadanlah dengan adikku si Dina. Kalau yang namanya Ricky jelas aku enggak kenal. Belon pernah ketemu.
Nah itu Si Pandu. Dari jauh dia sudah melambai-lambaikan tangannya padaku. Perasaanku aja, atau memang tuh anak makin ganteng ya. he.. he.. he.. Dia pakai stelan celana jeans dan kaos ngepas di badan. Dan topi pet hitam. Modis. Tubuh remajanya lumayan berotot juga. Mmm.. Itu toh yang namanya Ricky. Bakal pusing deh aku nanti malam. Tidur diantara dua laki-laki ganteng dan jantan. Ricky ini enggak kalah gantengnya ama si Pandu. Wajahnya oriental. Tipikal Palembang, atau emang China beneran tuh anak?
Saat sudah dekat aku dan Pandu saling berbasa-basi dengan hangat. Kayak yang sudah akrab banget aja. Pake acara peluk-pelukan lagi. Yang meluk dia duluan lho, bukan aku. Lumayan juga, aku bisa merasakan tubuhnya yang atletis di tubuhku. Padahal kalau jumpa di Palembang perasaan enggak seakrab ini deh. Mungkin dia pamer sama Ricky kalau dia sama calon kakak iparnya akrab. he.. he.. he..
"Sudah lama nungguin bang?" tanyanya.
"Lumayan. Ada sekitar setengah jam," jawabku boong.
Padahal aku baru nyampe kemari. Ya supaya dia senang kalau ternyata kedatangannya cukup menjadi perhatian buatku. Setelah bersalaman dengan Ricky yang diperkenalkan Pandu dan basa-basi sebentar, aku mengajak mereka menuju mobilku di parkiran. Kubantu mereka membawa satu koper entah milik Pandu atau Ricky. Yang pasti isinya berat banget. Kayak mau pindahan rumah aja, pikirku.
Akhirnya kami tiba di kosku. Aku tinggal sendiri disini. Kosku adalah pavillyun dari sebuah rumah milik keluarga Sunda. Terpisah dari rumah induk. Jadi kedatangan dan pergiku dari tempat kosku ini tidak mengganggu pemilik rumah. Dengan mereka saja aku jarang ketemu. Tinggal disini enak. Mereka enggak pernah ngurusin aku bawa siapa saja kemari. Mau cewek atau cowok. Yang penting buat mereka tiap bulan sewa kosku enggak telat aja.
"Mandi dulu deh kalian. Abis mandi kita cari makan ke luar," kataku pada mereka.
Ricky mandi duluan. Tinggallah aku berdua dengan Pandu. Kuhidupkan televisi yang terdapat di kamar kosku itu. Menghindari kecanggungan. Pandu tertarik dengan koleksi majalah-majalah kebugaranku yang banyak. Dia membaca-bacanya. Sebenarnya bukan membaca-baca sih. Isi majalah itu lebih banyak gambar-gambar laki-laki berotot yang mempergakan teknik membentuk otot. Kulihat dia sangat serius melihat gambar-gambar itu.
"Suka olah tubuh juga?" tanyaku padanya sambil mataku tetap melihat siaran televisi.
"Iya bang. Di Palembang Pandu rajin fitness. Ya bareng si Ricky itu. Makanya kami berdua kompak. Sering bareng-bareng. Di sekolah bareng di fitness bareng juga," sahutnya.
"Kalau gitu entar fitness di tempat abang aja," kataku.
"Tempat abang kan mahal. Mana sanggup bang," katanya.
"Santai aja. Kalian pake fasilitas abang aja. Gratis,"
"Kalau gitu boleh bang. Siapa yang mau nolak kalau gratis," katanya nyengir.
Selanjutnya kami ngobrol ngalor ngidul. Sesekali kugoda dia soal hubungannya dengan Dina. Kalu sudah kugoda gitu dia tersipu-sipu malu. Membuat wajahnya yang ganteng semakin enak dilihat.
Tak lama Ricky selesai mandi. Ia keluar dengan setelan kaos dan celana pendek longgar. Memamerkan kakinya yang sexy. Mau tak mau aku mencuri pandang ke kakinya itu. Bikin ngiler aja nih anak, pikirku. Selanjutnya giliran Pandu yang mandi. Anak ini lebih sadis. Dia melepaskan seluruh pakaiannya di depan aku dan Ricky. Cuek aja dia memamerkan otot-otot remajanya yang atletis. Setelah hanya tinggal celana dalamnya doang yang membungkus buah pantatnya yang bagus dan menunjukkan tonjolan selangkangannya yang kayaknya gede, ia menggenakan handuk dan berlalu ke dalam kamar mandi. Gila. kalau gini aku bakalan senewen semalaman dengan mereka.
Beres Pandu mandi giliranku yang mandi. Membayangkan dua remaja itu membuat gairahku bangkit. Tadi aja waktu Pandu mandi, aku sempat-sempatnya nyuri pandang ke pipa celana pendek Ricky yang longgar itu. Sambil ngobrol aku mencuri kesempatan ngelihat selangkangannya waktu dia khilaf. Bulu-bulu jembutnya kulihat menyeruak dipinggiran celana dalam putihnya. Kayaknya tuh bulu lebat dan panjang banget deh. sampai nyeruak kayak gitu. enggak pernah dicukur pasti. Saking enggak bisa nahan birahi, aku akhirnya coli sendiri di kamar mandi sambil membayangin keduanya.
Bersambung . . . . .