Daun-daun kuning berguguran tertiup angin sore, jatuh berserakan di atas tanah. Sinar matahari bersinar sejuk dari balik dedaunan. Sesosok figur pria berusia sekitar lima puluhan duduk seorang diri di bangku taman, matanya menatap kosong ke depan. Dari pakaian yang rapi dan mahal jelas memperlihatkan bahwa orang itu cukup kaya. Tapi kesedihan yang menggantung di wajahnya akan membuat setiap orang yang melihatnya turut merasa pilu. Meskipun suasana taman itu agak ramai dengan pengunjung, hati pria itu terasa sepi. Rambut keabuan yang mulai memenuhi seluruh kepalanya tidak membuat ketampanannya sirna. Beberapa kerutan akibat usia tua nampak menghiasi wajahnya.
Tanpa disadarinya, setetes air mata menetes jatuh dan membasahi tangannya. Di telapak tangannya, tergenggam erat sebuah foto hitam putih berukuran 4x6. Foto itu, meski sudah mulai berwarna kekuningan termakan waktu, menyimpan sejuta kenangan manis dari masa lalunya, kenangan yang takkan pernah mungkin terulang kembali.
"Maafkan aku, Andi," bisiknya dengan lirih.
Matanya terpaku pada foto di tangannya. Seorang pemuda manis tersenyum balik padanya. Senyumannya begitu manis dan menggemaskan, membuatnya nampak lugu tapi sekaligus menarik hati.
"Andi.." bisiknya lagi, jari telunjuknya yang kasar bergerak menuruni foto wajah pemuda yang dulu pernah menjadi kekasihnya.
Sejuta penyesalan takkan mampu membawa Andi kembali lagi. Semua telah terlambat. Air mata kembali berlinang saat pria tua itu menangis terisak-isak. Betapa dia merindukan saat-saat indah bersama Andi. Pria tua yang bernama Hadi itu kemudian menyeka air matanya sambil berusaha menenangkan dirinya. Namun, kesedihan itu sulit untuk dihapus. Mungkin selama sisa hidupnya, Hadi akan terus dibayangi rasa penyesalan dan kesedihan yang mendalam.
Beberapa minggu yang lalu, Hadi menghadiri pemakaman mantan kekasihnya itu. Hidup Andi harus berakhir saat dia menghabisi dirinya dengan sebotol pil tidur. Dalam 44 tahun hidupnya, pria malang itu belum pernah menemukan kebahagian sejati dari cinta seorang pria. Sebagai seorang pria gay, Andi sungguh tidak beruntung sebab tidak ada seorang pria gay pun yang sudi menghabiskan hidupnya di sisi Andi. Mereka semua lebih memilih untuk hidup di balik topeng pria heteroseksual, termasuk Hadi.
Itulah sebabnya dulu dia memutuskan Andi. Wajah Andi nampak tenang saat Hadi menatapnya untuk yang terakhir kalinya. Wajahnya sama sekali tidak nampak seperti wajah orang mati yang pucat. Sebaliknya, wajahnya masih segar, seakan-akan Andi hanya tertidur saja. Hadi ingat akan banyaknya air mata yang berlinang saat dia menyaksikan peti jenazah Andi diturunkan oerlahan-lahan ke dalam liang lahat. Ingin rasanya dia berlari untuk mendapatkan Andi. Ingin rasanya dia berteriak dan memohon agar tubuh Andi tidak dimasukkan ke dalam lubang peristirahatan yang nampak begitu dingin dan gelap. Namun, Hadi tak kuasa berbuat apa-apa sebab Andi telah meninggal.
Takkan ada yang dapat membawanya hidup kembali. Di dalam hatinya, Hadi bertanya-tanya bahwa jika dulu dia tidak memutuskan Andi, apakah Andi masih tetap hidup sampai sekarang?
Di taman itu, tepat dua puluh tahun yang lalu, mereka saling bertemu. Saat itu, Hadi masih tampak lebih muda dan segar. Rambutnya masih lebat dan hitam. Dadanya masih bidang dan berisi meskipun lemak nampak memenuhi perutnya. Berkat internet, dia mengenal Andi yang saat itu memasang sebuah iklan jodoh. Mulanya Hadi hanya iseng saja sebab, sebagai pria gay yang bebas, dia berharap dapat mencicipi tubuh Andi.
Dengan mengendarai motor, Hadi datang bertamu ke rumah Andi. Tanpa dia sadari, Andi telah jatuh cinta dengannya sejak pandangan pertama. Di mata Hadi sendiri, Andi memang sangat menarik: berwajah muda, berkulit putih mulus, berbadan langsing, dan tidak centil seperti waria. Agar mereka dapat berbicara dengan lebih bebas, Hadi mengajaknya keluar. Berdua, mereka pergi ke sebuah taman. Meskipun sudah mulai tua dan pikun, Hadi masih dapat mengingat semua percakapan yang dulu terjadi antara dirinya dan Andi, dua puluh tahun yang lalu.
*****
"Jadi kamu masih single, nih?" tanya Hadi menyelidik.
Walaupun dia suka berhubungan seks dengan banyak pria, Hadi tidak mau terlibat masalah dengan pria gay yang sudah mempunyai pasangan. Semua akan runyam jika pasangannya tiba-tiba cemburu dan memutuskan untuk melabraknya. Namun, saat Hadi mendengar bahwa Andi masih sendiri, hatinya berbunga-bunga. Terbayang sudah kenikmatan yang akan dirasakannya saat dia menggauli pemuda Chinese itu.
Sepanjang percakapan, mereka saling berpegangan tangan, memainkan jari, dan saling mengelus. Andi nampak terangsang diperlakukan begitu. Sambil tersenyum, pemuda itu mengaku bahwa celana panjangnya sudah basah akibat terlalu terangsang. Hadi hanya membalas dengan senyuman mesum. Pembicaraan yang lebih jauh membuat Hadi lebih mengenal Andi.
"Hari ini, pacarku sudah cabut ke Bandung," kata Andi, sedih.
Wajahnya agak tertunduk, dan pandnagan matanya menerawang ke lantai. Mendengar bahwa Andi masih mempunyai pacar, Hadi terhenyak.
"Lho, gimana sih? Katanya masih single?"
"Memang benar, Hadi. Saya single," jawab Andi, masih dengan intonasi sedih.
"Oliver tidak mencintaiku lagi. Dia memutuskanku. Jadi, saya single, kan? Tapi bagaimana pun juga, hatiku masih terikat padanya, dan saya masih menganggap dia sebagai pacarku."
Hati Hadi mulai terenyuh saat dia melihat air mata menggenang di mata Andi. Seumur hidupnya, dia memang belum pernah benar-benar mencintai seseorang. Dulu, hadi memang pernah mempunyai beberapa pacar gay, namun semuanya hanya berasaskan seks semata, dan bukan cinta sejati. Sesuatu dalam diri Andi membuatnya menaruh belas kasihan padanya. Hadi menggenggam tangan Andi seraya berkata, "Sudahlah, jangan menangis. Saya ngerti kok perasaanmu."
Rasa kasihan Hadi salah ditanggapi oleh Andi, mengira bahwa Hadi juga jatuh cinta padanya. Saat itu, pikiran Andi memang agak kacau akibat rasa sedih diputuskan oleh pacar terdahulunya. Harapannya yang terbesar adalah untuk segera menemukan kekasih baru yang jauh lebih baik dari mantannya. Menurutnya, Hadi mungkin adalah pasangan hidupnya yang sesungguhnya sebab pria itu nampak sangat simpatik, jauh berbeda dari semua pria yang pernah dikenalnya.
"Hadi, sebenarnya apa yang kamu harapkan dari hubungan kita ini?" tanya Andi tiba-tiba.
Air matanya sudah mengering dan Andi berusaha memaksakan sebuah senyuman di wajahnya.
"Maksudku, apakah kamu cuma mau seks saja? Ataukah kamu ingin punya hubungan tetap?"
Dalam hatinya, Andi berdoa semoga Hadi memilih pilihan yang kedua.
"Saya mau punya hubungan tetap denganmu, Andi," jawab Hadi, mengelus tangan pemuda itu lagi.
Sebagai pria berusia 30 tahun, Hadi nampak seperti Om muda yang sedang berusaha menjerat hati seorang pemuda lugu dan polos.
"Tapi nanti saya bakal terbang ke Riyadh selama dua tahun dalam rangka pekerjaan. Saya bilang dulu agar kamu nanti tidak mengira bahwa saya sengaja tiba-tiba menghilang. Saya juga mau bilang bahwa mungkin kita takkan bisa bersama selamanya. Kelak, saya ingin menikah untuk membahagiakan hati orangtuaku, dan juga demi tuntutan agamaku. Jadi, suatu saat, kita harus berpisah, sayang. Kita jadi teman seks saja, yach?"
Andi, tentu saja, terkejut mendengarnya. Hatinya mulai mencemaskan Hadi suatu saat akan mencampakkannya sama seperti perbuatan semua mantan kekasihnya. Namun, kegalauan hatinya tidak berlangsung lama sebab Andi tidak mau merusak kencan pertamanya itu dengan kesedihan baru. Dia mengira bahwa jika saat itu tiba, dia pasti dapat mengatasinya dengan baik. Andai saja saat itu Andi tahu apa yang akan menantinya di masa depan, mungkin dia akan berharap jika sebaiknya Hadi tidak pernah menghubunginya.
"Sudah sore, Andi. Kita harus pulang. Tapi jujur saja, saya horny banget, nih."
Hadi membawa tangan Andi dan menyentuhkannya pada tonjolan di balik celana jeansnya. Diperlakukan begitu, Andi hanya tersenyum malu-malu tapi mau.
"Mau nggak ML denganku?" tanya Hadi, mengerdipkan sebelah matanya.
Jawaban yang didapatnya hanyalah sebuah anggukan, tapi itu sudah cukup. Tanpa membuang waktu, Hadi segera membawa Andi ke tempat kostnya. Di sanalah, mereka memadu kasih untuk yang pertama kalinya. Andi nampak tidak malu sama sekali saat dia melucuti pakaiannya sendiri, begitu pula dengan Hadi. Sebagai seorang pria top, Hadi dengan mudahnya mendapatkan pantat Andi. Apalagi, Andi juga merelakan dirinya untuk disetubuhi.
Bersambung . . . . .