Kisah ini adalah kelanjutan dari kisahku sebelumnya, "Autumn Diary". Kutuliskan supaya semua kenangan yang pernah ada, tidak terkubur begitu saja di sudut angan. Maka kutuliskan meski ada kepedihan saat mengenangnya. Aku letih menahan sepi.
*****
Masih aku ingat saat pertama kali aku menyaksikan turunnya hujan salju. Lee tertawa kecil melihat aku yang diam terpaku oleh keindahan rinai salju. Saat menatap butiran berbunga kristal yang berjatuhan, aku merasa seperti bermimpi. Kadang aku harus akui bahwa hidup ini adalah rangkaian mimpi. Dia selalu datang tanpa di undang dan pergi tanpa permisi. Mimpi buruk dan indah hadir tanpa dapat kita mengerti waktunya. Ingin aku dapat menahan sebuah mimpi indah yang kusuka, namun pada akhirnya aku harus terbangun dan merelakannya sirna. Bagiku Lee adalah salah satu dari mimpi indah yang kusuka itu. Namun pada akhirnya aku harus terjaga dan membiarkanya musnah tanpa dapat aku menahannya. Hanya dapat kurasakan, tapi tidak dapat kumiliki selamanya.
*****
ke kota ini aku kembali
dengan kerinduan di dalam hati
bermusim sudah terlewati
saat kuserahkan hatiku
pada seucap cinta
yang kubisikkan padamu
di sudut kota ini
kini ku tertegun sendiri
menggenggam kenangan pedih
kau berlalu bagaikan mimpi
terbawa musim yang berganti
bila saatnya aku harus pergi
ku titipkan air mataku
di sudut kota ini
KIMPO, 16 September 97
Bias warna jingga menghiasi senja temaram di kota Kimpo. Suasana tampak teduh dan damai. Hanya beberapa mobil yang kelihatan berlalu-lalang di jalanan yang lengang. Di sepanjang tepi trotoar, pepohonan dengan ranting-rantingnya yang mulai gersang berjejer menghiasi jalanan yang sepi. Daun-daunnya yang telah memerah berguguran di irama hembusan angin, sehingga menambah kesepian yang terasa pekat. Musim demi musim telah berlalu. Tanpa terasa dua musim sudah, sebuah kisah cinta tertinggal di kota ini. Terbiar diantara hiruk-pikuk dan keangkuhan kota.
Beberapa perubahan membuat wajah kota menjadi lebih semarak, namun saat sang waktu telah merubah segala sesuatu, masih ada yang tidak pernah berubah sampai saat ini. Tak lekang oleh jarak dan waktu. Segala sesuatu pasti ada akhirnya. Hanya kerinduan di hatiku yang tidak juga goyah. Kenangan yang terus kujaga. Selalu kugenggam dengan air mata dalam penantian yang panjang.
Aku baru saja melangkah turun dari bus dari Pupyong yang menuju ke Kimpo, saat angin musim gugur menerpa wajahku. Kubiarkan jemari angin yang nakal mengacak-acak rambutku hingga menutupi mataku yang mulai menghangat. Sejenak aku terpaku, meredakan debaran di dada yang terasa sesak. Ada tangisan yang memecah di sana. Dalam sepi nan panjang, musim demi musim datang dan pergi silih-berganti, membiarkan diriku terpuruk sendiri di penantian yang tiada ku tahu dimana ujungnya.
Hingga hari ini aku datang kembali. Mencari cinta yang telah hilang di kota kecil ini. Tempat di mana aku telah titipkan air mataku pada desau angin musim gugur yang meluruhkan daun-daun jingga, tempat aku gantungkan segala asa. Kutatap keadaan sekitar dari tempatku berdiri. Perubahan kota membuatku merasa asing. Tak terasa dua musim sudah kutinggalkan kota ini. Dan meninggalkan juga banyak memori yang selama ini membelenggu.
Apartemen Sin An yang dulu masih sepi kini semakin ramai oleh toko-toko baru yang berjejer di sekitarnya. Pom premium dan bus stop di depannya masih berdiri seperti dulu meski kini sudah berubah bangunannya. Langit senja makin memerah tatkala orang-orang mulai pulang dari tempat mereka bekerja. Diantara orang-orang yang berlalu lalang, Aku merasa sendirian. Kesepian di tengah keramaian kota.
Angin senja semakin keras bertiup. Dinginnya masih sama seperti dulu, seperti tujuh bulan yang lalu. Namun kali ini dinginnya terasa menusuk sampai kedalam hati, sampai membekukan air mata yang hendak menetes. Kurapatkannya syal di leher dan mulai melangkah pergi menuju desa Wondang.
Baru tiga menit berjalan, langkahku terhenti di depan sebuah super market. Kutatap tempat itu dengan pandangan yang kabur oleh air mata. Dadaku terasa sesak oleh goncangan perasaan yang sulit untuk di kulukiskan. Pohon maple itu masih berdiri di halaman super market itu. Rantingnya di hiasai dengan daun-daun kemerahan yang mulai berguguran di irama angin.
Sama seperti asa yang pernah aku gantungkan di daun-daun itu, impian yang selama ini menemaniku juga mulai berguguran. Tujuh bulan yang lalu di tanah bangunan super market itu berdiri sebuah pabrik tempatku dulu bekerja. Disitu juga musim gugur mempertemukanku dengan Lee yang sejenak melenakanku dengan cinta.
Dan di bawah pohon itu telah terjalin cerita cinta yang indah. Dan keindahan itu baru terasa nilainya saat semua jalinan asmara usai dan tak dapat di rajut kembali. Lembar demi lembar kenangan masa lalu melintas di benakku. Kuusap mataku saat kurasakan ada yang hangat mengalir. Lalu aku pun meneruskan langkah menyusuri jalanan yang terasa panjang dengan pandangan berkaca.
*****
Winter 96
Aku kebingungan mencari bayangan Lee di taman depan Sin Se Ge Dept Store. Tadi kami berjanji bertemu di tempat ini jam 8 malam. Tadi aku pergi bersama temanku orang indonesia yang bekerja di An Son. Kami satu penerbangan dan satu asrama saat di Jakarta. Hampir setengah jam menunggu akhirnya kelihatan juga batang hidung Lee.
Sambil cengengesan dia menghampiriku dengan sebungkus kue 'gon pang'.
"Tidak enak." Kataku setelah mencoba kue yang bikin leher terasa kering itu.
"Eh, ini kue tradisi Korea. Dulu waktu perang, orang Korea makan kue ini." Jelas Lee membanggakan kuenya.
"Pantasan rasanya begitu. Tidak cocok lagi dimakan sekarang, cocoknya dimakan kalau lagi perang." Jawabku sekenanya.
Wajahnya cemberut mendengar ucapanku. Tapi dalam keadaan begitu dia tampak menyelerakan untuk di sayang.
"Sudahlah. Sini aku makan."
Kusenangkan hatinya dengan mengambil beberapa keping kue dan segera membeli 2 tin pocari sweat untuk membasahi leher yang kering akibat kue itu.
Aku ajak Lee menuju sebuah gang di sebelah kanan Sin Se Ge. Disitu berderet etalase-etalase dari kaca yang dalamnya berjejer wanita-wanita cantik dalam keadaan separuh bugil. Kutarik tangan Lee yang mau keluar dari gang itu. Dia rupanya malu dan belum pernah melihat-lihat tempat seperti itu. Akhirnya dia menurut dan berjalan menjejeriku. Mukanya merah menahan malu. Melihat itu aku menjadi bernafsu.
"Mau main, tidak?" Aku pura-pura bertanya. Aku tahu dia masih polos.
"Tidak ah." Cepat dia menolak dan mempercepat jalannya. Aku susul dia dan berbisik padanya.
"Kalau sama aku kok mau?" Aku menatapnya dengan pandangan nakal.
Dia melirikku dengan jengkel. Aku semakin suka melihatnya. Dia benar-benar seperti anak kecil kalau di goda. Tetapi selama ini dia tidak pernah marah kalau aku menggodanya. Cuma sekali saja dia ngambek saat aku menggenggam kakinya saat dia tidur, dengan tanganku yang baru aku pakai main lempar-lemparan bola salju. Seharian dia tidak mau kudekati, sampai aku minta maaf kepadanya.
Setelah itu kami pergi ke Lotte Plaza dan membeli burger untuk menganjal perut yang sudah lapar. Kemudian kami berjalan jalan di pertokoan bawah tanah tersebut. Aku belikan Lee kalung ukiran dari orang pilipin. Sedangkan aku sendiri tidak ada yang ku beli. Saat ini aku cuma ingin bermesraan dan mencumbui jagoanku ini. Pukul setengah sebelas kami sudah berada di kamar sebuah losmen yang sudah beberapa kali kami datangi. Waktu pergantian tahun lalu kami juga menginap di losmen ini.
Aku tidak sabar lagi menunggu Lee mengunci pintu kamar. Mantel, syal, topi dan segala tetek bengek yang melindungiku dari serangan udara dingin sudah cepat-cepat aku lepaskan dan kubiarkan berserak dilantai kamar yang berukuran 2 kali 3 meter dan sebuah kamar mandi.
Begitu pintu sudah dikunci, langsung dia kudekap dan kujatuhkan tubuh kami berdua di kasur lantai. Wajahnya yang dingin kuciumi hingga terasa mulai hangat. Sejenak kulepaskan kacamatanya supaya tidak pecah. Lee bangkit hendak melepas jaket dan syalnya. Namun kudorong hingga dia kembali berbaring.
"Biar aku yang buka." Kataku padanya.
Dia membentangkan tangan dan tersenyum memandangku. Dengan gemas kucubit kedua pipinya lalu ku goyang-goyangkan.
"Sakit." Protesnya sembari melepaskan tanganku dari pipinya.
"Sini aku cium." Kudekap kepalanya dan kuciumi kedua pipinya yang tadi aku cubit. Dia balas memelukku dan aku mulai melumat bibirnya.
Dengan perlahan kulumat bibir bawahnya, kemudian bibir atasnya dengan penuh perasaan. Kunikmati setiap kuluman. Tanganku terus membelai rambutnya. Lee semakin erat memelukku. Dari bibirnya lidahku menjelajahi pipinya, lehernya dan kembali lagi kukulum bibirnya yang menanti gigitan-gigitan kecilku. Adik kecilku di celana mulai menggeliat. Aku sumbat mulut Lee dengan memainkan lidahku dalam mulutnya. Tak lama Lee mendorong tubuhku. Nafasnya ngos-ngosan kehabisan udara.
Aku biarkan dia bernafas lega sementara aku mulai membuka seluruh pakaiannya, hingga tinggal celana saja yang di pakainya.
"Aku mandi dulu ya?" Pintanya manja.
"Tidak perlu." Jawabku sambil kembali kulumat batang lehernya. Dia menggeliat untuk menghindar.
Kudekap badannya dengan satu tangan sedang tangan yang lain kuletakkan di bawah lehernya. Dengan posisi begini aku lebih bebas mencumbunya. Lee merangkul erat leherku, dan membelai rambutku juga. Sambil menjilati lehernya, kuhirup aroma tubuhnya yang sedikit berbau keringat. Aromanya semakin merangsangku. Makin ganas aku menghisap lehernya sambil kuketatkan pelukanku. Seperti biasa Lee memejamkan mata menikmati rangsangan yang kuberikan. Kalau telinga dan kuduknya kusapu dengan lidahku, dia selalu mendesis bahkan sesekali menggelinjang. Dan kuteruskan sampai mukanya menjadi merah, sungguh mempesonakan.
Aku semakin bergairah memandang mukanya dan dengan gemas ku hisap lehernya tepat di bawah telinganya.
"Jangan kuat-kuat Hui." Ucapnya dengan suara parau menahan nafsu.
Matanya masih terpejam. Dia takut lehernya berbekas merah. Kulepaskan pelukanku dan ganti aku merangsang puting dadanya.
Kali ini Lee akan aku buat lemas terkapar.
"Lee. Sayangku." bisikku di telinganya. Dia hanya melenguh.
Kubasahi tanganku dengan ludah dan ku gunakan untuk mengusap-usap putingnya bersamaan dengan lumatanku pada telinganya.
Lee melenguh. Menggelinjang. Tangannya meremas rambutku sembari merintih perlahan. Makin dia merintih, semakin aku bernafsu merangsangnya.
Segera aku tindih badannya hingga penis kami saling bergesekan. Kulepaskan ciumanku. Kami saling berpandangan. Dari pandangannya yang sayu aku tahu dia sudah nafsu berat. Kurentangkan kedua tangannya. Dadanya yang sedikit membusung tampak menantang untuk dilumat. Kembali kusergap dadanya dengan ciuman dan putaran lidah di kedua putingnya.
"Aduh, Hui." Lee meronta geli dan pegangan tanganku di pergelangan tangannya terlepas.
Dia terus tengkurap dengan tangan keatas. Matanya tetap terpejam. Nafasnya memburu. Terus aku timpa dan kupeluk badannya. Tengkuk serta belakang telinganya kusapu dengan lidahku. Tanganku meremas dadanya. Kutekan dan kugesekkan batang penisku yang sudah mengeras dari tadi ke pantatnya.
"Uuh." Lee merintih kala kugigit tengkuk dan lehernya sementara tanganku ikut memilin-milin putingnya dari belakang.
Sampai basah punggung Lee aku kerjai. Dan kali ini dia tidak sempat protes saat kuberi tanda merah di bahunya.
Aku telentangkan Lee yang sudah lemas kupermainkan. Kini aku mulai meremas penisnya yang menggunduk di balik celana khakisnya. Kupijat dari buah pelirnya sampai kekepalanya. Sambil melepaskan celananya, sesekali aku jilati putingnya. Selesai melepas celananya, akupun segera melepas celanaku. Kini tinggal CD saja yang melekat di tubuh kami. Kulihat Lee sudah siap untuk di puaskan, tapi aku masih belum puas mencumbunya. Sambil duduk kubawa dia dalam dekapanku. Diapun balas memelukku.
Kuusap usap rambutnya. Dengan mesra aku kulum bibirnya yang separuh terbuka setelah puas aku ciumi permukaan wajahnya. Rasanya belum sempurna kalau aku belum merasakan cairan mulutnya yang mengairahkan bagiku. Kami berpagutan. Aku hisap-hisap lidahnya yang mencoba untuk mengimbangi gerakan lidahku. Tangannya kini memegang kepalaku. Dalam posisi begini dia sama sekali tidak berdaya melepaskan diri. Tak luput aku lumat juga lehernya setiap kali aku memberikan dia kesempatan bernafas. Sekitar 5 menit berlalu sampai akhirnya Lee tidak tahan lagi.
"Hui. Ayolah." Desahnya saat aku mengulum cuping telinganya.
Segera kubaringkan kembali dia. CDnya kutarik lepas dan kuambil sebuah bantal untuk menganjal pantatnya. Batangnya memang sudah bengkak kemerahan. Pasti tidak memerlukan waktu lama untuk mengeluarkan cairannya. Aku mulai dengan menjilati paha dan lipatan selangkangnya. Tercium aroma yang menyelerakan. Sedangkan tanganku meremas-remas buah pelirnya. Kulirik Lee yang mengigit bibir bawahnya sambil matanya terpejam rapat tiap kali kujilati lipatan pahanya.
"Ough." Dia melenguh saat mulutku mulai mengulum kedua telurnya bergantian.
Dan dia mulai mendesah saat batang penisya aku kocok naik turun. Sementara tanganku yang satu mengelus-elus kulit perutnya yang halus dan licin itu. Pantatnya naik turun disertai gelinjangan karena merasa geli dan nikmat. Aku kocok sambil aku remas-remas pelirnya dan aku rasakan denyutannya semakin kuat dan batang itu semakin mengeras. Nafas Lee pun semakin memburu. Cepat-cepat aku masukkan penisnya dalam mulutku dan aku hisap kuat-kuat. Baru tiga kali hisapan, tubuh Lee berkelojotan dan penisnya menembakan cairan hangat yang memenuhi mulutku. Terasa hangat dan gurih spermanya. Saat ku telan pelan-pelan menimbulkan sensasi yang tidak terkatakan.
Bersambung . . . . . .