"Maaf?" tanyaku setengah tidak sadar dan juga setengah tidak mengerti."Aku tidak boleh lewat?" tanyaku dalam bahasa Inggris.
"Ya." tegas pramusajinya.
"Tapi barusan aku ditelepon dan katanya aku perlu menjemput seseorang yang mungkin lagi mabuk atau apa." aku sendiri dapat mendengar kepanikanku.
"Kalau begitu tanda pengenal anda?"
"Passport?" tanyaku sambil mengeluarkan passportku. "Aku seorang pendatang, sama seperti orang yang perlu kujemput ini. Apakah kamu benar-benar tidak dapat membantu?" tanyaku penuh harap.
Dia melihat passportku, "Ok, ikut saya."
Pramusaji tersebut mengantarku ke lantai 2. Aku kembali melihat sekelilingku. Masih tidak ada. Apakah di lantai 3?
"Apakah ada lantai ketiga di sini?" tanyaku.
"Ya, tapi itu.." katanya menerangkan, aku bergegas menuju lantai 3 tanpa menunggu untuk diantar. "Hey, tunggu!"
Sesampainya di atas, aku dihadapkan dengan gambaran yang mengejutkan. Semua orang diruangan ini laki-laki, dan mereka adalah homoseks! Mengabaikan perasaan janggal yang ada di dalam hatiku, aku sesegera mungkin mencari Dave. Dan dia kutemukan di depan meja bartender."Dave?" panggilku.
"Dia sudah begitu sejak tadi." kata bartendernya."Kamu yang tadi di telepon?"
"Ya," jawabku singkat."Dave?"ku guncang bahunya yang kekar.
"Hey, tunggu!" pramusaji yang tadi masih mengejarku."Anda tidak boleh.."
"Tidak apa-apa," potong sang bartender cepat."Aku yang meneleponnya."
"Dia mabuk berat. Apakah anda tidak bisa melakukan sesuatu?"
"Sebaiknya anda bawa dia pulang sebelum dia membuat keributan di sini. Tadi hampir saja terjadi saat seseorang mendekatinya." bartender tersebut memberikan sebotol air mineral dingin. "Beri dia ini. Mungkin akan membantu."
"Thanks."
Aku langsung memapah Dave keluar dari sana. Walaupun hatiku bertanya-tanya mengapa Dave ada di tempat seperti ini, atau tepatnya mengapa Dave memilih tempat ini untuk minum, aku tetap lebih bertanya-tanya bagaimana caranya dan kemana aku bisa membawanya pulang.
Kubawa dia ke taman terbuka terdekat, masih di Madison Shopping Centre. Ku sandarkan dia disalah satu kursi taman yang ada. Aku mencoba membuatnya meminum sedikit air mineral yang diberikan bartender tadi. Aku juga mencoba menyegarkan wajahnya dengan menyeka wajahnya dengan saputanganku yang sudah kubasahi dengan air.
"Dave?" panggilku sekali lagi. Dia hanya mengerang sebagai jawabannya.
Ok, jadi keadaannya cukup gawat. Kami berdua tidak bisa berlama-lama di sini, kecuali kami ingin dibawa ke pos polisi terdekat dalam 2 jam kemudian. Aku mencari-cari ke dalam sakunya, setidaknya jika bisa menemukan kartu identitas, passport, kunci hotelnya, atau sesuatu.
Kemudian aku menemukan sebuah kunci mobil di saku kirinya berikut karcis parkir di Madison Park Centre B2. Cukup mendebarkan saat aku harus merogoh sakunya dalam keadaan seperti ini. Setiap lekuk otot pahanya yang keras cukup menggodaku untuk melakukan tindakan yang agresif. Dan aku menemukan kartu tanda pengenal kerjanya di dalam jasnya. Dia punya flat di sini! Di daerah Sha Tin. Jadi yang harus kulakukan hanya mencari mobilnya di area parkir dan mengantarnya ke alamat yang ada di kartu tanda pengenalnya.
1 jam kemudian aku sampai di depan flat tempat Dave tinggal. Kemungkinan sebuah flat dengan developer swasta karena bangunannya begitu megah. Well, setidaknya dia sedikit berbohong kepadaku, pikirku. Aku memarkir mobilnya di tempat parkir yang disediakan dan membawanya masuk ke dalam resepsionis flat. Aku tidak mendapatkan kesulitan dengan penjaga kunci-sepertinya Dave sering membawa beberapa temannya kerumah dan tiak jarang dia pulang diantar dalam keadaan mabuk-dan segera membawanya ke flatnya di lantai 4.
Aku langsung membawanya ke dalam kamar di flatnya. Flat yang bagus dan lumayan luas. Mungkin bisa kusebut sebagai aparteman kecil. Kubaringkan Dave di tempat tidurnya dan melepaskan sepatunya serta ikat pinggangnya. Aku sempat berpikir untuk menggantikan pakaiannya sebelum terpikir olehku apa yang akan aku lihat dan apa yang akan aku lakukan nanti. Well, ternyata tidak seberani sikapku yang di luar, tentu saja. Walaupun aku berniat untuk mencari holiday gay relationship, belum tentu aku berani melakukannya jika hal itu telah tersedia. Dave jelas seorang gay, kecuali jika dia punya alasan lain yang masuk akal dan sangat kuat untuk menjelaskan mengapa dia bisa sampai minum-minum di bar tempat para homoseks berkumpul.
Handphoneku berbunyi pas disaat aku sedang mencari sesuatu yang dingin di kulkas untuk kuminum, "Ya?"
"Kuang? Kamu tadi kemana? Sekarang sudah jam berapa? Emangnya kamu enggak pulang?" ternyata kakakku!
"Eh, itu.." aku kebingungan untuk menjelaskannya."Kayanya malam ini aku enggak pulang." tegasku. "Dengar dulu," potongku cepat saat kakakku ingin protes."Akan panjang lebar kalau aku jelaskan. Tapi aku dapat teman di sini dan dianya lagi mabuk. Aku kemarin ada kasi no HP ke dia, jadi aku di telepon sama bartender tempat dia minum-minum. Sekarang aku ada dirumahnya. Aku enggak bisa ninggalin dia sendiri di sini. Bahanya. Besok aku baru pulang, pagi-pagi. En temanku ini bakal kuseret kerumah ntar untuk minta maaf ama Ling Cie, Ok?"
"Tapi.."
"Sori. Tapi aku rasa nggak ada ide yang lebih baik dari ini. Sudah enggak ada bis lagi ke Yuen Long dan MTR hanya sampai Tsuen Wan. LTR juga sudah off, kan? kalau mau minta Cie Fu jemput, ini sudah jam berapa? Bukannya Cie Fu besok masih perlu kerja?"
"Tapi.."
"Pokoknya Ling Cie percaya ama aku. Aku enggak apa-apa kok. Hp tetap aku hidupkan sampai besok. Jangan takut aku ngapa-ngapain ato di apa-apain ama temanku ini. Dia bisa dipercaya kok, ok?" aku mendengar Dave mengerang."Dia kayanya sudah agak sadar. Aku tutup teleponnya. Pokoknya jangan khawatir, ok? Ya?"
"Terserah kamu deh. Pokoknya hati-hati."
"Aku tahu. Thanks banget. Bye." teleponnya pun terputus.
"Dave? Sudah merasa agak baikan?" aku kembali ke dalam kamar tidurnya.
Aku melihatnya berusaha bangun. Sepertinya dia ingin melakukan sesuatu. Dan aku tersadar. Secepatnya aku mencari tempat yang bisa menampung dalam ukuran yang agak besar. Tepat pada waktunya sebelum Dave muntah, aku sudah menyodorkan tempat itu kedepan wajahnya.
"Gimana rasanya?" aku menepuk-tepuk pundaknya. "Sudah agak enakan?"
"Oh, man! Really dizzy" serunya. Kemudian ia tersadar, "Kuang?"
"Yup."
"Lagi ngapain kamu di sini?" tanyanya heran.
"Sebaiknya kamu bersandar dulu. Kebetulan kamu sudah sadar. Kubuatkan teh hangat, ya?" aku mengatur bantalnya agar Dave dapat bersandar dengan nyaman."Tunggu, ya."
Aku kembali beberapa menit kemudian, "Ini." kuberikan secangkir teh pahit hangat kepadanya.
"Thanks." dia menyeruputnya. Alisnya berkerut.
"Tidak pakai gula." aku tersenyum lemah.
"Anyway, thanks." katanya. Aku memijat-pijat tengkuknya."Gimana kamu bisa di sini?"
"Bartendernya meneleponku. Dia menemukan catatan nomor HP ku yang kuberikan padamu kemarin entah gimana caranya. Aku datang, dan kubawa kamu pulang."
"I'm really sorry for this."
"Nope." bibirku tersenyum.
"Nice massage." Dave memejamkan matanya. "Also nice person you are."
"Well, just helping friend." aku mengangkat bahuku. "Kalau boleh kutanya," aku merasa agak ragu."Ada apa? Kok kamu sampai begini? Dan kenapa di tempat kaya begitu?" matanya menatap langsung mataku."Kalau keberatan cerita, jangan dijawab." Aku tersenyum gugup.
Kami terdiam untuk beberapa saat. Ku ambil cangkir tehnya yang telah kosong dan langsung beranjak kedapur untuk membersihkannya. Aku merasa agak sedikit tidak nyaman. Aku lupa jika orang Barat paling tidak suka jika urusan pribadinya di campuri. Aku berusaha untuk berlama-lama didapur. Setidaknya jika aku kembali dia sudah tertidur atau bagaimana.
"Kuang?" sosoknya muncul di pintu dapur.
"Dave?" aku bergegas mengeringkan tanganku. "Kok bangun dari tempat tidur?" aku langsung mendekat kepadanya, bermaksud memapahnya kembali ketempat tidur. Tiba-tiba tubuhnya oleng, "Hey!" aku secepatnya menagkapnya. Kami berpelukan. Wajahnya yang lesu tepat berada di depan wajahku. Dadaku bergemuruh."Seharusnya kamu tetap ditempat tidur."
Matanya masih menatap mataku secara langsung. Aku hendak memanggilnya. Namun sebelum sempat namanya selesai kusebutkan, bibirnya yang hangat sudah menciumku dengan hangat. Kehangatannya langsung menjalar keseluruh tubuhku bak listrik yang menyengat. Dia ahli dalam mencium. Kedua tangannya memelukku dengan erat. Dia menciumku dengan sangat intens, makin lama makin dalam. Tanganku berada di dadanya, ingin menolaknya, namun tidak kuasa. Pertahananku perlahan luruh. Lidahnya bergerak masuk, mencumbu seluruh sudut mulutku, agresif dan penuh keinginan. Nafasnya begitu memburu, dan aroma alkohol serasa memenuhi paru-paruku. Sesaat aku tersadar. Aku melepaskan diri.
"Dave?" suaraku sangat parau, hampir-hampir tidak dapat keluar."A-apa maksudnya ini?" tanyaku lemas, menahan getaran diseluruh tubuhku.
"A-aku.." tampaknya Dave sulit berkata-kata hingga pada akhirnya."Maaf."
"Ku bantu kamu ketempat tidur." kataku pendek. Dadaku masih berdebar kencang. Dia menciumku, menciumku dengan panas!
Bersambung . . . .