Setiap inci tubuhku tidak terlewatkan oleh sentuhannya yang selembut angin semilir yang bertiup. Dave membuka kemejaku dan menyelipkan tangannya untuk membelai dadaku. Sentuhannya yang ringan bak kepakan sayap kupu-kupu di puting susuku membuatku menggeram.
"Aku.. Tidak akan selesai.. Ka-lo kamu begini." kataku terengah.
"Biarkan saja." bisiknya di telingaku. "Lupakan makan malamnya." dia membalikkan tubuhku sehingga berhadapan dengannya. Lalu bibirnya yang hangat menempel pada bibirku. Sang elang sudah mulai menyantap mangsanya, dan si kelinci, tidak dapat berbuat apa-apa selain membiarkan dirinya dimangsa.
Dan tiba-tiba saja, seperti ledakan bom, sesuatu meledak dalam diri kami berdua. Dan kami berdua mengganas, seperti terburu-buru ingin tiba di suatu tempat. Entah bagaimana caranya kami keluar dari dapurnya dan sudah berada di sofa di ruang tamunya dengan meninggalkan jejak kemeja dan celana panjang kami dimana-mana.
Terengah-engah, Dave menjauh dariku. Masing-masing hanya dengan pakaian dalam. Dave yang pertama membuka miliknya dengan anggun namun gagah. Pertama kalinya aku melihatnya dalam keadaan telanjang. Dia begitu indah. Bahunya yang bidang dengan dada yang kekar dan berotot. Perut yang rata dan kejantanannya yang menegang indah. Sosok sempurna seorang pria. Ia tetap berdiri di sana, membiarkanku memandangnya sepuas mungkin, menikmati pandanganku yang penuh rasa takjub."Biarkan aku melihatmu." bisiknya.
Wajahku terasa panas. Aku belum pernah bahkan bertelanjang dada di depan keluargaku sendiri sekalipun. Namun entah bagaimana aku mempunyai keberanian untuk itu. Perlahan aku menanggalkan pakaian terakhir yang tertinggal di tubuhku, dan kemudian menegakkan tubuhku. Dia melihatku, seluruhnya.
"You're beautiful." bisiknya. Aku tahu dia berusaha keras untuk terlihat sabar. Nada mendesak dalam suaranya tidak dapat disembunyikan.
"You too." kataku parau.
"Mendekatlah."
Aku berjalan ke arahnya. Perlahan. Lalu aku jatuh ke dalam pelukannya. Entah bagaimana rasanya aku sangat pas sekali berada di dalam pelukannya. Dadanya dengan dadaku, perutnya dan perutku, pinggulnya dan pinggulku, serta kejantanannya dan kejantananku. Mulut dan lidahnya bermain-main di telingaku, leherku dan kembali menciumku dengan panas. Lidah kami saling bertaut, berkutat dan mencicipi satu sama lain.
Setelah lama menciumku, Dave kembali mencumbui leherku. Terus turun dan semakin turun ke dadaku. Punggungku melengkung penuh kenikmatan. Aku memanggil-panggil namanya saat mulut dan lidahnya berada pada puting susuku, namun suara yang terdengar olehku sendiri adalah suara yang sama sekali tidak kukenal.
Muncul rasa dahaga yang lain dalam diriku, dan Dave seolah dapat menangkap sinyalnya. Dia menciumku sejenak sebelum ia berlutut di depanku. Tangannya menyentuh kejantananku, membelainya perlahan. Mulut dan lidahnya kemudian mengambil kendali. Aku mengeluarkan suara yang dalam di tenggorokanku. Aku tidak ingin ia berhenti dan aku menginginkan lebih lagi. Ia benar-benar pencinta yang ulung. Ia mencintaku seluruhnya, seolah tidak ingin meninggalkan apapun.
Ia membawaku duduk di sofa dengan aku berada di pangkuannya sebelum kedua kakiku menjadi lemas karena cumbuannya pada kejantananku. Ia tersenyum padaku, dan lagi, berusaha terlihat sabar, namun kobaran api dimatanya tidak dapat membohongiku bahwa ia ingin segera melakukannya, bercinta denganku. Naluriku mengatakan, jika aku sedikit mengulur waktu, mungkin akan membuatnya mengamuk habis-habisan.
"Let me love you." kataku sambil mengecup bibirnya sebelum kecupanku turun ke dadanya yang bidang. Belajar dari pengalaman dengan apa yang dilakukannya kepadaku, aku melakukan hal yang sama pada dirinya. Mulut dan lidahku bermain-main dengan puting susunya, yang tiba-tiba mengeras begitu tersentuh lidahku. Mengetahui bahwa naluriku benar, aku menggila, membuatnya menggeram dalam tenggorokannya. Kedua tanganku beristirahat pada kejantanannya. Pinggulnya mulai membuat suatu ritme gerakan beberapa saat kemudian. Aku membawa mulut dan lidahku semakin kebawah. Keinginan untuk merasakan seperti apa kejantanannya dimulutku menimbulkan keberanian yang besar untuk melakukannya. Dan aku melakukannya. Dan aku membuatnya lepas dari kekangnya. Dengan satu gerakan panjang yang luwes, dia menarikku ke atas tubuhnya dan langsung menyatukan tubuhnya dan tubuhku. Aku dapat merasakan kejantanannya berdenyut keras di dalam diriku.
"Pernah main kuda-kudaan?" geramnya.
"Tidak," aku tertawa."Tapi mungkin aku joki yang unggul."
Dan, dengan diriku melingkupi dirinya, kami mulai bercinta. Ritme tubuhnya kacau karena ia telah kehilangan kendali dirinya. Namun aku tidak ingin menjadi joki yang buruk. Aku mengambil alih kendali. Aku kembali memasangkan paksa kekang pada seekor kuda jantan yang liar namun tidak berdaya untuk melawan. Segera aku mendengar erangan frustasi dari dalam tenggorokannya. Aku memainkan perlahan tapi pasti dan sambil menikmati. Aku bermain-main dengan kendali dirinya dan bahkan diriku sendiri. Aku pun mungkin tidak akan dapat bertahan lama dalam mengendalikan diriku.
Tidak tahan lagi dengan permainan yang kumainkan, Dave langsung membuatku terbaring di sofa dengan dia diatasku."Good game, Honey." geramnya."But now let's play mine."
Dan kami kembali bersatu. Kali ini Dave benar-benar mengamuk. Dan aku sendiri terbawa arusnya tidak lama kemudian. Susah payah aku bertahan melawan arusnya, namun tetap tidak berdaya. Apalagi saat tangannya bermain dengan kejantananku, aku benar-benar terbawa arus kegilaannya.
Dengan cepat perasaan bahwa sesuatu akan meledak keluar berkumpul di perutku. Namun Dave sepertinya sudah meledakkannya duluan. Dia berteriak, bukan mengerang. Namun ia masih melanjutkan ritme kegilaannya. Nafasnya sangat memburu. Ketegangannya masih berlanjut. Dahaganya masih tersisa, atau bahkan menjadi lebih besar. Beberapa saat kemudian, aku merasakan sensasi yang tidak terkatakan. Bagaikan merpati yang terbang menuju ke arah pintu yang terbuka dengan cahaya terang di luar sana. Bahkan lebih. Serasa ada banyak cahaya, atau mungkin ledakan besar disetiap sel otakku. Terasa samar, namun Dave juga sedang mengalami hal yang sama denganku. Dia tidak lagi mengerang dileherku, tapi menggigitku pada pundakku. Aku, yang terlarut dalam keindahan ini, bahkan tidak merasakan sakit.
Lama kami terhanyut dalam keadaan ini sebelum kami berdua terbaring lemas. Arus kegilaan kami ternyata menghabiskan banyak tenaga. Nafas kmai berdua perlahan, amat sangat perlahan, menjadi tenang dan damai. Dave menatap langsung ke dalam mataku."Apa aku menyakitimu?"
Mengabaikan rasa perih akibat gigitannya, aku tersenyum."Nggak."
"Gimana dengan ini?" tangannya membelai daerah sekitar bekas gigitannya."Maafkan aku."
Aku memeluknya semakin erat."Nggak pa-pa, kok." kubelai rambutnya."Tanda yang akan membuatku mengingatmu sampai ia menghilang." kataku penuh makna. Aku masih mencintainya."Sama seperti tanda-tanda yang lain." aku mengatakan tanda-tanda merah di bagian tubuhku yang lain.
"Aku lepas kendali." sesalnya.
"Aku suka." kataku sekali lagi dengan penuh keyakinan."Ini akan membuatku mengingatmu nanti. Bahkan jika mereka sudah hilang."
"Kapan kamu pulang ke Indo?"
"Lusa."
"Apa?" katanya terkejut.
"Hei," aku menenangkannya."Just enjoy the time that we still have."
"I'll miss you."
Pernyataannya menyakitkanku. Apakah dia hanya akan merindukan kehangatan tubuhku atau seluruh diriku? "Me too." kataku lirih."Tapi masih ada besok, kan?"
"Why so fast?"
"Hey," hiburku. Dave akan membuatnya semakin sulit bagiku jika sikapnya seperti ini."Cheer up, Honey. Just take and have fun with all we have now, ok."
"So, you'll stay?" rengeknya.
"I think so." perasaan panas yang kukenal membakar mataku.
"So shall we start another round?"
"Why not." dan pada saat itu juga Dave langsung kembali mencintaiku.
Aku memejamkan mataku, merasakan sensasi yang sudah kurasakan saat ia mencumbu kejantananku tadi, dan membiarkan setitik airmata mengalir dari sudut mataku.
Selama dua hari berturut-turut aku menginap di tempatnya. Aku tidak perduli lagi apa yang akan kakakku katakan nantinya. Walaupun seribu alasan mungkin tidak akan dapat menutupi keanehan sikapku semenjak aku bertemu dengan Dave. Apapun resikonya akan ku bawa ke atas bahuku sendiri, karena aku mencintainya, sangat mencintainya.
Dihari keberangkatanku, paginya aku terbangun dalam pelukannya yang hangat. Sekali lagi, aku memandanginya. Berusaha untuk mengukir kenangan di dalam hatiku sebelum aku pergi menginggalkannya. Tanganku menjelajahi bahu dan lengannya yang kuat dan kekar. Akan kuingat bahwa aku pernah bersandar padanya dan merasa terlindung dalam dekapannya. Begitu pula dadanya yang bidang, tempat ku menyerahkan diri dalam pelukannya. Dan bibirnya yang hangat, yang pernah mencintaiku dengan begitu rupa.
Ku kecup pelan bibirnya sebelum aku beranjak bangun dari tempat tidur. Aku berusaha untuk tidak membangunkannya. Masih terlalu pagi, karena aku tidak menginginkan salam perpisahan. Namun terlintas dipikiranku mungkin ada baiknya jika aku menyampaikan apa yang kurasakan padanya, walaupun disaat-saat terakhir.
Tidak, ini akan membuatnya semakin sulit. Aku merapikan diri sambil memikir dan menimbang apakah baik jika aku menyatakannya atau tidak. Bagaimana perasaannya jika aku menyatakan bahwa aku jatuh dalam perangkap permainan cinta liburanku dan ternyata aku jatuh cinta padanya.
Bersambung . . . . .