Hidup memang penuh kejutan. Paling tidak aku sudah membuktikan itu. Perkenalkan, namaku Ronny, usia 28 tahun, tingi 170 berat 68 kg. Saat ini pekerjaan saya adalah wartawan muda di sebuah majalah ternama Ibukota. Lazimnya wartawan, sudah pasti aku memiliki banyak relasi. Tidak sedikit dari mereka adalah bos-bos di perusahaan ternama. Sebagai wartawan sudah pasti aku dituntut untuk bisa menaklukkan berbagai karakter dan persona setiap narasumberku.
Maklum, dengan kedekatan itu aku bisa mendapatkan berita ekslusif yang memang menjadi spesialisasiku. Nah, diantara banyak sumberku tadi tersebutlah nama Wita, seorang country manager sebuah Bank asing di Jakarta. Sebagai gambaran dari narasumberku ini. Usianya sekitar 36 tahun, dikaruniai 2 orang putra. Tingginya sekitar 165 cm dengan berat 57. Bodinya lumayan bagus, maklum rutin fitness dengan payudara kuperkirakan 34B.
Oh ya, perkenalanku dengan Mbak Wita, begitu aku menyebutnya, sudah berlangsung 4 tahun lebih. Awalnya, sudah pasti secara kebetulan. Ketika itu, Bank tempat Mbak Wita bekerja menggelar jumpa pers. Pada saat yang sama aku ditugasin oleh pimpinanku untuk meliput acara itu. Kloplah! singkat kata sejak pertemua itu yang diakhiri dengan tukar menukar kartu nama, aku berkenalan dengan Mbak Wita.
"Ron Met ketemu lagi ya, tolong beritanya yang bagus," begitu Mbak Wita mengikhiri langkaku meninggalkan Hotel Indonesia.
Pertemuan kami di HI itu ternyata bukan yang pertama dan terakhir. Setelah perkenalan itu setiap kali Mbak Wita punya acara
Sudah pasti aku diundangnya.
"Ron besok datang ya, kami mau launch produk baru," begitu pesan yang sering aku terima lewat SMs dari Mbak Wita.
Tidak heran, saking dekatnya, kami sering bertukar pendapat. Tidak hanya masalah perkerjaan yang kami diskusikan, dalam beberapa hal aku juga berani untuk menanyakan hal-hal yang bersifat pribadi. Misalnya menyangkut hubungannya dengan sang suami, Mas Johan hingga cara dia mengelola rumah tangganya. Sebagai bujangan pengalaman itu sudah pasti penting bagiku jika menikah kelak.
Dari rasa saling percaya itu tidak terasa kedekatan diantara aku dan Mbak Wita sepertinya sudah tidak berjarak. Bahkan tidak jarang, karena aku membutuhkan informasinya, jam 12 malam pun aku menelpon dia jika aku kesulitan memahami sebuah kasus perbankan. Dan untungnya, Mbak Wita dan Mas Johan mengerti kondisi itu.
Oh, ya aku sendiri juga sudah mengenal Mas Johan sebagai salah satu direktur di perusahaan Sekuritas. Beliapun juga tahu dan tidak keberatan Mbak Wita selalu aku jadikan narasumber.
"Terima kasih Ron atas kepercayaan kamu pada Wita. Sekarang dia jadi terkenal lo," ujarnya suatu kali ketika kami ber-6 makan malam bersama.
Sampai suatu kali, dimana hampir sebulan, kami tidak sempat kontak, Mbak Wita menggelar jumpa pers. Sudah pasti akupun datang ke acaranya.
"Hey apa kabar Ron. Kemana aja, kok lama nggak kontak. Nggak butuh berita nih," ujarnya Kenes.
"Nggak lah Mbak, masak wartawan kagak butuh berita. Biasalah susah ngatur waktu. Abis banyak kerjaan sih," aku menimpali.
Seperti biasa setelah acara selesai, akupun beranjak untuk pergi. Namun sebelum pergi, tanpa kuduga Mbak Wita menepuk pundakku.
"Mau pergi Ron? Sudah cukup nih informasinya?" Mbak wita menyapaku.
"Iya nih, mau ke tempat lain Mbak, masih ada sumber yang ingin kukejar," aku menjelaskan.
"Oke kalau begitu. Met jalan dan jangan lupa kontak-kontak ya," katanya lagi.
"Oke Mbak," ujarku semabri ngeloyor pergi.
Pertemuan kami memang tak terhitung. Kadang aku yang mengundang dia untuk sebatas minum kopi dan mengorek informasi darinya. Namun tidak jarang, dia memintaku untuk menemaninya makan siang. Sampai akhirnya tiba-tiba dia menleponku.
"Bisa ke Restoran biasa Ron. Aku pusing nih, lagi ada masalah," telpon Mbak Wita membuyarkan konsetrasiku yang sedang menyelesaikan tulisan.
"Emangnya ada apaan Mbak? kataku.
"Sudah deh, jam 12 aku tunggu," katanya langsung menutup telepon.
Tak lama berselang, sekitar jam 12.30 aku bertemu Mbak Wita di tempat biasa.
"Ada apa sih Mbak, emangnya berat baget tuh masalah. Nggak biasanya deh Mbak Wita seperti ini," kataku membuka pembicaraan.
"Begitulah Ron, aku lagi suntuk dengan Mas Johan. Dia punya simpanan," ujarnya lirih.
"Ups, aku kaget juga dengan perkataan Mbak Wita.
"Masak sih Mbak, mungkin Mbak Wita salah dengar. Sudah di kroscek belum?" kataku lagi.
"Sudah. Aku lihat dengan mataku sendiri Mas Johan bawa cewek ke hotel (X) di Senayan itu. Mereka berdua menginap di kamar 202 kemarin," katanya.
"Lo, emangnya dia kemana, kok pake nginap segala," sergahku.
"Katanya sih dia mau ke Singapura. Tapi tak disangka aku bertemu dengannya di hotel itu. Kebetulan aku lagi ada acara."
" Aku turut prihatin. Mbak yang sabar ya.," kataku.
Tak terasa bulir-bulir air tampak jatuh dari mata indah Mbak Wita. Secara reflek aku beranikan diri menyeka airmata itu dengan sapu tanganku. Aku usap matanya sambil kubelai rambutnya. Kebetulan saat itu tempat duduk kami memang saling berdekatan. Herannya reaksi Mbak Wita diam saja. Seolah dia menikmati belaianku.
"Sudah deh Mbak nggak usah bingung. Mungkin ada sesuatu yang salah dalam keluarga Mbak," kataku sedikit lancang.
"Selama ini baik saja Ron. Mas Johan kalau pulang juga tepat waktu. Hubungan kami tidak ada masalah," Mbak Wita masih tidak percaya dengan ulah suaminya.
Tak terasa obrolan kami sudah berlangsung hampir 2 jam.
"Kalau begitu, mungkin lebih baik Mbak Wita pulang aja, siapa tahu dengan berkumpul sama anak-anak pikiran jadi tenang. Ayo aku antar," kataku berusaha menenangkan Mbak Wita.
"Baiklah Ron, doakan Mbak Kuat ya," ujarnya menimpali.
Setelah membayar tagihan kami pun melangkah meninggalkan restoran itu. Aku berjalan disamping Mbak Wita menuju tempat parkir. Tak sepatah katapun yang meluncur dari mulut kami saat itu. Raut kesedihan benar-benar tampak dari muka narasumberku ini. Sampai akhirnya di dalam mobil Mbak Wita menyela.
"Habis ini kamu mau kemana Ron," tanyanya.
"Wah kebetulan aku DL-deadline-nih. Jadi aku harus balik kantor lagi," kataku.
"Masak tiap hari kerjanya cuma DL. Wartawan nggak ada istirahatnya apa?"
"Ya begitulah Mbak, sudah resiko kerja. Tapi aku menikmatinya kok. Soal Libur, mungkin sabtu minggu," kataku menimpali.
Tak berapa lama, mobil yang kami tumpangi sampai di dekat kompleks Perumahan Mbak Wita. Sebelum masuk kompleks elit itu, mobil mercy keluaran terbaru itu berhenti.
"Aku turun sini aja Mbak. Nggak enak ntar dilihat orang," kataku.
"Kamu nggak mampir dulu, Mas Johan nggak ada kok," katanya.
"Nggak lah Mbak, justru karena Mas Johan nggak itu masalahnya. Ntar Mbak dikira perempuan apaan," kataku.
"Oke Kalau begitu. Ntar Sabtu kita ketemu ya."
"Baik Mbak, aku janji deh. Tapi pesanku Mbak jangan berpikir macam-macam. Biarlah kejadian ini jadi pelajaran kita semua. Manusia pasti bisa berbuat salah. Moga saja Mas Johan segera sadar," panjang aku memberi nasehat."
"Oke sayang, cupp uaahh," tiba-tiba Mbak Wita mencium bibirku.
Sontak aku kaget bukan kepalang. Beberapa detik aku bengong karenanya.
"Hey, kenapa kaget ya. Maaf Ron kalau kamu nggak suka," ia melanjutkan.
"Nggaak Mbak, Nggak pa pa. sudah ya, aku pergi dulu, salam buat anak-anak,"
Akhirnya aku berlalu keluar mobil meninggalkan Mbak Wita. Didalam taksi yang membawaku ke kantor, dibilangan Thamrin, kebingunganku pada ciuman Mbak Wita tetap belum hilang. Tapi ya sudahlah Bodo amat. Toh kerjaanku masih menumpuk, aku mengakhiri lamunanku.
Tak terasa, hari Sabtu pun tiba. Seperti biasa, setiap Sabtu bangunku pasti molor. Maklum, habis begadang semalaman Dl di kantor. Namun, rasa kantuk yang masih amat sangat itu akhirnya terganggu. HP-ku berdering nyaring. Beberapa kali memang aku biarkan saja. Tapi karena penasaran, aku bankit ke meja kerjaku meraih Nokia kesayanganku itu.
"Hai met pagi Ron, lagi ngapain," suaranya yang khas langsung membawa otakku menuju wajah Mbak Wita.
"Bbbaik Mbak," aku sedikit gugup.
"Lo ada apa nih, tumben wartawan gugup, baru bangun ya," katanya.
"Iya nih Mbak, semalaman lagi banyak kerjaan. Tapi sekarang sudah kelar kok," aku menimpali.
"Asyik deh, kita bisa jalan dong," katanya.
"Kemana?"
"Ada deh, cepat sono mandi, ntar aku jemput kamu ya jam 10, oke!" ucapnya sembari menutup Hp-nya.
Sontak aku jadi bingung. Kejutan apa lagi nih yang bakal terjadi? Jangan-jangan aku dijadikan pelarian sama Mbak Wita? Pertanyaan-pertanyaan itu berkecamuk dalam pikiranku. Tok.. Tok.. Tok! Ronny.. Ronn, suara Mbak Wita memanggilku.
"Oh Mbak, silakan masuk Mbak. Sorry tadi aku tutup baru selesai mandi nih," kataku sambil membuka pintu.
Ketika menemui Mbak wita aku masih pakai kaus dalam dan handuk.
"Bentar ya Mbak, aku ganti baju dulu. Mbak tungu aja di depan, tapi maaf lo rumahnya kotor, maklum bujangan," kataku tentang rumahku yang memang tampak berantakan.
"Nggak apa-apa Ron yang penting nyaman," celetuknya
Aku langsung masuk ke kamar dan membuka belitan handukku. Tapi belum sempat memakai celana dalam, tiba-tiba Mbak Wita langsung masuk ke kamarku.
"Maaf Ron, aku pikir sudah selesai," katanya sambil melirik selangkanganku.
"Tapi besar juga lo burung kamu," katanya genit.
Merasa kepalang basah, aku langsung nyeletuk,
"Emangnya Mbak berminat dengan burungku. Ambil gih kalau mau," kataku memancing birahi Mbak Wita yang kelihatan sekali sudah
dekat diubun-ubun.
Mendengar ucapanku wajah Mbak Wita sontak memerah. Tapi tak lama kemudian dia langsung bisa mengendalikan situasi.
"Kalau kamu mau, kita bisa coba kan?"
Mbak Wita akhirnya membuka peluangku untuk bercinta dengannya. Tak mau kehilangan waktu, aku langsung tarik tangan Mbak Wita. Mulutnya yang tebal dan seksi itu langsung kulumat habis. Bibir kami saling berpagut dengan ganasnya. Lidah kami saling bermain-main diantara kedua bibir itu. Uhh.. Ron, Mbak Wita mulai mendesah.
Situasi makin sulit dikendalikan. Tanganku yang sudah "gatal" mulai mempreteli satu persatu kancing baju Mbak Wita. Kait BH-nya pun juga aku lepaskan. Tanganku langsung menggerayangi kedua payudara Mbak wita yang masih tampak sekal.
"Uhh.. Terus Ronn, Enakk..," kata kata Mbak Wita mulai meracau.
Nafasnya mulai memburu. Perlahan kubuka seluruh bajunya dan celana panjangnya. Yang tersisa hanya CD hitamnya saja. Lidahku pun mulai bermain disekujur tubuhnya. Dari ujung kepala, turun ke telinga, ke bibir, ke leher.. Perlahan kusapu dadanya, payudaranya kulumat dengan gigitan kecil.. Turun lagi kebawah, pusarnya kukorek dengan lidahku..
Aku sudah tak tahan lagi. Langsung saja CD hitam itu aku tarik ke bawah. Wow!! Aku sempat bengong. Betapa indahnya liang nikmat Mbak Wita. Selangkangan yang putih bersih itu dihiasi rambut hitam yang sungguh lebat. Laiknya jenggot salah satu capres Golkar. Sontak aku langusng menyambangi hutan lebat itu. Lidahku mulai menari-nari mencari liang nikmat. Mbak Wita terus meracau.
"Uhh teruss Ronn, agak ke bawah dikit.."
Aku pun langsung menjilati vaginanya. Ketika lidahku menyapu bibir vagina dan klitorisnya Mbak Wita tiba-tiba berteriak,
"Ahh.."
" Ronn.. Ayo Ronn.. Kasih aku kenikmatan.. Ayo Ronn cepat sayang.. Bentar lagi aku nyampai," katanya.
Aku makin mempercepat permainan lidahku. Tak terasa lendir asin mulai kurasakan masuk ke lidahku. Tapi dasar sudah nafsu aku makin kesetanan melahap vagina Mbak Wita. Akhirnya..
"Roonn Mbak dapeett nihh.. Aahh," Mbak Wita mendapatkan orgasmenya.
"Thanks sayang, kamu hebat.. "
Aku yang masih 'panas' terpaksa berhenti sejenak melihat Mbak Wita yang lunglai itu. Tapi penisku masih tegak menjulang menunggu aksi selanjutnya. Untungnya Mbak Wita segera tanggap. Ia langsung menggeliat dan mulai mengelus burungku. Tak berapa lama mulut tebalnya sudah bermain-main dengan adik kecilku itu.
"Ohh Mbakk.. Enakk bangeett. Terusin Mbak.. Mulut kamu enak.." ujarku kacau.
Aksi itu berlangsung lumayan lama. Sampai akhirnya aku tak tahan juga untuk ikut mengerayangi lagi vaginanya dengan jariku.
Mbak Wita pun langsung melenguh panjang,
"Ronn.. Aku pengin lagi.."
Secepat kilat aku langsung ganti posisi 69. Lidahku kembali berputar-putar diujung vaginanya. Sementara Mbak Wita dengan rakusnya melahap separo zakarku.
"Ohh.. Mbakk aku pengin vaginamu Mbak..," kataku
"Aku juga Ronn.. Penismu pasti lezat Ronn.. Mbak pengin.. Masukinn sekarang aja.." kata Mbak Wita, teman sekaligus sumber beritaku.
Mendapat sinyal positif aku langsung bangkit dan mengarahkan batangku ke vagina Mbak Wita. Kuusap sebentar kepala penisku di
vagina merah nan indah itu.
"Ohh.. Pelan sayang, punyamu lebih besar dari Mas Johan.."
Perlahan tapi pasti, aku memasukkukan batang penisku ke dalam liang nikmat itu. Slrup.. Slrup.. Plok.. Plok begitulah bunyi genjotanku ke vagina Mbak Wita.
"Enakk sayang.. Terusin, aku tak mau berhenti.. Penis kamu enakk,"
Mbak Wita mulai meracau lagi.
"Vaginamu juga enak Mbak, aku beruntung bisa menikmatinya.. Mbakk aku mau keluar..," setelah 20 menit ujung penisku mulai berkedut.
"Aku juga sayangg, Tahan bentar kita keluarin bareng ya," Mbak Wita pun ikut memainkan pantatnya.
Tak lama kemudian, orgasmeku benar-benar-benar tidak bisa ditahan lagi.
"Mbakk aku sampaii.."
Croott.. Croott.. Croott
Semburan spermaku berulangkali memancar di vagina Mbak Wita.
"Aku dapet juga sayang.. AKu dapat lagi.." hampir bersamaan Mbak Wita menikmati orgasmenya. Vaginanya serasa menjepit batangku. Ueennaakk bangett
"Ohh.. Mbakk vaginamu enak, boleh ya aku minta lagi," ucapku berbisik sambil mendekapnya.
Penisku pun masih tetap bersemayam hangat diliang vaginanya. Tak terasa Kami tertidur. Ketika bangun 2 jam berikutnya, kulihat Mbak Wita masih terlelap tanpa sehelai benang pun menutup tubuh indahnya. Oh ya, penisku pun sudah lepas dari sarangnya.
Hari itu akhirnya kami tidak jadi pergi. Seharian kami hanya bercinta dan bercinta. Jam 4 sore aku sempat keluar cari makan. Setelah itu kami mengulangi perbuatan nikmat itu. Jam 10 malam Mbak Wita pun pamit untuk pulang.
"Ron makasih ya, kenikmatannya. Kamu hebat, kapan-kapan kamu mau lagi kan sayang," katanya sebelum masuk Mobil.
"Buat Mbak apa sih yang nggak Ron berikan," kataku.
Diiringi ciuman dibibirku Mbak Wita lalu masuk mobilnya dan meninggalkanku. Badanku terasa pegal semua, terutama pinggulku yang memang paling berfungsi waktu menggenjot liang Mbak Wita. Tapi bila memikirkan rasanya, seolah rasa pegal itu hilang begitu saja.
Terbukti, peristiwa itu kembali terulang dan terulang.. Begitulah sekelumit kisah cinta gelapku dengan Mbak Wita, nara sumber sekaligus temanku merengkuh puncak kenikmatan. Sekali tepuk dua pulau kudapat. Sebagai wartawan aku dapat berita, sebagai laki-lagi aku disuguhi nikmatnya vagina perempuan cantik. Hidup memang penuh kejutan dan Indahh!
Tamat