Kini jendral Subodai berada dalam masalah besar. Ia tidak sanggup menahan malu di depan perwira Baatur.
"Aku memang makhluk tak berguna. Aku rela mencemarkan namaku dan tidak menaati perintah Ka-Khan (atau Kubilai Khan) hanya demi seorang wanita," kata Subodai dengan kepala tertunduk.
"Setiap orang pasti dapat berbuat salah. Namun yang Jendral perbuat hanyalah kesalahan kecil. Cinta memang patut diperjuangkan," jawab Baatur.
Mendengar hal itu Subodai kaget dan mengankat kepalanya. Baatur lalu melanjutkan,
"Aku sebagai perwira tentara Monggol, mengabdi setia kepada Jendral sejak dulu. Harap Jendral dapat mempercayakan hamba dalam menjaga rahasia ini. Namun sangat disayangkan bukan hanya hamba yang tahu akan rahasia ini".
"Meng.. Chi..," kata Subodai dengan suara pelan.
Sementara itu di perkemahan tentara Wijaya, Panglima Wijaya menugaskan perwira Chen Mien untuk memimpin tiga ratus pasukan untuk menyerang pasukan pemberontak yang dipimpin oleh panglima Nawarjo. Pada malam itu juga Chen Mien langsung berangkat dengan misi serangan mendadak ke perkemahan musuh.
Dahulu pada saat raja Kertanegara meninggal, banyak jendral lain yang kabur dan membentuk pasukan tersendiri. Negeri Kertanegara terbagi menjadi empat bagian. Yang pertama adalah negeri selatan yang dipimpin oleh panglima Tanjung Palaka. Yang kedua adalah negeri barat yang dipimpin oleh panglima Lorosawe. Yang ketiga berada di sebelah timur, berbatasan dengan kerajaan Kediri, dipimpin oleh panglima Nawarjo yang kuat dan haus perang. Dan yang terakhir adalah negeri utara Jawa yang dipimpin oleh panglima Wijaya.
Serangan pada malam hari itu ditujukan untuk merebut negeri timur sehingga tentara Wijaya dapat menyerang kerajaan Kediri dengan mudah. Perwira Chen Mien melakukan sistem formasi barisan gerak cepat, sehingga pasukan Chen Mien melewati perbatasan negeri Timur sebelum fajar. Saat matahari mulai menampakan dirinya, perwira Chen Mien telah sampai di depan gerbang benteng Nawarjo, namun tiba-tiba gerbang benteng terbuka dan sekitar tiga ribu tentara menyerang keluar.
Chen Mien sadar kalau panglima Nawarjo telah mengetahui serangan mendadak. Chen Mien segera memerintahkan tiga ratus tentaranya untuk mundur, tetapi dari belakang terlihatlah sekitar dua ribu pasukan yang dipimpin panglima Tanjung Palaka menyerang untuk membantu Nawarjo. Ternyata Nawarjo telah membentuk persekutuan dengan Tanjung Palaka dan Lorosawe sejak lama. Chen Mien memerintahkan tentaranya untuk melakukan serangan puputan ke arah Nawarjo.
Serangan menggila itu berhasil dan Chen Mien hampir memenggal kepala Nawarjo, namun Tanjung Palaka dengan menaiki kuda hitam datang pada saat yang tepat dan menahan tombak Chen Mien. Melihat hal itu Nawarjo segera kabur ke dalam benteng dan mengunci gerbangnya. Tiga ribu tentara Nawarjo dibiarkan berperang diluar membantu Tanjung Palaka. Keadaan begitu kacau dan duel diantara Tanjung Palaka dan Chen Mien berlangsung seru.
Chen Mien langsung melempar tombaknya ke arah Tanjung, namun tombak itu berhasil di elakkan. Tiba-tiba tombak yang dilempar itu tertarik kembali ke tangan Chen Mien, rupanya ujung belakang tombak itu diikat tali, sehingga Chen Mien meraik kembali tombak itu dan mengayunkan secara kuat ke arah Tanjung. Ayunan itu berhasil memukul kepala Tanjung sehingga ia pingsan dan dilarikan tentaranya.
Perang itu berlangsung lama, sampai siang hari, kemudian datanglah seribu pasukan yang dipimpin oleh Lorosawe. Ia langsung kaget saat melihat perwira Chen Mien yang gagah dalam berperang dan pantang menyerah. Walaupun seluruh tentara Wijaya telah habis terbabat, Chen Mien masih berperang sendirian dan membunuh banyak orang. Lorosawe yang sudah tua ini terkagum, karena sampai umurnya yang sudah 58 ini baru pertama kali melihat pejuang yang gagah berani.
Namun tiba-tiba gerbang pintu benteng terbuka sekali lagi dan ratusan tentara tambahan menyerang keluar. Chen Mien terjatuh dari kuda dan kehilangan tombaknya. Ia lalu mengeluarkan pedang gioknya dan membabat musuh seperti membabat rumput. Pada saat itu Tanjung Palaka telah sadar dari pingsannya dan kembali menaiki kuda untuk menantang duel. Chen Mien yang sudah kelelahan itu akhirnya kalah dan jatuh tak sadarkan diri.
"Benar-benar satria yang luar biasa," kata panglima Tanjung Palaka.
Nawarjo naik pitam karena ribuan tentaranya mati sia-sia, lalu ia mengeluarkan goloknya untuk menusuk Chen Mien, namun hal itu berhasil dicegah Lorosawe.
"Panglima tua, apa maumu?" geram Narwajo.
"Perwira ini adalah tangan kanan panglima Wijaya. Apabila kita tahan dia sebagai tawanan perang, tentara Wijaya tentu tidak akan berani berbuat macam-macam".
Pada mulanya Narwajo tidak menyetujuinya, namun setelah Tanjung Palaka membela Lorosawe, akhirnya Chen Mien di bawa ke negeri Barat sebagai tahanan perang. Akhirnya Tanjung dan Lorosawe pun pamit untuk kembali ke kubu pertahanan masing-masing. Pada saat Lorosawe kembali, Narwajo melihatnya dari belakang dengan penuh curiga.
Beberapa hari kemudian Chen Mien terbangun dan ia berada di ranjang yang besar.
"Oh ternyata satria besar sudah bangun?" jawab seorang gadis.
Chen Mien lalu berkata, "Dimana ini?"
"Di kamarku" jawab gadis itu.
Chen Mien lalu melihat gadis itu dan merasa was-was pula. Gadis itu berpakaian anggun bagaikan seorang putri kerajaan. Wajah gadis itu manis dan cantik. Warna kulitnya putih agak kecoklatan. Dari bentuk tubuhnya yang indah dan payudara yang cukup besar, gadis itu dipastikan berumur 19 oleh perwira Chen Mien.
"Aku adalah Dwimurni putri dari panglima besar Lorosawe. Karena ayahku kau bisa selamat sekarang. Ayuh bersujud di depanku," katanya dengan nada sombong.
"Karena kau adalah putri dari musuhku, maka kujadikan tawanan saja kau," jawab Chen Mien.
Lalu ia mencampakkan dirinya dari ranjang dan tangan kanannya mencekek leher putri Dwimurni. Putri itu merasa kaget dan sadar kalau nyawanya diujung tanduk, namun cekekan itu malah melemas, dan Chen Mien terbenggong. Didalam hatinya ia berpikir,
"Mengapa tangan dan kakiku tidak dirantai. Apa mau panglima tua ini sebenarnya?"
Cekikan itu lalu lepas, dan tiba-tiba pintu kamar itu terbuka. Panglima lorosawe masuk diringi sepuluh tentara.
"Maafkan putriku yang kurag ajar. Ia memang suka bercanda layaknya seperti anak kecil".
"Mengapa kau tidak membunuhku?" tanya Chen Mien.
"Ha ha.. Aku terkagum dengan keberanian dan kekuatanmu itu. Jadilah bawahanku. Kau akan kuberi apa saja yang kau mau. Tapi jikalau kau menolak, akan kupenggal kau."
Lalu tentara Lorosawe mengeluarkan goloknya dan bersiap menyerang. Melihat hal itu Chen Mien melihat pisau kecil di dekat ranjang. Ia lalu dengan cepat merebut pisau itu dan mengarahkan ke lehernya sendiri.
"Lebih baik mati daripada mengkhianati atasanku".
Melihat hal itu Lorosawe langsung menghentikan tentaranya,
"Jangan terlalu gegabah perwira. Ha ha ha.. Aku hanya bercanda. Sebetulnya aku baru saja mengirim surat kepada Panglima Wijaya untuk bersekutu. Tentara Wijaya akan mengantarmu pulang besok malam."
Mendengar hal itu Chen Mien baru mau meletakan pisaunya,
"Mengapa kau berubah pikiran dan mengkhianati perjanjianmu dengan panglima Narwajo?" tanya Chen Mien.
Lorosawe mempersilahkan Chen Mien ke ruang tengah istana dan menceritakan semua masalahnya. Ternyata setelah ia bersekutu dengan Narwajo, ia terus mendapat masalah. Banyak gadis cantik diminta Narwajo sebagai hadiah, dan yang paling parah putri Dwimurni akhir-akhir ini dipaksa untuk menikah dengan Narwajo. Setelah itu Lorosawe menanyakan mengapa Chen Mien tidak sayang nyawa dalam pertempuran. Chen Mien pun menceritakan kalau ia berasal dari negeri Sung (nama kerajaan di China dulu). Di Negheri Sung, Nama besar dan kesetiakawanan menjadi nomer satu dalam perang. Sedangkan nyawa dinomer duakan menurut adat istiadat dan budaya negeri Sung. Semakin banyak pertanyaan yang diutarakan Lorosawe, Semakin bangga ia mendengar jawaban dari Chen Mien. Akhirnya Chen Mien dipersilahkan untuk pergi beristirahat di kamar yang telah disiapkan. Saat Chen Mien beranjak pergi Lorosawe berkata dalam hati,
"Apabila aku yang pertama kali bertemu dengannya. Alangkah beruntungnya aku".
Pada saat Chen Mien pergi ke kamarnya, ia melewati kamar mandi pribadi milik putri Dwimurni. Pintunya terbuka sedikit dan tanpa sengaja Chen Mien melihat Dwimurni sedang mandi. Perwira Chen Mien tidak dapat mengelakkan pandanganya dari tubuh putri Dwimurni yang begitu moleknya. Air yang menyiprat secara pelan membuat kulitnya basah dan seksi. Sinar matahari dari luar jendela membuat badannya bersinar terang akibat pantulan dari air dibadannya. Rambut panjangnya yang diayunkan ke belakang membuat wajah cantiknya terlihat jelas. Kedua belah payudara yang agak besar itu membuat Chen Mien makin terangsang. Penis Chen Mien langsung menegang naik.
Posisi Dwimurni yang duduk itu membuat kedua belah pahanya terlihat menggoda. Warna kulitnya yang seksi menawan membuat Chen Mien makin tak tahan untuk berpaling kepala. Dwimurni teringat tangan Chen Mien yang perkasa dan hangat memegang lehernya. Dwimurni lalu meraba dirinya sendiri dan membayangkan wajah dan tubuh Chen Mien yang perkasa. Jari Dwimurni menusuk-nusukan vaginanya sendiri. Setelah beberapa menit ia mengocok vaginanya, akhirnya ia mendesah kenikmatan
"Ah.."
Lalu cairan putihnya keluar dari vagina secara perlahan-lahan. Dwimurni lalu bangun berdiri dan menyiramkan dirinya dengan air dari atas kepala. Air itu mengalir melewati tubuh seksi itu bagaikan air sungai yang perlahan-lahan mengalir. Chen Mien melihat tubuh Dwimurni dari belakang dan terlihatlah otot pantat Murni yang padat dan seksi sekali. Cairan dari vaginanya bercampur dengan air mengalir keluar dari bulu-bulu vaginanya yang basah. Chen Mien sadar kalau ia berdiri terlalu lama, maka ia pun beranjak pergi ke kamarnya sendiri.
Pada malam harinya Dwimurni terlihat lesu didalam kamar. Pembantunya datang menanyainya,
"Apakah ada masalah, Putri terlihat lesu dan tidak nafsu makan".
"Kemanapun aku pergi, aku terus membayangkan kang Chen Mien. Aku sedih waktu itu aku terlalu sombong kepadanya. Sekarang ia pasti sangat membenciku".
"Tidak juga putri," jawab pembantunya.
"Buktinya waktu tadi putri sedang mandi Kang Chen Mien terus-terusan berdiri melotot tubuh putri".
Dwimurni menjadai kaget, "Benarkah?"
Lalu pembantu itu menjawab, "Iya, benar. Aku dari tadi melihatnnya dari jauh kok".
Wajah putri Dwimurni menjadi merah seperti apel, Dwimurni lalu tersenyum malu,"Nakal juga kamu, perwira Chen".
Pada pagi harinya Chen Mien tanpa sengaja melewati kamar tidur putri Dwimurni. Pintu kamarnya pun tidak tertutup. Terlihatlah tubuh indah Dwimurni yang dibungkus selimut halus. Ternyata Dwimurni senang tidur dalam keadaan telanjang. Melihat hal itu Chen Mien tidak dapat menahan nafsunya yang membara. Ia lalu masuk ke kamar itu dan mengunci pintunya dari dalam.
Chen Mien lalu menanggalkan baju dan celananya. Setelah itu ia naik ke atas ranjang yang empuk dan setengah berbaring tepat di belakang Dwimurni. Tangannya mengelus paha Dwimurni secara halus, dan kemudian elusan itu sampai ke atas lengan Dwimurni. Lalu Dwimurni sedikit terbangun namun matanya masih tidak bisa dibuka karena masih dalam keadaan sangat ngantuk. Chen Mien lalu menempelkan badannya ke punggung Dwimurni dan memeluknya dari belakang. Tangannya menekan-nekan vagina Dwimurni.
"Ah.. Ah.. Jangan Kang Chen Mien" kata Murni secara pelan dan menggoda.
Penis Chen Mien sudah tegang panjang dan menekan garis pantat Murni yang padat berisi. Bibir Chen Mien mencium pipi Murni dengan ganas, dan tangannya terus memeras payudara dan vagina Murni. Paha Murni langsung diangkat dan mengunci lengan Chen Mien yang memegang vaginanya, jadi secara otomatis lengannya menempel di vaginanya.
Penis Chen Mien terus-terusan digosok-gosok pada pantat padat itu, kemudian Murni membalikkan badannya dan memegang kepala Chen Mien secara erat. Chen Mien langsung mencium bibir serta memainkan lidahnya, yang juga dibalas dengan tidak kalah ganasnya oleh Dwimurni. Proses adu lidah itu diiringi dengan tubuh dari kedua belah pihak yang saling menempel dan mengosok-gosokan ke lawannya. Chen Mien Berada di posisi atas dan Dwi berada diposisi bawah. Akhirnya Chen Mien melepaskan mulutnya dan terlihatnya air liur yang banyak mengalir dari mulut kedua belah pihak.
Chen Mien lalu menjelajah ke bagian bawah dan menempelkan kepalanya ke vagina Dwi. Jilatan yang kuat mengakibatkan Dwi mendesah kuat dan kejang. Cairan putih keluar dari vagina Dwi terasa manis dan mengairahkan. Dwi hanya bisa mengerang nikmat dan kedua tangannya masih memegang kepala Chen Mien. Akhirnya Chen Mien bangun dengan posisi bersujud di ranjang, paha Dwi ditarik, dan Jess.. Penis Chen Mien di tusuk ke dalam vagina dwi.
"Ah..!!" teriak Dwi karena tidak tahan sakit.
Chen Mien tidak memperdulikan teriakan itu, ia hanya terus terusan mencumbui Dwi sampai akhirnya ia merasa orgasme kuat. Dwi yang belum bisa membuka mata sejak tadi hanya terbaring dengan posisi vagina terus ditusuk, Dwi menikmati saat itu sampai akhirnya ia mendengar suara erangan Chen Mien dan viginanya terasa terisi cairan hangat yang banyak. Dwi merasa seperti masuk ke surga, lalu ia merasa ingin kembali tidur.
Dan tiba-tiba ada suara yang memanggilnya, "Putri, ayuh bangun, sudah pagi!"
Putri Dwimurni terbangun dan sadar kalau ia hanya sedang bermimpi. Ia kembali sedih karena mengira ia telah berhasil mencumbui Chen Mien. Lalu ia pun bangun dari ranjangnya dan mandi. Setelah itu di siang hari ia berjalan-jalan ketaman. Tiba-tiba ia bertemu dengan perwira Chen Mien. Ia menjadi malu dan menundukkan kepala.
"Selamat siang putri," sapa perwira itu.
"I.. I.. Iya, Selamat siang.. Maaf waktu itu aku terlalu sombong," jawab putri itu dengan cepat karena grogi akibat terlalu banyak pikiran kotor.
"Tidak apa-apa, aku tahu putri hanya bercanda pada waktu itu," jawab Chen Mien. Putri itu menjadi malu dan tersenyum.
Tiba-tiba seorang tentara datang memanggil perwira Chen dengan alasan panglima Lorosawe ingin bertemu. Perwira Chen langsung berangkat pergi. Putri Dwimurni menjadi kesal karena tidak dapat berbicara lama dengan Chen Mien.
Bersambung . . .