Pada keesokan harinya, perang besar dimulai. Di suatu daerah dekat perbatasan, terbentanglah sawah yang luas. Terlihatlah para petani yang sedang menanam padi. Salah seorang petani terlihat lelah dan sedang berdiri sebentar untuk beristirahat setelah ia capek membungkuk lama. Tiba-tiba terdengar suara gemuruh dari jauh. Terjadilah gempa yang dahsyat. Air di sawah itu pun bergetar, dari pelan hingga menjadi besar. Petani itu menjadi binggung. Saat ia melihat keteman-temannya, semua petani lain pun terlihat binggung. Lalu ia mendengar suara dari atas langit.
Saat ia menoleh ke atas, terlihatlah ratusan burung terbang dengan cepat bagaikan menjauhi sesuatu daerah. Petani itu lalu melihat ke arah burung itu datang, dan saat itu ia baru sadar kalau ada asap debu yang mengepul besar ke atas. Ia menjadi takut, dan binggung entah harus kabur kemana, karena didalam hatinya ia berpikir apabila terjadi topan badai yang besar, maka lari pun percuma saja. Kemudian ada seorang petani yang berteriak di atas bukit dari arah asap debu itu.
"Oi.. Ayo cepat kemari, lihat ini!!".
Petani itu menjadi binggung karena temannya mengajaknya untuk mendekati ke arah datangnya asap debu itu.
"Apakah dia sudah gila" pikirnya dalam hati.
Tetapi ia melihat puluhan petani lainnya berlari ke atas bukit, maka akhirnya ia pun memberanikan dirinya untuk berlari ke atas bukit. Saat ia memanjat bukit, agaklah susah dilakukan karena gempa itu masih belum berakhir. Kemudian saat ia berhasil memanjat sampai ke atas, kini ia baru tahu apa yang sedang terjadi.
Sekitar ratusan ribu tentara berkuda menyerang dari sebelah timur dan menabrak ratusan ribu tentara berkuda lainnya yang menyerang dari sebelah barat. Tanah pun bergoncang hebat akibat perang yang menggila itu. Lebih dari tiga ratus ribu tentara terlibat dalam perang yang begitu dahsyatnya. Para petani tidak percaya apa yang baru saja mereka lihat. Tiba-tiba perang antar pasukan berkuda itu makin membesar dan para petani itu segera lari turun dari bukit itu, dan beberapa saat seketika perang itu menyebar hingga ke sawah.
Puluhan ribu tentara saling membunuh dan membuat sawah itu berubah menjadi warna merah darah. Ternyata tentara yang berperang adalah tentara Nawarjo dan tentara Wijaya. Penglima Nawarjo sendiri yang memimpin perang itu. Perang besar itu terus menyebar dan para tentara ada yang berperang sampai ke dalam hutan didekat daerah itu.
Dari jauh terlihatlah dua orang satria berbaju besi lengkap dan berkuda menerobos sekumpulan tentara. Setiap tentara yang melawan langsung habis dibabat. Ternyata mereka adalah perwira Chen Mien dan perwira Suwongso. Pasangan ganda itu berhasil menerobos ribuan tentara berkuda sampai ke sebuah kereta perang besar yang dijaga banyak tentara. Diatas kereta itu panglima Nawarjo memimpin pasukannya dalam berperang.
Melihat kedua perwira itu menyerang ke arahnya, maka Nawarjo memerintah tentara yang disekitarnya untuk memenggal perwira Suwongso. Ratusan tentara langsung menyerang membabi buta, namun badan Suwongso sangat besar, maka ia dapat menangkis serangan musuh dengan gampangnya. Suwongso lalu mengangkat salah seorang musuhnya lalu dilempar ke tentara lain.
"Cepat bunuh keparat Nawarjo, biar aku yang tangani cecurut ini," teriak Suwongso.
Chen Mien langsung berkuda secepat kilat, ia lalu loncat dari kuda itu dan melayang sejauh tiga setengah meter. Lalu ia melempar tombaknya ke arah Nawarjo. Panglima Nawarjo lalu mengeluarkan pedangnya dan menangkisnya.
"Hah.., apakah hanya ini kemampuanmu?" teriak Nawarjo, namun tanpa disadari dalam waktu yang bersamaan, Chen Mien juga melempar pedangnya.
Nawarjo yang sombong dan tidak siap itu langsung kaget dan berusaha menangkis datangnya pedang. Namun itu sudah terlambat, pedang itu menancap tepat di dada Nawarjo. Teriakan Nawarjo yang kesakitan itu membuat semua tentara berpaling ke arahnya. Akhirnya Nawarjo tewas dan seluruh tentaranya menyerah serta ditawan Wijaya.
Pada malam harinya seluruh tentara Wijaya melakukan pesta pora bersama para penduduk. Jendral Subodai sendiri datang memberi selamat kepada panglima Wijaya. Setelah pesta, maka perwira Chen Mien pergi ke kamarnya untuk beristirahat. Beberapa saat kemudian putri Dwimurni datang memberi selamat kepada perwira Chen, lalu mereka pun ngobrol bersama. Setelah beberapa saat kemudian Dwimurni berkata,
"Ih badanmu bau deh".
"Iya, dari tadi saya sibuk berpesta setelah menang perang," jawab perwira Chen Mien.
"Aku mandinya besok saja deh, sekarang aku sudah lelah dan ngantuk".
Putri Dwimurni menjadi kesal dan berkata, "Tidak boleh, ayo mandi sekarang. Saya mandi-in deh".
Lalu tangannya langsung menarik lengan Chen ke kamar mandi. Perwira Chen yang pada pertamanya malu dan tidak mau, akhirnya mau-mau juga. Perwira Chen disuruh masuk ke bak mandi yang penuh dengan air berwarna merah muda. Air tersebut ternyata bukan air sembarangan, namun air yang telah dicampur sari bunga dari puncak gunung Sawolaran yang biasa digunakan untuk membuat obat pembangkit selera pria dan wanita. Air itu mempunyai bau yang sangat wangi dan menggoda.
Akhirnya perwira Chen ditelanjangi oleh Dwimurni dan setelah itu mereka berdua masuk secara perlahan-lahan ke dalam bak mandi tersebut. Chen Mien duduk di dalam bak itu dan tinggi airnya hampir mencapai dada perwira itu sedangkan putri Dwimurni berlutut dibelakang Chen dan membersihkan punggungnya. Setelah itu tangan Dwimurni pun menjalar hingga dada perwira yang kekar itu, kedua payudara Dwi yang padat langsung menempel ke punggung Chen. Ternyata putri itu sudah tidak tahan lagi ingin melakukan hubungan seks, karena pengaruh air mandi yang berkhasiat itu.
Penis Chen pun sudah berdiri sejak air yang hangat itu menyentuh dan meresap ke dalam penisnya.
"Oh.. Ah.." desah Chen secara pelan karena salah satu tangan Dwi telah masuk ke dalam air dan mengocok penis Chen. Beberapa saat kemudian, Chen tidak tahan lagi, ia langsung berbalik badan dan memeluk Dwi secara erat-erat. Kedua payudara Dwi sekarang menempel dan tertekan keras ke dada Chen. Dwi langsung memeluk Chen dengan erat dan kepalanya disandarkan ke dada Chen.
"Apakah engkau mencintaiku," tanya putri itu.
"Kau adalah permata hatikku. Aku rela meratakan dunia ini hanya untukmu," jawab Chen dengan mata tertutup pula.
Kedua paha Dwi langsung mengapit keras pinggul Chen dan betisnya disilangkan dibelakang punggung Chen. Cahaya dari obor api dan lilin yang remang-remang membuat warna kulit Dwi yang putih kecoklatan makin membangkit selera. Chen langsung menjilatinya sampai puas. Namun di kulit Dwi yang basah itu banyak terdapat air mandi yang berkhasiat bunga seks, sehingga Chen Mien makin ganas dan langsung mencumbui Dwi tanpa membasahi vaginanya lagi.
Dwi langsung menarik sebuah tali besar disamping bak mandi itu, dan kemudian sebuah lubang terbuka dari langit-langit dan air hangat berkhasiat langsung mengucur keluar dari lubang itu serta mengisi air bak itu hingga penuh. Sekarang tinggi air itu menutupi dada kedua sang kekasih. Chen langsung mencumbui Dwi tanpa henti. Cumbuan itu membuat air dibak banyak yang mengalir keluar, namun air di bak itu tidak pernah habis karena air yang telah disiapkan sangatlah banyak. Cumbuan ganas itu diiringi dengan ciuman dan adu lidah yang mesra.
"Ah.. Ah.. Ah..!!" desahan itu keluar dari kedua mulut sang kekasih.
"Ah.. Aku juga mencintaimu sayang," kata Dwi, namun Chen tidak dapat berkata apa-apa karena ia tidak pernah menikmati percintaan yang begitu hebatnya.
Tidak lama kemudian kedua-duanya mencapai orgasme dan mengeluarkan sperma serta cairan ovum ke dalam air mandi. Karena air mandi itu mengandung khasiat yang tinggi dan masih dalam keadaan yang sangat hangat. Chen Mien dan Dwimurni, kedua badan mereka menjadi bergetar, sehingga mereka berdua bergetar dalam pelukan mesra di dalam air hangat. Getaran itu terjadi karena tahap orgasme mereka melebihi batas. Jidat Chen langsung menempel ke Jidat Dwi, karena ia merasa orgasme yang terlalu nikmat.
Setelah mandi akhirnya mereka segera keluar dari kamar mandi dan tidur bersama. Namun tidur mereka itu berlangsung dua hari, dan di hari ketiga badan mereka masih lemas. Banyak dukun-dukun yang telah mencoba untuk mengobati mereka, namun para dukun disogok untuk tetap diam dan mengarang cerita lain untuk membohong para masyarakat agar berita malu itu tidak tersebar kemana-mana.
Pada pagi harinya Chen Mien dipanggil kerapat militer untuk menentukan nasib seratus lima puluh ribu tentara tawanan perang. Banyak orang yang menganjurkan agar tentara itu dibunuh, namun hanya Chen Mien yang menolak ajakan itu.
"Apabila seratus lima puluh ribu tahanan itu kita bunuh, maka di hari lain tidak ada lagi orang yang mau menyerah kepada kita. Apabila orang sebanyak itu saja kita bunuh, nanti bagaimana dengan masa depan apabila musuh kita lebih sedikit? Tentunya mereka tidak akan menyerah dan berperang mati-matian. Dan juga apabila semua tahanan dibunuh, maka kita sama saja dengan menanam kebencian kepada seratus lima puluh ribu keluarga, dalam kata lain lebih dari lima ratus ribu orang akan membenci kita, lalu ditambah dengan teman, dan sanak keluarga, serta saudara jauh mereka. Jutaan orang akan membenci kita bahkan mungkin tentara kita sendiri akan memberontak terhadap kebijakan ini. Lebih baik kita lepaskan saja mereka, toh mereka juga tidak ada pemimpin lagi. Nawarjo telah kita bunuh."
Penjelasan itu membuat Wijaya tidak jadi membunuh para tahanan, namun ia melepaskan mereka semua sesuai anjuran Chen. Para tahanan merasa terharu dan lebih dari lima puluh ribu tentara enggan pulang, dan bergabung dengan panglima Wijaya. Nama Panglima Wijaya makin populer dan dikagumi semua masyarakat di Nusantara.
Seminggu kemudian ratusan ribu tentara pun dipersiapkan untuk menyerang musuh terakhir yaitu panglima dari negeri selatan, Panglima Tanjung Palaka. Ia adalah satu-satunya panglima kuat yang pernah mengalahkan perwira Chen Mien dalam duel satu lawan satu dulunya. Perwira Chen Mien ditugaskan untuk merebut daerah itu.
"Aku tidak perlu dua ratus ribu tentara. Sepuluh ribu saja sudah cukup," kata perwira Chen yang disambut gembira oleh Panglima Wijaya.
"Bah, sombong, memangnya kamu bisa melakukannya?" tanya perwira Suwongso dengan suara lantang.
"Ha, ha, ha. Kalau aku sendiri yang memimpin tentu saja tidak bisa, Namun kalau kamu ikut membantu maka tugas ini akan menjadi seringan bulu," jawab Chen Mien.
"Ha, ha, kau ternyata masih ingat padaku. Aku memang sudah tidak sabar untuk ikut berperang," kata perwira besar itu.
"Mana mungkin aku lupa pada saudaraku ini," jawab Chen Mien yang membuat Suwongso bertambah senang.
Akhirnya sebelum perang mereka berdua mengangkat saudara. Perwira Chen menjadi kakak angkat dari perwira Suwongso, karena umurnya yang lebih tua setahun dari perwira besar itu. Akhirnya mereka pun berangkat. Dimedan perang, panglima Tanjung Palaka telah bersiap perang. Perwira Chen segera mengajak panglima itu untuk duel ulang satu lawan satu. Duel itu berlangsung dari siang hingga malam tanpa henti. Para tentara tidak percaya apa yang mereka lihat. Para tentara itu berdiri saja sudah kecapekan, namun Chen Mien dan Tanjung Palaka masih berduel tanpa mengenal lelah.
Beberapa saat kemudian Chen berkuda kabur yang diikuti dengan seluruh tentaranya. Tanjung Palaka langsung merasa senang dan memburunya hingga ke daerah semak belukar. Beberapa jam kemudian Tanjung Palaka kehilangan jejak terhadap Chen Mien, karena tentara yang dipimpin Chen Mien hanyalah seratus orang saja. Tiba-tiba angin bertiup kencang, dan terciumlah bau busuk, seperti bau ikan. Tanjung Palaka tiba-tiba sadar akan bahaya di depannya, namun sudah terlambat.
Ternyata dibawah semak-semak belukar itu dipenuhi minyak ikan. Para tentara Chen langsung melepaskan panah api dan membuat semak belukar itu menyala. Kobaran api itu membuat malam menjadi seterang siang hari. Puluhan ribu tentara mati terbakar. Tanjung langsung lari dan mundur ke bentengnya, namun bentengnya telah direbut oleh Suwongso.
Ternyata duel disiang hari hanyalah jebakan dari Chen. Tanjung Palaka langsung berkuda kabur ke hutan dengan membawa tiga ribu orang. Pada saat mereka sampai di tengah hutan, mereka beristirahat sebentar. Tanjung Palaka segera memerintah para perwiranya untuk berdiskusi. Diskusi itu tidak berjalan lancar, karena mereka mendengar teriakan tentara dari arah luar hutan, dan dalam sekejap mata, para tentara musuh sudah menyerang sampai ke depan. Tanjung Palaka terpaksa kabur dengan para perwiranya.
Bersambung . . .