Tak ada yang lebih mengerti warna-warna kesedihan
Selain angin yang menari di atas makam basah
Angin benar-benar menari sore itu. Ia menggoyang rambut-rambut tipis di kening semua orang. Selain pria berbaju safari yang membacakan kalimat demi kalimat pengantar, tidak seorang pun dapat berkata apa-apa. Semua larut dalam kesedihan yang sama. Dalam sebuah rasa kehilangan yang dalam.
"Masih muda sekali," seorang ibu terdengar membisik pada yang lainnya.
"Iya. Awal puasa pula," ibu di sebelahnya ikut menimpali.
Seorang ibu menggerung tiba-tiba. Bukan untuk yang pertama.
"Anakku! Anakku!" ia mengerang dan menjerit-jerit.
Beberapa orang pria dengan sigap memegangi lengan si ibu, sebelum wanita itu merusak bungkus kain kafan.
Si ibu jatuh terduduk. Tangannya mengais gundukan tanah, "Dia anakku.. anakku.."
Semua orang memandang dengan hati pilu. Juga dua orang muda-mudi yang berdiri di bawah pohon dadap itu. Si gadis hendak melangkah mendekat, tapi si pemuda menarik lengannya.
"Jangan. Jangan membuat segalanya runyam," ucap lirik mata si pemuda.
Si gadis menatap dari balik kaca mata hitamnya. Setitik air mata mengalir turun dari mata kirinya.
"Kenapa? Kenapa, Ray?"
Ray membetulkan letak kaca mata yag dikenakannya, lalu menggelengkan kepala. Jemarinya masih erat menggenggam pergelangan tangan gadis di sampingnya. Si gadis membungkuk dan menutupi mulutnya dengan telapak tangan. Tangisnya tertahan, membuatnya seperti tersedak.
"Ssshh," hanya bisikan itu yang keluar dari bibir Ray.
Ray menatap kosong ke arah ceremoni yang terus berlangsung.
Sang ibu masih meraung-raung. Lalu ia mengangkat kepalanya. Matanya membeliak melihat sosok pemuda di bawah pohon. Ia mengerang dan meronta, melepaskan diri dari lengan-lengan yang menahannya. Tangannya menopang tubuhnya saat ia merangsak maju, lalu bangkit berdiri. Setengah berlari ia menghampiri si pemuda. Orang-orang memandang dengan terkejut. Pria bersafari menghentikan bacaannya.
"Pembunuh..! Pembunuh..!" wanita setengah baya itu berteriak-teriak.
Si gadis melompat mundur dengan ketakutan. Si pemuda masih tetap diam tidak bergerak. Si ibu mendekat dan menampar wajah pemuda itu. Plak..!
Ray merasa getir di sudut bibirnya. Tapi ia masih memandang dengan dingin. Wanita itu terhenyak, lalu matanya berkerut. Ia mengangkat lengannya dan menarik-narik kemeja hitam yang dikenakan si pemuda.
"Kembalikan anakku..! Kembalikan anakku..!"
Ray masih tetap tegak berdiri. Gadis di sampingnya memegangi tangan si ibu dengan menangis.
"Sudah, Bu..! Sudah..!"
Beberapa orang berlari mendekat, lalu menolong memegangi si ibu. Ibu itu meronta, mencakar kesana kemari. Tapi lengan-lengan membawanya menjauh dari pemuda itu. Air mata membanjir di wajahnya, seiring erangan-erangan kesedihan.
Seorang bapak berkopiah mendekat ke arah Ray.
"Pergi, Nak. Di sini bukan tempat untukmu."
Ray mengangguk dan membalikkan tubuh. Langkahnya tetap saat ia menjauh dari tempat itu, menelusuri jalan setapak.
"Ray, tunggu..!" gadis yang sedari tadi masih menangis mengangkat lengannya.
Tapi pemuda itu sama sekali tidak menoleh. Ia terus melangkah. Bingung, si gadis menatap ke arah sang ibu yang menggerung beberapa langkah dari tempatnya berdiri. Lalu gadis itu menoleh lagi ke arah punggung pemuda yang semakin menjauh.
"Ray..! Tunggu aku..!" ia memacu kakinya menyusul.
Angin berhembus sedikit lebih kencang. Tanda mau hujan.
TENTANG DIA, BAGIAN PERTAMA.
Saat-saat pertama aku mengenalnya, ia tampak sangat jauh berbeda, ia tampak sangat tenang waktu itu, senyum selalu menghias di wajahnya dan tawa tidak pernah kunjung meninggalkannya. Namun kini, semua itu terasa terlalu jauh. Aku tidak pernah mengira bahwa kehidupan yang dijalaninya begitu penuh jurang-jurang kelam. Tidak pernah kukira bahwa semua ini akan terjadi padanya.
Aku terpesona padanya sejak ia pertama kali mengajakku kerja malam. Waktu itu aku masih mengingat, kali pertama aku menginjakkan kakiku di tempat yang hingar bingar itu. Semua terasa begitu menakutkan. Gelap, pekat, hanya bayangan-bayangan yang bergoyang dengan mata-mata redup. Namun ia menggenggam lenganku dengan mantap. Dan ia membawaku masuk ke dalam dunianya yang gemerlap. Dunia yang selama ini hanya kudengar dari bibir yang mencaci maki.
Tapi, saat itu yang terjadi ia menunjukkan padaku bahwa dunia itu sama sekali tidak berkaitan dengan orang-orang yang di dalamnya. Bahwa semua kembali tergantung sebagaimana kita mampu mengendalikan diri kita masing-masing. Ia begitu dewasa, dan ia membuatku terpesona. Tapi belum jatuh cinta.
Aku berusaha mendekatinya. Tapi ia selalu menjauh. Bukan dalam arti menjauh dengan pergi menghindariku, tapi ia begitu menjaga jarak antara kami. Tingkah lakunya itu membuatku penasaran setengah mati. Saat kutanyakan pada rekan-rekan yang lain, mereka hanya tertawa dan menyebut satu kata, 'profesionalisme'. Tapi ada juga yang berkata sebaliknya, bahwa pemuda itu jauh lebih panas dari bara lahar gunung berapi sekalipun. Aku tertawa benar saat itu. Nyaris tidak percaya. Dan aku mulai bemain api tanpa kusadari.
Waktu itu aku membuka jalan dengan melongo, saat ia pertama kali bergurau denganku. Sebelum itu, jangankan bergurau, menoleh dan tersenyum saja ia tidak pernah. Yang terjadi selanjutnya adalah keherananku, karena gurauannya mesum sekali, setidaknya itu istilah yang bisa kudapat dari kamus. Tapi guyonan itu tidak kasar, malah terkesan lucu dan menggoda. Seperti sesuatu yang disuguhkan, lalu ditarik kembali dengan cepat. "Ini kue manis untukmu.. Eh.., ngga jadi ah.."
Aku benar-benar geli. Seumur hidupku, baru kali itu kutemukan seorang pemuda yang begitu kurang ajar dalam berkata-kata. Tapi ia menindas semua pemikiran burukku dengan tawa dan senyumnya. Dan mau tak mau, aku terseret juga dalam candanya. Dalam segala guyonan mesum itu. Semuanya menjadi terasa begitu biasa dengannya. Tak ada rasa canggung, tak ada sungkan. Jauh berbeda dengan adat konservatif yang selalu diajarkan oleh orang-orang tua. Ia begitu bebas.
Saat itu aku benar-benar menaruh curiga padanya. Pemuda mesum seperti itu, dengan modal yang ia miliki, pasti benar-benar seorang play boy. Aku tidak bodoh, pikirku saat itu, aku mengenal pemuda seperti layaknya gadis-gadis seusiaku mengenal mereka. Dan jika pemuda semacam itu mulai bertindak yang aneh-aneh, aku pasti siap dengan tamparan keras. Tapi yang terjadi selanjutnya sungguh di luar dugaanku. Ia membuatku merasa terayu dengan cara yang aneh dan tidak kumengerti. Ia menindas semua rasa antipatiku terhadapnya. Dan bahkan tanpa kusadari.
Terkadang saat malam tiba, aku dapat tertawa-tawa sendiri saat mengingat setiap guyonannya padaku. Guyonan-guyonan mesum itu membuatku berdebar-debar. Dan bukan hanya itu yang membuatku tidak berdaya. Tapi kelakuannya padaku. Ia tidak pernah sekalipun menyentuhku, walau dalam guyonannya ia selalu mengatakan ingin bercinta denganku di bawah bintang-bintang. Ia bahkan tidak pernah mengajakku makan siang bersama, atau nonton bioskop. Padahal saat itu, aku mulai merasa hubungan kami semakin dekat. Tapi sedekat apa baginya, aku tidak akan tahu. Yang aku tahu hanya, saat itu ia begitu membuatku merasa sebagai seorang wanita. Ia membukakan pintu untukku, memberikan apa yang kuperlukan tanpa kuminta, dan ia begitu memperhatikanku sampai ke kancing baju sekalipun.
"Kamu pakai jeans, mirip tomboy. Sekali-sekali pakai rok, dong..!" itu katanya suatu hari.
Dan entah mengapa, keesokan hari setelahnya, aku datang ke kantor dengan mengenakan rok selutut.
Semua orang mentertawakanku, tapi ia tersenyum dan berkata, "Kamu cantik sekali hari ini."
Ahh, mungkin ia lah satu-satunya pemuda yang dapat membuatku mematuhi apapun yang ia katakan tanpa membuatku merasa terpaksa. Walaupun selanjutnya ia membuatku sebal dengan tangannya yang jahil ke pantatku seharian. Lalu kusadari bahwa aku telah jatuh cinta padanya.
Puncak dari perasaanku padanya, adalah malam itu, setelah kami pulang dari sebuah cafe, dunianya. Waktu itu aku sempat berduaan dengan salah seorang sahabat wanitanya. Dan aku tersenyum setiap saat mengingat perbincangan kami.
"Kamu lihat dia?" tanya gadis itu padaku.
Aku lalu melirik ke arah pemuda di depan bar itu dan mengangguk.
"Apa yang kamu lihat di situ?"
Aku berpikir sejenak dan tertawa kecil, "Apa ya? Cowok mesum?"
Gadis itu tertawa, tapi hanya sekejap. Setelah itu pandangannya berubah sendu.
"Dia salah satu dari sekian banyak singa yang terluka." kata gadis itu kemudian.
"Ah?" seruku tidak mengerti dan menatap gadis itu.
"Iya," si gadis tersenyum, menganggukkan kepalanya.
Tangannya lalu terangkat dan menyodorkan minuman berwarna merah menyala itu padaku. Aku meraihnya dan membiarkan larutan aneh itu membuat tenggorokanku panas sejenak.
"Dia menghanyutkan," mendadak kudengar gadis itu tertawa.
Aku juga tertawa. Selebihnya, aku dapat mengerti apa yang dikatakannya.
"Tapi kamu akan terkejut kalau kamu mendapat kesempatan untuk melihat ke dalam matanya lama-lama."
"Oh ya?" tanyaku dengan alis berkerut, "Ada apanya?"
"Ada mesum," sahut gadis di sebelahku cepat.
Raut seriusnya berubah menjadi kegelian, lalu kami tertawa bersamaan. Aku tahu ia menyembunyikan sesuatu, gadis itu dan aku bertekad akan tahu sendiri.
Aku tidak mabuk saat ia menuduhku demikian. Kami berbantahan beberapa saat lamanya. Tapi saat itu, sesuatu yang mengejutkan terjadi setelahnya. Ia mendadak menepikan mobilnya, lalu tanpa sempat kucegah, ia mengecup bibirku.
"Kurang ajar!" itu yang kuucapkan dalam hati beberapa saat setelah aku terlena.
Ya, aku terlena. Dan itu memalukan. Karena aku memang memimpikannya diam-diam setiap malam. Tapi bagaimanapun juga, aku seorang gadis, dan seorang gadis baik-baik tidak akan membiarkan bibirnya dikecup oleh seorang pemuda yang terus terang bukan apa-apanya. Namun itulah yang terjadi. Kegusaranku membuat kami sama-sama hening malam itu. Beberapa menit. Dan bibirku gatal. Aku.., mau lagi.
Itulah yang terjadi kemudian setelah ia membuka pembicaraan. Ia mengecupku sekali lagi, membuat kedua mataku terpejam, dan napasku terengah. Guyonan-guyonan yang selalu membuatku tertawa menjelang tidur itu melintas, membuatku bagai di alam mimpi dengan harapan-harapan untuk disentuh, dibelai, dengan desiran hasrat yang menggebu. Aku tidak mengerti sekalipun mengapa saat itu aku hanya diam saja, sementara ia menyentuh seluruh anggota tubuhku. Memainkan kedua buah dadaku, menelusuri kulit telanjangku dengan bibirnya. Yang ada di dalam hatiku saat itu hanyalah satu, aku ingin dia.
Dan saat semuanya berakhir begitu mendadak, rasa kecewa itu muncul. Membuatku menangis. Bukan menyesal, tapi sebuah ekspresi kekecewaan. Saat aku mulai melemah dan pasrah, saat itu ia mendadak menghentikan semua mimpi. Saat aku bertanya tentang arti semua itu.
"Ya kamu tebak sendirilah artinya apa," itu jawabnya.
Itu yang terakhir kuingat sebelum aku benar-benar mencintainya. Tidak perlu waktu lama untuk semuanya. Hanya sepuluh hari waktu yang kubutuhkan untuk pasrah dan menyerahkan segala milikku padanya. Waktu yang kubutuhkan untuk meneguhkan keyakinanku, bahwa cintaku telah kutemukan di dalamnya. Selanjutnya, hari-hari berlalu dengan begitu membahagiakan. Aku di sampingnya, dan ia di sampingku. Saling membelai dalam kemesraan. Sampai ia beniat meninggalkanku setelahnya.
"Aku tak bisa terus-terusan seperti ini," begitu katanya.
Aku hanya diam waktu itu. Aku tidak dapat mengatakan apapun. Ia memandangku dengan wajah heran, heran karena tidak ada perlawanan apapun dariku.
"Kamu tidak apa-apa?" begitu tanyanya padaku. Kugelengkan kepalaku.
"Aku tak bisa mencegah seseorang yang ingin pergi dariku."
Lalu ia membalikkan tubuh dan berlalu tanpa menoleh.
Walau hatiku menjerit, tapi aku masih bertahan untuk tidak berlari mengejarnya. Sesuatu hal yang kutahu akan percuma. Aku begitu mencintainya, sampai aku tidak dapat menahannya untuk pergi. Tidak bahkan untuk meminta penjelasan lebih lanjut. Orang-orang pasti heran dan bertanya, mengapa? Jawabannya adalah karena aku sudah melihat matanya.
Seorang yang mencari dan terus mencari
Dalam kegelapan, meraba-raba
Dalam sendu, dalam ratapan
Bersambung . . . .