Qra menghampiriku dan mengulurkan tangan. Aku membalas jabatannya erat.
"Makasih, mau datang. Masuk, yuk..?"
Aku menggeleng. Sementara aku ingin benar masuk, pandangan sinis si Genuk terlintas lagi di benakku. Bagaimana sekarang? Apakah semua masih menyimpan kegusaran itu? Tapi akhirnya kuturuti juga ajakannya. Walaupun semakin dekat keraguan itu semakin besar.
"Duduk Ray. Mau minum..?"
Aku menggeleng lagi, "Tidak. Thanks. Jadi ada apa denganmu?"
Qra mendudukkan tubuhnya di atas meja teras, tepat di sampingku. Mendadak dapat kulihat kekusutan terbayang di wajahnya.
"Aku butuh bantuanmu kali ini."
"Tunggu," tukasku, "Apa yang membuatmu yakin kalau aku bisa membantumu?"
Ia tersenyum, kukira itu senyum yang kecut.
"Umm.., gimana ya, soalnya kamu yang paling pandai menenangkan hati."
Aku tertawa, "Yang benar saja."
"Iya."
"Kamu.., masih marah padaku?" aku bertanya ragu-ragu.
Qra terlihat tersenyum dan menggeleng, "Aku sudah melupakannya, kok. Nyantai aja."
Tulang-tulangku melemas. Aku lebih tenang sekarang.
"Thanks," kataku kemudian, "Jadi apa yang bisa kubantu?"
"Aku punya seorang pacar..," Qra berkata, lalu menatapku, seolah ingin melihat reaksiku.
Aku hanya tersenyum dan mengangguk, "I see. Lalu?"
"Tapi sudah putus," Qra berkata lagi, membuatku terpaksa tertawa, karena wajahnya lucu benar saat mengatakan itu. Antara nyengir dan senyuman sakit hati.
"Jangan cerita," sahutku kemudian, "Lanjut..!"
"Putusnya sekitar seminggu yang lalu. Aku mau cerita, dan jangan dipotong satu kata pun, oke? Waktu itu memang kurasa aku yanng salah. Jadi sekarang, malam ini, dia ulang tahun. Dan aku ingin meminta maaf padanya."
Aku memandang heran, "Lalu apa butuhnya aku di sana?"
Qra tersenyum, "Selain mengantarku? Hmm.., entah mengapa aku hanya ingin kamu ada di situ saat itu. Bukan saat pestanya. Tapi.. entahlah.. hanya sebuah firasat."
Senyumku tersungging seketika. Wanita memang susah diprediksi, apalagi dalam beberapa masalah yang menyangkut perasaannya.
"Baiklah," jawabku tanpa pikir panjang, "Kalau hanya itu aku tak perlu berganti pakaian."
Qra terkekeh girang. Sejenak wajahnya tampak lebih berseri.
Aku sedikit terpesona saat melihat gadis itu melangkah keluar dari pintu rumah. Ia tampak begitu anggun, hingga aku nyaris tidak mempercayai bahwa Qra yang sama yang sebegitu teganya kupermainkan perasannya setahun yang lalu. Ia terkekeh saat menyadari aku tidak berkedip. Qra menggerakkan tas kecil yang tergantung di lengannya, memukul bahuku lembut.
"Kenapa bengong? Ayuk..!"
Aku tersenyum dan mengangguk.
Yang kurasakan selama perjalanan hanyalah kebekuan. Aku tidak tahu harus berkata apa. Tidak tahu harus memulai dari mana. Aku sudah tidak pernah lagi menjumpainya sejak tragedi sinetron di depan kost itu. Menelepon pun hanya sekali, yaitu beberapa hari setelah kejadian itu, hanya untuk meminta maaf yang bersambut tangisan. Dan tidak pernah kubayangkan, kalau aku akan bersama dengannya sekarang. Hanya berduaan dalam satu mobil yang melaju kencang. Aku ingin berbincang dengannya. Hanya aku tidak dapat.
"Ray, mobil kamu baru? Yang silver di mana?"
Aku tertawa kecil, menggelengkan kepala, "Sudah dikandangkan. Sejak aku menubruk orang enam bulan yang lalu. Bad sign, kata orang-orang, jadi kulepaskan saja setelah direparasi. Yang baru juga baru saja nabrak orang tadi pagi. Sial benar. Yang ini mobilnya teman, aku pinjam."
Qra menatapku, lalu tertawa dengan menutup bibirnya.
"Kamu memang aneh. Tapi sayang.."
"Sayang?" tanyaku tidak mengerti.
"Iya," Qra tersenyum tanpa memandangku, "Banyak kenangan di situ."
Aku yang sekarang tertawa, "Jalan tol..," bisikku.
Qra meninju lenganku dan tergelak.
Waktu itu, malam. Aku dan Qra berduaan di tempat peristirahatan, di antara Surabaya dan Gempol. Bermesraan, melupakan potongan roti yang berserakan di jok belakang. Tengah 'asyik-asyiknya', mendadak sinar senter masuk dari jendela depan. Apa mau dikata, akhirnya kami berdua tergesa-gesa merapikan baju dan keluar. Yang terjadi selanjutnya, adalah uang lima puluh ribuan yang terbang dari sakuku, sebagai uang tutup mulut dari para petugas patroli jalan tol yang entah mengapa pula mendadak iseng menyenteri mobil-mobil yang parkir di wilayah peristirahatan.
Suasana di dalam mobil berubah hangat ketika kami berdua tertawa berbarengan. Segala kekakuan itu terasa lenyap seketika. Aku lebih senang situasi seperti ini, dan tentu saja aku berusaha keras untuk tidak membelokkan pembicaraan kembali ke titik semula.
"Jadi, bagaimana kuliahmu sekarang?"
"Bagus," Qra tersenyum, "Sebentar lagi aku maju. Kamu mau doain?"
Aku mengangguk, "Tentu saja."
"Kamu memang baik, Ray. Bahkan saat kamu jahat, kamu tetap baik."
Aku terhenyak. Bukannya merasa tersanjung, tapi aku merasa kata-kata itu bagaikan pedang yang menyayat hatiku, menyindirku habis-habisan. Iblis bertopeng manusia.
Tidak berapa lama kemudian kami sampai di depan hotel. Qra tidak menunggu sampai aku turun dan membukakan pintu. Ia tersenyum saat aku memandangnya heran.
"Kamu tunggu saja. Aku kan tidak mengajakmu turun. Mau kan? Mungkin acaraku selesai sekitar pukul sembilan. Tapi aku tidak jamin juga."
Aku menggeleng-gelengkan kepala sambil nyengir, "Dasar," ucapku lalu terkekeh.
Qra meleletkan lidahnya dan melambaikan tangan.
Tidak berapa lama kemudian aku sudah keluar dari pelataran hotel. Dalam hati aku masih bertanya-tanya, apa yang sedang kulakukan di sini. Dan sekarang, apa yang harus kulakukan? Kebingungan, akhirnya aku menuju ke warnet terdekat.
Aku tersenyum saat melihat gadisku ada di sana. Ia menyapaku dengan heran.
"Ray? Ngapain jam segini?"
"Mencari kamu," jawabku lewat tulisan.
"Ih, dasar deh. Kemarin sudah dapat jatah masih kurang juga."
Aku tertawa.
Dunia maya memang menjadi sarana kedua kami, apabila kami tidak sedang berduaan. Dan saat-saat seperti ini, Moogie memang selalu aktif. Menyenangkan menjalin hubungan demikian. Jumat aku ke rumahnya, Sabtu bertemu pula dalam imajinasi. Lalu kami mulai teribat percakapan 'panas', hingga tidak terasa waktu cepat berlalu.
"Say, aku off dulu," tulisku setelah jam di tangan menunjukkan pukul 20:45.
"Oke, take care," sahut Moogie dua puluh kilometer jauhnya.
"Nanti malam.. kamu.. aku.." aku melihat Moogie menuliskan tanda ':)' di layar monitor.
"Aku tunggu," begitu tulisnya kemudian.
"Satu jam. Satu jam saja. Bye, honey."
Aku tersenyum dan meng-close chat-window. Aku sayang pada Moogie, dan salah satu alasannya adalah karena ia tidak pernah sekali pun merongrongku dengan pertanyaan yang mendesak. Seperti saat itu juga. Aku mungkin tidak dapat menjawab seandainya ia menanyakan aku hendak kemana.
Aku melajukan mobilku menelusuri jalan raya. Sebetulnya aku menunggu telepon dari Qra. Tapi kupikir, jarak yang kutempuh dari warnet ini cukup jauh, sekitar 15 menit, jadi kalau aku berangkat setelah Qra menelepon, mungkin aku akan membuatnya terlantar selama 15 menit.
Benar juga. Lima menit setelah aku meluncur, handphoneku berbunyi.
"Kamu di mana, Ray?"
"Aku di jalan, mau jemput kamu. Sekitar sepuluh menit lagi."
Lalu tidak ada suara apapun.
"Halo? Qra? Qra?" aku memanggil-manggil.
Tidak berapa lama kemudian terdengar desahan, "Iya, aku tunggu."
Lalu call-end. Aku termenung. Firasat, katanya tadi. Aku mungkin dapat menebak dengan tepat apa yang sudah terjadi sebenarnya. Segera kutekan pedal gas untuk dapat lebih cepat sampai.
Qra terlihat menunggu di lobby. Suasana hotel itu terlihat sepi. Aku bertanya-tanya dalam hati, sebetulnya pesta itu dimana? Lokasi hotel itu sendiri sebetulnya tidak asing lagi bagiku. Aku beberapa kali datang ke hotel itu, baik dalam rangka kerja ataupun sekedar menghabiskan malam di pub-nya. Tapi kalau pesta ulang tahun, aku tidak tahu lagi.
Gadis itu tersenyum saat melihatku datang.
"Sudah lama?" tanyaku seraya tersenyum.
Pria yang berdiri di belakang bar resepsionis melirik ke arahku dengan pandangan sinis. Bagaimana tidak, saat itu aku hanya menggunakan setelan kaos lengan panjang dan jelana jeans selutut. Persis turis dari luar negeri yang tidak pernah mandi, lengkap dengan rambut gondrong dan janggut tebal.
Aku menjulurkan tangan saat melihat Qra tidak juga bangkit berdiri. Gadis itu tersenyum dan meraih lenganku.
"Makasih," hanya kata itu yang terdesis darinya.
Aku dapat menangkap raut sedih saat aku memandang wajahnya. Ah, wanita, pikirku dalam hati, tidak akan pernah reda dilanda kebingungan.
Kugandeng lengannya menuju ke pintu kaca. Kurang selangkah, kurasakan lengannya melingkari pinggangku.
"Ray," kudengar ia berbisik, sementara pipinya menempel di telingaku.
"Bawa aku pergi dari sini."
Aku menarik napas panjang dan menepuk pundaknya lembut.
"Aku tahu.. aku tahu.."
Tidak berapa lama kemudian, mobil yang kami naiki sudah meninggalkan gerbang hotel. Selama beberapa puluh meter selanjutnya, tidak ada satu patah kata pun yang terdengar. Aku juga membiarkannya larut dengan perasaannya sendiri. Aku mulai merasa pasi dengan dugaanku sendiri. Seorang gadis yang patah hati. Seorang pemuda yang penuh harapan. Kasih dan sayang, yang merupakan obat paling mujarab. Lalu hilang. Dan saat ingin kembali, kenyataan yang pahit sudah menunggu.
Dalam hati aku sadar, bahwa justru lebih sering 'diriku' yang berperan sebagai 'pemuda yang penuh harapan'. Dulu aku juga yang melakukannya pada gadis yang sedang terpekur di sampingku saat ini. Qra, maafkan aku. Aku benar-benar seorang bajingan. Barangkali aku memang tidak usah mengangkat handphone sore tadi.
"Ray," mendadak gadis itu memanggilku, mengejutkanku.
"Apa?" tanyaku setelah menenangkan hati.
Qra menoleh dan tersenyum menatapku, "Ke jalan tol, yuk? Seperti dulu. Aku kangen."
Aku terkekeh, lalu menggelengkan kepala, "Jangan ah. Nanti banyak setan. Ini sudah malam. Kamu sebaiknya pulang."
"Ray..!"
Aku menoleh dan melihat kaca-kaca retak di matanya.
Kubelokkan mobilku tepat di lampu merah kedua. Tidak perduli rambu-rambu lalu lintas. Yang kupikirkan sekarang tidak ada. Sama sekali tidak ada. Benakku kosong, seolah tersihir oleh kaca-kaca retak itu. Kuinjak pedal gas, membiarkan mobilku meluncur di jalanan yang semakin lengang.
Tidak ada suara sama sekali. Hanya desis AC dan kelap lampu jalan yang berlari. Aku masih tidak memikirkan apapun. Yang kulakukan saat itu selain membayar seribu rupiah pada penjaga tol hanyalah menginjak pedal gas.
Selang bebrapa menit dari gerbang tol, Qra menggenggam lengan atasku.
"Ray, aku mau berhenti."
"Di sini?" tanyaku heran.
"Iya," kudengar Qra mendesis.
Aku tidak dapat melihat raut wajahnya dengan jelas. Lampu-lampu yang berbaris di tengah jalan tol itu terlalu jauh untuk meneranginya, lagipula aku berjalan agak dekat ke bahu jalan. Akhirnya kuinjak pedal rem, dan mobil berhenti perlahan.
"Ray..,"
"Hmm..?" gumamku.
Aku tidak berani menatapnya. Aku merasa takut pada diriku sendiri.
"Aku mau menangis," kudengar ia berkata, "Tapi aku tahu kamu takkan suka."
Aku tersenyum dan mengangguk, masih tidak menoleh.
"Iya, aku tak suka dengan cewek cengeng. Tapi.."
"Tapi kalau mau menangis, menangislah.. itu yang akan kamu katakan, bukan?"
"Ah..," sahutku pendek, lalu tertawa kecil. Kudengar Qra juga ikut tertawa.
"Jadi," ucapku beberapa saat setelah tawa itu berhenti, "Ada orang lain?"
Qra mengangguk tanpa menoleh. Dari sudut mataku, kulihat ia memandang jauh ke depan.
"Kamu.. tidak apa-apa?" tanyaku kemudian.
Qra menoleh dan menggeleng, "Aku tidak apa-apa. Sudah pernah."
Senyumku jadi kecut seketika.
"Aku mau dipeluk.." mendadak kata-kata itu keluar darinya.
Tuhan, bisikku dalam hati. Apa yang kupikirkan saat ini?
"Jangan. Aku tidak mau," ucapku seraya menundukkan kepala.
Qra tertawa. Nadanya sumbang, "Sudah kuduga. Padahal aku mengharapkan kamu mau meminjamkan dadamu, makanya aku mengajakmu tadi. Yah, mungkin aku memang tak layak untuk dicintai siapapun."
"Qra..," ucapku dengan nada protes.
Kupalingkan wajahku dan sedikit terenyuh saat ia juga sedang menatapku. Tatapannya kosong. Ia tersenyum, dan kosong pula.
"Please.. semenit saja..!"
Aku tidak tahu lagi harus berbuat apa. Tapi tanganku bergerak lebih cepat dari otakku. Terangkat, lalu merengkuhnya dalam dekapanku. Qra mendorong kepalanya, menekan dadaku.
"Ray, aku akan menangis sekarang."
Aku tersenyum geli. Kuanggukkan kepalaku.
"Dadaku ada di sini, Qra."
Yang terjadi kemudian, aku membiarkan gadis itu menangis sejadi-jadinya. Ia menggerung, mengerang, dan bergetar di dadaku. Sementara aku hanya dapat diam tidak bergerak. Tidak tahu harus berbuat apa. Tidak ingin kesalahan demi kesalahan besar muncul dari yang kecil-kecil.
Lima menit lamanya kubiarkan ia seperti itu. Sampai akhirnya Qra menarik tubuhnya menjauh. Matanya masih basah. Kujulurkan tanganku ke belakang, meraih beberapa lembar tissue dan menyodorkannya.
"Thanks," Qra berkata sambil tersenyum.
"No problem," sahutku lalu ikut tersenyum.
Bersambung . . .