Kisah horror ini menceritakan tentang Famitha, drakula wanita yang hidup dalam keabadian sekaligus gelimang seks. Famitha bermaksud membantu Dara, pelacur yang dikejar-kejar oleh induk semangnya. Namun rencana tidak selamanya berjalan mulus, dan petaka itu justru terjadi ketika Famitha sedang berpacu dalam seks yang kasar.
Dengan bersujud dan dengan kepala tertunduk, air mataku mengalir perlahan mencoba menahan kepedihan yang muncul seiring terbenamnya mentari ke peraduan. Coba kuingat doa-doa suci yang dulu biasa kuucapkan kala hari menjelang malam. Doa-doa pembawa ketentraman jiwa dari ketakutan yang mengiringi datangnya malam. Karena malam begitu kejam dan penuh rahasia, doa mendatangkan damai dan mengundang para malaikat pelindung menampakan diri mereka di hadapanku. Menghibur diriku dengan kidung-kidung surgawi yang merdu bagai nyanyian bidadari, harum bagai aroma bunga mawar ketika merekah.
Akan tetapi airmata semakin deras mengalir membasahi pipiku. Getaran yang dahsyat kurasakan merangsang butir-butir keringat dingin keluar dari pori-pori kulitku. Begitu tergoncangnya jiwa ini dalam rasa takut yang amat besar hingga airmata dan keringatku berubah menjadi tetes-tetes darah yang kian lama kian mengental menggantikan aroma wangi mawar dengan bau amis kematian.
Seperti biasanya, aku kembali gagal mengingat doa-doa suci itu. Keremangan terlanjur membisikkan panggilan iblis dalam diriku. Bau amis darah segar terlanjur membiusku hingga nyanyian-nyanyian terkutuk itu terdengar bagaikan simfony merdu yang memabukkan dalam telingaku.
"Wake up! wake up, it calls me."
"Wake up and celebrate the passing of the light."
Semuanya menjadi gelap, dan semuanya mulai tampak berwarna merah. Ketika itu mulai terjadi, sebelum seluruh nuraniku ditelan oleh kejahatan, kuucapkan satu-satunya doa yang masih teringat. Lalu aku pun menyerahkan diri dengan pasrah ke dalam pelukan malam. Kemana pun aku akan dibawa, dan apapun yang berkuasa atas diriku, hasratku, rasa hausku.
Malam yang semakin larut rupanya tidak mengurangi hiruk-pikuk kota ini. Jalan-jalan tampak masih dipenuhi kendaraan yang lalu-lalang bagai binatang malam memancarkan sinar menyilaukan lewat lampu-lampu mereka. Sudah hampir tengah malam dan aku baru saja bergabung di tengah lalu lintas untuk kembali memuaskan rasa dahaga dan memenuhi panggilanku sebagai mahluk malam.
Sejenak kutatap wajahku lewat kaca spion, memastikan penampilan wajahku malam ini. Sepasang mata bulat dan tajam, tulang pipi yang tinggi serta bibir merahku terlihat begitu sempurna menghiasi wajah indo-persia milikku. Berbeda dengan anggapan banyak manusia fana pada umumnya, cermin dapat memantulkan bayangan mahluk sepertiku. Tersenyum kegelian mengingat anggapan bahwa vampir tidak terlihat lewat cermin sebab alangkah sulitnya buatku untuk bersolek apabila aku tidak dapat melihat bayanganku lewat cermin.
"Hm, mahluk penghisap darah sekalipun menghargai penampilan." begitu kalimat yang tercetus di benakku mengingat anggapan konyol itu.
Silaunya lampu mobil di belakangku mengingatkan bahwa traffic light telah berubah warna hijau yang berarti aku harus segera menjalankan mobilku ini. Kembali menyusuri jalan-jalan ibukota aku bagaikan seekor serigala berjalan mencari domba-domba untuk dimangsa.
Sebenarnya akan lebih mudah buatku apabila aku melakukannya seperti lazimnya diperbuat kebanyakan kaumku. Melayang ringan di kegelapan malam melintasi cahaya rembulan untuk segera menerkam manusia lemah yang bernasib sial. Akan tetapi aku kurang suka cara itu, karena untuk itu aku harus merubah wujud sempurna ini menjadi mahluk malam bersayap yang mengerikan. Amat menyakitkan dan sama sekali tidak indah pikirku.
Aku ingin selalu berada pada wujud manusiaku. Wujud Famitha yang dikaruniai tubuh semampai lengkap dengan segala lekuk kewanitaan yang banyak didambakan oleh para wanita-wanita fana, apalagi para lelaki mereka. Lucu juga melihat selera manusia yang gampang berubah.
Aku masih ingat bahwa beberapa ratus tahun yang lalu aku selalu merasa rendah diri karena ukuran tubuhku yang langsing dan tinggi justru tidak diminati para lelaki. Dulu simbol kecantikan wanita adalah tubuh yang berisi, pinggul yang lebar serta sifat serba halus yang cenderung lemah terhadap kaum pria. Kini Famitha adalah ratu! dan para lelaki selalu dengan mudah kutaklukkan.
Setidaknya aku tidak khawatir tubuh ini akan berubah karena jasad ini akan tetap dalam keabadian. Terlebih lagi aku tidak perlu repot-repot diet seperti para wanita fana karena lemak dan kolestrol tidak lagi menjadi masalah buatku. Darah segar adalah sumber kehidupan, darah adalah keabadianku!
Restoran fastfood Amerika yang buka 24 jam itu barada di lokasi yang amat strategis untuk menjaring pembeli. Berada satu gedung dengan sebuah kafe besar, sebuah diskotik dan sebuah bar terkenal di Jakarta membuat restoran itu mengkaji tempat rendezvous, makan dan juga ajang mencari pasangan dari insan-insan yang haus akan nafsu jasmani.
Waktu menjelang tengah malam seperti inilah saat yang tepat buatku untuk dengan mudah memilih lelaki yang akan 'menikmati' malam denganku. Entah mengapa rasa haus darah ini selalu muncul bersama hasrat kewanitaanku untuk menikmati kepuasan jasmani sesaat yang tidak pernah membosankan itu. Setidaknya itu merupakan salah satu sifat kemanusiaan yang belum hilang dalam diriku.
Lima menit kulalui ditemani segelas orange juice yang sama sekali tidak kusentuh sambil menebar jaring perangkap bagai seekor laba-laba menunggu lalat terperangkap di dalamnya. Tepat di meja yang berhadapan denganku, dua orang pria ekspatriat tampak bercanda mesra dengan dua orang wanita lokal berpakaian seronok dengan tawa serta kerlingan jalang mereka. Menjual diri demi setetes kenikmatan atau berharap sang ekspatriat jatuh cinta lalu mengawini mereka kemudian mengajak mereka pergi ke negaranya.
Ada juga seorang wanita berusia sekitar empat puluhan ditemani pria muda berbadan gempal yang sesekali melirik kepadaku dengan tatapan bak seorang playboy kelas kakap. Gigolo muda itu sama sekali tidak menarik buatku, lagipula aku tidak ingin mengganggu kesenangan seorang wanita mapan dengan usia mulai senja untuk menikmati apa yang masih tersisa dalam gairahnya sebelum ditelan monopause yang membosankan.
Berikutnya adalah beberapa orang remaja yang duduk tepat di belakangku yang sedang membicarakanku sambil berbisik. Rupanya mereka saling mendorong satu sama lainnya untuk lebih dulu mendekatiku. Kupalingkan wajahku ke arah mereka sambil mengerutkan alis hingga wajah mereka terlihat salah tingkah dan berusaha mengalihkan perhatian.
"Dasar anak kemarin sore." ujarku dalam hati.
Seharusnya mereka bersyukur aku sedang tidak berhasrat dengan 'para pemula', karena dengan demikian hidup mereka tidak berakhir secepat itu. Naluriku selalu tahu apabila ada manusia di sekitarku yang sedang membicarakan atau memperhatikan diriku hingga aku tiba-tiba merasa tidak nyaman karena hawa ruangan itu terasa berubah, dan seketika itu pula aku merasakan kehadiran individu yang berbeda dari kerumunan manusia di sekelilingku.
Kulayangkan pandangan menyapu ruangan restoran itu berusaha mencari individu tersebut, namun tidak kutemukan. Baru ketika kualihkan pandangan keluar jendela kaca yang megelilingi ruangan itu bagai aquarium ke arah luar, tiba-tiba pandanganku terhenti pada sesosok tubuh yang berdiri tegak dan diam bagaikan patung di antara deretan mobil yang parkir di situ.
Tubuh yang memiliki tinggi di atas rata-rata orang Melayu itu terbalut sweater lengan panjang berwarna hitam tepat memandang ke arah tempatku duduk. Senyum hangat itu terlihat kontras dengan tatapan dingin dan mati di wajahnya. Aku mengenal pria itu! Saking terkejutnya, tanganku bergerak refleks hendak melambaikan tangan namun menyenggol gelas di meja hingga orange juice dingin itu tumpah membasahi tanganku.
"Ups!" segera kukembalikan gelas plastik itu dalam posisi semula. Dan setelah membersihkan tangan dengan tissue, aku kembali memalingkan wajah ke arah luar, namun sosok serba hitam itu sudah tidak berada di sana.
"Ave mea solis," suara yang amat kukenal itu berbisik halus tepat di belakang telingaku.
Kupalingkan wajah dengan cepat dan kini sosok berbaju hitam itu sudah duduk di sampingku.
"Ruffus Valerius!"
Sepasang lengan yang kokoh merangkul tubuhku hingga tenggelam dalam dekapan akrabnya. Terasa hangat buat jiwaku sekalipun pada kenyataannya sedingin mayat.
"Famitha-ku yang manis," suaranya menembus ke relung jiwaku yang paling dalam mengisi kesepian yang menderaku selama ini.
Sudah cukup lama aku tidak bertemu dengan sesama mahluk malam hingga perasaan akrab serta-merta membuatku meneteskan air mata.
"Ya, aku juga merasakannya," ucapnya berbisik di telingaku.
"Kau kesepian bagai sang rembulan sendiri di kotamu ini."
"Aku senang kau mengunjungiku kawan lama, menjadi vampir seorang diri dikelilingi jutaan manusia terkadang menakutkan. Aku merasa lebih takut pada mereka daripada sebaliknya," ucapku sambil menyeka airmata dingin di pipi yang pucat ini.
"Bukan vampir manisku, sepertinya kamu justru terbiasa menggunakan istilah manusia itu. Bachae!, kau-aku dan semua anak-anak Bachuss adalah Bachae. Jangan biarkan sebutan rendah itu melekat dalam benakmu."
"Hmm.. kau masih tetap seperti dulu, kau tetap Ruffus sang guru yang senantiasa memberikan pencerahan buat anak-anak kegelapan," kataku tersenyum.
Bachae adalah cara kami, kaum abadi-mahluk malam pemuja darah menyebut diri kami. Bachuss adalah bapa sekaligus ibunda yang melahirkan kami dalam keabadian. Vampir adalah sebutan manusia fana buat mahluk macam kami dan Ruffus tidak pernah suka dengan sebutan itu.
"Darah adalah kehidupan kita, adalah takdir dan bukan kekejian apabila kita terpaksa mencicipinya dari manusia. Bukankah takdir yang menentukan semuanya, seperti takdir pula yang membawa aku dan kamu ke dalam perjalanan panjang dalam kegelapan ini?" kata-kata Ruffus itu amat akrab bagiku karena itu merupakan bagian dari doa-doa kudus yang kuikrarkan setiap mentari tenggelam di ufuk barat.
Ruffus adalah seorang Nosferatian, vampir/Bachae pertapa yang merupakan anak-anak dari Nosferatu sang guru agung. Mereka hidup mirip biarawan atau pertapa yang sangat anti terhadap kebudayaan manusia. Mereka sama sekali tidak pernah makan dan minum kecuali darah. Itu pun hanya pada bulan purnama dan kebanyakan darah hewan yang mereka minum.
Nosferatian cuma meminum darah seorang manusia yang benar-benar terpilih buat dijadikan penerus mereka. Oleh karena disiplin ketat itu, kaum Nosferatian memiliki kemampuan supranatural yang melebihi kemampuan yang dimiliki seorang Lestatian sepertiku. Namun aku merasa lebih beruntung menjadi seorang Lestatian. Lestatian adalah vampir/Bachae haus darah yang memiliki lebih banyak hasrat manusiawi. Kami amat senang berhubungan dan hidup bersama manusia. Lebih dari itu kami masih menikmati kepuasan cinta dan seks sebagaimana manusia.
Oleh karena bapa kami Lestat Ventrue, adalah sang pecinta sejati. Kemiripan kaum Lestatian dan Nosferatian adalah sama-sama penyendiri. Lebih suka hidup terpisah, baik sebagai bachae pertapa maupun bachae pemangsa.
"Ehm.. aku tahu yang kaupikirkan manisku, memang betul kami ibarat fosil yang mengarungi keabadian dalam kebosanan tanpa kenikmatan seperti kaum Lestatian sepertimu. Tapi setidaknya aku amat menyayangimu, sama seperti Nosferatu memberikan kasih abadinya pada Lestat Ventrue. Kasih seorang bapa pada anaknya yang dicintai dan bukan pada si pendurhaka Valkuss yang tega menghabisi ayahnya karena rayuan Drusila, ibunda para jalang," mimik wajah Ruffus berubah menjadi serius tatkala mengucapkan itu.
"Sudahlah Ruffus, kau tahu aku percaya padamu dan akan selalu menyayangimu. Aku sama sekali tidak pernah menganggapmu seperti itu. Aku cuma kagum akan keteguhanmu, kalian kaum Nosferatian bagitu mengabdi pada Bachuss dan itulah mengapa aku selalu merasa tentram bila kau ada di sampingku," ucapku dengan tulus.
"Sudah lebih dari seratus purnama sejak terakhir kali kita berjumpa, kau tentu mengerti bila aku penasaran ingin segera tahu maksud kehadiranmu di khatulistiwa ini," Pria Kaukasia berparas tenang itu kembali tersenyum sambil menggenggam erat tanganku lalu berkata dengan hati-hati,
"Mea Solis, maafkan apabila aku mungkin terdengar seperti terlalu campur tangan dalam perjalananmu menempuh waktu dan kegelapan, namun lupakah kau bahwa sudah hampir empat ratus tahun sejak kau menjadi seorang Bachae? tidakkah kau berhasrat menggunakan hak istimewa yang kau miliki untuk membagi keabadian dan meneruskan keturunan suci sang Lestat, keturunan suci para penuai anggur, penerus warisan sang Bachuss?"
Ucapan Ruffus itu membuatku terpojok dan serba salah. Aku tahu maksud ucapannya itu, dan hal itu jelas membuatku sukar mencari jawabannya. Sebagai seorang Bachae, aku seharusnya bisa dan memang sudah menjadi bagian dari naluriku untuk membagi kesunyian dan keabadian dengan seseorang manusia fana yang kucintai.
Bersambung . . . .