"Bagimana? Puas?" tanyaku padanya.
Sebenarnya aku sudah tahu apa jawabnya kerena pandangan mata itu masih penuh gairah dan hasrat. Organ tubuhnya memang sudah lebih dulu lemah, tapi nafsu besarnya belum surut. Papa Jim menggerakan jari telunjuknya menandakan bahwa dia belum selesai denganku.
"Hmm, tidak secepat itu pelacur, aku masih ingin menyaksikan tubuh indahmu ditunggangi seperti seekor kuda binal oleh salah satu anak buahku."
Papa Jim mengaktifkan interkom yang terletak di mejanya lalu memberi instruksi singkat, "Ron, cepat masuk kemari!"
Sesaat kemudian pria yang dipanggil 'Ron' itu melangkah masuk dengan gagah. Wajahnya menatapku penuh selera seperti melihat hidangan malamnya yang tergolek di atas meja.
"Ayo, sekarang kau boleh makan dari meja majikanmu," perintah Papa Jim segera ditanggapinya.
Dalam waktu singkat tubuh tinggi kekar itu sudah menurunkan celananya hingga siluet penis yang cukup besar tercetak di atas permukaan celana dalamnya. Aku kembali dilanda ekstasi akan birahi ketika suara sungai hawa nafsu terdengar lagi menderu di telingaku. Gelombang dan arus derasnya juga terbias di wajah pria muda yang sebentar lagi bakal menikmati tubuhku. Aku memandangnya penuh hasrat sambil tersenyum karena aku kini sedang menatap satu lagi wajah orang mati.
Tubuhku ditariknya turun dari atas meja, kemudian dia memutar tubuhku membelakanginya. Sentuhan lidahnya tiba-tiba kurasakan menjilati tengkuk dan leherku hingga diriku kembali dibakar gairah. Aku tidak sempat menikmati perasaan geli di leherku cukup lama, karena mendadak tubuhku didorongnya hingga nyaris terhempas di atas permukaan meja. Kedua tanganku menopang tubuh yang sempat menempel di permukaan meja itu. Dengan gerakan yang cepat, pria di belakangku menurunkan celana dan G-string yang kukenakan hingga dinginnya AC dapat kurasakan di kulit bagian bawah pinggangku. Aku memejamkan mata menantikan kejantanan pria itu memasuki liang kenikmatanku yang mulai menebar aroma cinta dan nafsu.
"Perbuatlah sesukamu Ron, buat perempuan jalang ini menjerit!" kata Papa Jim dengan suaranya yang mulai serak sambil coba untuk membangkitkan kembali penisnya yang masih lemas.
Betul, perbuatlah sesukamu manusia malang, sebab akan ada saatnya bagianku melakukan itu padamu, demikian suara bethinku dalam kehausan yang kian merongrong.
Sepuluh menit berikutnya, aku sudah berada di awang-awang, terhanyut dalam arus deras sungai hawa nafsu ketika kejantanan yang kokoh milik pria bernama Ron itu menembus bibir vaginaku hingga memenuhi dinding dalamnya. Sepuluh menit dalam perjalanan penuh liku dan gairah, berkelok-kelok mengikuti alur sungai yang senantiasa membuat tubuhku mengejang tiap kali dorongan lelaki itu menciptakan gelombang kenikmatan yang menghantam hingga kepalaku. Dia benar-benar menunggangiku, aku dan dia bagai sepasang anjing liar yang sedang kawin.
Di sampingku Papa Jim beberapa kali mengerang sendiri menikmati pertunjukan hawa nafsu sambil onani. Sepasang tanganku yang menahan tubuh di atas meja meninggalkan bekas cakaran di permukaan kayu mahalnya. Aku bagai kucing liar yang meraung-raung sambil tetap menyodorkan pusat kewanitaanku untuk berkali-kali diguncangkan oleh kekuatan maskulin yang dahsyat dari batang kejantanan kokoh yang bersarang di dalamnya. Permainan gairah yang penuh hasrat itu akhirnya berakhir ketika sungai hawa nafsu mencapai muaranya.
Saat itu dapat kurasakan seluruh kenikmatan dan kejahatan dalam ruangan itu seakan bersatu dan terkumpul di ujung penis yang sedang menghujam tubuhku dalam usahanya yang paling akhir. Dunia menjadi samar dan ribuan peri tempak bernyanyi mengelilingiku ketika cairan sperma lelaki yang jadi budak nafsukku menyembur bersatu dengan lelehan kenikmatan yang membanjiri liang vagina yang sudah berumur ratusan tahun milikku ini. Orgasme menyerbu dan menyelubungi setiap sel dari mahluk malam seperti diriku.
"Uuuhh..!" aku menjerit, entah melenguh atau bahkan melolong bak serigala lapar disahuti oleh erangan jantan seekor kuda pacu yang telah mencapai finish.
Dua orang pria dibius ejakulasi sementara seorang bachae tenggelam dalam orgasme di muara sungai yang bernama hawa nafsu. Kenikmatan itu begitu nikmat menjalar bagai sengatan listrik mulai dari kedalaman kemaluanku hingga keujung-ujung jari, bahkan menusuk ke dalam otakku.
Tubuhku rebah menelungkup di atas meja dan selama beberapa saat anak buah Papa Jim yang bernama Ron itu menindihku dari belakang, kelelahan setelah membanjiri vaginaku dengan spermanya. Kurasakan penisnya masih bercokol menyumbat kemaluanku hingga ukurannya kembali mengecil sebelum dicabutnya. Napasku masih memburu berpacu dengan desah napas dua orang lelaki yang baru saja mencapai puncak kenikmatan bersamaan denganku. Sempat kurasakan lidah pria itu menjilati butiran keringat di belakang leherku sebelum dia kembali menegakkan badannya dan menarik keluar pilar kejantanannya dari dalam liang senggamaku yang sudah basah hingga cairan spermanya terasa keluar mengalir hingga pahaku.
Kubalikkan tubuh ini, lalu sambil bersandar di meja kubersihkan sisa-sisa sperma itu dengan tissue, lalu mengenakan pakaianku lagi. Kali ini tatapanku beradu dengan sorot mata Papa Jim yang tampak memandangku hina dan congkak. Senyum culas tersungging dari mulutnya melihat wanita yang berhasil ditaklukkannya dengan cara nista.
"Nah pelacur, kini kau boleh pergi bersama barang dagangan barumu.. hehehe itu pun kalau masih bisa dipakai mengingat anak buahku yang lain sudah menyuntikkan morfin dosis tinggi padanya ketika kamu tadi sedang dibuat menggelepar keenakan oleh si Ron!"
Tiba-tiba benakku dibayangi sesuatu yang menakutkan, Dara!
Ketika aku tadi memuaskan nafsu sex-ku dengan pria bernama Ron itu, rupanya Papa Jim licik dan melakukan sesuatu yang buruk pada gadis yang seharusnya kulindungi. Segera aku melangkah dengan tergesa meninggalkan Papa Jim yang membiarkanku keluar ruangan sambil memperdengarkan suara tawanya yang menjijikan itu. Serigala dalam bathin ini kembali menggeliat. Alangkah terkejutnya aku ketika mendapati Dara terbujur lunglai di atas sofa dengan mulut mulai berbusa. Tubuhnya terlihat kejang-kejang dan wajah polosnya itu tampak pucat. Sebuah suntikan yang sudah kosong isinya terlihat berada dalam genggaman seorang anak buah Papa Jim yang berdiri di sampingnya.
"Dara..!" aku berseru sambil berlari menghampirinya.
Entah kenapa ada suatu naluri dalam diriku yang merasa begitu bersalah karena meninggalkannya. Perasaan itu amat asing buatku dan membuatku terkejut sendiri akan 'kemanusiaan' yang sekejap melandaku. Kupeluk dan kuletakan dia di atas pangkuanku sambil berusaha menyadarkannya.
"Dara, Dara..! Ja.. jangan takut, aku ada di sini.. Dara, kau dengar aku khan, kamu harus dengar aku.. kita pergi dari sini!"
Kurasakan denyut nadinya melemah dan napasnya mulai tercekik. Aku bingung akan semuanya, aku heran akan drama yang tadinya kumainkan dengan penuh kesenangan berubah manjadi rasa cemas dan takut kehilangan. Rasa bersalah timbul karena aku begitu bernafsu menikmati segala kenikmatan yang bisa kudapatkan.
Kupejamkan mataku berusaha mengumpulkan kesadaranku karena sesaat aku menjadi gamang dan diriku seperti terpecah antara kemanusiaan dan keberadaanku sebagai seorang Bachae. Aku sudah biasa jatuh cinta pada manusia fana dan perasaan itu amat menyenangkan. Akan tetapi yang kurasakan sekarang adalah sesuatu yang sukar digambarkan. Sesuatu yang sepertinya mustahil ada dalam diri seorang Bachae, mahluk abadi seperti diriku, yaitu perasaan takut kehilangan dan perasaan bertanggung jawab atas nasib yang dialami gadis fana yang terbujur meregang nyawa di pangkuanku.
"Hahaha! Jangan kamu pikir semudah itu bisa mengambil apa yang menjadi hak milikku, aku Papa Jim tidak pernah kehilangan sesuatu apapun dan tidak akan pernah membiarakan siapapun melakukan itu. Tidak oleh seorang pelacur murah seperti kau!" suara Papa Jim mengagetkanku akan keberadaannya.
Kini dia didampingi ketiga anak buahnya berdiri di depanku.
"Dara adalah seorang pelacur yang lumayan laku, sayangnya dia tidak tahu berterima kasih. Apalagi dia dipengaruhi oleh kekasihnya yang kini sudah menjadi bangkai,"
Pria congkak itu membetulkan celananya lalu melanjutkan, "Dara bagiku cuma barang yang bisa saja diganti dengan yang baru. Tapi kamu adalah perempuan bodoh yang sudah terlalu banyak tahu! Sayang sekali kamu harus bernasib sama karena aku tidak ingin semuanya terbongkar. Bersiaplah untuk jadi makanan cacing!" ujar Papa Jim sambil menggerakan tangannya memberi kode pada ketiga anak buahnya.
Tiga orang pria berbadan gempal itu melangkah ke arahku, yang berjalan paling depan adalah pria bernama Ron yang baru saja menikmati tubuh indahku. Sebuah kawat berbentuk jerat berada di tangannya dan aku pun segera tahu apa yang akan mereka perbuat padaku. Manusia-manusia bodoh itu hendak membunuhku? Bagaimana mungkin mereka dapat membunuh seorang wanita yang sudah mati ratusan tahun yang lalu? Serta merta jantungku yang memang sudah tidak berdenyut itu membara seiring rasa nyeri di seluruh tubuhku ketika jaringan otot ini bermutasi ke fungsinya yang sebenarnya mengaktifkan kelenjar-kelenjar iblis yang membuat gusi mulutku mendorong taring-taring tajam ini kembali muncul menyeruak dari balik bibir indahku.
Aku pun tersenyum dingin membiarkan air liurku menetes deras karena rasa haus akan darah segar yang tiba-tiba kurasakan. Aku tersenyum memandang empat wajah orang mati di depanku! Aku adalah pengantin sang rembulan dengan maut di tanganku. Aku telah memberikan kenikmatan dan kini akan mengambil bagianku. Empat pasang mata terbelalak dalam kengerian ketika kecantikan wajahku dan kemolekan tubuhku tidak lagi menggoda mereka. Mereka pasti berharap tidak pernah bertemu denganku atau mungkin berdoa supaya yang mereka lihat hanya mimpi.
Pria bernama Ron itu menjerit bagai binatang sembelihan ketika darahnya menyembur bagai air mancur saat pembuluh lehernya tercabik cakar bengis dari jari-jari lentik ini. Dia pasti menyesal telah menyetubuhiku bagai binatang liar tadi karena aku baru saja merobek-robek lehernya bagai binatang liar. Tubuh kekarnya roboh bagai benang basah bermandikan darah, membuat tiga orang pria lainnya sadar akan nasib mereka.
Aku mendesis bagai ular menyemburkan liur bercampur darah ke wajah Papa Jim yang pucat pasi. Dia ingin lari namun lututnya terkunci pada engsel-engselnya. Kudekatkan taringku ke wajahnya hingga tercium bau pesing dari balik celananya. Pria pongah itu terkencing-kencing ketika nyawanya jadi mainanku. Kubiarkan dia hidup sedikit lebih lama dalam ketakutan dan kualihkan pandanganku pada dua orang anak buahnya yang lain. Dua orang pria bebadan kekar tampak berusaha lari ke arah belakang meninggalkan majikannya sendirian. Tubuh mereka tampak berat menyeret ketakukan hingga dengan mudah kumelayang ringan menyusul langkah mereka.
"Hissh.. hisshh..!" bagai ular betina kupamerkan taringku di depan mereka berdua.
Seorang rupanya kalap dan mengayunkan tinjunya padaku.
"Setaan kauu..!" teriaknya sambil meninju sekuat tenaga.
Tanganku yang langsing bergerak cepat menangkap kepalan tangannya hingga tinjunya terhenti di udara.
"Kraak!" terdengar gemertak tulang ketika kuremas kepalan besar lelaki itu hingga remuk.
"Betul manusia malang, aku memang setan dan kau adalah makanan cacing!"
Lelaki itu mengaduh kesakitan berusaha melepaskan tangannya.
"Itu belum seberapa sakit," jawabku serta merta mendaratkan gigitanku ke lehernya.
Demikian kuatnya taringku tertancap di kulitnya lalu dengan sekali cabik kurasakan jakun pria itu sudah dalam mulutku.
"Arrgghh..!" darah menyembur menciprati wajah cantik milikku.
"Phuaaih..!" kuludahi wajah pria itu dengan darah dan jakunnya sendiri.
Satu lagi yang menemui ajalnya. Kutinggalkan tubuh pria itu berkelojotan ketika nyawanya putus dan kini kuarahkan langkahku ke pria yang satu lagi.
Pria itu yang memegang jarum suntik! Pria itu yang membuat Dara sekarat! Dia terpojok di sudut ruangan dan matanya membelalak ketakutan.
"Ja.. ja.. jangan bunuh sa.. saya..!" dia meminta pengampunan sambil bersujud seperti menyembahku.
"A.. aku cuma di.. ss.. suruh! Am.. am.. ampuuni sa.. saya!" pintanya.
Dia tidak dapat melakukan itu padaku, seharusnya dia melakukan itu pada malaikat pencabut nyawa yang terasa berdiri dekat dengannya.
Kumelangkah maju sambil menggeram. Ketukan hak sepatuku menandakan detik-detik kematiannya dan dapat kulihat malaikat maut itu tersenyum padaku, manis sekali.
"Berhenti memohon padaku manusia bodoh! Aku bukan ingin membunuhmu tapi aku cuma haus.. haus akan darahmu! Lebih baik kau mohon pada malaikat mautmu supaya apabila aku selesai meminum darahmu kamu masih hidup.. hihihi..!" tawaku terhenti sendiri ketika taring-taring ini menembus pembuluh nadi di lehernya.
Bersambung . . . .