Pria itu langsung kejang-kejang ketika darahnya kuhisap. Urat-uratnya tampak mengeras membiru di permukaan kulitnya ketika cairan merah nan kental itu membanjiri kerongkonganku. Alangkah nikmatnya bagiku setelah cukup lama menahan rasa dahaga ini. Ketika tetesan darahnya yang terakhir memenuhi mulutku segera kulepaskan pagutan mulut ini dari lehernya dan meninggalkan tubuh kaku yang pucat pasi itu masih berdiri tegak namun tidak bernyawa lagi!
Aku kemudian memalingkan wajahku mencari sasaran utamaku tadi. Pria angkuh berjiwa binatang yang sudah menghancurkan hidup Dara. Kini saatnya Papa Jim menyambut kematian pikirku. Kudekati tubuh gembrotnya yang terduduk kaku di depan sofa tempat Dara terkulai namun kudapati Papa Jim sudah kaku dengan wajah pucat dan mulut menganga. Rupanya dia mati ketakutan. Dibunuh oleh rasa takut dan kengerian yang amat sangat melihat 'tontonan' yang baru saja kuberikan padanya.
Sepertinya malaikat maut pun tidak sabar untuk mencabut nyawanya hingga mendahuluiku melakukan itu. Biarlah pikirku, lagipula darahnya pasti terlalu amis dam memuakkanku. Aku tidak ingin lambung ini dikotori darah najis manusia congkak itu. Deru napasku mulai teratur dan air liurku sudah berhenti menetes pertanda dahaga ini sudah terpuaskan. Perlahan kubiarkan metabolisme tubuhku kembali seperti semula hingga taring-taring ini kembali tertarik ke dalam gusiku.
Sesaat kemudian aku telah kembali ke wujud normalku, namun kembali rasa cemas menghantuiku melihat Dara yang masih tergolek tidak berdaya sambil terus mengeluarkan busa dari mulutnya. Aku curiga dia tidak hanya disuntik heroin melainkan zat beracun lain yang memang ditujukan untuk membunuhnya. Aku tidak dapat berbuat apa-apa selain meletakkan tubuh gadis malang itu di pangkuanku sambil mengusap-usap rambutnya.
"Maafkan aku, apabila aku tidak sanggup menyelamatkanmu."
Tanpa terasa air mataku membasahi pipi ini. Aku kembali penuh penyesalan dan rasa bersalah.
Kematian pria-pria bangsat itu tetap saja tidak mengembalikan hidup Dara yang sesaat lagi akan berakhir di pelukanku. Ternyata yang kulakukan sebenarnya tidak lebih dari pemuasan keinginanku saja. Aku tidak lebih dari seorang Bachae yang mencari kesenangan seksual dan kepuasan akan darah. Aku menyesali diri sendiri seakan tubuhku menipuku. Segala usaha yang kulakukan sia-sia. Malahan dapat saja Dara lebih baik apabila aku tidak campur tangan sejak awal.
Pikiranku kalut dan aku merasa tidak berarti. Ternyata keabadian tidak dapat mengganti satu nyawa dari gadis tidak berdaya ini. Tubuh Dara semakin dingin, nyaris sedingin angin malam yang bertiup lewat jendela-jendela rumah besar itu. Amat dingin walaupun ternyata tidak sedingin hatiku.
Tiba-tiba aku merasakan sesuatu dalam udara malam yang penuh misteri itu. Sesuatu yang bergerak bersama angin malam, sesuatu yang tidak terlihat bagai pekatnya malam. Sesuatu yang terselubung kegelapan malam namun bukanlah malam itu. Sesuatu yang kehadirannya begitu terasa hingga memenuhi relung hatiku yang hampa. Seketika angin kencang berdesir di seluruh ruangan ketika kurasakan kehadiran pribadi itu!
"Ruffus?" aku berkata gamang, entah memanggil atau bertanya karena segalanya kembali seperti dejavu.
"Ruffus Valerius!" aku tersentak karena baru aku sadar akan kehadirannya.
"Kau.. kau ada sejak tadi, bahkan mengikutiku sejak tadi!" aku berpaling mencari sosoknya namun tidak kutemukan.
"Betul matahariku, aku ada di sini," suara itu membawa kehangatan buatku dan seperti biasa pria bertubuh jangkung bermata biru dengan rambut perak itu sudah berdiri di hadapanku.
Aku tidak dapat berbicara, lidahku kelu dan hanya dapat membiarkan tatapannya yang penuh kasih dan kehangatan itu seolah membelaiku tanpa sentuhan.
"Mea Solis, aku mengerti semuanya," dia meletakkan tangannya mengusap pundakku.
Dia tahu apa yang kurasakan! Pembimbing dan pelindungku sang Nosferatian itu menyaksikan semuanya sejak awal dan dia mengerti semuanya!
"Ruffus kau kembali lagi," kata-kataku masih mengambang.
Sorot matanya terlihat amat bijak ketika dia menjawab perkataanku, "Famitha, aku memang belum pulang sejak terakhir kita bertemu."
Ucapannya itu menjawab pertanyaanku di hari-hari terakhir ini. Ruffus ternyata belum pulang sejak saat itu. Karenanya pantas aku tetap merasakan kehadirannya dan aku senantiasa merasa diamati. Hanya aku tidak dapat memastikan keadaannya hingga saat ini.
"Aku harap kamu tidak merasa terganggu dengan kehadiranku selama ini."
"Tidak.. tidak, aku sebenarnya merasakannya tapi.. bagaimana dengan gadis malang ini? Kau pasti akan menganggap aku gila karena mencampuri urusan kaum manusia, apalagi menolong gadis ini.. aku pikir.."
Ruffus menyela ucapanku dengan berkata lembut, "Jangan menyesal mea solis, kamu cuma melakukan apa yang sudah dilakukan semua Bachae sebelum kamu di sepanjang masa di seluruh dunia."
Ucapannya belum kumengerti.
"Maksudmu..?"
Entah kenapa kehadiran Ruffus membuat kekhawatiranku tentang nasib Dara menghilang. Aku percaya betul pembimbingku ini dapat membantuku menyelamatkannya. Hanya cara yang dikemukakan olehnya sama sekali tidak terbayang olehku sebelumnya.
"Sudah waktunya, Famitha," ucapannya yang singkat itu mendadak menggetarkan seluruh panca indraku, bahkan buku romaku bardiri karena apa yang baru saja diucapkannya adalah sesuatu yang selama ini sulit kutemukan jawabnya.
"Maksud kamu.. hmm bagaimana mungkin?" aku masih coba mengelak namun tatapan Ruffus bagai pedang bermata dua menembus ke relung hatiku yang paling dalam.
"Bachuss telah menyiapkan semuanya anakku, dia memiliki mata yang menembus ke segala masa dan padamu telah disiapkannya malam ini. Inilah saatnya kamu melakukan kewajibanmu, tugasmu yang paling suci sebagai seorang Lestatian dan juga sebagai bagian dari anak-anak Bachuss di seluruh dunia dan di segala masa."
Selanjutnya Ruffus menatapku menantikan jawaban. Sebuah tirai gelap yang ratusan tahun menaungiku bagai terkuak oleh pernyataan itu. Rupanya inilah saatnya aku meneruskan pewaris kegelapan nan abadi pada manusia fana. Inilah saat yang dimaksud di kala segala sesuatunya disiapkan oleh Bachuss sendiri bagi anak-anaknya untuk melestarikan keturuanan mahluk abadi. Sebuah tugas suci yang hanya dapat dilakukan olehku di bawah pengawasan pembimbingku sang Nosferatian.
Keadaan telah menuntunku ke waktu dan tempat seperti ini. Drama yang kumainkan ternyata membawaku pada jawaban yang kucari selama berabad-abad. Kini nasib seorang gadis berada di tanganku. Tidak kuasa aku mengembalikannya kepada terangnya hari, sebab oleh karena diriku dan sifat kemanusiaan dalamku aku membuatnya seperti ini. Langsung maupun tidak langsung Dara telah dituntun oleh takdir untuk menemuiku, meminta perlindungan dariku. Bahkan sebenarnya saat inilah yang dinanti olehnya, satu dari sedikit manusia fana yang terpilih untuk menjalani keabadian. Terpilih untuk minum langsung dari cawan perjamuan yang abadi. Karena Bachuss adalah bapa dari para penuai anggur dan anggur yang ditawarkannya adalah keabadian. Kesucian dalam pengasingan dan dahaga yang kekal.
Aku bangkit sambil menggendong tubuh lunglai nan lemah mengikuti langkah panjang Ruffus menuju ke pintu keluar di mana sinar rembulan yang bersinar penuh menyambut dengan penuh kehangatan dan salam persaudaraan. Penghuni-penghuni malam yang abadi. Aku melayang bersama Ruffus hingga ke atap rumah mewah yang pemiliknya baru saja menemukan maut, lalu meletakkan tubuh sekarat milik Dara di atas bubungan rumah yang luas dan besar. Sejenak kubiarkan tubuh lemah itu dibalut dan dibelai sinar rembulan nan lembut.
"Segalanya telah disiapkan bagimu anakku, marilah kita mulai.. Cruor Sacramentum."
Aku pun segera menghirup udara malam sebanyak-banyaknya sekalian dengan segala kesunyian, kesepian, kerinduan dan kejahatan yang terkandung di dalamnya. Bulan bersinar penuh ketika sekali lagi taring-taring runcing ini menembus kulit lembut di bagian pembuluh nadi manusia fana yang tidak berdaya. Kali ini kulakukan dengan perasaan yang berbeda karena hangatnya kasih Bachuss memenuhi tiap relung keabadianku dan taringku melakukan tugas sucinya menghirup dara tidak berdosa dari anak manusia yang polos dan menyerahkan dirinya pada keabadian sebagai pemuja Bachuss.
Ruffus segera memulai sakramen suci kaum Bachae bersamaan dengan mengalirnya darah segar dari tubuh Dara menghangatkan dan mengisi diriku dengan kehidupan baru.
"Kini saatnya anakku, untuk menerima perjanjian bersama Bachuss, bapa dari para penuai anggur yang setia di mana kamu akan menemukan kesegaran jiwa dalam keabadian tubuh dan penderitaan yang suci. Karena Bachuss adalah pokok anggur yang sejati, maka barang siapa diberikan kehormatan untuk minum dari pokok anggurnya, berarti minum dari Bachuss itu sendiri dan barang siapa minum darinya maka dia akan dahaga untuk selama-lamanya, kuat di dalam segala sesuatunya bersama rembulan yang memberikan kemudaan dan kekuatan kekal selamanya."
Sesaat kemudian kuberikan hadiah terbesar dan suci yang dapat kuberikan pada manusia fana. Sesuatu yang paling berharga yang dimiliki kaum Bachae (vampire). Itu adalah kelahiran kembali dalam keabadian tubuh dan kekekalan rasa dahaga akan pokok anggur abadi yang juga mengalir dalam darah setiap manusia fana. Air mataku mengalir penuh kebahagiaan dan sejuta kelegaan ketika Dara perlahan bangkit dari kematiannya dan pertama kali menghirup udara keabadian di bawah sinar rembulan.
Matanya terbuka dan menatapku penuh kasih. Bibirnya tersenyum dan mulutnya terbuka lalu berkata, "Aku haus."
Aku dan Ruffus saling menggenggam tangan erat sambil mendengungkan doa suci kaum Bachae.
"Occulta in nocte lassa lacrima veniet.. Spectans intactus sed mox intabescam dolore nocente.. Possem purgari perustus sensemque extrahere.. Ad me amoris umbra ambulat.."
Ruffus kemudian menyanyikannya sekali lagi dengan irama khas kaum Nosferatian ketika aku menggandeng Dara meluncur turun dari bubungan rumah itu. Doa itu seolah memberikan sayap-sayap baru bagi Dara. Menumbuhkan kekuatannya untuk mengarungi kehidupan abadi sebagai seorang Bacchae. Bagiku, doa itu pertanda babak baru hidupku sudah dimulai. Aku bukan lagi seorang Lestatian yang kesepian karena kini aku memiliki belahan hati yang abadi.
Sebentar lagi Dara harus segera pergi untuk mendapatkan bimbingan dari Ruffus. Oleh karena itu aku memutuskan untuk menikmati saat-saat bersamanya pertama kali dengan mengajarinya cara hidup yang utama dan paling mendasar bagi kaum Lestatian, yaitu memuaskan dahaga dan hasrat. Semuanya terjadi dalam suatu drama di malam panjang, suatu akhir dari pencarianku dan juga awal dari babak baru dalam hidupku. Semuanya terjadi di bawah langit yang haus darah.. Supter Cruentus Divum.
TAMAT