Dalam perjalanan dengan kereta api Turangga yang membawaku dari Surabaya menuju ke Bandung, dalam benakku berkecamuk dengan bermacam-macam pikiran yang belum tentu terjadi dan menjadi kenyataan, karena baru pertama kalinya aku pergi jauh seorang diri, tanpa seorang teman pun. Dan baru pertamakalinya aku akan mengunjungi rumah oomku (adik dari ibuku) setelah sekian lama aku tidak pernah berjumpa dengan beliau. Dalam masa liburan seperti saat ini apa yang harus kulakukan selain jalan-jalan untuk menyegarkan kembali pikiranku yang begitu suntuk ini. Setelah semalam aku tersiksa dengan pikiranku sendiri, akhirnya pagi itu kereta sudah sampai di stasiun Bandung dan aku harus meneruskan perjalananku dengan angkutan umum menuju ke puncak, karena aku memang tidak memberitahu oomku kalau aku akan berlibur di rumahnya, karena aku memang tidak ingin merepotkannya sehingga tidak ada jemputan untukku, disamping itu aku ingin memberi kejutan buat oomku.

Setelah melalu perjalanan hampir dua jam karena kendaraan yang aku tumpangi sering berhenti untuk mencari penumpang, maka akhirnya aku sampai juga ke villa oomku setelah hari menjelang siang. Aku masuki halaman villa oomku dengan harap-harap cemas, bagaimana seandainya oomku tidak ada di villanya melainkan sedang mengurus bisnisnya di Jakarta, dengan langkah pasti kutapaki jalan dengan batu kali di halaman rumahnya. Kuketuk pintunya dan tak lama kudengar langkah kaki mendekati pintu rumah kayu jati itu.

"Selamat siang, Oom," sapaku.
"Eh, kamu Adi yaa?"
"Bener, Oom."
"Udah gede yaa kamu, ganteng lagi," kata oomku.
"Hmm," gumanku sambil kepalaku membesar karena dapat pujian dari oomku.
"Ayo masuk!"
"Terima kasih, Oom."
"Kamu dateng ke sini sama siapa?"
"Sendirian aja Oom."
"Untung saja Oom belum berangkat ke Jakarta, karena nanti siang ada meeting dengan staff-nya Oom."

Hampir saja kekwatiranku menjadi kenyataan, apa jadinya kalau oomku sudah berangkat ke Jakarta, aku kan bisa jadi orang gelandangan di sini.
"Nggak apa-apa khan kamu sendirian di sini?" kata oomku lagi.
"Biar nanti kamu ditemani si Ujang, pembantu sekalian merangkap tukang kebun yang mengurus villa ini, akan oom panggil dulu yaa si Ujang," jelas oomku.
"Baiklah, Oom, tapi Adi nggak merepotkan Oom khan?" jawabku.
"Oh, tidak, santai saja, anggap villa ini seperti rumah kamu sendiri, kalau kamu perlu sesuatu tinggal suruh si Ujang untuk membantu kamu, oke?"
"Bentar yaa!"
"Jaang, Ujaang.." teriak oomku.

Tak lama kemudian datang seorang pemuda dengan postur tubuh kekar, padat berisi dengan kulit hitam seperti binaragawan yang terbentuk oleh alam dan wajahnya ganteng juga, taksirku dalam hati.
"Jang, ini Adi keponakan saya yang baru saja datang dari Surabaya, karena saya akan ke Jakarta selama beberapa hari, maka kamu temani Adi dan kamu bantu untuk memenuhi semua keperluan Adi yaa!" jelas oomku kepadanya.
"Baik, Gan," jawab Ujang.
"Oke, Adi oom berangkat dulu yaa dan semoga kamu kerasan di sini yaa."
"Baik Oom, selamat jalan dan hati-hati di jalan yaa!"

Lalu kamu bertiga keluar ke halaman untuk mengantar oomku menuju ke mobilnya yang sudah disiapkan di depan pintu. Ketika mobil mulai bergerak menuju ke arah jalan raya, kulambaikan tanganku untuk oomku dan oomku juga membalasnya dari dalam mobilnya, setelah mobil belok ke arah jalan menuju ke Jakarta hingga tidak tampak lagi dari pandangan mataku, maka aku segera masuk kembali ke ruang tamu diiringi oleh Ujang yang juga berjalan di belakangku. Setelah aku duduk di sofa panjang, Ujang berjalan menghampiriku dengan perasaan tidak menentu, aku berusaha untuk menahannya untuk tidak mulainya secepat itu. Sehingga kudengar suara Ujang yang mengejutkan aku.

"Den, mau minum apa?" katanya.
"Apa kamu bilang, Den?"
"Ih, jangan panggil aku Aden, risih nih di telinga," kataku.
"Habis mesti panggil apa, Den?" lanjut Ujang.
"Nah, itu lagi panggil Den lagi."
"Jang, umur kamu sekarang berapa sih," tanyaku.
"Delapan belas, Den," jawabnya.
"Oke, karena kamu lebih muda dua tahun dariku, gimana kalau kamu panggil aku Mas Adi saja!"
"Baik, Den eh Mas Adi," jawab Ujang.
"Oke Jang, aku mau minum minuman yang hangat!"
"Baik, Mas.." jawab Ujang dengan ragu-ragu karena belum biasa dengan panggilan itu.

Tak lama kemudian Ujang sudah muncul dengan segelas susu coklat yang membangkitkan selera dengan aroma coklatnya yang sedap itu. Setelah Ujang menaruhnya di atas meja yang ada di depanku, maka dia segera mohon pamit untuk membersihkan dan menyiapkan kamarku yang telah ditunjukkan oleh oomku tadi sebelum beliau berangkat ke Jakarta. Kuikuti langkah kaki Ujang yang mempesona diriku itu sampai hilang di balik pintu. Aku merenung, membayangkan tubuh Ujang bila tanpa selembar pakaian pun, keras dan padatnya tubuhnya dan terlebih lagi anunya seberapa yaa? Dalam anganku yang ngelantur itu akhirnya aku tersenyum sendiri dan tanpa kusadari Ujang telah selesai membereskan kamar yang akan kutempati.

"Ih, Mas Adi ngelamun yaa sambil senyum-senyum sendiri," goda Ujang mulai berani.
"Ah, nggak kok," tangkisku.
"Iya tuh, buktinya Ujang sudah lama berdiri di sini, Mas Adi nggak tahu tapi terus senyum sendiri," lanjutnya lagi.
"Ya udah aah."
"Eeng, anu Mas, kamarnya udah siap, silakan masuk dan beristirahat, pasti Mas Adi lelah yaa sehabis melakukan perjalanan semalam."

Dengan langkah gontai aku berjalan di belakang Ujang sambil menenteng tasku yang lumayan berat. Ketika aku masuk ke kamar yang telah disiapkan untukku, ternyata ada sebuah tempat tidur dari kayu jati dengan ukuran king size, dan perabotannya semua dari kayu jati, lumayan luas juga kamar tidur ini dengan ukuran 4 X 4 meter, dengan lantai dari kayu juga dan dilapisi dengan permadani dari Persia untuk menambah kehangatan suasana.

Lalu kataku pada Ujang, "Jang, entar malem kamu temani aku tidur di sini, yaa!"
"Aah nggak, aah."
"Napa?"
"Ujang takut dimarahi sama Agan," katanya.
"Bukannya, Aganmu lagi ke Jakarta, dan lagi aku kan sendirian di sini, aku butuh teman untuk ngobrol sebelum tidur."
"Baik, Mas, sampai nanti malem yaa, saya mau membersihkan kebun belakang, silahkan Mas Adi bersitirahat atau mungkin mau jalan-jalan ke kebun belakang," kata Ujang.
"Oke, Jang, sampai nanti malam yaa."

Setelah sejenak aku menikmati suasana di dalam kamar itu, maka kuputuskan untuk membersihkan diriku agar rasa penat dan lesu hilang dari tubuhku, kulepaskan satu persatu pakaianku dan aku berdiri tepat di depan kaca dengan ukuran dua meter lebih yang ada di lemari pakaian itu. Aku pandangi bayangan tubuhku yang polos itu di kaca, ternyata aku juga tidak terlalu kerempeng bila dibandingkan dengan Ujang, dan kulitku lebih putih dibandingkan dengan Ujang, dan batang kemaluanku yang mulai menegang sepanjang 17 cm dengan kepala yang kemerahan apa sama ya dengan panjangnya batang kemaluan si Ujang sambil kukocok terus batang kemaluanku sambil membayangkan menggeluti tubuh hitam si Ujang sampai mencapai puncaknya, dan.. "Ooohh, aaucchh eenaakk Jaang.. Aaayoo laggii Jaanng.." racauku sendirian dalam mencapai nikmat dari onaniku di depan kaca, setelah rasa nikmat itu berangsur-angsur hilang segera aku masuk ke dalam kamar mandi yang ada di dalam kamar itu. Kuputar keran air hangat untuk mengisi Bathup yang ada di dalam kamar mandi itu, kutenggelamkan diriku dalam air hangat sambil meremas-remas batang kemaluanku yang akhirnya menegang kembali karena siraman air hangat dan kukocok kembali sampai keluar lagi dan akhirnya aku berdiam diri di dalam bak air hangat itu sambil kurasakan sisa-sisa kenikmatan yang baru saja kudapatkan dengan membayangkan sedang bermain dengan si Ujang.

Setelah cukup lama aku berendam dalam air hangat, kemudian aku segera mengenakan pakaian yang cukup santai, setelan celana tiga perempat yang gombor dengan kaos oblong putih, aku berniat untuk tiduran, akan tetapi karena sehabis berendam dengan air hangat dan badanku terasa segar kembali maka akhirnya aku memutuskan untuk jalan-jalan saja ke kebun teh yang terhampar luas di belakang villa ini. Hitung-hitung untuk refreshing dan mencari pemandangan hijau yang tidak pernah kudapatkan di Surabaya yang panas itu.

Langkah demi langkah aku menapaki jalan yang naik-turun dibukit-bukit itu. Sepanjang jalan ini aku mencari-cari satu sosok yang telah menyita perhatianku, akan tetapi aku tidak menemukannya. Sampai tengah hari akhirnya aku putuskan untuk kembali lagi ke villa itu, karena aku merasa lapar sekali. Aku masuki rumah masih sepi seperti tadi ketika aku meninggalkannya, tidak ada sosok Ujang yang sedang kucari menampakkan diri. Kuhampiri meja makan yang ada di bagian belakang rumah itu, ketika kubuka tutup saji, ternyata semua keperluan makan siangku sudah tersaji di sana dan masih hangat lagi, ada telor mata sapi kesukaanku, sambal lalapan yang menjadi ciri khas orang Jawa Barat, ikan asin yang membangkitkan selera makan dan masih ada beberapa lauk pauk lagi. Karena aku merasa sangat lapar sekali langsung saja kuserbu makanan yang tersedia di meja itu tanpa harus permisi dulu, kalau mau permisi yang harus kepada siapa yaa, kataku dalam hati.

Bersambung . . . .

Setelah aku menikmati makan siangku seorang diri, sampai aku merasa kenyang sekali, aku menuju ke ruang tamu, duduk di sofa panjang dan berusaha untuk mencari bahan bacaan untuk menghabiskan waktu, akan tetapi aku tidak menemukannya. Dengan demikian timbul keisenganku untuk melihat-lihat ruang-demi ruang yang ada di rumah ini. Aku mulai dari ruang yang berada paling depan sendiri, setelah pintu kubuka dan ternyata tidak terkunci, kulonggokan kepalaku ke dalamnya, ternyata ini adalah merupakan kamar tidur pribadi oomku, kamarnya lebih luas dan perabotannya lebih mewah dibandingkan dengan kamar yang aku tempati, kemudian ruang yang kedua adalah kamar yang aku tempati, sekarang aku menuju ke ruang ketiga yang lebih kecil lagi. Di dalamnya ada sebuah tempat tidur dengan ukuran satu orang saja, sebuah meja dan sebuah lemari kecil. Semuanya dalam keadaan rapi, bersih dan kosong alias tidak ada yang menempatinya, kemudian aku melangkahkan kakiku menuju ruang selanjutnya setelah keluar dari rumah induk, ada satu ruangan yang terkunci dengan gembok di depannya dan aku memastikan bahwa itu adalah gudang barang-barang yang tidak terpakai, kemudian sebelahnya ada dapur, kamar mandi kecil dan sebelahnya ada WC kecil juga, kemudian ada jalan berbelok menuju satu lorong kecil yang tidak panjang dan di ujung lorong itu ada sebuah pintu dalam keadaan terbuka sedikit.

Aku menghampiri pintu itu dengan perlahan-lahan dan kulihat ke dalam, dan.. "Oh, My God!" ternyata ruangan ini adalah kamar Ujang, cukup sempit sekitar 2,5 X 3 meter saja, yang ada hanya sebuah tempat tidur kayu yang sederhana, sebuah meja kecil dan lemari kecil dan yang paling menarik perhatianku adalah di atas tempat tidur tergeletak tubuh kekar, padat berisi dengan bertelanjang dada dan hanya mengenakan celana dalam, dengan nafasnya yang teratur turun-naik. Ternyata Ujang kelelahan sehabis membereskan kebun dan memasak makan siang untukku, tapi ada satu bagian yang paling menarik perhatianku, yaitu jendolan yang cukup besar di selakangannya yang kadang-kadang bergerak seolah mengangguk-angguk. Tanganku sudah gatal sekali untuk menyentuh jendolan itu. Timbul peperangan dalam batinku untuk menyentuh jendolan itu saat Ujang sedang terlelap dalam tidurnya atau menunggu saat yang indah sampai nanti malam. Kalau nanti malam Ujang tidak mau dipegang bagaimana? Kan hilang kesempatan untuk merasakan jedolan si Ujang, kata hatiku yang lain.

Akhirnya, aku membatalkan untuk menyentuh jendolan Ujang, kututup kembali pintu kamarnya dan aku balik menuju kamarku sambil pikiranku terus tertuju pada jendolan itu, aku merusaha memejamkan mataku, tapi yang timbul justru bayangan jendolan milik Ujang yang menari-nari di pelupuk mataku, sampai akhirnya aku terlelap dengan sendirinya. Aku terbangun, kulihat jam yang ada di dinding, ternyata waktu sudah menunjukkan hampir pukul 18.00, cukup lama juga aku tertidur siang ini. Segera aku menuju ke kamar mandi dan kubersihkan diriku akan tetapi kali ini aku tidak lama-lama berendam dalam bathup, setelah selai semuanya aku segera keluar kamar dan kudengar suara TV di ruang tengah, ternyata si Ujang sedang nonton TV sambil duduk di lantai kayu.

"Hallo Jang.""Eh, Mas Adi, baru bangun tidur yaa?"
"Iya nih, capek sekali."
"Mas Adi tidurnya nyenyak sekali sampai menjelang magrib baru bangun."
"Hmm."
"Ayo makan malamnya dimakan, Mas Adi!" lanjut Ujang.
"Ok, tapi kamu temani aku makan yaa," kataku.
"Nggak, mau Mas, Ujang sungkan sama Mas Adi."
"Aku nggak apa-apa kok, kamu jangan anggap aku juragan kamu, tapi anggap aku sebagai teman atau kakak kamu, gimana? oke?"
"Baiklah, Mas."

Dengan ragu-ragu Ujang menyeret kursi di meja makan itu sampai.. "Ayolah, Jang nggak usah takut dan nggak usah sungkan segala." Akhirnya malam itu Ujang mau makan semeja denganku walaupun masih ada perasaan sungkan, hal ini kurasakan ketika makan Ujang selalu tertunduk dan tidak banyak berbicara. Aku masih bisa memaklumi karena oomku tidak pernah memperlakukan Ujang seperti ini.

Setelah makan malam selesai, Ujang segera membereskan semua piring kotor untuk dibawa ke dapur dan sekalian mencucinya. Setelah semuanya dibereskan, kemudian Ujang mengunci pintu belakang yang menuju halamam belakang, menutup tirai-tirai yang ada disetiap jendela kemudian dia mengambil tempat lagi di depan TV dengan duduk di lantai.
"Mas Adi nggak pengin jalan-jalan lihat pemandangan Puncak di waktu malam," tanya Ujang.
"Nggak ahh, lagi males, dingin lagi karena masih belum beradaptasi, dan lagi aku merasakan pegal-pegal di seluruh tubuhku," jelasku.
"Mas Adi, mau kalau Ujang pijitin," katanya lagi.
Tanpa dikomado untuk yang kedua kalinya segera kuiyakan saja tawaran Ujang ini.
"Emangnya kamu pinter mijit," basa-basiku.
"Yaa, hanya sekedar mijit aja, tapi nggak seahli tukang pijit," sambungnya lagi.
"Okelah kalau gitu, kamu kunci semua pintu dan aku tunggu di dalam kamar yaa," pintaku.

Ujang segera bangkit dari duduknya, menuju pintu depan dan menguncinya serta mematikan lampu yang ada di ruang tamu, kemudian kudengar Ujang mematikan TV yang ada di ruang tengah. Pada saat yang bersamaan aku segera melepaskan semua pakaianku dan yang tinggal hanya CD-ku yang berwarna kuning gading. Sambil telungkup aku menunggu Ujang masuk ke kamarku, hatiku berdebar-debar sehingga memicu jantungku berdetak lebih cepat lagi yang membuat badanku terasa panas. Kudengar langkah kaki Ujang menuju ke kamarku dan membuka pintu kamarku.
"Permisi yaa Mas Adi."Sambil kurasakan tangannya menyentuh punggungku.
"Eh, badan Mas Adi kok panas, Mas Adi sakit yaa," katanya lagi.
"Ah nggak kok, mungkin perasaanmu saja," balasku.

Kemudian, kurasakan tangannya mulia menari-nari di punggungku, leherku, tangan dan jariku, kemudian mulai memijit kakiku dari ujung jari menuju ke atas dan terus ke pahaku, karena aku diperlakukan seperti itu yang membuat batang kemaluanku berdiri tegang penuh, kuharapkan Ujang tidak mengetahuinya. Kemudian Ujang memijit pinggulku yang makin membuat aku blingsatan karena rabaan tangannya dibokongku yang membuat batang kemaluanku makin berdenyut-denyut. Untung saja lampu dalam kamarku hanya diterangi lampu lima watt saja sehingga suasanya hanya remang-remang saja. Setelah Ujang selesai dengan bagian belakang tubuhku, maka dia memintaku untuk telentang dan aduh gimana nih, padahal kepala batang kemaluanku udah nyembul keluar dari CD-ku yang mini ini, tapi dengan laga cuek akhirnya aku balikkan juga badanku dan tepat di hadapan mata Ujang batang kemaluanku yang berdenyut-denyut itu membuat pemandangan tersendiri bagi Ujang.

Aku ingin tahu apa yang akan diperbuat Ujang terhadap batang kemaluanku yang sudah tegang penuh itu. Ternyata Ujang bisa cuek juga, pikirku dalam hati, karena dia dengan santainya tetap melanjutkan untuk memijat kakiku bagian depan dari ujung kaki sampai ke paha yang makin membuatku tambah tegang penuh, karena aku tak kuat disiksa seperti ini akhirnya kupegang tangan Ujang dan kubimbing ke arah batang kemaluanku yang tegang penuh itu sambil kataku, "Jang, sekalian yang ini kamu pijitin sekali biar enak," kataku.
"Ih, Mas Adi, bisa-bisa aja, nggak mau aah," tolak Ujang.
"Ayo dong, Jang!"

Akhirnya dengan malu-malu dipegangnya juga batang kemaluanku, karena aku merasa tidak bebas karena adanya CD-ku, maka segera kupelorotkan CD-ku sehingga kini aku jadi telanjang bulat di hadapan Ujang yang masih berpakaian lengkap itu. Kurasakan hangatanya kocokan tangan Ujang di batang kemaluanku yang 17 cm itu dibuat mainan oleh Ujang, sampai aku menggelinjang-gelinjang.

"Jang.."
"Ada apa Mas?"
"Aku khan udah telanjang, biar adil kamu juga harus telanjang juga," pintaku.
"Ih, Ujang malu Mas" katanya."Nggak apa-apa, ayo cepet buka bajumu semuanya."

Dengan ragu-ragu Ujang mulai membuka kancing bajunya satu persatu dan aku segera mengarahkan tanganku ke arah jendolannya yang siang tadi sudah menggoda aku dan kurasakan batang kemaluannya juga tegang, besar, kenyal dan panjang. Segera kubantu untuk memelorot celana pendek gombornya itu, kemudian kupelorot CD-nya dan kulihat sebuah batang kemaluan yang berdiri tegak mengacung panjang sampai menyentuh pusarnya, kurang lebih hampir 21 cm dan berwarna hitam dengan kepala kemerah-merahan, lebih besar dan lebih panjang daripada batang kemaluanku. Setelah beberapa saat aku mengagumi batang kemaluan Ujang, segera kuraih dan kukocok dan ternyata dia diam saja, kutelentangkan Ujang di atas tempat tidur dan mulai aku mencumbuinya mulai dari cuping telinganya, lehernya kemudian turun lagi ke arah putingnya dan kudengar rintihan-rintihan dan desisan yang keluar dari mulut Ujang.

Kemudian kuarahkan kecupanku ke arah pusarnya dimana kepala batang kemaluannya tepat berada kukecup kepala batang kemaluannya yang meradang dan mekar membesar itu, kujilati daerah V-nya dan kudengarlenguhan Ujang makin keras kemudian kepala batang kemaluannya kumasukkan dalam mulutku dan mulai kuhisap dan kumasuk-keluarkan dalam mulutku dan kurasakan ketegangan pada batang kemaluannya makin memuncak dan kurasakan semburan cairan hangat mengenai langit-langit mulutku dan kurasakan cairan asin, manis dan amis memenuhi rongga mulutku dan kutelan habis semuanya.

Lalu kudengar, "Aaahh, aaduuhh Mas Adi, aakuu diapain saja nih, kook eenaak beeneerr."
"Ooohh, aauucchh.."
"Aaayoo, Mass, Ujang mau lagi, Mass.."

Bersambung . . . .

Eh, ini anak belum tahu rasanya, sekali tahu rasanya jagi ketagihan nih, kataku dalam hati. Karena Ujang keluar duluan maka aku menindih tubuhnya sambil kuselipkan batang kemaluanku diantar pahanya dan kuminta dia untuk menjepitnya dengan kuat sampai akhirnya aku mencapai puncaknya dan kukeluarkan spermaku di atas perutnya sehingga perut Ujang penuh dengan leleran spermaku yang kemudian kuratakan ke arah dadanya sekali dan kulihat batang kemaluan Ujang sudah menegang lagi aku segera mengambil inisiatif untuk menghisapnya lagi dan kulumuri batang kemaluannya dengan air ludahku sampai cukup basah semuanya kemudian aku mengangkanginya dan jongkok di depannya serta mengarahkan batang kemaluannya ke arah lubang anusku.

Ketika batang kemaluan Ujang yang besar itu mulai memasuki lubangku, kurasakan sakit sekali karena batang kemaluan Ujang memang sangat besar dan panjang, senti demi senti kumasukkan perlahan-lahan sampai akhirnya amblas semuanya kutahan untuk beberapa saat sampai rasa sakit itu berangsur-angsur hilang dan kurasakan ada sesuatu benda kenyal yang mengganjal di dalam lubangku, aku naik-turunkan badanku dan kudengar rintihan dan lenguhan Ujang makin lama makin keras dan memburu dan kurasakan ada cairan hangat yang menyembur di dalam lubang anusku. Aku segera berlari ke kamar mandi yang ada di kamar itu dan kubersihkan diriku, kuguyur tubuhku dengan air hangat yang memancar dari shower, kubiarkan pintu kamar mandi terbuka sehingga aku bisa melihat Ujang masih menikmati sisa-sia kenikmatannya. Ketika dia menoleh ke arahku, kulambaikan tanganku untuk untuk memanggilnya agar bersama-sama mandi di bawah guyuran air shower ini.

Rupanya dia mengerti keinginanku, dia segera bangun dari tidurnya dan menuju ke kamar mandi dan ikut mengguyurkan dirinya di bawah shower, sambil saling menyabuni badan kami masing-masing terlebih-lebih menyabuni batang kemaluan lawan mainnya sampai tegang kembali. Akan tetapi tidak sampai terjadi ML di dalam kamar mandi itu, karena hari sudah malam, maka kami segera mengeringkan badan kami. Dan kulihat Ujang ingin segera berpakaian dan kembali ke kamarnya, akan tetapi aku mencegahnya, agar malam ini dia tidur di kamarku saja dan tidak usah berpakaian. Akhirnya kami berdua dalam keadaan telanjang bulat langsung nyungsep di bawah selimut yang tebal sambil berpelukan untuk saling memberi kehangatan di malam yang dingin itu dengan perasaan puas karena bisa saling memberi kenikmatan.

Ketika menjelang pagi kurasakan ada sesuatu yang hangat, kenyal dan bergerak-gerak menyentuh perutku, aku segera bangun dan kulihat Ujang masih terlelap di sampingku sambil tangannya melingkar di atas perutku dan kudengar dengkuran kecil keluar dari mulutnya, dan ternyata benda hangat itu adalah batang kemaluan Ujang yang sudah menegang kembali menjelang pagi ini. Segera kuraih batang kemaluan Ujang yang sudah tegang itu kukocok perlahan-lahan dan kulihat dia menikmati kocokan tanganku itu, dengan menggeliatkan tubuhnya sehingga tubuhnya terlentang sehingga batang kemaluannya yang tegang itu seperti tugu Monas yang sedang menjulang tinggi, segera kuhisap batang kemaluannya, mungkin karena keenakan sehingga dia akhirnya Ujang terbangun.

"Eh, Mas Adi, aduh enak lho Mas Adi, kalo digitukan," kata Ujang polos.
"Kamu mau coba nggak ngisep batang kemaluanku."
"Aduh, aku nggak bisa nih Mas Adi."
"Ayo kamu coba dulu."

Akhirnya aku mengambil posisi 69, sehingga batang kemaluan Ujang tepat didepan mulutku dan batang kemaluanku pun tepat di depan mulut Ujang, akan tetapi dia masih ragu-ragu, mula-mula batang kemaluanku dikocok-kocoknya dengan perlahan-lahan, kemudian diciumnya dan akhirnya kurasakan sesuatu yang hangat dan basah menyentuh batang kemaluanku, ternyata Ujang berusaha untuk menjilati batang kemaluanku. Kurasakan beberapa saat kemudian kurasakan jilatan itu berubah menjadi hisapan pada batang kemaluanku, sedangkan mulutku tetap menghisap batang kemaluannya tangan mulai bergerilya untuk merusaha mencari lubang anusnya yang masih terasa sempit sekali. Aku lumuri jariku dengan air liurku kemudian kumasukkan dalam anusnya setelah agak lancar maka mulai dua buah jariku masuk ke dalam anusnya sampai akhirnya tiga jariku bisa masuk ke dalam anusnya. Kucabut batang kemaluannya dari mulutku dan juga kucabut batang kemaluanku dari mulutnya, segera kutelentangkan dia, kuangkat kedua belah kakinya sehingga lubang anusnya mendongak ke atas.

"Aku ingin memasuki lubang kamu, Jang."
"Mungkin untuk pertama kali akan terasa sakit, tapi kamu tahan yaa Jang," pintaku.
Dia tidak bereaksi hanya mengangguk perlahan, segera kupegang batang kemaluanku dan kumasukkan ke dalam lubangnya yang masih terasa sempit sekali, sehingga aku harus berulang-ulang mencobanya, sampai pada usahaku yang ketiga aku baru berhasil memasukkan batang kemaluanku ke dalam lubangnya dan kudengar erangan Ujang karena kesakitan dan kulihat ada aliran air bening yang keluar dari kedua belah matanya. Sambil mencengkeram kasur dia menahan masuknya batang kemaluanku senti demi senti. Setelah semuanya bisa masuk sampai pangkalnya aku segera berdiam diri untuk memberikan kesempatan kepada Ujang untuk beradaptasi dengan keadaan batang kemaluanku berada di dalam lubangnya itu. Setelah beberapa saat aku mulai menggenjotkan pinggulku maju-mundur di atas pantat Ujang, sampai akhirnya aku tak tahan lagi merasakan keenakan karena lubang anus Ujang yang masih perawan ini. Tidak berapa lama kemudian akhirnya aku muncrat juga di dalam lubang anus Ujang.

"Aaahh, aaduuhh Jaangg."
"Eeennaakk Jaang pantatmu, Jang."
"Perawan lagi Jaang, beruntung aku dapet kamu Jaang.."

Sampai akhirnya aku menggelosor di atas dada Ujang, sedangkan batang kemaluan Ujang masih tegak berdiri dan dia juga ingin minta jatah juga untuk segera dikeluarkan isinya, maka segera aku telentang sambil mengangkat kakiku dan kusuruh Ujang untuk memasuki lubangku yang tentunya sudah tidak perawan lagi. Ujang pun menuruti kemauanku dengan segera, dia menancapkan batang kemaluannya yang besar dan panjang itu ke dalam lubang anusku dan kemudian menggenjotnya dan tak berapa lama kemudian kudengar lenguhan yang keras dan.. "Croot.. croot, crroot.." kurasakan denyutan dan semburan spermanya di dalam lubangku.

Pagi itu, kami mandi berdua di dalam bathup sambil berendam air hangat, saling menyabuni tubuh kami masing-masing, membersihkan batang kemaluan lawan mainnya, berpelukan di dalam bathup sambil merasakan air hangat. Ketika kami selesai mandi hari sudah siang karena matahari sudah tinggi dan jam dinding sudah menunjukkan pukul 07.00, Ujang jadi kelabakan, karena dia belum membereskan dan membersihkan rumah yang menjadi tanggung jawab dan kewajibannya, biasanya dia jam 05.00 pagi sudah mulai bersih-bersih rumah, menyapu kebun, menyiapkan sarapan dan sebagainya. Akan tetapi hari itu aku tidak menuntut semua kewajiban dan tanggung jawab Ujang terpenuhi semuanya karena semua ini memang kesalahanku juga.

"Jang, nyapu kebunnya besok aja, khan Oom baru pulang dua hari lagi," kataku.
"Terus beresin rumah entar siang aja, mendingan sekarang kita buat sarapan bareng-bareng saja yaa.." kataku.
"Baiklah, Mas Adi."
Kami berdua kemudian menuju ke dapur, karena tidak ada yang siap untuk dimakan pagi itu akhirnya, pagi itu kami bedua sarapan dengan mie instan dan telur rebus, sambil minum susu coklat panas.

Selama masih ada waktu berlibur di rumah oomku, maka aku tidak menyia-nyiakan waktu yang ada untuk setiap malam selalu ML dengan Ujang, sampai pada hari yang ketiga tiba, dimana oomku sudah kembali dari Jakarta dan tidur di rumahnya, malam itu aku begitu merasakan kesepian yang amat sangat, karena tidak mungkin aku harus tidur dengan Ujang lagi, aku jadi gelisah dan tidak bisa tidur walaupun sudah tengah malam, sampai akhirnya aku keluar kamar dan kubuka pintu yang menuju ke ruang belakang kuhampiri kamar Ujang, pintu kamarnya terkunci dari dalam, kuketuk beberapa kali tidak ada balasan akhirnya kuputuskan untuk kembali kekamarku kembali. Paginya ketika subuh, aku segera keluar dari kamarku menuju ke ruang belakang, karena aku tahu bahwa Ujang pasti sudah bangun dari tidurnya dan sudah mulai melaksanakan semua tugas rutinnya. Ternyata ketika aku berjalan ke belakang kudengar suara di dapur, ketika kulongok ternyata Ujang sedang mempersiapkan untuk memasak air dan menanak nasi, segera kuhampiri dia dan kupeluk dari belakang, Ujang agak terkejut tapi akhirnya bisa menguasai diri.

"Jang, aku semalam nggak bisa tidur. Aku selalu inget kamu, aku tadi malem mau ke kamarmu tapi terkunci dari dalam, makanya nanti malam kamar kamu jangan dikunci yaa, biar kalau aku kangen sama kamu, bisa masuk kamar kamu, oke?"
"Baik, Mas Adi," jawab Ujang. Hari-hariku berjalan penuh dengan kejenuhan karena tidak bisa selalu bersama dengan Ujang, aku merasa kesal, aku merasa bosan, walaupun malam hari bisa bertemu dengan Ujang dan ML, akan tetapi rasanya tergesa-gesa dan seperti maling saja.

Setelah genap seminggu aku di rumah oomku, maka pagi itu aku minta ijin kepada oomku untuk pulang balik ke Surabaya, dan akhirnya aku diantar oleh oomku ke stasiun pada saat aku berada dalam mobil oomku, aku sempat melihat Ujang melambaikan tangan untukku dengan pandangan mata yang penuh dengan sejuta misteri yang tidak dapat diungkapkan dengan kata-kata. Apakah aku jatuh cinta sama Ujang, atau sebaliknya Ujang yang jatuh cinta sama aku. Aku sendiri tidak bisa menjawabnya karena batinku selalu bergejolak. Di dalam mobil aku lebih banyak berdiam diri, dan kujawab pertanyaan dari oomku, sebatas yang diperlukan saja, sampai akhirnya mobil berhenti di depan stasiun kereta api yang akan membawaku kembali ke Surabaya.

Di dalam perjalanan dengan kereta api itu, alam pikiranku berjalan kembali bagai kilas balik, seperti film yang diputar ulang tentang apa yang telah terjadi antara aku dan Ujang. Aku ingin merasakan sisa-sisa kenikmatan, sisa-sisa kehangatan pelukannya, tusukan batang kemaluannya yang sepanjang 21 cm itu. Dan akankah kita akan bertemu kembali Ujangku sayang. Aku berjanji liburan semester depan aku akan mengunjungimu lagi Ujangku, asalkan kamu masih bekerja di rumah oomku. Salam manis selalu Ujangku, dan kututup adegan terakhir dalam lamunanku dengan senyumku yang kupaksakan. I always miss you, Ujang.

Tamat

Ketika celana dalamnya yang berwarna putih itu akan dilepasnya, aku menahannya. Aku lalu duduk di tepi ranjang, menghadap dia yang berdiri mengangkang di depanku. Dan ketika ia sibuk melepas baju kaosnya, kuulurkan tanganku untuk meraih benda bulat panjang yang menonjol miring di bagian depan celana dalamnya. Kuelus dan kugosok-gosok sekujur otot kelelakiannya itu. Ia menghela nafas beberapa kali merasakan perbuatanku. Dadanya yang bidang itu kembang kempis oleh desakan nafsu birahinya. Sesekali tanganku merayap ke sana, memainkan putingnya yang banyak ditumbuhi rambut halus.

Ketika akhirnya kain segitiga putih yang membalut sisa tubuhnya itu kutarik ke bawah, kulihat batang bulat panjang dengan kepala kontol yang besar membonggol, basah oleh cairannya sendiri. Jembutnya lebat keriting. Kulit skrotum-nya padat dan penuh bulu. Aku mengelus-elus bagian itu. Dan kurasakan tubuhnya bergidik. Dan ia pelan-pelan meregangkan pahanya. Seolah memintaku untuk berbuat lebih. Dan aku meneruskan perbuatanku mengelus-elus biji pelirnya. Tubuhnya kembali bergetar akibat sentuhanku itu. Beberapa saat kemudian tangannya bergerak ke bawah dan mencoba mengocok miliknya sendiri. Kubiarkan. Aku justru menikmati pemandangan langka: seorang laki-laki tengah onani. Tubuhnya tersengal-sengal oleh gerakan tangannya yang menurutku agar kasar itu. Nafsunya mungkin sudah sampai ke ubun-ubun. Mulutnya menggeram tak jelas. Aku takut ia muncrat sebelum aku sempat menikmatinya. Kuminta ia untuk berbaring saja di kasur. Dan ia menurut.

Tubuhnya segera rebah. Pahanya yang gempal padat itu langsung terbuka mengangkang. Poisisinya seolah memintaku untuk segera 'menyetubuhi'nya, layaknya beberapa laki-laki yang pernah tidur denganku. Aku lalu naik ke ranjang dan memposisikan tubuhku di antara rentang pahanya. Tanganku langsung menggenggam. Benda bulat panjang itu pun langsung bereaksi. Berdenyut-denyut dalam genggamanku. Hangat dan pejal. Tubuhnya mulai gelisah. Matanya terpejam tapi mulutnya seperti ikan tengah kehabisan air.

Kini gantian aku harus melayani hasrat seksual laki-laki pemijat yang baru kukenal ini. Malam ini aku seperti mendapat durian runtuh. Dan durian itu sebentar lagi akan kubelah. Kuendus aromanya. Aroma khas tubuh lelaki: bau selangkangan yang lembab oleh keringat birahi. Sementara daging dalam genggamanku laksana daging durian yang mengkal siap santap. Maka, aku pun tak kuasa untuk langsung melahapnya! Aku tak peduli apakah ia tahu perbuatanku atau tidak, berkenan atau tidak, aku tak peduli. Mulutku langsung penuh. Langsung melumat dan melamuti bagian kepala 'durian' runtuh ini. Ia menggeliat dan mulutnya mengerang penuh kenikmatan. Tiba-tiba kurasakan tangannya memegangi kepalaku. Jadi ia tahu apa yang kuperbuat. Dan tampaknya ia menyukainya. Tangannya berusaha menekan kepalaku, memintaku untuk menelan lebih banyak dan lebih dalam. Terus terang aku harus berusaha keras karena ukurannya gede. Tapi aku menyukainya. Daging kontolnya terasa liat dan legit dalam jepitan mulutku. Meluncur licin dalam pilinan lidah dan bibirku. Benda itu sudah basah kuyup oleh ludah dan mungkin precum-nya yang sesekali terasa asin di lidahku. Kontol tukang pijat ini memang enak untuk diisap dan dikenyot-kenyot.

Entah sudah berapa lama aku tak menikmati kontol lelaki. Makanya malam ini aku seperti balas dendam. Bukan hanya batang dan kepala kontolnya saja yang jadi bulan-bulanan mulutku. Daerah sekitar celah paha dan selangkangannya yang penuh bulu pun tak luput kujelajahi. Beberapa kali ia sempat meronta kegelian, sampai aku harus menindih kakinya agar tak banyak bergerak. Dan ketika aku menarik batang penisnya ke atas, lalu secara merata kujilati kantung pelir dan daerah bawah di dekat lubang anusnya (tulang pirenium), ia mengerang dan punggungnya terangkat. Tentu saja ia kegelian. Aku pun pernah merasakan dikerjai di daerah itu. Makanya tak heran, suara 'ah-oh' yang panjang mulai keluar dari mulutnya ketika aku terus menelusupkan mulutku ke bagian itu. Beberapa kali kudengar guMaman dan suara menggeram yang tak jelas dari mulutnya. Ia terlihat sangat kenikmatan. Sekilas kulihat tubuh dan wajahnya sudah penuh keringat. Kumisnya tampak basah, sementara mulutnya menguncup dengan nafas yang menderu.

Beberapa saat kemudian tubuhnya menggelinjang hebat. Pahanya berusaha menjepit kepalaku yang masih terbenam di selangkangannya. Terus terang aku agak kewalahan.

"Aku mau keluarhh.. Mau keluarhh..," desahnya sambil mengarahkan tangannya ke kontolnya. Aku segera mengambil alih. Dan ia menarik tangannya kembali. Segera ku-onani dia dengan gerakan yang pelan namun liat bertenaga. Kini kedua tangannya terentang ke atas. Pasrah dalam kenikmatan. Kepalanya meliuk-liuk tak karuan. Bulu ketiaknya yang lebat tampak menyeruak basah penuh keringat. Kedua kakinya kini terjulur, merentang ke samping. Tapi pinggulnya pelan-pelan bergerak ritmis, seiring kocokan tanganku. Tampak sekali ia menikmati perlakuanku.

Ada beberapa saat suasana agak hening. Yang terdengar hanya suara kocokan tanganku pada kontolnya dan desah kenikmatan dari mulutnya. Pinggulnya sesekali masih berputar-putar mengikuti remasan yang kulakukan. Lalu pelan-pelan ia mulai gelisah. Kali ini pantatnya mulai menyentak-nyentak ke atas. Lalu gerakan pinggulnya makin tak teratur. Patah-patah. Lalu mengejang. Dan akhirnya cairan putih kental menyembur banyak dan berkali-kali dari lubang kontolnya. Sebagian tumpah di atas perut dan dadanya. Tapi ada sebagian tadi yang muncrat ke wajahku. Segera saja aroma khas sperma menyebar. Aku menghirupnya laksana udara pagi yang segar menyehatkan. Aku puas melihat ia puas. Tapi tanganku masih berusaha memijati batang kontolnya yang mulai melemas. Sementara ia menggelepar lunglai dengan tubuh basah kuyup. Sesekali tubuhnya tersengal diiringi suara desah kepuasan dari mulutnya. Matanya merem melek, sayu, tapi penuh rasa puas.

"Gimana? Enak kan?" kataku sambil mendekat ke wajahnya. Senyumnya mengembang. Tangannya lalu meninju bahuku. Kami lalu tertawa bersama.
"Sampean ini..," katanya sambil berusaha bangun.
"Kenapa?" tanyaku.
"Bisa saja..," sahutnya masih tak jelas.
"Sampean nyesel ya?" tanyaku lagi. Ia menghela nafas. Lalu menggeleng.
"Belum pernah saya begitu," katanya.
"Begitu gimana? Diisap?" tanyaku penasaran.
"Semuanya!" sahutnya. Kembali kami tertawa.
"Tapi gimana? Enak 'kan? Suka nggak?" aku memberondong.
"Yahh, lumayan. Sudah dua minggu nggak muncrat!" katanya sambil ngakak.

Pantas, kataku dalam hati sambil mengamati tubuh bugilnya yang mulai beranjak bangun. Baru kusadari kalau laki-laki ini sexy sekali. Seluruh rambut dan bulu yang ada di tubuhnya tampak basah oleh keringat. Aku membiarkannya beberapa saat, sebelum akhirnya kupinjami ia handuk untuk mengeringkan tubuhnya.

Kami lalu berpakaian. Kubayar ia dua puluh ribu, tarif standar. Lalu kutambahi sepuluh ribu. Ia tertawa dan berusaha menolak, karena ia juga merasa mendapat 'service tambahan'. Tapi aku memaksanya untuk menerima uang itu. Tentu saja aku mengharap dia masih mau datang lagi. Dengan gaya kocak ia mengiyakan permintaanku, meski aku sendiri ragu.

Malam itu aku tidur dengan rasa puas. Puas karena kudapatkan laki-laki yang mungkin bisa jadi tempat pelampiasan birahiku selama ini. Hanya satu yang agak kusesali mengenai kejadian malam itu: aku lupa menanyakan namanya!

Ternyata namanya Hasbi. Suatu malam, setelah kurang lebih sebulan sejak pertemuan pertama dulu, dia kembali muncul. Kudapati ia sedang duduk di teras depan rumah kos menunggu aku pulang dari kantor. Katanya ia menunggu sejak maghrib tadi. Terus terang aku surprise dengan kedatangannya yang tampaknya sangat diniati itu. Tentu saja aku senang. Karena ia pasti punya maksud lebih dari sekedar ingin menawarkan jasa pemijatan.

"Kok tahu kalau saya lagi pegal-pegal?" aku mulai becanda setelah kami saling bersalaman dan bertegur sapa layaknya kawan akrab. Ia cuma ber-'he he he' saja menanggapi guyonanku. Segera kupersilakan ia masuk ke kamar. Saat itulah aku menanyakan namanya dan ia menanyakan namaku. Lucu juga, kami baru berkenalan setelah sekitar sebulan ketemu.

Ternyata ia baru datang dari kampungnya. Ia membawa travel bag penuh berisi pakaian dan oleh-oleh. Ada sebulan ini ia pulang ke kampung. Pantas, pikirku. Selama ini aku tak pernah melihatnya beredar. Waktu itu aku sempat berpikir, jangan-jangan ia kapok dengan kejadian yang pernah kami lakukan dulu.

"Ya nggak lah," jawabnya ketika kutanyakan hal itu, "Saya pulang kampung mendadak. Paman saya sakit. Sekarang sudah sembuh," lanjutnya bercerita.
"Oo, terus ke sini mau ngapain?" aku mencoba menggodanya. Awalnya ia agak kaget dengan pertanyaanku itu. Tapi aku lalu menetralisir dengan tawaku.
"kalau gitu, saya pulang saja deh!" balasnya pura-pura ngambek sambil ketawa.

Aku lalu berbaring melepas penat. Sementara ia sibuk dengan isi travel bag-nya dan memberiku oleh-oleh makanan khas kampungnya.

"Makasih Mas Hasbi. Sampean baik banget sih," kataku.
"Walah, wong cuman oleh-oleh gitu kok," sahutnya dengan nada kocak.

Hasbi kulihat tampak lebih legam. Rambut ikalnya juga terlihat agak panjang. Ia sedikit gemukan. Tapi terus terang ia jadi kelihatan lebih ganteng. Cambang dan berewoknya tampak tak tercukur. Tapi menurutku malah pas dengan kumisnya yang khas itu.

"Mas Bowo, saya boleh numpang mandi nggak?" tanyanya kepadaku. Sialan! Mendengar kata 'mandi', tiba-tiba ada yang mengeras di dalam celanaku.
"Boleh saja. Mau mandi bareng apa?" sahutku menggoda.

Ia memeletkan lidahnya ke arahku. Meledek. Aku geli melihat ulahnya. Tapi aku merasa ia masih 'jaga jarak' denganku untuk hal-hal yang sensitif. Dan aku tak mau memaksa. Lagi pula jam segini teman-teman kos sudah mulai pada pulang.

"Boleh saya pinjam handuknya?" katanya kemudian.
"Boleh," aku lalu mengambil handuk dari lemari pakaian dan memberikan kepadanya."Sabun dan lain-lain ada di kamar mandi, di tempat plastik warna hitam," kataku menjelaskan.
"Ok. Makasih. Tapi saya mau ngelempengin punggung sebentar ah!," katanya sambil berbaring di karpet.
"Tiduran di atas aja Mas," kataku.

Tapi ia menolak. Aku lalu beranjak, nyetel musik, ganti pakaian, ambil minuman buat dia dan kembali berbaring di kasur. Kulihat matanya terpejam berbantal kedua tangannya. Sementara kakinya bergerak-gerak mengikuti irama musik. Aku mengambil koran dan mulai baca berita.

"Kamar mandinya sebelah mana?" katanya tiba-tiba. Ia sudah berdiri, bersiap mau mandi.
"Dari kamar ini ke kiri. Terus ke ke belakang, belok kanan," kataku menjelaskan.
"Ok. Saya mandi dulu ya!" ia pamitan.
"Ok," sahutku pendek.

Tak kuteruskan membaca koran. Karena kembali aku merasakan ketegangan di dalam celanaku. Membayangkan ia mandi, sambil menggosok tubuhnya yang padat berbulu. Ah! Aku sampai merogoh ke dalam celanaku dan mulai mengelus-elus milikku sendiri. Malam ini ada kejadian dengan dia nggak ya? Pikiranku menerawang ke mana-mana. Lalu tiba-tiba mataku tertumbuk pada handuk yang tadi kuberikan padanya, ternyata masih ada di atas kursi. Ia lupa membawanya. Segera kuambil handuk itu dan kuantar ke kamar mandi. Pikiranku makin ke mana-mana. Terus terang birahiku jadi naik. Nafasku menderu. Beberapa kali aku sampai menarik nafas.

Ada beberapa saat aku berdiri di depan pintu kamar mandi. Kebetulan waktu itu tidak ada teman kos yang kelihatan di sekitar situ. Sayup-sayup kudengar ia bersenandung. Entah lagu apa. Kontolku mulai ngaceng lagi.

"Mas Hasbi," kataku mulai mengetuk. Baru pada ketukan ketiga pintu dibuka.
"Handuknya ketinggalan," kataku setengah berbisik.

Ia sudah basah kuyup. Setengah tubuh bugilnya terhalang pintu. Tapi aku bisa melihat pinggulnya yang telanjang polos menyembul. Aku menelan ludah. Ia menerima handuk sambil tersenyum dan melihat ke arahku penuh arti. Sejenak kami bertatapan. Aku kembali menelan ludah.

"Makasih," katanya dan ada gelagat untuk tak segera menutup pintu.

Aku bisa menangkap sinyal-sinyal seperti itu dalam hitungan detik, dan tak boleh kusia-siakan. Maka kudorong pintu kamar mandi. Ia diam saja, bahkan mundur untuk memberiku jalan masuk. Begitu berada di dalam, mataku langsung terarah ke kontolnya. Besar, tapi belum tegang. Jembutnya yang lebat itu tampak basah kuyup. Kami lalu bertatapan. Hampir bersamaan aku dan dia menarik nafas. Sinyal kedua. Dan aku yakin akan ada kejadian malam ini. Maka segera kulolosi pakaianku, menemaninya mandi.

Bersambung . . . .

Punyaku yang sudah tegang itu langsung menyembul begitu celana dalam kulepas. Ia melirik dan tersenyum. Kami lalu saling memegang. Kuraih miliknya yang mulai membesar tapi belum tegang itu. Ia sempat menghindar, menarik pinggulnya ke belakang. Tapi aku terus mendesak sampai ia terpepet ke pinggir bak kamar mandi. Tanganku langsung menggenggam. Ia langsung menggeram. Kami lalu saling meremas. Kenikmatan langsung menjalar.

Dengan gemas aku meremas kontol yang selama sebulan ini memenuhi pikiranku. Tubuhnya yang basah memperlicin gerakan tanganku. Maka tak ada satu menit, batang kemaluannya yang besar itu langsung mengeras. Aku lalu mengguyurkan air ke tubuhku. Tentu saja ia terkaget. Tapi ini cuma trik untuk membuat suara-suara supaya tidak menimbulkan kecurigaan di luar. Tanganku lalu membuka kran sehingga suara aliran airnya lumayan bisa untuk menambah kamuflase.

Sedapat mungkin kami harus menahan suara-suara yang mencurigakan. Dan ini agak susah untuk dilakukan. Karena ketika tangan kami saling meremas dengan menggunakan sabun, rasa nikmat yang timbul sangat sulit untuk kami atasi. Hasbi terus mendesis-desis keenakan. Sementara nafasku terdengar menderu dari hidung dan mulutku. Mata kami sama-sama sayu tapi saling menatap tak berkedip. Kelihatan sekali kalau ia lagi bernafsu. Matanya memicing. Mulutnya menganga dengan nafas menderu. Rambut dan kumisnya yang basah membuatnya tampak sexy. Ada dorongan kuat ingin menciumnya. Tapi aku berusaha menahan diri. Takut malah merusak acara. Maka aku hanya bisa mendekatkan wajahku, sambil menikmati hembusan nafas birahinya yang panas menerpa-nerpa pipiku.

"Mau dikeluarin di sini?" tanyaku berbisik
"Terserah..," desahnya
"Enak?" tanyaku lagi sambil memilin kontolnya
"Enak banget.." jawabnya sambil membalas meremas kontolku dengan gerakan yang liat. Aku meringis. Memang enak..
"Mas Bowo mau dikeluarin juga?" tanyanya di sela-sela desahan

Aku diam, tak menanggapi. Aku takut kalau acaraku dengan dia hanya selesai kamar mandi ini. Terus terang malam ini aku menginginkan bisa berbuat lebih jauh dengan dia di tempat tidur.

"Atau kita ke kamar saja?" aku menawari.

Ia menggeleng dengan alasan tanggung. Berarti ia mau dituntaskan di sini. Ya sudah, pikirku. Aku pun tampaknya sudah tak kuat menahan desakan rasa nikmat di pangkal kemaluanku. Apalagi ia kini mulai memain-mainkan biji pelirku dengan busa sabun. Pahaku langsung meregang. Dan kurasakan tangannya malah makin menelusup ke bawah, ke celah pantatku, menggelitik sejenak, lalu kembali mengerjai biji pelir dan batang kemaluanku bergantian. Apakah ia kenal perilaku seksual sesama lelaki atau cuma kebetulan saja? Aku sempat menatap heran ke arahnya ketika ia menyentuh anusku tadi.

"Kenapa? Enak?" tanyanya sambil nyengir, menanggapi tatapanku.
"Eenghh..," aku hanya bisa mendengus sambil mulai merambah celah pantatnya juga.
"Geli nggak?" tanyanya lagi
"Gelian mana sama ini," sahutku sambil kutelusupkan jari tengahku ke celah pantatnya.

Suara 'oh' tertahan terlontar dari mulutnya. Kepalanya agak tengadah, dan matanya kemudian terpejam menikmati sentuhan jariku pada sela-sela pantatnya. Kunikmati ekspresi wajah laki-laki yang sedang kenikmatan itu. Sebuah pemandangan sexy yang jarang kulihat.

Ada beberapa menit kami masih saling merangsang dengan berbagai cara. Saling membalas. Bergantian menyentuh bagian-bagian yang kami anggap nikmat apabila disentuh. Dan acara saling 'nyabun' ini akhirnya mencapai puncaknya ketika Hasbi tiba-tiba mendesak tubuhku ke arah dinding kamar mandi, sambil berbisik kalau ia mau 'keluar'. Dirapatkannya tubuhnya ke tubuhku hingga kontol kami beradu dan saling menggesek dalam kondisi penuh dengan busa sabun. Tentu saja licin dan menimbulkan rasa geli yang enak. Aku pun langsung membalas gerakan pinggulnya.

Dan akhirnya kami saling berdekapan, saling menekan dan menggesek dengan asyiknya. Beberapa saat kemudian rasa enak itu berpuncak pada semburan air kenikmatan yang datang saling menyusul. Dia muncrat duluan diiringi erangan tertahan. Lalu menyusul milikku yang muncrat dalam genggamannya. Setiap semprotan yang keluar kami iringi dengan hentakan pinggul karena rasa nikmat yang luar biasa. Ia berusaha meredam ekspresi puncak birahinya dengan cara menekan mulutnya di bahuku sementara aku menenggelamkan wajahku di lehernya. Tangan kami saling berusaha menekan pantat agar makin merapat. Kurasakan titik pusat pertemuan di selangkangan kami makin terasa licin oleh campuran sabun dan air mani. Sesekali di sisa-sisa puncak kenikmatan, aku dan dia masih saling menggesek. Rasa geli yang muncul sesekali menimbulkan desiran dan membuat tubuh kami bergetar.

Ada beberapa saat kami masih saling berdekapan di dinding kamar mandi, sebelum akhirnya membasuh badan dan menyelesaikan mandi. Aku yang pertama kali keluar dari kamar mandi, sekedar untuk melihat situasi di luar, apakah ada teman kos atau tidak. Begitu suasana kulihat aman, aku segera memberitahu Hasbi untuk segera ikut keluar.

Sesampai di kamarku, kami langsung berganti pakaian dan segera keluar untuk cari makan malam. Hasbi berniat menginap. Tentu saja aku senang. Selesai makan, kami ngobrol-ngobrol santai sambil nonton TV. Kurang lebih jam 10 kulihat ia sudah molor di sampingku. Mungkin capek setelah melakukan perjalanan dengan bis antar kota yang makan lebih dari setengah hari. Mungkin juga capek oleh acara di kamar mandi tadi.

Ia tidur memakai celana pendek dan kaos milikku. Kuamati tubuhnya. Ia memang nampak lebih berisi. Perutnya tampak penuh, bergerak seiring dengkurnya yang halus. Dengan celana pendek yang dipakainya, pahanya yang penuh bulu itu terlihat padat kokoh. Wajahnya teduh. Meskipun ia agak 'berantakan' dengan cambang dan brewoknya yang sudah seharusnya dicukur. Dan ketika aku melihat kumisnya, kembali ada dorongan untuk menciumnya. Tapi aku tak yakin, meski tanganku pelan-pelan mulai menyentuh bibirnya. Kurasakan hembusan hangat dari hidungnya. Ia tak bergeming, bahkan ketika kubelai kumisnya. Aku sempat menarik nafas, sebelum akhirnya kuberanikan diri mencium bibirnya.

Ada beberapa detik bibir kami bertemu. Ia tetap tak bergeming, sampai akhirnya ia mendesah dan aku segera melepas ciumanku. Aku takut ia tak berkenan. Tapi kulihat matanya tetap terpejam, hanya bibirnya sedikit bergerak-gerak seperti orang tengah mengecap sesuatu. Lalu kembali terlelap. Aku mematikan lampu dan menyusul tidur.

Subuh. Udara dingin. Kurasakan ada tangan kokoh memelukku dari belakang. Sesaat kemudian aku sadar kalau Hasbi menginap. Dan kini ia tengah mendekapku. Kurasakan hembusan nafasnya di leherku. Mungkin ia memelukku tanpa sadar, mengira aku guling. Kudengar ia masih mendengkur pelan. Di luar masih gelap. Udara dingin subuh tampaknya telah membuat Hasbi mempererat dekapannya. Kakinya melingkar di pinggulku dari arah belakang. Dan sebuah benda padat agak kenyal terasa menekan bukit pantatku. Aku terangsang. Punyaku yang sudah bangun pagi itu jadi makin menegang. Apalagi tonjolan miliknya itu makin lama kurasakan makin mengeras menekan. Sesekali aku pura-pura menggeliatkan pinggulku sekedar untuk membuat gerakan menggesek. Tanpa sadar, Hasbi makin mempererat dekapan dan belitan pahanya ke tubuhku, seolah takut 'guling'-nya lepas. Setelah beberapa kali melakukan manuver itu, Hasbi akhirnya terbangun dan agak kaget menyadari ia tengah memelukku dari belakang.

"Sorry.." ujarnya pendek sambil menarik tangan dan kakinya yang tadi membelitku.
"Ehh.. sudah bangun?" balasku seolah-olah aku juga baru terbangun."Ada apa?" lanjutku pura-pura tak tahu.
"Nggak. Dingin aja," sahutnya pendek.
"Sama," kataku sambil memegang pinggangnya.

Ia diam saja, tapi kemudian pura-pura memukul perutku. Kupegang tangannya. Ia mengelak, dan kemudian malah melingkarkan tangannya. Memeluk tubuhku. Lalu kubalas pelukannya. Sesaat kemudian kami saling mendekap, saling mengelus punggung, makin dekat, makin erat. Lalu tiba-tiba tubuh kami sudah saling tindih, saling menggesek dalam dinginnya udara subuh.

Kudengar ia mulai mengeram pelan setiap bagian depan tubuh kami bersentuhan. Tak jarang ia membuat gerakan menekan, sehingga aku bisa merasakan kalau kemaluannya sudah mengeras. Ada beberapa saat kami bergelut dengan cara seperti itu. Sampai akhirnya kucoba menelusupkan tanganku ke celana pendeknya. Ia mendengus merasakan genggamanku. Ia lalu membalas. Maka acara pun berganti menjadi acara saling meremas.

Ia yang pertama kali menarik lepas celanaku, lalu menelanjangiku sebelum ia sendiri melepas seluruh pakaiannya. Oh, akhirnya kudapatkan laki-laki ini. Semua yang diinginkannya kini adalah mengajakku main sex pagi ini. Menyalurkan hasratnya yang sejak selama ini terus kupancing untuk dilampiaskan padaku.

Tubuh bugilnya langsung menghimpit tubuhku. Menekan dan menggesek-gesek. Sesekali ia menyelipkan kontolnya ke celah pahaku yang basah oleh keringat. Lalu tubuhnya menyentak, menyodok-nyodok. Kasar sekali.

"Masshh.." bisikku ke kupingnya, "Pelan-pelan.."
"Hheehh.." ia hanya mendengus lalu kembali menggeluti tubuhku.

Sejenak kemudian kuputar tubuhnya sehingga gantian aku yang menindihnya. Nafasnya menderu penuh nafsu. Perutnya yang penuh bulu itu tampak basah berkeringat. Kugenggam batang kemaluannya dan kukocok pelan-pelan. Ia mulai menggelinjang. Keenakan.

"Isapp.. Mass.." rintihnya tiba-tiba. Lalu kudekati wajahnya yang menegang penuh nafsu itu.
"Cium dulu.." kataku mencoba bernegosiasi.

Kudekatkan bibirku ke bibirnya. Sejenak kami saling bertatapan, sebelum akhirnya ia membuka bibirnya untuk kucium. Kucari cara agar ia benar-benar bisa menikmati ciuman antar lelaki ini. Kujilati dan kukulum bibirnya, kumasukkan dan kumainkan lidahku ke mulutnya, kucium ia dengan mesra, liat, bergantian. Dan ketika lidahnya kurasakan mulai mencoba masuk ke mulutku, aku merasa berhasil membuatnya menikmati ciuman dengan seorang lelaki.

Setelah puas berciuman, aku langsung menuju ke bawah untuk memenuhi keinginan oral seks-nya. Tubuhnya langsung menggeliat. Kedua kakinya meregang lebar-lebar, sehingga kepalaku leluasa menyelip. Kupegangi kedua pahanya dan kubenamkan wajahku ke selangkangannya. Bau tubuhnya yang segar langsung menyergap. Bulu kemaluannya yang lebat pun langsung menyeruak menggelitik hidung dan pipiku. Aku menghisap dan terus menghisap. Entah berapa banyak air liurku berlelehan di sekujur kontolnya. Sesekali kuusap dan kuremas kantung pelirnya dan kupermainkan tonjolan bijinya. Ia tersentak dan mengerang setiap kulakukan itu. Aku berharap ia tak segera ejakulasi, karena sebenarnya aku belum puas melamuti kontolnya. Tapi ketika aku mencoba menarik mulutku, tangannya langsung menekan kepalaku. Dan aku pun akhirnya harus menyelesaikan semuanya sampai ia orgasme. Spermanya sengaja kubiarkan menyembur ke dalam mulutku, berkali-kali. Baunya khas dan terasa masih segar di pagi hari ini. Usai pelepasan hasrat birahi itu, tubuhnya langsung menggelosor penuh kepuasan.

Beberapa saat kemudian kutindih tubuhnya. Tapi ia mengelak dan bergantian menindihku. Kurasakan tangannya menggenggam milikku. Meremas dan sesekali mengocoknya. Mata kami sempat bertatapan lama. Pandangannya sayu. Mungkin karena sisa orgasmenya masih ia rasakan. Sementara aku hanya diam menatapnya. Mataku meminta ia melakukan sesuatu padaku. Aku ingin tuntas. Mudah-mudahan ia mengerti maksud tatapanku.

"Kenapa?" tiba-tiba ia menanyaiku dengan mimik kocak. Mungkin ia menangkap tatapanku yang rada aneh.
"Jangan cuma dikocok dong..," balasku sambil mengelus tangannya yang masih terus memegangi milikku.
"Terus diapain?" sahutnya.

Aku ragu menyampaikan keinginanku. Tapi melihat sikapnya yang agak santai, aku akhirnya meminta ia untuk memilih: melakukan oral atau anal seks untukku. Kulihat wajahnya agak ragu, menimbang-nimbang. Sesaat kemudian ia tersenyum nakal ke arahku.

"Punya pelumas nggak?" tanyanya.

Rupanya ia memilih untuk menyetubuhiku saja. It's all right. Mungkin ia berpikir bahwa perbuatan itu tak ubahnya persenggamaan normal dengan perempuan. Sementara oral seks terhadap laki-laki mungkin sesuatu yang masih aneh buat dia.

"Sudah pernah?" tanyaku sambil menyerahkan sebotol kecil baby oil padanya. Ia menggeleng dengan mimik yang lucu.
"Tapi saya tahu caranya..," ujarnya sambil mulai mengoleskan cairan licin itu ke sekitar anusku.

Ia seorang pemijat. Ia tahu tahu apa yang harus diperbuat. Sejenak saja celah anusku telah digarap oleh jari-jarinya. Aku pasrah saja. Bahkan ketika ia mulai melakukan penetrasi. Semuanya berjalan lancar karena celahku bukan sekali ini saja dimasuki batang laki-laki.

Gerakannya lembut. Sepertinya ia tengah menikmati sebuah sensasi baru. Posisi kami yang saling berhadapan memungkinkan mata kami saling bertatapan. Kulihat ia mulai mendesis dan sesekali melenguh kenikmatan. Aku pun mulai kenikmatan dengan sodokan-sodokannya yang lembut dan ritmis. Akhirnya kami saling memacu dengan nafas yang makin lama makin menderu. Dan ketika ia menyambar kontolku dan mulai mengocoknya, aku merasakan sebuah kenikmatan yang sangat tinggi. Sampai akhirnya pejuhku muncrat berhamburan membasahi perutnya. Dan beberapa saat kemudian ia pun mencapai puncak kenikmatannya dengan membenamkan batang kemaluannya sedalam-dalamnya, memeluk tubuhku dan menggigiti bahu kananku. Aku yakin ia telah bisa menikmati semua ini. Menikmati hubungan sesama lelaki. Memang semua ini baru awal. Tapi aku yakin akan ada kesempatan bagi kami berdua untuk ketemu dan melakukan semua ini di hari-hari selanjutnya.

Keringat berlumuran di tubuh kami berdua. Hawa kamar rasanya panas sekali. Padahal di luar pagi masih sangat dini. Masih subuh, dan cahaya matahari sama sekali belum muncul. Tapi hari ini rasanya aku telah mendapat sebuah matahari baru yang lebih hangat dan terang dalam kehidupanku.

Tamat

Ketika aku mencoba membuka mata, tiba-tiba wajahnya menutupi wajahku dan sebuah sentuhan mengenai bibirku, membuatku kembali memejam. Sentuhan itu kemudian menjadi sebuah lumatan. Dan lumatan itu menjadi sebuah ciuman yang mengantarku pada hasrat birahi yang menuntut untuk dipenuhi. Apalagi ketika kurasakan tangan Om Wi' sudah menelusup masuk di sela karet celana dalamku. Dan mulai meremas-remas di sana.

Aku pun terpengaruh oleh ulahnya. Kujulurkan tanganku untuk melepas simpul sarungnya. Dan ketika tanganku merogoh ke dalam, dapat kurasakan bahwa Omku tidak memakai apa-apa lagi di balik sarungnya. Maka kuremas semua yang dapat kuremas. Kupilin-pilin layaknya mainan yang terbuat dari karet.

Tangan Om Wi' lalu mencoba merebahkan tubuhku dari pelukannya. Kemudian dengan tanpa meminta ijinku lagi, ditariknya celana dalamku ke bawah. Dan mulutnya langsung menyergap. Membuatku terhenyak karena tidak siap dengan serangannya itu. Sesaat kemudian aku hanya dapat merintih dan memegangi kepalanya yang tenggelam di bawah perutku. Tangan Om Wi' dengan sengaja mencengkeram kuat pangkal kemaluanku, sehingga membuat batang dan kepala penisku makin mengeras, dan menyebabkan bagian itu makin sensitif ketika dihisap.

Malam ini aku pasrah. Aku pasrah dengan apa yang akan dilakukan Om Wi' padaku. Beberapa penggalan ceritanya tadi siang mulai berloncatan kembali dalam ingatanku. Mulai dari pengalaman oral hingga anal seks. Akankah ia memberiku pengalaman itu malam ini?

Pertanyaanku terputus oleh sebuah benda lembut dan basah yang tiba-tiba menyerang tulang periniumku, bagian padat yang ada di bawah kantong pelir. Benda basah itu lalu meluncur dan menjilat-jilat ke bawah dan berakhir di celah bawah tubuhku. Rasa geli langsung menjalar ke seluruh syarafku. Membuat tubuhku melenting dan menimbulkan teriakan yang tidak dapat lagi kutahan. Air mataku sampai keluar merasakan kenikmatan yang tidak terperi ini. Oohh..!

Tangan Om Wi' berusaha menggapai ke atas untuk menutup mulutku agar tidak berteriak. Tapi aku malah melahap tangan itu dan kuhisap jari-jarinya dengan penuh nafsu. Dalam bayanganku aku terasa menghisap punya Om Wijoyo. Dan inilah yang kemudian memberiku inspirasi untuk berbuat lebih jauh padanya.

Kudorong kepala Om Wi' untuk menyudahi kegiatannya di bawah dan kemudian ia berguling lalu telentang di sampingku. Entah sejak kapan sarungnya mulai terlepas. Yang kutahu kini di hadapanku tubuhnya sudah telanjang total. Dan segera kugenggam batang kemaluannya yang tegang membesar itu. Benar-benar besar. Tanganku terasa penuh menggenggamnya. Lalu tanpa sungkan-sungkan lagi mulutku mulai melahap.

Inilah oral seks pertamaku! Not bad! Dan kini aku bagai seorang keponakan yang tengah menikmati es lilin yang diberikan oleh Omnya. Sekujur benda bulat panjang itu tidak sesenti pun luput dari hisapan dan lumatanku. Beberapa otot kulihat menyembul dan melingkar pada batang kemaluan itu. Membuatnya terlihat kokoh dan, tiba-tiba dalam satu gerakan cepat, Om Wi' memutar tubuhnya dan ah..! Ia mengarahkanku untuk bermain dalam posisi yang selama ini hanya dapat kunikmati dalam film porno, sixty nine! Sebuah posisi yang sangat sensual dalam permainan seks. Dan kini, malam ini aku menjalani permainan itu di bawah bimbingan Omku.

Dalam posisi merangkak, aku dapat dengan leluasa menikmati batang kemaluan Om Wi'. Bagian kepalanya yang membulat licin tampak semakin mengkilap oleh ludah dan air liurku yang entah sudah berapa kali terjilat ke sana. Lubang kecil di ujungnya merembes air bening, precum yang terasa asin dan agak lengket. Jumlahnya cukup banyak untuk ukuran precum. Barangkali ia sedang di puncak nafsunya. Atau barangkali karena kuatnya rangsangan mulut yang kuberikan.

Aku sendiri sesekali harus melepas kulumanku, karena konsentrasiku terganggu oleh mulut Om Wi' di bawah sana. Ia tidak hanya menelan batang kemaluanku, tapi juga menjilat dan mengulumi kedua 'telor'-ku, bergantian. Lidahnya yang tebal dan agak kasar itu terasa sekali geserannya, sesekali ditimpali dengan tusukan-tusukan tidak sengaja dari bulu kumisnya. Membuatku merinding karena rasa geli-nikmat yang ditimbulkannya.

Akhirnya konsentrasiku untuk oral seks benar-benar buyar ketika mulut dan lidah Om Wi' mulai merambah sela pantatku. Aku masih dalam posisi merangkak, tapi kepalaku sekarang mendongak demi merasakan apa yang dilakukan lidah dan mulutnya di bawah sana. Aku tidak dapat menceritakan di sini, betapa alat pelepasanku ternyata sangat sensitif dan menimbulkan rasa sangat nikmat bahkan oleh sentuhan lembut sebuah lidah. Aku tidak dapat membayangkan bila yang melakukan adalah sesuatu yang lebih dari sebuah lidah. Inilah 'pelajaran' ke sekian yang diajarkan Om Wi' dalam waktu tidak kurang dari dua puluh empat jam ini. Dan aku memastikan bahwa ia akan memberiku pelajaran baru berikutnya, dan kurasa dengan senang hati aku akan menerimanya.

Ketika dirasa aku sudah siap untuk menerima pelajaran berikutnya, Om Wi' dengan lembut membaringkan tubuhku telentang. Sejenak ia menatapku sebelum menyampaikan sebuah tawaran apakah aku mau 'dimasukinya'. Aku diam, tidak mengatakan apa-apa, tapi aku yakin, dengan sorot mataku Om Wi' dapat menangkap bahwa aku tidak menolak tawaran itu. Maka ia mulai melipat kakiku ke atas sehingga pahaku terkuak cukup lebar dan ia mengarahkan 'meriam' kecilnya ke sana.

"Kalau sakit, bilang..," katanya setengah berbisik sambil tangannya mulai menggelitik dan melumasi celah pantatku dengan air liurnya.
Dan ternyata, aku memang merasa kesakitan ketika Om Wi' melakukan penetrasi. Sebenarnya aku tadi masih sempat merasakan nikmatnya sentuhannya ketika bagian kepalanya mulai menembus. Namun ketika bagian batangnya mulai menelusup, aku merasakan rasa nyeri.
"Sakit Om..," bisikku hampir tidak terdengar.
Dan ia langsung menghentikan tusukannya.

Om Wi' lalu mencabut kepala kemaluannya dan langsung memelukku, seolah ingin meredakan rasa nyeri yang baru saja kurasakan.
"Ya sudah, kalau kamu belum siap. Nggak pa-pa.." sambil menciumi pipiku.
"Sorry, Om," aku merasa kasihan dengan keinginannya yang tidak terpenuhi.
"It's OK," sahutnya sambil menggulingkan badannya sehingga kini aku berada di atasnya.

Untuk beberapa saat kami terdiam saling pandang.
Lalu, "Hendro mau mencoba..?" tanyanya kemudian sambil membelai kepalaku.
Aku agak kurang paham dengan maksudnya. Tetapi ketika ia memberiku isyarat tertentu, aku mengerti apa yang ia tawarkan padaku, aku diminta untuk 'menidurinya'!

Dari cerita Om Wi' tadi siang, ia memang pernah punya pengalaman tidak hanya 'meniduri' pria, tetapi juga 'ditiduri'. Sebenarnya sulit bagiku membayangkan lelaki gagah seperti dia ditiduri oleh sesama lelaki. Apalagi kini ia meminta aku yang melakukannya.

"Gimana? Belum siap juga?" tanyanya lebih lanjut ketika melihatku diam tidak menjawab.
Aku tidak tahu apakah ini juga bagian dari 'permintaan tolong'-nya ataukah ia ingin memberiku pelajaran baru lainnya. Tapi bagaimana pun tawaran itu memang sulit untuk kutolak. Lebih-lebih dalam kondisi seperti malam ini yang penuh dengan atmosfir birahi. Dan aku toh memang sudah 'jatuh cinta' dengan Omku sendiri.

Tawaran Om Wi' tidak kujawab dengan kata-kata, tetapi dengan sebuah ciuman. Ia membalas. Dan kami pun lalu bergumul dengan penuh nafsu. Om Wi' berusaha untuk memposisikan dirinya untuk selalu berada di bawah. Kedua kakinya yang kokoh itu terus membelit dan menjepit pinggulku. Seolah ingin agar aku terus menindihnya.

Om Wi' lalu memintaku untuk merangsang celah pantatnya. Dan tanpa dikomando untuk kedua kalinya, aku menelusupkan jariku ke sana dan mulai merangsangnya dengan bantuan ludahku sendiri. Terasa celah itu memang lebih lentur meskipun aku tidak yakin apakah ukurannya cukup untuk 'ditembus'. Om Wi' sendiri tampaknya masih merasa perlu dipersiapkan, mengingat ia memang sudah lama tidak pernah melakukan itu.

"Pakai jari tengah..," ia terus menuntunku dengan setengah berbisik, sementara tangannya kulihat mulai mengocok-ngocok penisnya sendiri.
Nada suaranya menunjukkan kalau ia sedang menahan gejolak. Ia menahan napas ketika jari tengahku mulai menelusup memasuki liangnya. Mulutnya meringis ketika jariku mulai bergerak memutar dan menggelitik dinding liang yang lembut dan mulai melentur itu. Dalam posisi telentang dan kedua lutut menekuk, ia mulai menggerak-gerakkan pantatnya mengikuti arah gerak jari tengahku. Sementara kedua pahanya makin lama terpentang makin lebar.

Ada beberapa menit aku melakukan rangsangan, dan kemudian, "Masukin sekarang Hend..!" kalimatnya terdengar serak menahan birahi yang sudah memuncak.
Dan aku menuruti kemauannya dengan mulai mengambil posisi berlutut di tengah bentangan kakinya. Pelan-pelan kuangkat dan kudorong pahanya ke depan, sehingga celahnya tepat berada di depan moncong 'meriam'-ku. Lalu kuarahkan senjataku dan pelan-pelan aku mulai menekan. Om Wi' membalasnya dengan menaikkan pantatnya lebih tinggi, seolah tidak sabar ingin segera 'melahap'.

Sementara aku terus memberi tekanan dan kukombinasikan dengan gerakan mengulir, sehingga secara perlahan tapi pasti kepala kemaluanku mulai menembus gerbang kenikmatannya. Dan ia semakin bernafsu untuk membantu usahaku dengan menggoyangkan pinggulnya seolah ingin menyedot yang masih tersisa. Sejenak aku merasakan syaraf kepala kemaluanku berdesir-desir oleh jepitan liang yang lembut dan hangat. Mulut Om Wi' pun kulihat mulai mendengus menikmati tusukan perdana itu. Sejauh ini ia tidak menampakkan kesakitan. Maka aku pun lalu melanjutkan 'pengeboran'-ku dengan konsentrasi penuh.

Dan ketika sepertiga batangku sudah mulai menelusup masuk, Om Wi' mulai sedikit meringis kesakitan. Tetapi ia melarangku ketika aku ingin menariknya keluar.
"Terusshh..," desahnya menyemangatiku.
Dan aku kembali memberi tekanan. Kali ini agak kuat, sambil sesekali bergerak memutar, mengulir, dan akhirnya amblaslah seluruh batangku ke liang pelepasan milik lelaki yang selama ini kupanggil Om. Ringis kesakitan di mulutnya kini telah berubah menjadi senyum kepuasan, karena ia telah berhasil 'menelan' semua punyaku.

Ada beberapa saat kami diam tidak bergerak, menikmati penyatuan yang baru pertama kali terjadi. Kurasakan batang kemaluanku seperti digenggam dan dipijat-pijat oleh tangan sutra yang lembut dan hangat. Ada rasa geli yang amat sangat sehingga kerap membuat badanku bergidik. Apalagi Om Wi' pelan-pelan mulai menggerakkan otot cincinnya, membuat batangku terpijat-pijat keenakan. Ada beberapa saat kami saling mengatur napas masing-masing untuk meresapi semuanya sekaligus bersiap-siap melanjutkan penyatuan ini.

Aku tidak boleh diam dan harus segera merespon semua itu agar dapat mengatasi desiran-desiran yang terus muncul di sekitar selangkanganku. Maka aku pun mulai melakukan gerakan sebagaimana layaknya orang senggama. Dan Om Wi' tampak senang dengan apa yang kulakukan. Ia pun merespon tusukanku dengan goyangan pantatnya.

Sesekali ia mengerang tertahan bila tusukanku berubah menjadi sebuah hujaman. Dan makin lama hujaman itu makin kerap kulakukan, sehingga membuatnya menggeliat tidak terkendali. Aku pun berkali-kali menggelinjang dan merintih-rintih oleh kenikmatan anal seks yang baru pertama kali ini kulakukan.

Ayunan demi ayunan terus kulakukan di atas tubuh Om-ku. Aku tidak perduli lagi apakah ia kesakitan atau kenikmatan setiap kali pinggulku mengayun maju untuk menghujam liangnya. Yang kurasakan hanya aliran rasa enak yang mengumpul di pangkal kemaluanku yang makin lama jumlahnya makin banyak dan pada waktunya nanti pasti akan membludak dan berujung pada sebuah ledakan lahar panas.

Orgasmeku terpaksa harus datang terlalu cepat. Aku sudah tidak tahan lagi menahan semua desakan kenikmatan itu. Om Wi' lalu memintaku untuk mencabut batangku dan mengeluarkannya di luar. Ia pun segera menyambar milikku dan mengocoknya kuat-kuat, dan beberapa saat kemudian cairan putih kental menyembur dari ujung kemaluanku menyemprot dada dan perutnya banyak sekali. Aku hanya dapat berlutut dan menggeliat-geliat merasakan puncak birahi yang sangat nikmat ini, sebelum akhirnya aku tumbang di sisi tubuhnya.

Beberapa saat kemudian kulihat Om Wi' mulai melakukan onani dengan pelumas air maniku yang tadi tumpah di atas perutnya. Aku berusaha membantunya, tetapi ia menolak dan menyuruhku untuk merangsang lubang anusnya saja. Maka aku pun mulai menelusupkan jari tengahku ke sana dan merangsangnya habis-habisan. Sementara ia terus mengocok-ngocok sendiri batang kemaluannya yang terlihat makin kencang dan agak kemerahan.

Kepala kemaluannya tampak mengkilap menandakan banyaknya darah birahi yang mengalir ke sana. Menandakan ia sebentar lagi akan memuntahkan laharnya. Nampak sekali Om Wi' menikmati masturbasinya sambil aku merangsang liang anusnya. Entah berapa kali ia menyentak-nyentakkan pantatnya seolah menginginkan agar jariku menusuk lebih dalam lagi.

Dan akhirnya malam itu kamarku dipenuhi oleh rintihan kenikmatan Om Wi' ketika air maninya muncrat tidak terkendali. Tubuhnya menggeliat tidak karuan sambil memegangi tanganku yang jarinya masih terjepit di liang anusnya. Aku tidak tahu apakah ia memintaku mencabutnya atau justru menahannya untuk tetap tertancap di situ. Tapi apapun yang ia inginkan, aku terus mengulir-ulirkan jari tengahku di sana untuk menambah puncak rasa nikmatnya.

Keringat kini tidak hanya membasahi punggungnya saja, tetapi seluruh tubuh telanjangnya. Dan beberapa saat kemudian aku menindihnya dan memberinya sebuah ciuman yang dalam dan lama. Malam itu kami akhirnya terkapar tidur tidak ingat apa-apa lagi, tidak hirau dengan ranjang, sprei, bantal dan guling yang berserakan. Dan kami juga tidak perduli dengan membanjirnya keringat di tubuh kami, dan membiarkannya mengering dengan sendirinya.

Demikianlah, perkenalan pertama dengan dunia Om-ku, Om Wijoyo. Sepanjang liburannya di kotaku itulah kami selalu menyempatkan diri untuk bermesraan, dan beberapa kali bermain cinta. Dan ketika liburan Om Wi' berakhir, kami harus berpisah, meski untuk sementara waktu. Bagaimana pun ada rasa sedih ketika mengantarnya pulang. Bahkan mata Om Wi' sempat membasah waktu memelukku ketika akan naik ke pesawat. Dia sangat mengharapkan aku untuk main ke rumahnya di Yogya. Entah kapan aku dapat menuruti keinginannya yang kini juga telah menjadi harapanku, karena masih ada satu pelajaran lagi darinya yang aku belum lulus menjalaninya.

TAMAT

love I get so lost, sometimes days pass and this emptiness fills my heart
when I want to run away I drive off in my car
but whichever way I go I come back to the place you are

all my instincts, they return and the grand facade, so soon will burn
without a noise, without my pride I reach out from the inside

in your eyes the light the heat
in your eyes I am complete
in your eyes I see the doorway to a thousand churches
in your eyes the resolution of all the fruitless searches
in your eyes I see the light and the heat
in your eyes oh, I want to be that complete
I want to touch the light the heat I see in your eyes

*****

"In your eyes" beralun perlahan dari broadcast yang entah apa namanya. Suara Peter Gabriel seolah melingkar-lingkar dalam kamar. Aku terbangun mendapati Kenji yang sedang komat-kamit ikut melafalkan syairnya dengan mata terpejam. Gerakanku meluruskan kaki dibawah selimut sambil memutarkan tubuh menatap langit-langit kamar 1803 hotel, Shiba Yayoi Kaikan tidak juga mengusiknya.

*****

love, I don't like to see so much pain
so much wasted and this moment keeps slipping away
I get so tired of working so hard for our survival
I look to the time with you to keep me awake and alive

and all my instincts, they return and the grand facade, so soon will burn
without a noise, without my pride I reach out from the inside

*****

Aku coba memejamkan mata dan mencari sepasang mata entah milik siapa dalam benakku. Perlahan-lahan aku bersenandung pelan mengikuti..

*****

..
..
oh, I want to be that complete
I want to touch the light,
the heat I see in your eyes
in your eyes.. in your eyes..
in your eyes.. in your eyes..
in your eyes.. in your eyes..

*****

Ahh.. beberapa wajah datang berganti.. berpendar-pendar.. merah.. biru.. kuning.. ungu.. Aku seolah terperosok dalam lubang masa lalu yang penuh dengan rasa yang sulit aku mengerti. Ahh.. betapa indahnya jika dikelelilingi oleh pasangan mata yang selalu tersedia sorot kasih dan kelembutan dalam bening bola-bola mata yang begitu lekat terukir di hati.. Kembali satu per satu wajah yang begitu aku kenali menari-nari di dalam sanubari. Hidup ini memang sulit ditebak. Kadang garis tangan memimpin kita ke arah yang tidak terduga. Dan semua rancangan kebahagiaan, sangat sering berada diluar kekuasaan dan kemampuan perencanaan yang kita susun.

"What's on your mind Bear?" Suara Kenji setengah berbisik melenyapkan sosok-sosok yang berpendar-pendar tadi. Aku menggelengkan kepala sambil tetap memejamkan mata. Aku tak punya jawaban untuk pertanyaan itu. Kala terasa tangan yang kekar dan hangat membelit dadaku dan menarik kepalaku sehingga aku terpaksa miring kearah Kenji dan tenggelam dalam dekapannya yang hangat. Aku hanya dapat merasakan kehangatan pundak dan leher yang membenamkan wajahku membaui aroma yang sangat akrab Gucci Envy. "Do you miss him, Bear?" Suara Kenji serak diatas ubun-ubunku. Nafasnya terasa menerbangkan beberapa helaian rambut di kepalaku.

Aku mengangkat kepala dan menatap mata Kenji yang menatap lembut setengah terpejam. Sorot mata itu seolah membelai dengan pengertian dan kesungguhan yang tulus. Ahh.. mata itu selalu berbicara dengan bahasa yang paling dalam dengan kehalusan yang sulit aku pahami. Tanpa sadar aku menggeleng yang entah untuk apa. Namun saat ini yang aku inginkan adalah membenamkan diri dalam kelembutan kasih yang terpancar di mata yang teduh itu. Aku meringkuk ke dalam pelukannya dan Kenji segera mengetatkan rangkulannya dan membuai dengan gerakan yang berirama. Kami sama-sama diam dan menikmati ayunan yang refleks bergoyang perlahan dalam tempo yang tetap.

Aku rasa tidak perlu ada sepatah kata yang hanya merecokin bathin kami yang sedang berdialog dalam diam. Oh God, saat-saat semacam ini adalah saat yang paling aku rindukan. Saat-saat dimana aku menyadari sepenuhnya bahwa aku tidak sendirian. Bahwa ada seseorang disini yang hadir untukku dalam bad time or good time. Ahh.. bisakah jarum jam membeku beberapa hitungan hari, di saat-saat seperti ini, demi aku? Sejuta kata cinta tidak lagi diperlukan saat ini.. Kadangkala bahasa mata dan tubuh speak louder and deeper than words can say. So, I prefer to see love than to hear it any day.

Sementara malam makin turun di luar. Hujan yang tadinya meluluh-lantakkan kota Tokyo telah lama berlalu. Aku dapat melihat melalui jendela lampu-lampu yang menghiasi Hama-Rikyu Garden yang letaknya di seberang Hotel Shiba Yayoi Kaikan. Di sebelah kanan hotel nampak sejumlah orang yang secara sporadis masih menyusuri Takeshiba New Pier di pesisir Tokyo bay. Jauh di seberang terlihat lampu warna-warni dari Tokyo Central Wholesale Market dan Shin-Ohashi Dori Ave. dan Harumi-Dori Ave dengan latar belakang arsitektur klasik dari Tsukiji Honganji Temple. Tepat beberapa meter di depan hotel Shiba Yayoi Kaikan terlihat air Sumidagawa River yang memantulkan kilauan emas dan perak dari lampu-lampu di sepanjang pier. Sayang Rainbow Bridge dan Tokyo Harbor Cross Bridge tidak terlihat dari kamar kami karena letaknya di bagian belakang kamar.

Saya sungguh mengagumi Rainbow Bridge setiap kali across ke Yokohama. Dari jembatan raksasa ini pemandangan benar-benar indah. Keindahan kota Yokohama sangat spectaculer dilihat dari Rainbow Bridge, demikian juga Daiba Seaside Park yang terletak jauh di bawah Tokyo Harbor Cross bridge. Di sebelah kanan jika kita menuju Yokohama. Kenji sengaja memilih tempat ini agar aku bisa menikmati pantai dan laut yang merupakan tempat terfavorit-ku.

Tak sadar aku menarik napas panjang seolah ingin menyimpan semua keindahan di luar dan kehangatan suasana hati ini sampai kapan pun. Musik mengalun lembut dari radio yang kini memutar satu nomor dari Misia, penyanyi cewek Jepang yang aku paling demen dengan lagu "Everything", yang beberapa tahun lalu masuk daftar hits di Jepang ketika aku masih belajar di Nagoya. Suara Misia fade away dengan pasti dan kini berganti dengan Deep Purple yang "merintih" dengan "Soldier of Fortune". Kenji dan aku sama-sama tetap sibuk dalam diam.

Entah apa yang ada dalam pikiran Kenji saat ini, namun aku sendiri males untuk memikirkan tentang apapun juga. Aku membiarkan pikiranku didominasi oleh 'rasa' yang saat ini mewarnai nuansa dalam kamar dengan sentilan-sentilan tegas penuh warna-warni sendu. Ahh.. kok suasana jadi berubah cengeng begini? Tiba-tiba nada-nada menggelitik yang lincah terbang keluar dari radio dan meluberkan suasana yang moody-blue. Paul Anka dengan Puppy Lovenya, "Diana"!

*****

I'm so young and you're so old
'tis my darling I've been told
I don't care just what they say
'coz forever I will pray..

*****

Aku menghentak-hentakan kaki sambil mengetukkan jari mengikuti beat yang riang. Kenji mengiringi dengan suara "duu.. duu.. du.. du.. duu.." style backing vocal pro. Tak mau kalah aku timpali dengan "wuaapp.. dwaapp.. dwaapp.. dwaapp.." Suasana jadi berubah ramai dan lucu.

"Can you dance Jive, Sweety?" Kenji tiba-tiba bertanya
"Oh sure.. I'm the good dancer". Aku menjawab mantap
"Really??"
"Yeahh.."
Kenji melompat turun dar tempat tidur dan melucuti bed cover yang aku selimuti.
"Come on, teach me how to dance jive". Sambil mengkilik-kilik telapak kakiku.

Mau tak mau aku juga turun dari bed dan berharap bisa menunjukkan penampilan terbaikku dengan coda dari "Diana" yang terus fade away. Kenji mencoba mengikuti namun beberapa kali aku yang kehilangan keseimbangan karena dia tidak dapat mengikuti step-step kakiku yang agak cepat selain harus berputar kadang 90 derajat atau bahkan 180 derajat sambil kaki silang menyilang sana-sini. Akhirnya dia hanya berdiri dengan tersenyum dan memandangiku menunjukkan langkah-langkah dasar jive dan se-sekali variasi antara jive dan rhumba yang aku coba dengan tubuh yang mulai tambun.

Suara Paul Anka lewat aku ngos-ngosan dengan tubuh hangat berkeringat. Lumayan buat practice aerobic yang for years sudah tidak pernah aku lakukan lagi. Ketika Kenji memberikan standing applaus saya bersandar kelelahan di depan jendela kamar, mengatur irama napas yang tidak beraturan. Di luar hanya ada malam yang gemerlap dengan lampu-lampu jalan. Sekali-sekali ada sorot lampu mobil yang bergerak menerobos keremangan di sekitar pier. Kenji mendekat dan mengelap keringatku yang berceceran di pelipis dan tengkuk dan membantu melepaskan kaus oblong putih yang sudah menjadi transparan menempel di badanku karena keringat yang membanjir.

"Don't move Bear, let me dry up your wet back" kata Kenji sambil mengedipkan matanya.
"Ok" aku mengangguk sambil memandang lurus keluar jendela. Dan Kenji mengeringkan kucuran keringat di punggungku dengan bagian depan tubuhnya yang tanpa baju. Aku merasakan tubuhnya yang hangat merapat dan tanpa rasa sungkan bibirnya menyusuti keringatku yang mengembun di leher dan pundakku. Aku merasa risih dengan the way he kissed away my sweaty body. Tanpa sadar aku menggerakkan punggungku menjauhi bibirnya.
"No, please relax and enjoy it Bear" pinta Kenji dengan hunjaman bola matanya yang redup.

Namun aku tetap merasa rikuh dengan caranya. Ketika dia bersikeras dengan isyarat matanya, sebelum memunggunginya, aku membersihkan sekujur bibirnya yang basah oleh keringatku dengan bibirku (tentu saja). Seolah memahami perasaanku, Kenji tersenyum dan membalas dengan lembut. Tubuhku kemudian diputar kembali membelakanginya, dan aku merasakan sensasi yang dahsyat kala bibir dan lidahnya mulai menjelajahi seluruh bagian dari leher, pundak dan punggungku yang terbuka. Napasku yang tadinya berangsur kembali normal, kini kembali memburu.

Kedua tanganku diangkat ke atas, sejajar dengan kepalaku dan disandarkan pada kaca jendela. Kini dengan leluasa He run his fingers over my chest and stomach while kissing and sometime giving a little naughty bite on my back. Aku tak lagi ingat atau mendengarkan lagu apa yang kini giliran diputar oleh radio yang belum dimatikan. Yang tedengar hanyalah erangan kecil dan geliat yang menggerakanku atas reaksi bibir dan jemari tangan Kenji yang entah kemana karena mataku tak sanggup bertahan untuk tetap terbuka dan awas.

Berkali-kali aku coba berbalik, namun sebegitu pula Kenji mendesakku dengan lembut untuk tetap memunggunginya.
Ketika aku merasakan dengus napasnya menggelitik menyusuri pinggul dan turun ke bawah, aku baru menyadari bahwa kini aku bediri dalam keadaanku yang sebenarnya. Dengan spontan aku berputar menghadapi Kenji yang sedang sibuk bersimpuh. Perlahan aku mengangkat pangkal kedua tangannya yang masih menempel ketat pada bagian bawah tubuhku. Kali ini Kenji menurut dan berdiri dengan segera.

Bibirnya yang perlahan menjalar naik sampai ke perut dan perlahan menyusur ke atas.. ke dadaku, leher.. dagu.. dan saat mencapai bibirku, aku meyekap bibir itu dengan penuh perasaan terima kasih. Perlahan kecupan terima kasih itu dirubah Kenji menjadi panas dan panas.. Dan semakin panas.. Tanganku menyusuri dadanya yang bidang dengan otot yang kenyal dan basah, dibasahi oleh keringatnya atau keringatku, persetan pikirku. Aku ingin memberikan penghargaan yang sama padanya dengan menyusuri bidang yang menggairahkan itu dengan semangat yang berkobar-kobar.

Tiba-tiba tanpa diduga.. jeritan perutku yang keruyukan dengan bunyi yang sanggup mengatasi decak bibirku yang melaburi sekujur dada dan perutnya. Bagai dikomando, kami berdua sama-sama mengangkat wajah masing-masing.
"Hahh.. nanji desu ka? (Apa itu?)", tanya Kenji seraya menoleh ke jam meja. Ternyata hari telah jam 21:20 waktu Tokyo. Dengan tersenyum lucu, Kenji merangkulaku dan membimbing ke arah pesawat telepon. Sambil tangannya mengelus-elus perutku, Kenji meminta "room service" untuk mengantarkan sushi dan tepanyaki. Tak terasa sejak sore tadi waktu meninggalkan OVTA, perut kami belum terisi. Dan begitu sampai di kamar hotel kami langsung tertidur.

Sementara Kenji menelepon dan membaca menu yang ada, tangan kirinya membimbing tanganku untuk menurunkan kancing tarik jean yang dipakainya. Setelah berturut-turut blue jean dan G string briefnya teronggok di lantai, sebagaimana kebiasaan masyarakat Jepang yang suka mandi air panas pada larut malam. Kami berendam dalam air panas di bath-tub sembari merencanakan perjalanan esok hari ke Yokohama dan Kamakura.

Sementara menunggu room service untuk meredakan cacing-cacing perutku yang hampir seharian belum melepaskan kekangenan pada nasi, yang mana hampir-hampir terlupakan karena ternyata Kenji sendiri mampu menghadirkan room service yang amazingly, yang bisa membuatku tega dengan nasib cacing-cacing yang malang itu. Ternyata masih ada "cacing" lain yang perlu didahulukan(?)

Aku tersenyum geli menyadari hal ini dan kembali.. kembali mata itu tersenyum dengan penuh kharismanya. Di luar ada malam telah merayapi senyapnya hari. Hujan telah lama berhenti namun tak ada sebutir bintang pun di langit. Namun mata itu memancarkan bagaikan bintang kejora yang bersinar ceria.. teduh.. namun kadang nakal dalam kerling dan menggelitik hati. Di saat lain berkobar dan bergululung-gulung dalam kedahsyatan yang passionate namun tetap menetramkan dan .. ah.. Aku tak pandai berkata-kata untuk menjelaskannya dengan tepat. Ahh.. mata memang benar jendela jiwa adanya..

*****

in your eyes the light the heat
in your eyes I am complete
in your eyes I see the doorway to a thousand churches
in your eyes the resolution of all the fruitless searches
in your eyes I see the light and the heat
in your eyes oh, I want to be that complete
I want to touch the light the heat I see in your eyes

P.S: to be continued dengan catatan di "Asakusa Kannon" dan "Sumida River", "Kotokuin Daibutsu", Kamakura, dan "Hadaka Matsuri" (Naked Festival), "Shukuba-no yu" (public-bathhouse) and many more..

Tamat

Oleh: jalublues@yahoo.com

Pada malam-malam tertentu di sekitar kompleks rumah kost-ku ada beberapa tukang pijat keliling yang suka lewat. Kedatangan mereka ditandai dengan suara-suara yang berasal dari kaleng-yang entah diisi apa-hingga mengeluarkan bunyi-bunyian yang khas. Beberapa kali aku pernah mencoba memakai jasa mereka kalau kebetulan badanku lagi pegal-pegal dan ingin dipijat. Sebenarnya pijatan mereka tidak terlalu enak dan kelihatan 'amatiran' dibandingkan tunanetra yang memang terlatih untuk memijat. Makanya tak jarang aku memakai jasa tukang pijat keliling itu untuk tujuan iseng saja: ketika libidoku lagi tinggi. Sayangnya niatku yang satu ini belum pernah kesampaian secara tuntas. Kadang-kadang orang yang kupanggil ternyata kurang menarik seleraku. Tapi begitu ketemu yang rada cocok, ternyata tidak mau menanggapi permintaanku, meski aku cuma sekedar minta 'dipegang-pegang' saja. Kalau sudah begitu biasanya aku tidak akan memakai jasa mereka lagi.

Sampai pada suatu malam, ketika aku sedang asyik nonton TV, tiba-tiba terdengar suara khas itu. Semula aku agak ragu, jangan-jangan yang lewat orang yang itu-itu lagi. Aku lalu keluar rumah dan berdiri di depan teras menunggu si tukang pijat lewat. Ternyata ia bersepeda dan tampaknya belum pernah kupakai jasanya. Setelah yakin, aku memanggil dan memintanya untuk menyusul ke kamarku.

Seperti biasa, aku mencopot seluruh pakaianku. Dan ketika tinggal celana dalam yang akan kulepas, orang itu mengetuk kamarku dan segera kupersilakan ia untuk masuk.

"Saya copot semua ya Mas," kataku sambil melepas celana dalamku.

Orang itu cuma tersenyum dan mulai menyiapkan perlengkapan pijatnya. Aku segera berbaring telungkup di atas kasur.

"Belum pernah lewat sini ya?" tanyaku membuka obrolan.

Kali ini ia sudah duduk di samping kanan dan mulai memijat telapak kakiku.

"Pernah. Tapi baru sekali ini mijat di sini," sahutnya datar.

Mungkin waktu ia lewat aku sedang tidak di tempat atau sedang tidak perlu jasa pemijatan.

"Nggak 'pa-pa kan saya telanjang begini?" pancingku.
"Nggak 'pa-pa," sahutnya ringan. Logat Jawanya cukup kental. Ia mulai memijat bagian betis dan kakiku.
"Orang lain ada yang dipijat sambil telanjang begini nggak?" tanyaku lagi.
"Ada juga. Tapi kadang ditutupi sarung atau handuk."
"Sampean banyak langganannya?" tanyaku lagi.
"Belum. Saya belum ada satu bulan jalan."

Pantas. Tapi pijatannya lumayan enak. Katanya ia memang punya pengalaman memijat di kampungnya. Sayangnya di sana jasa pemijatan kurang laku. Makanya ia mencoba mengadu nasib ke Jakarta.

Terus terang dari awal aku tertarik sama orang ini. Wajahnya cukup menarik. Berkumis. Rambutnya ikal agak cepak. Tingginya sedang saja, tapi badannya lumayan kekar dan kulitnya agak gelap. Rupanya ia dari Jawa Timur (masih ada turunan Madura, katanya), sudah beristri dan belum punya anak. Kutaksir umurnya belum ada 30-an.

"Saya sudah tiga puluh tiga tahun kok," ia meralat tebakanku.
"Masa sih? Berarti sampean awet muda dong," sahutku mulai menjurus. Ia cuma ketawa ringan.

Pijatannya sudah mulai menyentuh belakang pahaku. Aku sengaja menggelinjang beberapa kali. Aku yakin ia bisa melihat biji pelirku dari celah belakang pahaku. Aku memang sengaja memposisikan telungkupku sedemikian rupa sehingga bijiku terjepit ke arah belakang. Maksudnya memang untuk memberi 'pemandangan provokasi' padanya. Kontolku sendiri sudah ngaceng dari tadi. Terus terang malam ini tadinya aku berniat mau ngocok. Karena sudah hampir seminggu ini aku tidak 'muncrat. Biasanya aku melakukan onani minimal tiga kali dalam seminggu. Cukup sering memang. Tapi kalau lagi 'tinggi' begini mau gimana lagi? Gairah seksualku selama ini memang lebih banyak kusalurkan lewat onani. Sudah lama aku tak ketemu laki-laki yang cocok untuk diajak nge-sex.

Aku kembali mulai menggelinjang, ketika pijatannya sudah mulai merambah bagian pantatku. Aku paling senang kalau dipijat di bagian ini. 'Si Otong' jadi semakin kencang saja. Ingin rasanya aku segera berbalik dan meminta dia melocoku. Tapi terus terang aku agak ragu. Aku takut kalau ia seperti tukang pijat yang lain, tak mau diajak 'main-main'.

"Geli Mas.." aku agak 'mengaduh' sambil nyengir dan mengangkat pinggul ketika ia menekan pantatku agak keras.

Tapi ia tak bereaksi dengan komentarku, hanya agak mengendurkan pijatannya.

"Saya kalau dipijat pantatnya, suka tegang sendiri.." aku mulai berkomentar lagi, sambil kuselusupkan tanganku ke bawah membetulkan posisi 'rudal'-ku.
"Sekarang lagi tegang ya?" tanyanya setengah bercanda. Pancinganku mulai masuk.
"Iya nih. Dari tadi!" balasku sambil menengok ke arahnya, "Sudah seminggu ini nggak dikeluarin sih," aku mencoba becanda sambil melihat reaksinya. Ia cuma tersenyum sambil terus mengurut. Kali ini gantian pinggulku yang jadi sasaran pijatannya.

Aku lalu agak menggeser tubuhku untuk meraih remote control dan menyetel musik. Aku tak ingin pembicaraanku yang sudah mulai mengarah ini terdengar sampai keluar kamar. Ketika tubuhku beringsut, aku sengaja memperlihatkan sebagian batang kemaluanku yang sudah ngaceng berat itu. Aku yakin ia pasti sempat melihat bagian tubuhku itu. Kulihat matanya tadi sempat melirik.

"Sampean sih enak, punya isteri," aku kemudian meneruskan obrolan setelah kembali telungkup.
"Isteri saya di kampung kok Mas," sahutnya.
"Lha?" aku kaget tapi cukup senang juga karena punya celah untuk ngomong lebih 'jauh'.
"Tapi sampean kalau lagi pingin 'kan bisa pulang. Lha kalau saya?" lanjutku.
"Pulang? Emang nggak pake ongkos?" balasnya sambil ketawa.
"Terus kalau lagi kepingin gimana?"
"He he he.. Mas ini kok suka mancing-mancing sih?". Sialan! Ia tahu arah pembicaraanku. Tapi aku ketawa juga mendengar kalimatnya.
"Saya sih, terus terang kalau lagi pingin, ya ngocok saja..," aku mulai berterus terang.
"Tapi kok seminggu ini belum dikeluarin?" tanyanya cukup 'kritis' juga. Nadanya rada becanda, membuatku mulai tumbuh harapan.
"Maunya sih dikeluarin. Tapi masa di depan sampean?" balasku sambil ketawa. Ia diam tak menanggapi kalimatku, tapi sempat kudengar ia menarik nafas. Entah apa artinya.

Beberapa saat kemudian ia memintaku untuk berbalik telentang karena bagian belakang sudah selesai dipijat. Nah, ini dia!

"Nih lihat!" kataku begitu berbalik telentang menghadap ke arahnya, sambil kutunjukkan batang kontolku yang masih membesar tegang ke arahnya. Ia tersenyum geli melihat ulahku. Tapi matanya agak takjub demi melihat batang kemaluanku yang meradang itu. Mungkin ia belum pernah melihat kemaluan laki-laki lain. Atau mungkin ini pengalaman aneh baginya. Atau ia memang suka dengan pemandangan yang kuberikan. Entahlah, aku tak peduli. Aku hanya ingin memprovokasi dia. Maka, dalam posisi telentang itu, aku mulai meremas dan mengurut-urut sendiri punyaku. Sementara ia mulai memijat bagian depan kaki dan pahaku. Senjataku secara frontal nyaris tegak mengacung di hadapannya. Sengaja aku memamerkan semua ini. Toh dari tadi aku sudah cukup terbuka padanya.

"Gede juga," tiba-tiba ia nyeletuk dengan tawa tertahan. Sialan, aku tambah ngaceng mendengar komentarnya.
"Gedean mana sama punya sampean?" pancingku.
"Hmm.. Sama lah," sahutnya.

Tiba-tiba tangannya yang tengah memijat pahaku itu terulur dan meraih punyaku. Aku sempat menahan nafas. Ada beberapa saat ia sempat menggenggam dan meremas batang kemaluanku. Darahku langsung berdesir. Aku hampir berteriak kegirangan. Tapi sesaat kemudian ditariknya lagi tangannya. Terus terang aku kecewa. Tapi keyakinanku mulai timbul lagi.

"Punya sampean keras banget," rupanya tadi ia ingin mengetes kematangan 'pisang ambon'-ku. Komentarnya membuatku semakin terinspirasi untuk berbuat lebih jauh. Aku kembali mulai memilin-milin batang kontolku. Bahkan kali ini aku mulai melakukan gerakan mengocok, pelan dan kuat secara bergantian. Beberapa kali kutangkap matanya memperhatikan gerakan tanganku dengan pandangan tertentu. Membuatku semakin vulgar beronani di depan dia.

"Sampean mau bantuin nggak?" akhirnya aku meminta. Kurasakan kalimatku agak tercekat oleh gejolak birahi yang makin mengental. Kulihat dia sempat menarik nafas. Lalu kembali ia cuma senyum-senyum saja dan meneruskan pijatannya di pahaku. Ya sudah, pikirku. Aku akan menyelesaikannya sendiri kalau memang ia tak mau.

Ada beberapa saat aku asyik meloco dengan kocokan-kocokan yang makin kuat dan liat. Cairan bening sudah banyak keluar dari lubang kecil di ujung kepala kontolku dan mulai meleleh. Aku meraihnya dan mengoleskannya ke sekujur batangku, lalu menggunakannya sebagai pelumas. Kembali aku memompa kontolku dengan gerakan yang sudah rutin aku lakukan. Aku mulai melenguh kenikmatan. Sementara ia masih mulai memijat bagian dada dan perutku. Matanya sesekali mengamati perbuatanku dengan pandangan agak serius.

Akhirnya aku tak kuat lagi. Kucoba meraih tangannya dan mengarahkannya ke selangkanganku. Semula ia pasif saja. Tapi tanganku terus membimbingnya untuk meremas dan mengocok milikku. Sampai sesaat kemudian ia mulai merespon. Pelan-pelan kulepas tanganku. Kini tangannya mengambil alih memijat milikku! Sementara tangannya yang lain pelan-pelan mulai mengusap-usap dan mempermainkan jembut yang ada di bawah perut dan sekitar lipatan pahaku. Bingo!

Aku menghela nafas lega, memejam mata dan meresapi sentuhan tangannya. Akhirnya kesampaian juga keinginanku untuk di-onani oleh seorang tukang pijat. Kegembiraanku lalu berganti dengan desah dan lenguh kenikmatan. Ia benar-benar mau membantuku. Sentuhan jari dan tangannya memang sepertinya terlatih untuk memijat. Kadang hanya dengan dua jari ia menjepit batangku, lalu memijat-mijatnya, dan itu sudah menimbulkan rasa yang sangat enak sekali. Jarinya bergerak laksana sedang memanjat sebuah pohon berbatang lurus dengan gerakan naik turun secara teratur.

Beberapa saat kemudian ia menjepitkan jarinya pada pangkal kemaluanku sehingga membuat batang dan kepala kontolku padat mengeras. Aku senang karena ia penuh dengan inisiatif. Apalagi kemudian ia melumuri sekujur otot kenikmatanku itu dengan minyak yang tadi digunakan untuk memijat. Sesaat kemudian jari-jarinya mulai mengelus, memilin dan mengurut batangku yang mengeras dan penuh minyak itu dengan gerakan yang benar-benar terampil. Badanku sampai bergidik merasakan hasil perbuatannya. Tapi ia malah senyum-senyum melihat aku tersiksa oleh perbuatan tangannya itu. Cukup lama ia mengerjai milikku dengan cara seperti itu, sebelum akhirnya ia melocoku dengan gerakan yang umum dilakukan laki-laki bila sedang onani. Rasanya enak sekali..

"Sampean mau?" tanyaku di sela-sela acara main-main itu. Ia menggeleng dengan gerakan yang lucu. Tapi tanpa sepengetahuannya aku berusaha meraih selangkangannya dan menemukan sebuah tonjolan kenyal yang padat di depan celananya. Aku meremasnya. Ia kaget karena memang tidak menyadari perbuatanku. Ia berusaha menepis tanganku, tapi aku bertahan. Dan akhirnya ia menyerah. Membiarkanku meremas-remas.

Kurasakan tonjolan di bagian depan celananya itu mulai memadat. Aku terus berusaha meremas dan mengelus-elusnya dengan kuat. Ia kembali berusaha menepis, tapi aku setengah memaksa. Ia lalu mempergencar rangsangannya pada batang kemaluanku agar perhatianku teralih. Bahkan tangannya berusaha mengatur posisi kaki dan pahaku agar lebih terkangkang. Lalu ia mulai mengocokku dengan gerakan lebih liat dan kuat. Sisa olesan minyak tadi memperlancar gerakan tangannya, membuat kontolku meluncur-luncur licin dalam genggamannya. Benar saja, konsentrasiku buyar dan aku melepas tanganku dari selangkangannya. Aku kini lebih terfokus menikmati pijat auratnya itu. Kurasakan desiran-desiran rasa nikmat mulai merayapi pangkal kemaluanku. Tubuhku beberapa kali menggelinjang tak terkendali. Sementara ia mempermainkan kontolku dengan berbagai variasi yang setiap gerakannya memberiku rasa nikmat yang terus mengalir. Mulutku hanya bisa ber-'ah uh' saja merasakan itu semua. Dan ketika ia mulai mengerjai biji pelirku dengan cara meremasinya dengan minyak, sementara tangannya yang lain mengurut-urut batangnya, aku mulai merasakan puncak birahiku datang menjelang. Beberapa kali tanpa sadar pantatku tersentak ke atas, seiring gerakan yang ia lakukan pada wilayah di sekitar alat vitalku itu.

Aku merintih dan terus merintih. Nikmat itu makin mengental. Ia mengurut dan terus mengurut. Makin nikmat. Tambah nikmat, dan.. Ohh, tubuhku melenting, menggeliat, menggelepar tak karuan. Kucengkeram ujung sprei yang sudah sejak tadi berantakan dan basah oleh keringatku. Tubuhku mengejang. Mulutku mendesis-desis keenakan. Dan akhirnya aku mengerang cukup keras ketika ejakulasiku datang dengan derasnya.. Perut dan spreiku basah oleh cairan mani yang memancar banyak dan berkali-kali dari ujung lubang kontolku. Aku berusaha menahan tangannya yang terus menggenggam milikku yang sudah kelojotan itu. Tapi ia bertahan. Dan ia baru melepas tangannya ketika aku berusaha menggapai-gapai dan membalas meremas selangkangannya.

Ada beberapa saat kami saling meremas-remas. Kurasakan senjatanya sudah sangat mengeras. Ketika aku berusaha membuka celananya, ia malah berdiri dan kemudian menarik resleting dan melepas sendiri celananya sehingga kini bagian bawah tubuhnya hanya tertutup celana dalam saja. Sementara ia belum melepas kaos oblongnya yang mulai basah oleh keringat itu. Terus terang aku takjub dan kaget dengan apa yang ia lakukan. Malam ini aku tak hanya mendapat service tambahan, tapi tampaknya sebentar lagi akan kudapatkan juga tubuh laki-laki ini.

Bersambung . . . .