Setelah aku selesai menceritakan semuanya, hatiku terasa lebih lega. Krista menatap gelasnya sebelum ia mulai berkata-kata.
"Kalau melihat dari sisi gadisnya sih, mungkin benar seperti yang aku katakan tadi. Ia sudah paham kalau kamu akan meninggalkannya. Lalu apa salahnya denganmu? Kukira kamu hanya terlalu angkuh untuk melakukan sesuatu yang kamu anggap merendahkan martabatmu. Kamu itu dari dulu tetap saja bodoh. Heran aku."
Aku menundukkan kepalaku saat mendengar kata-katanya.

"Aku hanya takut, mungkin."
"Iya..!" mendadak nada Krista terdengar lebih tegas, "Kamu memang pengecut. Aku tahulah semua masalahmu, Ray. Dari Enni sampai ke yang lain-lain. Kamu hanya takut kalau dirimu jatuh cinta. Sayang sekali aku tidak ada di situ. Coba kalau aku ada, sudah kutonjok hidungmu, memukul pantatmu dan menyuruhmu mengejarnya."
Aku tertawa terbahak-bahak.

"Aku memang ingin melakukannya. Ingin sekali," ucapku, "Tapi.."
"Tapi kamu terlalu sombong, dan kamu takut untuk terikat, begitu kamu bisa membawanya kembali dalam kehidupanmu. Begitu kan?"
Aku terdiam. Perlahan aku menganggukkan kepala. "Kurasa begitu."
"Ya sudah," Krista berkata, "Lupakan saja gadis itu. Cari gadis lain. Gampang, toh?"
"Tapi masaknya enak, Kris. Yang lain tidak enak semua."
Krista tertawa terbahak-bahak. "Kamu memang tak pernah serius. Penyakit."
Aku ikut tertawa. Tapi tawaku berubah menjadi kediaman seketika.

"Speak of the devil..," desahku.
Napasku tercekat sampai ke tenggorokan saat aku melihat gadis itu di depan etalase toko. Krista di sampingku menoleh.
"Siapa, Ray?" ia bertanya.
Tapi aku tidak memperhatikan Krista. Pandanganku tertuju pada seorang pria yang tampak berlari-lari ke sisi gadis itu.
"Jupri..?" ucapku, seolah bertanya pada diriku sendiri.
Krista menyentuh bahuku, "Ray..? Siapa, Ray? Gadis itu..? Jupri..?"
"Sshh..!" bisikku seraya menepis lengannya.

Pandanganku terpaku pada kedua sosok itu. Moogie, masih dengan setelan merahnya, tampak tertawa-tawa. Wajahnya kelihatan begitu gembira. Sementara di sebelahnya, kulihat Jupri menggaruk-garuk kepalanya. Mereka saling berbicara di depan etalase, lalu tidak berapa lama kemudian mereka berdua berbalik lalu melangkah.

"Sial..!" ucapku lirih, "Kenapa si Jupri..?"
Sosok kedua orang itu menghilang di balik sudut toko. Aku memalingkan wajah. Kulihat Krista melipat lengan di dadanya dengan tersenyum simpul.
"Kenapa, Ray..? Itu ya, gadisnya? Si Moogie itu? Lalu, cowok yang di sebelahnya..?"
"Itu Jupri," desahku seraya menatap gelas yang nyaris kosong.
"Jupri siapa..?" tanya Krista.

Entah kenapa saat itu aku ingin mengatakan 'Jupri, sapi gendut dari blok tiga, pegawai rendahan yang hanya bergaji tiga ratus ribu itu, yang kukira teman, ternyata menyambar ga..' lidahku terasa kelu seketika. Moogie bukan gadisku lagi. Saat ini ia bebas untuk segala sesuatu. Tapi Jupri..?

"Ray..? Kamu tidak apa-apa..?"
Aku mengangkat wajah dan menatap Krista, kucoba untuk tersenyum.
"Tidak, tidak apa-apa."
Krista mendiamkanku beberapa saat.

"Kris..," aku memanggilnya. Gadis itu mengangkat alisnya.
"Apa..?"
"Aku mau bercinta. Make love yuk..!"
Krista tertawa terbahak-bahak, "Kamu tuh ya..! Nggak ah, aku masih mau kembali ke kantor. Tugasku masih banyak. Ray..! Hey..! Dengarkan aku..!"
"Sebodo apa," sahutku. Lalu aku memanggil pelayan.

Entah bagaimana, akhirnya aku dapat menyeret Krista ke tempat tidur sore itu. Aku tidak dapat membayangkan wajah Pak Herman ketika aku tidak kembali ke kantor. Biarlah, lagipula aku lagi ruwet. Krista juga tidak menunjukkan perlawanan yang berarti ketika aku membawanya pulang ke rumah. Ia hanya meminjam handphone-ku untuk mengatakan beberapa instruksi pada anak buahnya di kantor. Kami bergulat liar sore itu sampai bermandi keringat.

"Sinting kamu..! Iblis..! Setan..!" kudengar Krista memaki sambil terengah.
Aku membuang tubuhku ke samping, lalu menatap langit-langit kamarku. Napasku masih memburu. Apa yang barusan kulakukan. Demi Tuhan, aku bercinta dengan membayangkan Moogie di bawahku! Gila..!

"Ray..? Kamu tidak apa-apa..?" lagi-lagi Krista bertanya demikian.
Gadis itu memiringkan tubuh dan mengusap dadaku dengan jemarinya.
"Terus terang," lanjutnya, lalu sambil tertawa, "Aku kangen sama gayamu yang liar tadi."
Aku tersenyum. Kurasakan napasnya menggelitik leherku.
"Kris..," desahku menyebut namanya, "Aku kebingungan."
"Kenapa..? Kamu masih mencintainya..?" tanya Krista, "Ups.., sori. Kamu tak pernah jatuh cinta, kan..?"
Aku menggelengkan kepalaku dan memejamkan mata.

"Kurasa aku mencintainya. Itu yang membuatku sedih."
Kudengar Krista tertawa. Gadis itu lalu meletakkan kepalanya di dadaku.
"Sekarang aku mendengar degup jantung Ray. Hmm.., dia jujur."
Aku tersenyum dan mengusap pipi gadis itu, "Iya, aku jujur. Sampai bingung mau ngapain lagi."
"Kasihan. Dan mungkin sudah terlambat ya, Ray, untuk menariknya kembali."
Aku menghela napas dalam-dalam. Aku memang bodoh.

"Ayo, aku antar kamu pulang," kataku setelah beberapa detik.
"Ayo..!" sahut Krista, lalu mengangkat tubuhnya, "Lagipula aku khawatir kalau nanti suamiku menelepon ke kantor."
"Suami..?" tanyaku bengong.
"Iya..," jawabnya sambil tersenyum geli menatapku.

"Aku sudah menikah dua bulan yang lalu. Dan aku memang sengaja tidak mengundangmu. Takut kalau kamu nanti mengajakku bercinta untuk yang terakhir kalinya waktu biston. Kamu kan gila."
Aku masih bengong, "Lah, kenapa tadi tidak bilang?"
Krista terkekeh, menyambar bra merah muda yang tergeletak di lantai.
"Lha aku juga masih mau, kok. Yah, ternyata kamu sangat menggoda."
Aku tertawa terbahak-bahak mendengarnya, "Asyik," ucapku, "Aku jadi gigolo."

"Kamu hamil..?"
"Iya."
"Wah..!"

*****

Jam digital di dashboard menunjukkan pukul sembilan belas saat aku meninggalkan Krista di depan gedung kantornya.
Hanya satu yang ia katakan padaku sebelum kami berpisah, "Ray," katanya, "Kamu sebaiknya melupakan gadis itu."
Yah, mungkin itulah jalan terbaik yang dapat kulakukan saat ini.

Selama perjalanan aku terus merenungkan ucapan Krista. Lalu seketika aku mendadak merasa malas untuk pulang. Kuputar mobilku dan kulajukan menuju kantor.

Beberapa orang masih terlihat sibuk di lantai dasar. Aku bergegas masuk ke dalam lift. Hanya mengambil sisa kerjaan dan notes 'caci maki dari Pak Herman, pastinya' lalu pulang dan tidur. Aku capai sekali. Dan leherku sudah mulai terasa sakit.

Lima detik kemudian pintu lift membuka. Suasana kantor tampak temaram. Beberapa lampu utama sudah dimatikan, hanya di ruang lembur yang masih menyala. Aku bergegas menuju ruang kerjaku. Langkahku terhenti saat aku melihat lampu meja di kompartemen paling ujung masih menyala. Hati-hati aku melangkah mendekat.

Dari belakang kulihat ia masih sibuk merapikan berkas-berkasnya. Monitor di mejanya masih menyala, memperlihatkan kolom-kolom yang teratur rapi. Gadis itu menoleh saat merasakan kehadiranku.
"Halo, Bos..!" kudengar ia menyapa sambil tersenyum.
Kulambaikan tanganku, sekejap merasa kikuk, "Kamu masih sibuk?" tanyaku basa-basi.
Moogie mengangkat bahunya, "Yah, beginilah. Aku juga malas pulang. Kamu sendiri..? Jangan bilang kalau kamu sedang shock, lalu ingin menulis."
Aku tertawa mendengarnya.

Tapi Moogie langsung menghilangkan senyuman di bibirnya dan berkata, "Sori, aku tak bermaksud mengingatkanmu."
"Tidak apa-apa," balasku tersenyum. Sakit di leherku membuatku terbatuk.
"Pasti belum minum obat," kudengar Moogie berkata dengan nada gusar.
"Iya..," sahutku, "Aku sebaiknya minum dulu."
Moogie mengangguk.

"Eh, tunggu..!" mendadak ia menghentikan langkahku.
"Ada apa..?" tanyaku.
Moogie merogoh lacinya, lalu sambil nyengir ia menyodorkan sebuah kotak.
"Ini jatah berbuka puasa-ku. Tadi orang-orang ditraktir sama Pak Herman. Mungkin kamu belum makan. Kalau mau minum obat kan perlu makan."
Aku tersenyum dan menerima kotak itu, "Thanks."
Aku melangkah dengan kotak di tangan. Saat aku menoleh, Moogie sudah terlihat sibuk kembali dengan pekerjaannya.

Aku merenungi kotak itu dari bangku kerjaku. Aku takut untuk memakannya. Takut kalau-kalau nanti aku terbuai dan 'penyakit' impulsif-ku kambuh. Tapi akhirnya aku penasaran juga. Dalam hatiku aku berpikir, masa makanan saja dapat membuatku berubah. Isi kotak itu toh bukan bulan purnama, dan aku bukan seorang manusia serigala. Dengan mendengus, kuraih kotak itu dan membukanya.

Aroma bebek panggang menusuk hidungku. Perutku lantas berbunyi. Kuraih sendok plastik dalam kotak, lalu menyendok segumpal nasi ke dalam mulutku. Paha bebek itu kuangkat, dan kugigit sedikit dagingnya. Rasa hangat merasuki tubuhku. Nikmat sekali. Tanpa sadar aku memejamkan mata.

Seperti disengat listrik, aku terkejut dan melempar paha bebek itu jauh-jauh hingga menghantam pintu. Sekejap kemudian aku merasa gusar pada kekonyolanku. Itu kan hanya makanan, pikirku. Bangkit berdiri, kulangkahkan kakiku dan meraih paha bebek di atas lantai. Terbang sudah si bebek, pikirku sedikit menyesal, lalu kubuang paha bebek itu ke dalam tong sampah.

Ingin tahu, kusingkap krei yang menutupi jendela. Gadis itu masih di sana. Aku dapat melihat punggungnya yang tertekuk. Sedang apa dia? tanyaku dalam hati.
"Aduh," desahku saat merasakan leherku mulai berkontraksi.
Bergegas aku menuju meja dan merogoh laci.
"Aku butuh antibiotik, pain killer, dan.."

Aku keluar beberapa saat kemudian, dengan membawa tas kerja dan kotak di tanganku.
"Ini, thanks," ucapku seraya menyodorkan kotak itu kepada Moogie.
Gadis itu menoleh dan menerima kotak makannya dengan tersenyum.
"Sudah minum obat?" ia bertanya. Kuanggukkan kepalaku. Saat itulah aku melihat ke bawah mejanya. Dan ada satu kotak lagi, persis dengan kotak yang baru saja aku kembalikan. Gadis itu membawa dua kotak? tanyaku dalam hati. Moogie mengikuti arah lirikanku, lalu ia menyeret betisnya menutupi.

"Sudah? Kamu mau pulang?" ia bertanya padaku.
Aku sebetulnya ingin menanyakan isi kotak itu. Tapi kuurungkan niatku, daripada nanti aku memperoleh jawaban yang membuat hatiku miris.
"Ya," jawabku, "Aku akan segera pulang."
"Okay, hati-hati di jalan. Banyak istirahat," kudengar ia berkata.
Aku menganggukkan kepalaku. Tapi kakiku serasa beku, tidak ingin melangkah.

"Ray..?" Moogie memanggilku, "Ray..? Earth to Ray.. earth to Ray.."
Aku terkejut dan tertawa. "Iya, aku pulang.." ucapku.
Moogie tersenyum.

Aku melangkah dengan ragu-ragu. Tepat langkah kelima, aku membalikkan tubuh. Kulihat Moogie masih menatapku.
Aku mengerutkan alis dan bertanya, "Itu..? Kotak nasi, untuk Jupri kan..? Aku tadi melihat kalian berduaan di mall."
Kulihat gadis itu mengangkat alisnya, "Eh..?" ia berseru kecil dengan nada heran.
Aku melangkah mendekat, lalu membungkuk dan menatapnya.

"Moogie, aku tidak apa-apa kok, kalau kamu mau cari cowok baru. Tidak usah disembunyikan. Tapi Jupri.. ah, sudahlah. Aku tak punya hak untuk protes, bukan..? Jadi, kudoakan saja semoga kamu bisa menemukan penggantiku."
Setelah mengatakan demikian hatiku merasa puas, seolah-olah aku berhasil mengeluarkan uneg-uneg dari otakku.

Gadis itu terdiam. Aku tersenyum dan membalikkan tubuh. Saat itulah aku mendengar ia menggumam.
"Kamu jahat, Ray. Kamu.. jahat..!"
Aku menoleh dan melihat Moogie menutupi wajahnya. Aku sekejap bingung, harus kembali atau tidak. Tapi kuputuskan untuk terus saja melangkah menuju pintu keluar. Biarlah, pikirku, mungkin Moogie belum begitu bisa untuk melupakanku. Ia akan terbiasa nantinya. Perduli setan pada si Jupri.

Aku tengah mengeluarkan mobilku dari basement saat kulihat seseorang mencegatku dari tangga masuk gedung. Aku menghentikan mobilku dan membuka jendela. Kebencianku muncul saat aku melihat Jupri, si sapi, memandangku dengan alis berkerut.
"Ada apa..?" tanyaku kasar.
Pasti si sapi ini sengaja lembur untuk menemani Moogie. Tidak tahu malu. Tadi mestinya aku menengok ke ruang lembur, sekedar untuk mengeluarkan kata-kata menyindir.

Bersambung . . . .

Jupri melangkah memutar, lalu tanpa kusadari, ia sudah menarik kerah bajuku.
"Bangsat kamu..!" sentaknya, "Apa sih yang ada dalam otakmu..!"
Dengan gusar kutepis lengannya. Kubuka pintu dan melompat keluar. Jupri menggeram saat kutekan dadanya hingga punggungnya menempel di kap mobil.
"Bangsat juga..! Kamu pikir aku apamu, heh..!" teriakku di wajahnya.

"Aku tahu kamu temanku," lanjutku dengan nada marah, "Tapi jangan seenaknya main tarik baju. Aku bisa membuatmu terkapar di sini karena itu, tahu..! Tahu tidak..? Aku tidak mau tahu tentang kamu dan Moogie. Itu sudah untung bagimu, mengerti..?"
Wajahnya masih berkerut saat menatapku. Tapi ia tidak mengatakan apapun. Sambil mendengus kulepaskan tindihanku dan membetulkan bajuku. Jupri hanya memandangku saat aku masuk ke dalam mobil.

Aku terjebak kemacetan beberapa saat kemudian. Pikiranku tambah kacau. Emosiku meledak sampai ke ubun-ubun. Betapa ingin aku menghajar si sapi itu. Memukul hidungnya dan mematahkan lengannya, seperti orang-orang bodoh yang mencari perkara denganku waktu aku masih sekolah. Dan mobil itu.
"Hey, Bangsat..! Jangan mepet-mepet..!" aku membuka jendela dan berteriak.

Ibu setengah baya yang mengenakan jilbab itu mengelus dadanya, lalu memutar setir menjauhi mobilku. Aku mendengus sebal. Ada-ada saja, pikirku. Seketika leherku terasa berdenyut kembali. Aku merogoh laci dashboard dan mengeluarkan sekotak rokok. Saat itu aku melihat syal merah yang diberikan Moogie padaku dua hari yang lalu. Kututup laci itu cepat-cepat. Kukeluarkan sebatang rokok dan menyalakannya. Hawa dingin membuatku sedikit lega. Kuletakkan kepalaku pada setir mobil.

Apa yang sudah kulakukan tadi? Aku benar-benar kacau, pikirku dalam hati. Hanya gara-gara satu orang wanita. Apa..? Aku cemburu..? Aneh..!
"..kamu sebaiknya melupakan gadis itu," kata-kata Krista mengiang kembali di benakku.
Iya, pikirku, aku akan melupakannya setelah ini.

Kupejamkan mataku, lalu membayangkan telunjukku menekan tombol 'delete'. File-file beterbangan masuk ke dalam recycle bin. Membayangkannya membuatku geli. Kok recycle bin..? Tidak, permanently deleted saja. Tengah aku asyik berimajinasi, handphone-ku berbunyi.

"Ray..?" aku mendengar suara seseorang menyapaku.
"Siapa..?" tanyaku kemudian.
"Aku, Jupri."
Huh, aku mendengus, "Ada apa lagi..?"
"Aku hanya mau bilang sesuatu, sebelum aku.. bukan.. kami semua membencimu."
"Kami..?" tanyaku seraya menegakkan tubuh.
Bagus, pikirku dalam hati, kali ini Moogie sudah membawa masalah tentang aku dan dia ke kantor. Besok semua akan mencibirku dan mengatakan aku penjahat kelas kakap, selain Tommy.

"Itu nanti. Kamu harus tahu, Ray. Kami memang tahu masalah tentang kamu dan Moogie. Bukan dari dia, kalau kamu mengira demikian. Kami tahu dari kesimpulan kami sendiri. Dan kamu tahu? Bangsat..! Bajingan kamu..! Aku dan Moogie tidak ada apa-apa, tahu tidak..? Heh..! Kamu dengar..? Tadi kami hanya keluar bersama. Dan kamu tahu untuk apa..? Sebaiknya kamu dengar ini baik-baik, Sobat. Kamu akan ulang tahun bukan..? Bulan depan, kan..? Tadi Moogie mengajakku ke mall, untuk menanyakan, apakah kamu akan suka dengan jaket kulit yang akan dihadiahkannya padamu. Ia ingin menabung untuk membelikan jaket sejuta rupiah itu padamu. Itu saja. Kamu memang bajingan. Aku menyesal kenal denganmu..!"

Aku terpana. Aku benar-benar tidak mengira.
"Jup..? Jup..?" kupanggil-panggil namanya, tapi tidak ada sahutan.
Aku menarik handphone dan melihat tulisan 'call end' pada layar LCD. Brengsek, pikirku dalam hati. Apa yang sudah kulakukan? Aku menekan klakson mobil berulang-ulang. Pengemudi di depanku melongok ke luar jendela dengan pandangan gusar.

Bangsat, makiku dalam hati. Aku melirik ke samping kiri dan kananku untuk mencari celah. Aku harus kembali ke kantor. Sesegera mungkin..! Beberapa orang membunyikan klakson saat aku membanting setir. Tanganku keluar dari jendela, melambai setiap aku membelok. Gayaku saat itu persis seperti pengemudi bajaj di Jakarta. Sasak sana, sasak sini.

*****

Saat aku membuka pintu kantor, dua puluh menit kemudian. Hanya keremangan yang menyambutku. Tidak ada seorang pun. Aku mengerang seketika.
"Ruang lembur..!" desisku, melihat satu-satunya jendela yang bercahaya.
Aku membuka pintunya dan kulihat di dalam ruangan ada Jupri dan Jodi. Jupri hendak menghampiriku dengan wajah gusar, saat Jodi menahannya.

"Ayo, Jup. Kita keluar saja," Jodi berkata seraya menggandeng lengan Jupri.
Tatapan mata Jupri saat melewatiku membuatku terpaksa menundukkan kepala. Jodi yang melangkah di belakang Jupri menepuk pundakku.
"Ray, jangan bertingkah seperti anak kecil. Oke..?"
Aku mengangguk, tidak berani menatapnya. Aku merasa begitu malu.

Kudengar suara pintu ditutup di sebelahku. Kuangkat kepalaku dan memandang ke seputar ruangan. Tidak ada siapa-siapa. Hanya beberapa meja kursi, komputer, dan file cabinet.
"Moogie..?" panggilku, "Kamu di sini..?" Tidak ada sahutan.
"Moogie.. maafkan aku," ucapku pelan.
"Moogie sudah tak ada. Dia sudah pulang," seseorang menyahut.

Aku memandang lagi ke sekelilingku. Tapi tidak ada siapa-siapa. Aku melangkah melewati beberapa meja. Dan aku menemukan gadis itu. Ia meringkuk di bawah meja. Mirip bayi. Kedua lengannya memeluk lutut. Bibir bawahnya tergigit. Ia menatapku dan dapat kulihat basah di pipinya. Aku berjongkok di dekatnya, lalu duduk dengan menyelonjorkan kakiku.

"Maaf..," bisikku padanya.
Saat aku menoleh, kulihat Moogie menempelkan wajahnya ke lipatan tangan.
"Aku heran dengan kamu, Ray. Kamu suka sekali ya, membuat gadis-gadis menangis? Apakah kamu puas melihatnya?"
Aku terdiam mendengar kata-katanya.

"Ray..," lanjutnya, "Aku tetap berusaha mengerti kamu. Aku tahu kamu berduka tentang hubunganmu yang kandas dengan Enni. Aku tahu kamu menderita saat mengetahui Qra sudah meninggal. Aku tetap berusaha untuk ada di sisimu. Setiap saat. Ada kala kamu membutuhkanku. Tapi kamu.. kamu suka benar membuatku menangis. Tertawa. Lalu menangis lagi. Aku bingung, Ray. Bingung sekali. Apa yang kurang dariku..? Aku sudah begitu menyayangimu. Atau mungkin aku tidak seperti yang kamu harapkan? Sehingga muncul rasa takutmu untuk terus bersama denganku?"
Aku mendengar semua kata-katanya dengan perasaan tidak karuan.
"Aku..," ucapku terbata-bata, "Aku.. bingung."

"Kamu tahu, Ray," Moogie melanjutkan kata-katanya, "Waktu kamu mengirimiku cerita tidak karuan, tentang kamu menjadi gila dan sebagainya itu. Aku merasa sakit hati, Ray. Begitu sakit. Kamu bahkan menuliskan di situ, betapa aku menyayangi kamu. Bahkan sampai detik terakhirmu. Tapi kenapa justeru kamu meninggalkanku? Aku heran akan semua ini, Ray. Aku juga heran kenapa aku masih tetap bertahan untuk terus menyayangimu. Begitu pula sejak kejadian kemarin lusa. Gadis normal mungkin akan menjerit dan bersumpah tak mau mengenalmu lagi. Tapi lihatlah aku. Aku bahkan menyempatkan diriku untuk pulang dan memasak untukmu."

"Hentikan..," desisku.
Aku tidak mau mengingat potongan paha bebek yang sudah mendekam di tong sampah itu.
"Tidak..," aku mendengar Moogie berkata setengah menjerit, "Aku ingin kamu menyadari kegilaanmu. Dan aku juga ingin mengatakan sesuatu yang sudah lama kutekan-tekan dalam hatiku. Iya, Ray..! Kamu orang terbodoh sedunia yang pernah kutemui. Selain itu, kamu juga orang paling pengecut yang pernah kukenal. Orang pengecut yang takut akan cinta. Di benakmu hanya ada cinta, kebencian, dan pengkhianatan. Kamu memukul rata semua orang. Termasuk aku, Ray. Aku..! Bayangkan..!"

Sampai di situ tangisnya meledak. Aku dapat mendengar ia terisak dan tersedu.
"Moogie..," desahku memanggilnya, "Apa yang harus kulakukan..?"
Gadis itu mengangkat kepalanya. Air mata membasahi wajahnya.
"Tidak ada," isaknya, "Tinggalkan saja aku. Itu kan keinginanmu? Tenang saja, Ray. Aku bukan Qra yang histeris saat keperawanannya hilang. Aku akan tetap mendekam di sini. Dengan atau tanpa kamu. Aku akan bertahan untuk hidup. Kamu tidak perlu khawatir. Aku akan baik-baik saja, sesegera setelah kamu pergi dari sini. Aku masih punya teman. Ada Jupri dan Jodi. Ada Lidia, Hasan, Freddy, dan yang lain-lain, yang akan menemaniku."

Aku menarik napas panjang.
"Ya, sudah," ucapku lirih.
Lalu aku bangkit berdiri, dan melangkah menuju pintu keluar. Saat kubuka pintu, kulihat Jupri dan Jodi sudah menunggu di luar. Kudengar Moogie mengerang dari dalam ruangan. Jupri langsung turun dari atas meja, kukira ia hendak menjotosku.
"Tahan..!" seruku seraya mengacungkan telunjuk. "Jangan ikut-ikut..!"
Kulihat Jodi juga menahan pundak Jupri.

Aku membalikkan tubuhku dan melangkah menuju pintu keluar. Saat itu leherku terasa benar-benar nyeri. Sampai di depan pintu keluar, kupejamkan mataku.
Kruk.. krukk..
Aku membuka mata saat mendengar perutku berbunyi.
Aku tersenyum dan mengelus perutku, "Kenapa..?" bisikku, "Kamu lapar..?"
Kruk..
Kututup mataku yang sudah mulai berair. Lalu aku tertawa terbahak-bahak.

Jupri dan Jodi menatapku dengan heran saat aku kembali. Aku melangkahkan kakiku menuju ke kompartemen Moogie. Lalu kuraih kotak makanan di laci bawah. Saat kubuka, aroma bebek panggang membuat perutku kembali berbunyi. Kututup lagi kotak itu dan berbalik. Kulangkahkan kakiku mendekati Jupri dan Jodi.
Kutepuk pundak Jupri dan berkata, "Kalian pulanglah. Dan.., thanks."
Jodi mengangguk sambil tersenyum. Jupri membalas menepuk pundakku. Kutinggalkan mereka dan masuk ke dalam ruang lembur.

"Dia sudah pergi..?" aku mendengar suara lirih gadis itu bertanya.
Aku melangkah mendekat dan berjongkok di dekatnya. Gadis itu memandangku dengan terheran-heran.
"Kamu.. belum pergi juga..?" ia bertanya. Suaranya serak.
Kugelengkan kepalaku.
"Hey, kamu..!" ucapku, "Iya. Kamu..! Selonjorkan kakimu..!"
Gadis itu menatapku dengan tatapan bertanya. Tidak sabar, kutarik pergelangan kakinya dan menariknya keluar. Moogie memekik kecil.
"Ngapain kamu..?"

Kutarik kakinya sampai lurus, lalu aku menidurkan tubuhku dan membaringkan kepalaku di pahanya. Kusodorkan kotak makanan itu padanya.
"Aku lapar," kataku sambil tersenyum. "Kamu mau suapin aku..?"
Kulihat gadis itu menutup mulutnya. Lalu air matanya kembali mengalir.
"Nanti kamu akan membuatku menangis lagi," kudengar ia berbisik lirih.
"Cerewet..!" tukasku, "Suapin saja. Aku akan pergi kalau kamu tidak mau."
Moogie tertawa sambil terisak.

Ia lalu meraih kotak makanan itu. Kupejamkan mataku saat ia menyuapkannya ke mulutku.
Kruk.. krukk..
"Aku jatuh cinta," bisikku, "Dan aku akan membiarkannya demikian. Berterima kasihlah pada perutku. Karena ia tak kuat menahan bumbu cintamu."
Kurasakan kecupan Moogie di dahiku.
"Kalau begitu aku akan membuatmu jatuh cinta setiap hari."
Aku percaya itu. Kulemaskan otot-otot kaki hatiku. Baru kusadar betapa lelahnya berlari.

TAMAT

Beberapa saat kemudian terlihat Adli keluar dari kamar mandi. Dia hanya mengenakan sehelai handuk untuk menutupi bagian bawah tubuhnya. Kuperhatikan setiap lekuk pada tubuh yang bagus dan tegap itu. Lalu kutersenyum padanya.
"Kenapa Neng?" Tanya Adli.
"Ah nggak, seneng aja ngeliat orang keren," kataku merayu.
Wajah Adli terlihat senang. Kugamit lengannya agar ia lalu mendekat, setelah itu kutarik handuknya lepas. Batang kejantanan Adli terpampang di depanku, sudah tegang keras kembali.
"Lho," tanyaku heran, "kok masih keras sih.
Tersenyum Adli menjelaskan, "Tadi sih udah nggak lagi, tapi begitu ngeliat Neng Mimien jadi bangun lagi."

Sekarang giliran dia yang membuat hatiku senang dengan kata-katanya. Segera kutarik tangannya, kuminta ia membaringkan tubuhnya di ranjang. Kuciumi wajah pemuda yang telah memikat hatiku ini, sehingga sampai membuatku terlupa pada rumah-tanggaku sendiri. Kugigiti dia dengan lembut bercambur gemas mulai dari leher, lalu bahu dan dadanya, dan setelah itu sepanjang pinggangnya. Setelah itu kuteruskan ke arah bawah hingga ke sekitar selangkangannya. Tapi kali iini aku hanya menciumi batang kemaluan Adli sekedarnya saja. Sempat kulirik Adli menatapku dengan pandangan heran. Tapi kuteruskan saja menciumi paha dan betisnya hingga aku sampai di kakinya. Waktu jempol kakinya kuemut Adli menjerit,
"Aduh Neng jangan, kasihan Neng Mimien."

Setelah itu kecupan-kecupan bibirku bergerak menuju ke atas lagi, hingga aku berhenti di sekitar selangkangannya. Tubuh Adli terlihat berkeringat, padahal udara malam itu cukup dingin. Rupanya apa yang baru kulakukan tadi telah memacu birahinya.
"Enak nggak Adli?" tanyaku ingin memastikan.
"Aduh Neng, Adli nggak pernah ngebayangin seperti ini rasanya."
Jawabannya membuat hatiku berbunga-bunga. Dengan penuh semangat aku mulai menjilati kepala dan batang kemaluannya. Lidahku menyapu semua sudut kemaluan yang besar dan keras itu. Tidak lupa kujilati juga buah zakarnya, hingga Adli menjerit keenakan. Apalagi waktu pantatnya kugigit-gigit lembut. Karena masih ingin merangsang Adli lebih jauh lagi kudorong bagian bawah pahanya ke atas. Lalu kujilati sekitar duburnya.
"Aduh Neng, aduh, ampun Neng," Adli mengerang keras sekali.
Karena kuatir didengar orang kuhentikan jilatanku itu. Langsung batang kemaluan Adli aku kulum dalam dan setelah itu kuemut-emut dengan bernafsu.

Beberapa saat kemudian Adli menarik tanganku lembut,
"Sini Neng.. Adli belum pernah ngalamin yang seperti begini.. Terima kasih ya Neng!"
Kemudian dimintanya aku berbaring menelentang. Sebelum timbul pikiran macam-macam di benak pemuda, cepat kutarik batang kejantanannya ke mulutku dan kuemut-emut dengan penuh gairah. Setelah itu terjadilah sesuatu yang tidak kubayangkan akan sebelumnya. Ia menjatuhkan tubuhnya ke arah bawah, dalam posisi 69 berlawanan arah dengan tubuhku. Didekatkannya wajahnya yang tampan itu ke arah selangkanganku. Dijilatinya seluruh bagian kemaluanku. Dipeluk dan ditariknya pantatku, lalu dijilatinya duburku seperti tadi telah kulakukan padanya. Kalau tidak kugigit bibirku pastilah aku sudah menjerit-jerit kegelian.

Sewaktu dia kembali menjilati kemaluanku hampir saja aku mencapai puncak orgasmeku.
"Adli, sayang, udah ah saya nggak tahan," kataku memintanya berhenti.
Pemuda itu menatapku dengan pandangan bertanya. Terpaksa kujelaskan bahwa belum tentu aku setahan dia. Kalau nanti aku orgasme duluan bisa mengganggu pelayananku kepadanya. Setelah mau mengerti Adli kembali ke posisi semula, yaitu mengangkangi tubuh bagian atasku. Kumulai lagi menjilati dan mengemut tonggak kejantanan Adli yang keras itu. Sambil tentunya tanganku sendiri mengusap-usap kemaluanku yang tadi sudah dirangsang Adli. Lama-kelamaan mulai terasa cairan kental agak asin di mulutku. Kelihatannya Adli sudah mendekati saat-saat puncaknya. Sayangnya tiba-tiba aku merasa agak mual. Terpaksa kuakali Adli dengan meminta sesuatu yang berbeda dari tadi malam.
"Adli, nanti waktu keluar siramin ya ke atasnya saya."
Ia bertanya heran, "Mau Neng seperti begitu, ditumpahin pejuhnya saya?"
Kuyakinkan Adli, "Mau dong kan enak.. Oh iya nanti kalau kamu udah keluar punya saya kamu usapin ya, biar saya juga puas."

Setelah itu kembali kuemut-emut batang kemaluan Adli, sambil kukocok-kocok keras. Tidak terlalu lama kemudian terdengar Adli mengerang dan mengaduh. Sesuai permintaanku tadi ditariknya tonggak kejantanannya dari dalam mulutku. Lalu dia mengambil alih dengan mengocoknya sendiri. Kuatur posisi diriku sambil tanganku terus meremas-remas pahanya yang keras berotot. Waktu Adli mulai berejakulasi, aku mengaduh kaget. Cairan yang tadinya kuharap akan jatuh di dadaku, atau paling jauh leherku, ternyata begitu kuat semburannya sehingga tertumpah di wajahku. Mendengar eranganku rupanya Adli mengira aku menyukainya. Didekatkannya barang kejantanannya ke wajahku. "Ah.. ini Neng.. ah.. ah."

Semburan demi semburan air mani tersiram ke wajahku. Terpaksa kucoba menikmati itu semua sebisaku. Sementara itu kurasa telapak tangan Adli yang kasar meraba selangkangan dan celah pahaku, berusaha membawaku juga diriku ke puncak orgasme. Dalam keadaan terangsang mulutku mencari batang kejantanan Adli. Seperti semalam sebelumnya ternyata masih dalam keadaan sangat keras, dan tetap besar, walaupun sudah mengalami ejakulasinya. Dengan cepat kumasukkan barang kepunyaan Adli itu ke dalam mulutku dan kuemut-emut lagi. Adli mengerang keenakan dan mengaduh kegelian. Dalam keadaan itulah aku juga mencapai puncak pengalamanku di malam ini.

Melihat keadaanku yang sudah lemah lunglai Adli menyuruhku berbaring santai. Setelah membersihkan dirinya di kamar mandi ia kembali membawa handuk yang telah dibasahinya dengan air hangat. Dibersihkannya seluruh tubuhku dengan telaten dan penuh perhatian. Sambil merebahkan tubuhnya masih sempat ia berkata,
"Aduh Neng, enak sekali rasanya."
"Iya Adli, saya juga puas sekali," jawabku sambil beringsut mendekatinya.
Kali ini aku yang ingin dipeluknya. Demikianlah selanjutnya akupun terlelap dalam aku dibuaiannya, tapi karena sedang asyik-asyiknya kuputuskan untuk berlaga seolah-olah tidak sadar. Begitulah ternyata malam ini aku dan Adli kembali dipertemukan. Barangkali memang sudah jodohnya.

"Neng, neng Mimien, sekarang Adli masukin ya?"
Suara pemuda itu terdengar mengusikku. Sempat terbersit keinginan di hatiku untuk menolaknya, tapi akhirnya birahiku yang sudah sangat memuncak mendorongku mengambil keputusan yang berbeda. Kutatap dia dengan lembut, lalu kuiyakan permintaannya.
"Tapi pelan-pelan ya Dli, soalnya, soalnya..," aku kebingungan memilih kata-kata yang tepat. Adli tersenyum bangga. Diteruskannya apa yang kumaksud dengan berkata,
"Soalnya belum pernah dimasukin yang sebesar ini ya?"
Aku hanya dapat mengangguk pelan, rupanya Adli telah dapat membaca pikiranku. Kemudian Adli membuka selangkanganku, sementara mengemut-emut puting dadaku, seperti seorang bayi besar yang sedang dahaga. Diusap-usapnya bibir kemaluanku dengan ujung kejantanannya. Aku menggelinjang kegelian, sudah merasa ingin, tapi juga agak takut.

Ketika Adli mendorong kepunyaannya itu masuk, rasa pedih yang amat sangat melanda seluruh tubuhku. Ternyata kepunyaanku agak sempit dibanding kepunyaannya.
"Aduh Adli sakit..," sambil kugigit bibirku.
Dia berhenti sejenak, lalu mulai mendorong alatnya kejantanannya kembali. Setelah kurang-lebih masuk setengahnya tiba-tiba Adli mendorong agak keras, hingga membuatku menjerit.
"Aduh, aduh, aduh, sakit sekali sayang.."
Sambil kucoba merenggangkan pahaku selebar-lebarnya. Rasa pedih yang kuderita berlangsung selama kurang-lebih dua menit, sebelum berangsur-angsur mereda. Lubrikasi dari liang kemaluanku akhirnya semakin mempermudah gerakan alat kejantanan Adli, sehingga dapat bergerak maju mundur lancar. Aku merinding dan menggigil dilanda kenikmatan yang baru sekali ini aku rasakan.

Belum pernah liang kewanitaanku menerima kunjungan benda asing milik lelaki yang sebesar ini. Karena memang selama ini pengalaman yang kumiliki hanyalah dengan Mas Heru. Dibanding suamiku, kelebihan Adli bukan hanya karena ukuran alat vitalnya yang besar, tetapi dia sendiri juga pandai memainkannya. Akibatnya baru sepuluh menit saja aku sudah mencapai orgasmeku yang pertama. Rasanya tubuhku melambung tinggi, dan terbawa melayang entah kemana. Tanpa kendali lagi aku menjerit-jerit memanggil nama pemuda itu, sambil sesekali menggigit-gigit lengannya. Setelah perasaanku mereda baru kusadari bahwa Adli masih dengan gagah menunggangiku. Terpaksa kuatur nafas dan posisi diriku, supaya bisa mengimbangi keperkasaannya.

Menjelang Adli mencapai klimaksnya, masih sekali lagi aku dilanda gelombang nikmat orgasme kewanitaanku. Maka ketika kudengar Adli berkata,
"Sekarang Adli lepas ya," aku hanya dapat mengiyakannya saja.
Begitu kukatakan, "Iya Dli, iya sayang, tolong sekarang.. akh."
Langsung Adli memperhebat gerakan menghunjamnya.
"Neng, neng Mimien, neng.. aduh neng.. aahh," demikian Adli meracau sambil mendorong kepunyaannya sedalam-dalamnya memasuki liang kewanitaanku. Sangat erat ia memeluk tubuhku, sementara jari-jariku meremas punggungnya, karena orgasme yang juga sedang kualami. Setelah beberapa saat berlalu, barulah gerak dan erangan kami berdua mereda. Adli masih membiarkan kepunyaannya di dalam kepunyaanku selama beberapa saat, setelah itu baru ditariknya keluar. Sebagian dari siramannya tadi ikut mengalir tertumpah di selangkanganku.

Nampaknya melakukan hubungan yang memuaskan itu cenderung membuat diriku lapar. Atas permintaanku Adli memesan hidangan dan minuman dari restaurant. Begitu tiba langsung kusantap dengan sepuas-puasnya. Setelah itu kuminta Adli untuk mengantarku pulang. Tetapi ternyata dia belum mau, karena katanya belum puas menyetubuhiku. Terpaksa kulayani dia sekali lagi. Ternyata permainan yang kedua ini juga tidak kalah dibanding yang pertama tadi. Kembali ia membawaku ke puncak orgasmeku, sebelum ia sendiri menyiramkan air maninya ke liang rahimku untuk kedua kalinya. Aku sungguh-sungguh merasa puas, kuyakin begitu pula dengan Adli. Akhirnya baru jam 1 malam aku memasuki rumahku. Untunglah Mas Heru sudah tertidur lelap, sehingga aku terlepas dari kewajiban untuk menjelaskan apapun padanya.

Suami Gelap
Hubunganku dengan Adli menjadi sangat akrab setelah peristiwa di malam itu. Ternyata dia sikapnya romantis, walaupun kemasan gayanya agak lugu. Bercinta dengannya akhirnya menjadi suatu kebutuhan rutin untukku. Kalau lebih dari seminggu tidak ditungganginya perasaan dan emosiku benar-benar menjadi kacau. Begitu pula halnya dengan Adli. Malah karena nafsu birahinya yang ternyata cukup besar, sering ia meminta jatahnya sampai dua kali seminggu. Untunglah hubungan kami tidak pernah sampai diketahui orang lain.

Demi nama baik dan martabat aku selalu berusaha untuk bersikap hati-hati. Demikian pula Mas Heru tidak pernah merasa curiga sama sekali. Beberapa bulan kemudian ternyata aku hamil. Baik Mas Heru maupun Adli menyambut kehamilanku itu dengan gembira. Demikian pula tentunya orang-tuaku dan orang-tua Mas Heru. Aku memang juga gembira, tapi juga kuatir apa yang akan terjadi di masa depan nanti. Rasa kekuatiranku semakin bertambah karena anak yang kulahirkan ternyata tidak bisa dikatakan mirip dengan Mas Heru. Sekali lagi aku beruntung karena Mas Heru tidak merasa curiga sedikitpun. Sebelum tiga tahun berlalu aku dianugerahi seorang anak lagi. Sehingga lengkap sudah rasanya kebahagiaanku. Satu hal yang membuat kebahagiaanku semakin sempurna adalah sikap Mas Heru dan Adli yang baik. Mereka berdua sama-sama menyayangi anak-anakku, selainnya tentunya menyayangi diriku. Adli sendiri akhirnya juga mempunyai dua orang anak dari istrinya. Demi ayahnya, mereka aku dukung juga, terutama untuk pendidikannya. Dengan kegiatan usahaku yang semakin saja berkembang, dan asset kekayaan yang terus bertambah, aku cukup mampu untuk melakukan itu semua.

Tamat

"Huakk..!"
Muntah, mungkin cara yang terburuk memulai sebuah hari baru. Namun itulah yang kulakukan ketika itu, saat matahari belum juga muncul. Gadis pirang di belakangku menekan-nekan leherku.
"Pelan Ray, pelan..!" bisiknya berulang-ulang.
Aku terengah, mataku berair. Saat itu aku merindukan belaian gadis 'itu'. Namun kutekan perasaanku kuat-kuat. Kuraih kepala shower dan menyalakannya. Air dingin segera membasuh kepalaku.

"Kamu takut..?" gadis di belakangku berkata lirih, sementara jemarinya masih juga memijat tengkukku.
"I'm fine," bisikku menundukkan kepala.
Suaraku terdengar serak, mirip suara dari dasar sumur. Titik-titik air jatuh ke dalam bath tub, bersama dengan air liurku. Bagian belakang kepala dan leherku benar-benar sakit sekarang. Aku perlu 'pain killer' (obat penghilang rasa salit).

"To.. long.. pil..," ucapku seraya melirik lemari kaca di atas basin.
Gadis pirang itu melepaskan jemarinya, lalu buru-buru membuka lemari kaca.
"Yang mana..?" ia bertanya bingung.
"Me.. rah.. di.. bo.. botol..," ucapku terbata.
Pandanganku mulai berputar. Tidak lama kemudian kurasakan kepalaku membentur pinggiran bath tub.

*****

Siangnya aku terbangun tiba-tiba saat alarm berbunyi. Rasa pening dan sakit di leherku sudah lenyap, entah bagaimana. Kurasa Jessica sempat memasukkan obat itu ke leherku sebelum otot-ototnya berhenti berkontraksi. Aku tersenyum saat menyadari gadis itu terlelap di atas dadaku. Rambut pirangnya tergerai menutupi wajahnya. Napasnya menghembus lembut. Aku meraih rambutnya dan mengelus. Rambutnya indah sekali, pikirku dalam hati. Gadis itu terbangun saat aku menyentuh pipinya. Ia mengangkat kepala dan menatapku dengan senyum di bibirnya.

"Ja..? Udah bangun..? Je's takut..," ia berkata, lalu air mata menitik keluar membasahi pipinya yang putih kemerahan.
Aku tersenyum, lalu menggelengkan kepalaku. "I'm fine. Kamu ngga perlu mengkawatirkanku sampai seperti itu."
"Tapi, Je's kira Ja.. udah ngga ada," katanya kemudian. Aku tertawa mendengarnya.
"Kematian ngga akan menyentuhku sekarang..," bisikku sambil tersenyum.
Jessica membalas senyumanku. Gadis itu lalu mengangkat tubuhnya dan melumat bibirku.

"Emang kamu malaikat begitu..?" ia berbisik di bibirku. Aku tertawa, "Salah, Setan."
Jessica melumat bibirku beberapa saat sebelum ia terkekeh dan menarik lepas kaos putih tipisnya. Aku hanya tersenyum menyaksikan ia begitu bernafsu. Jadi kubiarkan saja ia menelanjangi dan menciumi sekujur tubuhku. Lalu kami bercinta lagi.

*****

Upay tiba di apartemen sekitar pukul dua siang. Aku tidak heran kalau ia dapat masuk, seingatku memang aku tidak mengunci pintu semalam. Ia menggelengkan kepalanya saat menatap tubuh Jessica yang tergeletak tanpa busana di atasku. Jessica betul-betul kelelahan dengan pekerjaannya sendiri. Sementara aku masih terbangun, melamun dan menikmati hembusan angin AC. Kugerakkan jempolku dan Upay beranjak ke ruang tamu. Mata Jessica sedikit terbuka saat kugeser tubuhnya.
"Ssh..," bisikku seraya mengecup keningnya.
Gadis itu menggeliat sambil tersenyum. Aku mengangkat tubuhku dari tempat tidur dan meraih celanaku di lantai.

"Aku mencarimu di rumah tadi, tapi tidak ada. Jadi kucari ke sini. Ini, jaketmu tertinggal di rumah. Aku tadi shopping, kupikir sekalian saja aku kembalikan," Upay berkata saat aku memasuki ruang tamu.
"Oh, sori..," sahutku sambil memandangi jaket kulit kesayanganku di atas meja, "Tadi aku berpikir membawa Jessica ke rumah, tapi kupikir-pikir lagi, aku lalu membawanya ke sini."
Upay mengangguk-anggukkan kepalanya, "Eh, Chin mana..?"
"Chin ngga ada," jawabku sambil melangkah menuju ke bar, "Dia pergi liburan."

Aku menatap jenis-jenis minuman di rak, bingung harus minum apa. Upay mendadak sudah di belakangku. Gadis itu menarik bajuku ke belakang.
"Sini, biar aku yang mengerjakan," katanya sambil tersenyum.
Aku hanya tertawa. Tidak berapa lama kemudian Upay sudah terlihat sibuk meracik ini dan itu.

"Siapa itu..? Upay..? Hai..!" kudengar Jessica menyapa dari depan pintu.
Upay menoleh dan tersenyum, "Hai, Jess..!" sapanya.
Jessica lalu melangkah keluar. Gadis itu hanya mengenakan celana dalam dan kaos tipisnya, tanpa bra. Aku tersenyum dan melambai. Jessica mendekat dan segera bersandar manja di dadaku. Upay yang melirik hanya menggeleng-gelengkan kepala.

Belasan menit kemudian, kami sudah duduk-duduk di ruang tamu dengan gelas berisi Upay's Fist nama yang diberikan Upay pada 'mahakarya'-nya itu. Aku dan Jessica bertanya, kemana David. David adalah seorang pria Winchester yang sejak semalam sudah menjadi tunangan Upay. Lalu sambil tertawa Upay bercerita bahwa David tertidur kelelahan di rumahnya, selain kebanyakan minum, juga kebanyakan bercinta. Jessica melirikku dengan senyum simpul. Aku sadar, aku juga terlalu mabuk semalam. Lalu kami berbincang dan tertawa-tawa. Aku sama sekali tidak menduga bahwa tawa dari mulutku hanya sekejap.

Jessica bangkit dari sisiku lalu melangkah menuju balkon.
"Aku mau melihat Surabaya," katanya. Aku dan Upay hanya tersenyum.
"Dia anak yang baik," bisik Upay setelah Jessica melangkah ke balik pintu kaca.
"Ya," sahutku menganggukkan kepala.
Mataku menatap bayangan tubuh langsing Jessica dari balik kaosnya. Gadis itu putih dan menggairahkan, pikirku. Rambut keemasannya melambai. Gerakannya saat mengangkat kedua lengan membetulkan rambutnya membuatku seakan melihat seorang bidadari.

"Kamu baik-baik saja, Ray..? Sori aku mengajakmu pesta semalam."
"Aku tahu. Supaya aku tidak murung, kan..?" sahutku sambil tersenyum.
Upay tertawa renyah, "Begitulah," katanya, "Aku tak tahan melihat cemberutmu."
Kami lalu asyik memandangi Jessica. Gadis pirang yang baru kukenal tiga hari.

Mendadak terdengar suara dari aiphone, "Ray..? Ray..? Kamu di situ..?"
Aku tersentak mendengar suara itu. Upay mengerutkan alisnya. Kuhela napas lalu melangkah menuju aiphone.
"Naik saja," kataku, "Aku bukakan pintu."
Lalu aku berjalan menuju pintu keluar. Aku tidak perlu menunggu lama sampai gadis itu muncul dari koridor.

Ia masih tetap seperti ia biasanya. Tampak polos, keringat kerjanya yang menempel di leher. Aku memalingkan wajah, tidak sanggup memandangnya lama-lama. Aku melirik ke arah Upay di dalam apartemen. Upay mengangguk dan beranjak ke arah balkon. Saat aku berpaling, Moogie sudah berdiri di depanku.

"Hai..!" sapanya dengan tersenyum. Aku membalas senyumannya.
"Ini kerjaan sampai besok lusa. Kamu sudah baikan..?" gadis itu bertanya padaku.
Kuraih folder yang disodorkannya, lalu mengangguk. "Lumayan," jawabku.
"Aku tadi mencarimu ke rumah. Tapi tidak ada siapa-siapa. Jadi kupikir kamu ada di sini. Aku putuskan untuk datang saja, sekalian melihat keadaanmu. Kamu betul sudah baikan..?"

Aku menatap wajahnya yang serius, lalu aku tertawa, "Tentu saja. Aku baik-baik. Sakitnya sudah agak hilang."
Moogie tersenyum dan mengangguk. Lalu kami sama-sama terdiam. Semua jadi begitu kikuk. Beberapa hari yang lalu, aku pasti sudah merengkuhnya ke dalam pelukanku, mengajaknya masuk, lalu bercinta. Tapi sekarang, bahkan menawarkan untuk masuk saja aku tidak dapat.

"Oh ya," mendadak Moogie memecah keheningan, "Kubawakan kamu ini."
Gadis itu mengeluarkan sebuah bungkusan plastik. Saat aku melihat, di dalamnya ada sebuah kotak makanan.
"Ini masakanmu..?" tanyaku. Moogie mengangguk.
Ingin rasanya aku memeluknya saat itu juga. Aku benar-benar merindukan kasih sayangnya. Tapi aku tidak dapat. Tidak setelah aku meninggalkannya.

"Apa isinya..?" tanyaku kemudian sambil tersenyum.
"Anu..," Moogie mengelus dagunya, "Nasi rendang, telur dadar, dan krupuk upil."
Aku tertawa terbahak-bahak. Gadis inilah yang kusuka. Sederhana. Kurasa tidak pernah terlintas di pikirannya, bahwa orang yang tinggal di apartemen sepertiku mungkin lebih suka makan steak atau calamari. Itu juga yang membuatku jatuh cinta sejak pertama kali aku mengenalnya.

Kami terdiam beberapa saat lamanya. Aku tidak mencoba untuk menatapnya. Takut kerinduanku akan membanjir keluar. Akhirnya aku mendengar desahan napasnya.
"Baiklah, aku pulang saja," Moogie berkata lirih. Aku mengangguk.
Saat ia membalikkan tubuh, aku mendadak teringat sesuatu.
"Kamu naik apa..?" tanyaku.
Moogie tersenyum dan membalikkan tubuh.

Tepat saat itu, Jessica menyeruak dari pintu.
"Je's denger ada suara orang," katanya.
Aku menoleh dengan terkejut. Di belakang Jessica, Upay meringis dan mengangkat bahu. Aku berpaling ke arah Moogie. Gadis itu berdiri dengan wajah pucat.
"Moogie..," panggilku.
Sementara Jessica sudah bergelayut di bahuku. Moogie mengangkat lengannya dan menyeka sudut matanya.
"Aku jalan kaki, Ray.. jalan kaki..," desisnya sebelum membalikkan tubuh dan melangkah cepat menuju lift.

Aku mendorong tubuh Jessica ke samping.
"Tunggu di sini..!" ucapku lalu masuk ke dalam apartemen dan meraih jaket kulitku.
Upay hanya memandang ke arahku dengan tatapan menyesal. Aku menggeram, lalu berlari keluar menuju lift. Masih kudengar erangan Jessica di belakangku.
"Hey..! Ada apa sih..?"
Deep shit, Girl.. deep shit..!

Aku mendapati Moogie berdiri di lobi. Di depan pintu lift. Gadis itu menutupi wajahnya dengan telapak tangan. Bahunya bergerak-gerak naik turun. Aku melangkah mendekat.
"Moogie..," bisikku seraya meletakkan tanganku di pundaknya.
Gadis itu berbalik dan menepis lenganku, "Jangan..!" desisnya.
Lalu ia melangkah menjauh. Beberapa orang memandang ke arah kami dengan rasa ingin tahu. Aku tersenyum kikuk dan mengejar.

"Moogie..! Dengar dulu," seruku seraya menarik lengannya.Gadis itu berusaha meronta. Tapi aku mengencangkan genggamanku dan setengah menyeretnya ke daerah yang sedikit sepi.
"Lepasakan..!" serunya meronta, "Sakit..!"
"Asal kamu tidak langsung pergi," ucapku.
Moogie menutupi lagi wajahnya dengan sebelah tangannya yang bebas. Ia menangis. Aku melepaskan tanganku.

"Aku mau antar kamu pulang. Jangan menolak, please..!" ucapku berbisik.
Moogie menganggukkan kepalanya dengan gerakan lemah. Aku bergegas menuju resepsionis dan menyerahkan kartu vallet yang kusimpan dalam dompetku.

Sepuluh menit setelah memasuki jalan raya, kami saling diam. Moogie masih menyeka sisa-sisa air mata di pipinya. Aku mendiamkannya.
"Kamu cepat ya, dapat cewek baru," mendadak aku mendengar ia berkata.
"Hmm..?" gumamku. Aku tidak ingin bercanda saat ini.
"Iya, padahal baru beberapa hari sejak kamu meninggalkanku."

"Hey lihat..! Ada tukang becak pipis di bawah jembatan tol..!"
Moogie menggelengkan kepalanya. "Tidak, Ray," katanya, "Jangan bercanda."
Aku terdiam. Sudah kuduga, tapi kenapa masih kulakukan.
"Maaf," ucapku, "Aku tidak bermaksud menyakitimu."
"Aku biasa saja. Hanya sedikit shock."
Aku hanya diam seraya mengutuk kejadian tadi dalam hati. Moogie juga hanya diam saja. Saat kulirik, gadis itu menopang pipinya dan menatap jauh ke luar jendela.

"Stop dulu..!" aku mendengarnya berkata beberapa puluh meter sebelum kami sampai di depan kantor.
Aku menghentikan mobil di bahu jalan dan menunggu.
"Ray..," kudengar ia memanggilku, "Lihat sini..!"
Aku menoleh. Dan aku melihatnya tersenyum.
"Aku hanya minta satu," ucapnya kemudian.
"Apa..?" tanyaku.
"Nanti jangan lupa dimakan nasinya. Dan jangan lupa minum obat. Aku tahu lehermu masih sakit. Banyak-banyak istirahat. Oke..?"
Aku tersenyum dan mengangguk, "Tentu saja."

Gadis itu lalu menundukkan kepalanya. Lalu ia menarik tas kerjanya, merogoh sejenak, lalu mengeluarkan sebuah benda.
"Ini..," katanya seraya menyodorkan benda itu kepadaku, "Kamu pakailah supaya lehermu hangat."
Aku menatap syal merah di tangannya. Entah mengapa aku ingin memeluknya saat itu juga, menjeritkan betapa bodohnya aku sudah meninggalkannya. Tapi aku tidak melakukannya. Aku hanya mengambil syal merah itu seraya menganggukkan kepala, "Thanks."

Moogie lalu membuka pintu mobil.
"Mau ke mana..?" tanyaku heran.
"Aku jalan kaki saja. Ngga enak kan kalau dilihat orang kantor."
Hatiku sedih saat melihat senyuman di wajahnya. Tapi lagi-lagi aku hanya dapat mengangguk.
"Hati-hati," bisikku seraya memalingkan wajah.
"Aku tahu. Kamu juga," gadis itu berbisik.
Lalu kudengar suara pintu ditutup.

*****

Bersambung . . . .

"Je's ngga peduli. Itu pacar kamu, shit..!" aku mendengar Jessica mengumpat kalang kabut dengan logatnya daerahnya.
Upay sudah pamit pulang sejak tadi. Aku merasa benar-benar sendirian. Aku hanya diam saat Jessica masih terus memaki. Akhirnya gadis pirang itu mengambil semua bajunya, lalu masuk ke dalam kamar mandi. Beberapa saat kemudian, ia sudah keluar, dan langsung menuju ke pintu apartemen.

"Ray..," kudengar ia hendak mengatakan sesuatu.
Tapi ia tidak meneruskan, hanya mendengus, lalu keluar dan membanting pintu. Aku tidak perduli sama sekali. Aku hanya merasa benar-benar sendiri.

Dalam kesepian yang kurasakan, mendadak mataku menatap ke arah kantung plastik di atas meja. Tadi aku menaruhnya di situ, sesaat sebelum mengambil jaket. Kuulurkan tanganku meraihnya, dan dengan hati-hati membuka kotak makanan di dalamnya. Bau rendang dan hawa nasi yang masih hangat menyapu penciumanku. Entah mengapa aku menjadi sangat lapar. Kubawa kotak nasi itu ke dapur, mengambil sendok, lalu menyuapkannya ke mulutku. Dua sendok kemudian aku mulai makan sambil menangis. Makanan ini enak sekali. Kenapa? Karena dibuat dengan bumbu rahasia.

*****

Leherku benar-benar sakit malam itu. Kepalaku juga. Dan dua butir 'pain killer' belum dapat menyeretku ke tempat tidur. Aku mengerang di depan monitor. Perutku melilit kelaparan. Tapi percuma mengais-ngais kotak makanan yang sudah kosong itu. Aku harus menemuinya, pikirku. Tapi benakku yang terdalam meragukannya. Aku tidak bisa, tidak setelah aku meninggalkannya. Ayo, Ray. Gadismu bukan hanya satu bukan? Kamu bisa dapatkan Jessica dalam tiga hari. Dan kamu bisa cari yang lainnya. Dan sebaiknya cepat-cepat, sebelum kamu mati kering di sini.

Saat kalut, mendadak telepon berbunyi.
"Halo? Kok ada orang? Siapa itu? Ray?"
"Ya, ini aku," sahutku.
"Kok lesu? Kamu tidak apa-apa?" kudengar Chin, kakakku, bertanya.
"It's okay. Bagaimana di sana?"
"Baik-baik saja. Dingin. Pingin pulang," katanya dengan suara merengek.
Lalu aku mendengar ia tertawa. Aku juga ikut tertawa.

"Kamu yakin tidak apa-apa?" Chin bertanya sekali lagi.
Chin memang tahu bagaimana nada suaraku kalau sedang susah. Dan itu membuatku menyayanginya, tidak perduli bahwa keluargaku membencinya karena ia seorang lesbian.
"Entahlah," bisikku, "Hanya sedikit kesepian."
"Loh? Mana anak pendek yang tempo hari?"
Aku tertawa kecut, "Dia sudah jauh di sana."

Kudengar Chin mendesah, "Kamu itu ya," katanya, lalu ia berhenti sejenak.
"Kenapa denganku?" tanyaku kemudian.
"Nggak apa-apa. Eh, hemat kartu. Sudah dulu ya? Jangan lupa kunci pintu dan nyalakan alarm kalau mau pulang. Oh, ya..! Waktu si pendek itu datang tempo hari, dia mengatakan satu kata yang membuatku memberinya nilai sepuluh. Dia bilang, 'Kak, bagaimanapun jahatnya Ray. Saya percaya kalau dia seorang yang baik. Karena matanya mengatakan demikian.' Jadi menurutku, ya.. wah.. sudah dulu. Dadah, Dedek sayang. Love you."

Aku masih terdiam. Gagang telepon masih kugenggam, walau sudah terdengar bunyi 'tit' yang panjang. Moogie menyukaiku, walaupun aku jahat padanya. Padahal saat itu aku belum meninggalkannya. Ia berarti sudah menduganya. Sudah menduga bahwa aku akan meninggalkannya. Seolah tersadar dari sebuah mimpi buruk, aku menekan tombol 'flash' dan memencet beberapa nomor. Belum terlalu malam. Masih jam setengah sepuluh. Semoga saja..

"Moogie?" tanyaku.
"Ray? Ada apa?" kudengar suaranya bergetar saat menyebut namaku.
"Moogie..! Aku mencintaimu..! Demi Tuhan. Aku mencintaimu..!"
Lama tidak terdengar suara apapun. Lalu kudengar isaknya.
"Moogie? Moogie..?" aku memanggil-manggil namanya.
"Aku ke sana, ya?" seruku.

"Jangan..!" mendadak kudengar ia berkata.
"Jangan?" tanyaku dengan ketakutan. Apakah aku akan kehilangan dia?
"Jangan kemana-mana. Kamu di apartemen Chin? Aku ke sana sekarang. Kamu sudah minum obat? Aku nggak mau kamu sakit. Kamu sudah makan?"
Aku menangis saat mendengarnya berkata demikian.
"Aku menunggumu. Aku sayang kamu. Dan aku belum makan."
"Hahaha. Aku tahu. Aku juga. Bye Ray."

Aku meletakkan gagang telepon dengan hati berbunga. Aku memejamkan mata dan membuka kedua telapak tanganku ke atas. Bersyukur pada-Nya, untuk sesuatu yang akhirnya kusadari dalam kehidupanku. Aku terisak. Tapi bukan karena sedih. Aku merasa benar-benar utuh saat itu.

Ya. Aku mencintainya. Benar-benar mencintainya. Dan aku begitu bodoh untuk merekayasa segala sesuatu, hanya untuk sesuatu yang aku sendiri tidak menginginkannya. Betapa bodohnya. Aku berusaha meninggalkannya. Persetan dengan segala evils. Aku ingin jadi manusia utuh. Ingin jadi orang yang dibelai dengan penuh cinta dan kasih sayang.

Aku bergegas menuju ruang tamu, dan merapikan segalanya. Mulai dari koran dan majalah yang berserakan, sampai karpet yang tertekuk sedikit. Senyum menghiasi bibirku. Ia akan datang! Ia akan kembali padaku..!

Dua puluh menit kemudian suara bel pintu terdengar. Aku mengerutkan alis.
"Cepat sekali..?" pikirku. Tapi hatiku girang juga.
Cepat-cepat aku berlari ke pintu dan membuka.

"Shit..!" aku menjerit saat Jessica mendorong tubuhku hingga terjatuh ke sofa.
Gadis itu menciumiku dengan liar. Memaguti bibir dan daguku.
"Je's rindu kamu," desisnya.
Ia lalu mengangkat kaos luarnya ke atas. Gadis itu menempelkan buah dada telanjangnya ke mulutku. Napasnya memburu. Aku mencoba meronta tapi ia malah mencakari dadaku dan menindih tubuhku dengan seluruh bobot tubuhnya.
"Jess..! Damn it..!" aku memaki. Tapi ia membekap mulutku dengan bibirnya.

Aku mendorong pundaknya hingga ia terguling dari atasku. Dengan terengah-engah aku menatapnya. Gadis itu tersenyum geli, seolah aku sedang bermain-main dengannya.
"Tidak, Jess.." ucapku tegas, "Please, pergi sekarang..!"
Jessica memandangku dengan alis terangkat. Senyumannya hilang.
"Ray..?" desisnya.
Tapi ia lalu tersenyum simpul dan meraih pengait celananya. Aku memejamkan mata dan menggeleng.
"Pergi, Jess. Tolong dengar saya. Plea..!"
Saat itulah naluriku merasakan seseorang tengah memandangi punggungku.

Aku berpaling dan melihat Moogie di ambang pintu. Matanya menatapku. Bertanya. Keringat membuat lehernya berkilat. Napasnya masih memburu. Ia menatapku beberapa saat lamanya. Lalu melirik ke arah Jessica yang setengah telanjang. Bibirnya mulai bergetar. Kotak di tangannya terjatuh. Aku hanya terpaku menyaksikan ia membalikkan tubuh dan berlari.

*****

Hari itu adalah hari kedua sejak kejadian tempo hari, saat Moogie melarikan diri. Mungkin banyak orang menanyakan, mengapa aku tidak mengejarnya saat itu. Tapi bagaimana lagi? Aku sudah pernah melakukannya sebelumnya, mengejar Moogie sampai ke lobi. Dan kurasa aku, yah, terlalu pathetic untuk mengejarnya yang kedua kali. Kurasa saat itu gadis itu membenciku. Dan aku tidak mau lagi dipandangi oleh seluruh orang di lobi. Cukup sudah, pikirku.

Hari itu diawali dengan sesuatu yang jauh dari perkiraanku. Semula aku mengira akan melihat wajah murung di gadis itu saat aku berjumpa dengannya di kantor, hari itu. Tapi yang kutemui pertama kali adalah senyuman di wajahnya. Ia kelihatan begitu cerah, dengan setelan jas dan rok merah tua, serta baju dalam putih. Ia hanya mengangguk saat aku lewat. Sepatah kata yang kuucapkan, "Hai" tidak mendapat sahutan.

Ya sudah, pikirku. Mungkin aku tidak sepenting itu untuk direnungkan dan ditangisi. Lagipula sejak kejadian malam itu, aku menyadari lagi bahwa aku memang terlalu impulsif untuk mengatakan pada diriku sendiri bahwa aku mencintainya. Kesimpulan setelah makan nasi rendang. Konyol benar. Jadi kucoba untuk bersikap biasa hari itu, tertawa dan bercanda bersama rekan-rekanku.

Suatu ketika, ia datang ke ruangku untuk menyerahkan setumpuk arsip.
"Thanks," kataku menganggukkan kepala.
Moogie membalas dengan senyuman. Tapi hanya itu. Lalu ia bergegas membalikkan tubuh.
"Moogie..," aku memanggilnya. Sedikit heran pada diriku sendiri, untuk apa?
Gadis itu menoleh dengan wajah bertanya, "Ya..?"
"Eh," kataku, lalu terdiam beberapa saat. Bingung harus mulai dari mana.
Lama menunggu, akhirnya kulihat Moogie tersenyum, "Aku keluar, ya?" ia berkata.
Aku menganggukkan kepala, "Sori," bisikku sebelum ia menutup pintu, tapi kurasa ia tidak mendengarnya.

Aku benar-benar dibuat heran oleh perasaanku sendiri. Aku tidak tahu, kenapa kali ini benar-benar ruwet dalam menghadapi seorang Moogie. Mungkin hanya karena ia satu kantor denganku, jadi segalanya lebih susah. Atau karena memang aku masih mencintainya? Pertanyaan yang terakhir kubuang jauh-jauh. Akhirnya aku kembali disibukkan oleh keyboard.
"Sebut saja namaku Ima, usiaku 27 tahun.."

*****

Secangkir kalosi Toraja dan sepiring tuna sandwich. Aku terkadang merasa berdosa, ketika teman-temanku menahan lapar di kantor, aku malah asyik-asyikan di cofee shop. Tapi aku menyukai gaya atheis ini. Menyenangkan menjadi orang bebas. Aku memandangi orang-orang yang hilir mudik di depanku. Beberapa orang wanita berpakaian eksekutif, melirikku saat melintas, dan membalas senyumanku. Mungkin mereka sedang mencari SAL, pikirku geli. Aku tidak tertarik, pikirku kemudian, mungkin lain kali. Tapi saat ini aku sedang menunggu seseorang.

Aku tengah mengunyah sebongkah besar potongan sandwich saat Krista menepuk pundakku dari belakang.
"Hayoh..! Makan terus..!" aku mendengarnya berseru sambil tertawa.
Gadis itu lalu menarik kursi di sebelahku dan mendudukkan tubuhnya. Blazer abu-abunya tampak sedikit berdebu.
"Dari mana saja?" tanyaku.
Krista itu merapikan rambutnya. Gerakannya membuatku sedikit terpesona.

"Bayangkan," ia lalu berkata, "Macet di jalan. Akhirnya aku turun dari taksi dan berjalan lima puluh meter dari pertigaan ke sini."
Aku tertawa terbahak-bahak, "Lha, kenapa buru-buru. Kan aku bisa menunggu."
"Kukira tidak," sahutnya tersenyum, "Buktinya kamu memakan sandwicmu."
Aku melirik ke arah sandwich yang tinggal seperempat. Lalu kami tertawa.

"Sini..! Aku mau itu," mendadak kudengar Krista berkata seraya menunjuk sisa sandwich.
Sambil tersenyum kusodorkan potongan sandwich itu ke mulutnya. Ia lalu mengunyah sambil tersenyum.
"Tetap hangat seperti biasanya," ia berkata.
Beberapa orang menatap ke arah kami dengan pandangan iri.

"Jadi ada apa, Ray..? Kok repot-repot ingin ketemu aku. Kukira kamu sudah lupa."
Aku merasa wajahku memanas. "Tidak," sahutku, "Hanya sekedar butuh teman buat berbincang."
Krista tertawa renyah. Seorang pelayan cafe datang dan meletakkan cofee float ke atas meja.
"Aku tak mengira sih, kalau kamu yang telepon tadi. Kupikir siapa. Eh, ternyata ada hidung belang minta janjian. Kamu sakit ya?"
Aku tertawa mendengarnya.

"Aku memang sakit, faringitis. Susah."
Krista melongo menatapku, "Lha kamu sakit tenggorokan kok masih..," ia berhenti lalu memandang rokok di jemariku. Aku terkekeh.
"Kapan sih ada orang yang bisa menyuruhku melakukan sesuatu..?" Ganti Krista yang terkekeh.
"Aku tahu itu sejak dulu. Waktu pertama kali kenal denganmu. Orang yang tak tahu aturan. Oh, tahu sih. Tapi aturan kasur."
Rombongan cukong di belakang Krista menoleh dan memandang ingin tahu. Aku tertawa melihatnya.

Terus terang saja. Aku pernah tidur dengan Krista. Kami menghabiskan lima malam bersama-sama, waktu kami duduk di semester tiga bangku kuliah. Namun hanya itu. Tidak ada rasa apapun di antara kami. Just sex. Setelahnya, kami kembali sibuk dengan urusan masing-masing. Dia dengan cowoknya, dan aku dengan gadis-gadisku.

"Aku ingin bertanya sesuatu padamu, Kris," aku membuka topik yang memang ingin kubicarakan padanya.
Krista mengangguk, menyedot minuman dari gelas, lalu memandangku dengan tatapan menunggu.
"Aku mau bertanya," ucapku, lalu berhenti sejenak sebelum melanjutkan, "Apakah aku memang tidak bisa mencintai?"
Krista menatapku dalam-dalam, sementara mulutnya menganga.

"Kenapa..?" tanyaku geli.
"Hanya itu..? Aduh. Aku pulang, ah. Masih banyak kerjaan."
"Lho..?" seruku, lalu tertawa terbahak-bahak.
Krista menggeleng-gelengkan kepalanya, "Kamu itu ya..? Jangan mengajukan pertanyaan yang bodoh seperti itu. Kenapa? Kamu baru jatuh cinta ya? Atau gadis mana lagi yang sekarang menangis tersedu-sedu setelah kau permainkan?"
Aku tersenyum mendengar pertanyaannya yang bertubi-tubi.
"Nggak sih," ucapku.

"Aku kenal dengan seorang gadis. Gadis ini lain dari gadis-gadis yang biasanya. Tahu kenapa? Ia tidak menjerit saat aku meninggalkannya. Ia tidak menunjukkan sifat memohon. Dan satu lagi, ia begitu mudah melepaskanku pergi. Itu membuatku sedikit risau."
"Kenapa? Kamu merasa tidak berarti buat dia ya?"
Aku mengangguk. "Mungkin," sahutku.
Krista mengangguk-angguk sambil memutar sendok di gelas minumannya. "Kamu itu over confidence, Ray."
Kami terdiam beberapa saat lamanya.

"Tapi tidak juga sih," Krista berkata, "Mungkin gadis itu sudah terlalu paham dengan dirimu. Dan, yah, mungkin dia sudah siap-siap ketika kamu mulai merasa terikat dan ingin bebas."
Aku menatap gadis itu dalam-dalam. Ucapannya persis seperti ucapan yang dikatakan Chin tiga hari yang lalu.
"Begitu, ya?" desahku. "Kamu tahu..," kataku, lalu menceritakan tentang Moogie dan kejadian dua hari yang lalu.
Krista mendengarkan dengan seksama, sesekali kudengar desahan keluar dari bibirnya.

Bersambung . . . .

Kunjungannya Di Kotaku

Saat yang kunantikan tiba, Yonash datang dari Melbourne, aku menjemputnya dari Airport, bagai dua sejoli yang dimabuk asmara membara, kami saling mencium dan berpangutan menuju kemobilku, didalam mobil tangannya dia selalu membelai, cerita yang dituturkan seperti kita lama tak pernah berkomunikasi, terus sambung menyambung.

Yonash selalu berdendang riang disetiap langkahnya, santai sekali, seperti orang tidak punya beban dalam kehidupannya, kadang aku sendiri bertanya, "Apakah yang membuat orang ini santai, periang sekali, seolah tidak ada yang membuatnya khawatir dalam hatinya"

Kami menuju kehotelnya dijantung kotaku, kedua tangan Yonash selalu meremas, mengelus tangan kiriku, sementara aku mengatur pemindahan versneling. Sesampai di kamar, barang-barang bawaannya diletakkan ditempatnya, langsung Yonash memburuku dan menciumiku dari kening, pipi, leher, sambil tangan Yonash membuka kancing baju depanku dan tangannya menelusup kedadaku dan meremas susuku yang padat dengan penuh nafsu, ketika bibirnya menyentuh bibirku, lidahnya menelusup kerongga mulutku menari-nari di langit-langitku bahkan kadang menekan, menghisap dan membelit lidahku.

Tak kalah galakku dalam berpangutan, aku sambut liar lidahnya, aku ganti menyerang menghisap liur dan lidahnya kuat-kuat, tanganku mulai membuka baju Yonash dan tercium parfumnya, kegemaranku, hal ini membuat birahiku bertambah, nafsu bangkit mengebu, badanku terasa mekar dan buas, seolah aku ingin menelan seluruh tubuh Yonash kedalam diriku.

Kembali aku sedot lidah dalam mulutnya juga air liurnya, kulilitkan lidahku dan kutekan dalam-dalam, tiba-tiba Yonash memondongku perlahan, membawanku ketempat tidur dan merebahkan tubuhku. Dadaku terasa sesak sekali ditindihnya, seolah darahku mengguncang keras ingin muncrat dari kepalaku, karena menahan rinduku kepadanya, diriku sebagai terbang diangkasa bersama Yonash, dia yang telah lama aku rindukan.

Yonash berhasil membuka baju atasku dan juga membuka kaitan BHku dengan cekatan, dia daratkan bibirnya pada payudaraku yang menyembul kenyal, dimainkannya puntingku dengan lidahnya yang kasar, disapunya, digigitnya pelan-pelan dengan penuh kasih dan kebuasan lelaki, hal ini membuatku sangat kegelian, mengelinjang, dan melenguh kenikmatan, jilatan lidahnya turun senti demi senti, inci demi inci menuju ke perut dan pusarku, kemudian lidahnya dimasukkannya kepusarku, tangan Yonash masih asyik memainkan puntingku dengan putaran dan pijitan yang membuat aliran-aliran nikmat pada diriku, gairahku mendaki dan melambung ke atas angkasa raya.

Lima menit kemudian jilatan Yonash semakin turun kebawah, tangan kanannya membuka kancing celana panjangku, dan mendorong celana panjang serta CDku kebawah yang kubantu dengan mengangkat pantatku sekedarnya kemudian dengan kaki kananku aku tarik celana itu ke bawah dan aku tendang nya jauh dari tempat tidur.

Yonash masih membungkuk mencium dan menjilat perut bawahku, akhirnya sampai juga pada gundukan nikmatku, sambil jongkok dia membuka memekku untuk lebih lebar, Yonash memperhatikan dan meraba memekku yang tiada berambut itu. Keadaan kakiku masih menjuntai di luar tempat tidur, ini memudahkan Yonash mengusap dan menjilatnya dengan mulut dan lidahnya.

Kumudian dengan pelan-pelan jari tangan kanannyapun menyelinap kedalam belahan vaginaku, terasa nikmat sekali perlakuannya ini, Yonash meraba bagian dalam dari vaginaku dan dimasuknya tangan itu ke lobang vaginaku, terasa sekali dia memporak porandakan ketenangan G spotku, jari itu bergeser keatas kebawah, kiri dan kanan seolah menari diantara dinding relung nikmatku, kenikmatan indah yang timbul membuatku mengeliat seperti cacing kepanasan, sedangkan lidah kasarnya tetap menyapu clitorisku naik turun ke arah vertical seputar kelentitku.

Yonash agak lama bermain di halaman depan ini, hingga aku terasa ngilu tak tertahankan, darahku berdesir kencang, dera kenikmatan memukul-mukul sukmaku, hingga aku tak kuat lagi membendungnya, akupun berteriak seperti biasa mulutku tak bisa diam bila menerima kenikmatan seperti yang kurasakan kali ini, denyutannya mencapai ubun-ubunku.
"Yonash aachh sshheett eechh, enak sekali Yonashh"
"Yonash ampun, Liana keluar yaa sayang!"

Aku menggelinjang, berdesis dan mendesah, bahkan aku keluarkan teriakan, dan teriakan keras sekali karena ku mencapai orgasme yang indah sekali, karena perlakuan Yonash yang pandai membelai menyapu kelentit, dan clitorisku juga cara meraba relung kenikmatanku.
YonasHPun menegakkan kepala dan memandangku sambil tersenyum, merangkulku kuat dan berkata, "Sayang, kau sangat menggairahkan dengan teriakanmu yang bebas, Liana aku mencintaimu sayang berusahalah sebebas-bebasnya berekspresi, kita akan nikmati bersama ya"

Aku merasa lemas dan lunglai, tulangku seperti dicopoti, namun denyutan vaginaku belum juga reda, hingga kami berpelukan lama sekali sambil berpanggutan kembali. Yonash membiarkan aku dipelukannya, meredakan birahi dan kenikmatanku secara natural, selanjutnya dia membelai rambutku dan menciumi seluruh muka, mulut dan leherku, dengan perlakuannya terasa aku sangat disayanginya dan diperlakukan seperti seorang 'ratu', terbuai aku dipelukan tangannya, rasa damai melanda diriku.

"Sayang, gundukan memekmu menantang ke atas, dan memekmu 'Juicy' sekali, ku ingin memasukkannya kontolku dalam kehangatan relung nikmatmu sayang"
Selang beberapa saat kemudian, gairahku kembali lagi, kudorong perlahan-lahan tubuh Yonash dari badanku, melepaskan pelukannya. Aku bangkit, kulayangkan pandanganku kecelana panjangnya yang masih belum dibuka, kulepas retsletingnya dan kuturunkan celana panjangnya juga celana dalamnya yang berwarna biru muda, kubelai kemaluannya yang sudah sangat keras mendongkak kedepan, aku pandangi dia dengan kagum, karena saat itu aku baru bisa melihat dengan jelas kemaluannya yang pernah memuncratkan spermanya dalam mulutku beberapa minggu yang lalu dipesawat.

Kemaluan Yonash sangat indah dan kuning langsat, bagai kulitnya Yonash yang kuning dan bersih, rambut kemaluannya pun tak terlalu tebal, hanya tumbuh dipangkal kemaluan atasnya saja. Setelah puas memandanginya dan membelainya, kudaratkan bibirku padanya, terasa kehangatan menerpa bibirku, maka aku julurkan lidahku dikepalanya kemaluannya yang telah mengkilat membasah dengan cairan beningnya, tanda birahinya telah melanda Yonash dengan kuatnya.

Kukulum kepala kemaluan itu dan kujilat sekelilingnya juga urat di bagian atas yang terasa agak lunak memanjang sejurus dengan lubang kemaluan, pada bagian atas. Kutahu tentu dia akan mengelinjang dan terasa kengiluan mendera dirinya. Betul juga dia mengerang dan berdesis keras, sambil tanganku mengocok nya dengan ritme pelan dan kemudian mempercepat ritme kocokan.

"Acchh Liana, kau pandai sekali sayang, kau apakan kontolku ini sayang?"
Berulang-ulang kulakukannya dan berulang kali juga teriakan serta erangan Yonash terlontarkan sambil matanya merem melek.
"Liana sayang, aku suka sekali kau perlakukan seperti ini, kau sangat memahamiku dan keinginanku"
Merasa terpujilah diriku, makin bersemangatlah aku melakukan sepongan untuk Yonashku.

Karena birahiku juga sudah melanda diriku makanya kulepaskan kontol Yonash dari mulutku dan cepat aku bangkit dan jongkok di atas panggulnya dan menyelipkan kontol Yonash kedalam relung kenikmatanku, aku genjot-genjot kontol tegangnya Yonash dengan irama seperti mengendarai kuda sembrani, kugoyangkan pantatku kekiri dan kanan, memutar juga naik dan turun, tak lupa juga dengan kupijit kontol itu dengan gerakan mendenyutan otot vaginaku dengan sekuat tenagaku, hingga tanpa kontrol Yonash teriak, mengerang kuat mendapat perlakuan dariku ini.
"Liana memekmu mengempot ayam, kontolku terasa enak sekali, terasa seperti disedot-sedot, dipijat dan dipilin pilin sayang, enak aacchh aduhh aachh sshhett"
"Bisa mati aku nanti kau ginikan sayang"

Yonash bangkit dan membalikkan tubuhku, dengan tanpa mencopot kemaluannya dan bergantilah posisilah kita, dan Yonash mengangkat kedua kakiku ke pundaknya dan dia jongkok bertumpu kedua lututnya dihadapan vaginaku, dan dia menggenjotnya lima kali didalam dan ditarik, memasukkan lagi, genjot lima kali lagi, dengan ritme yang semakin lama makin cepat.

Dengan perlakuan begini, gesekkan batang kontol Yonash menerpa berulang ulang pada G-spotku, relung kenikmatankupun ngilu, nikmat melanda didalam sana, tubuhku mengelinjang dan kepalaku menggelepar, seluruh badanku gemetar, mulutku mendesah dan melenguh.
"Yonash aku maauu keluar lagi ngak tahaan nih kontolmu enak sekali Yonash".
"Saayang Liana kita sama-sama keluar ya, spermaku sudah mengumpul diujung kontolku siap menyemproot, bisa dikeluarkan dimana sayang?"
"Yonash please, lepaskan didalam saja, biar kita bisa menikmati bersama"
Tak lupa kupijit kontol Yonash dengan otot vaginaku.
"Liana, enak empotan memekmu sayang aku nggak tahaann"

Achir nya creett, creet, creet, keluarlah air sperma Yonash didalam relung kenikmatanku. Disini ada suatu kehebatan dari pada kemaluan Yonash, walaupun sudah muncrat spermanya, namun tetap tegang tidak cepat menjadi lembek, sambil menurunkan kakiku ke posisi mengangkang, Yonash masih terus aktif bergerak-gerak maju mundur, sedang aku sudah terkapar tergolek tak berdaya. Tak hentinya Yonash menggoyangkan kemaluannya terus menerus sambil santai membelai tubuhku, menciumi buah dadaku berlama2 sambil menikmati tubuhku, dia memelukku.

Sedikit demi sedikit redalah gairahku dan diapun melepaskan kemaluannya yang masih tetap kencang kemudian direbahkannya tubuhnya di sampingku sambil menggeser posisiku, dengan memiringkan badanku, kali ini Yonash mendekapku dari belakang dan memasukkannya kembali kemlauannya itu dalam relung kenikmatanku dari belakang sambil menciumi punggungku, membisikkan kata-kata mesra dan terima kasih, bagaikan Yonash berhutang berjuta-juta pada diriku. Dari perlakuan ini aku merasa sangat dihargai dan diperlakukan sebagai orang yang betul dia dambakan.

Setelah setengah jam lebih dia puas dengan permainan kontolnya dalam relung nikmatku untuk yang pertama kali ini, kemudian dia berdiri dan mengendongku kekamar mandi dan mandi bersama berendam dan saling menyabuni badan dan kemaluan kita masing-masing dengan penuh kasih sayang dan damai.

Karena rabaan dan belaian Yonash disekitar kemaluanku, aku tergairah lagi ingin mengentotin Yonash lagi, dan aku duduki lagi Yonash yang masih berendam di air hangat itu dan kali ini aku menghadap di kaki nya dan aku goncangkan badanku dan kupijit lagi kontolnya dengan otot vaginaku, tak peduli aku akan gelombang air yang memuncrat tumpah di lantai kamar mandi, terus aku kakukan genjotan karena terasa ada sensasi tersendiri making love dalam bathtub kamar mandi, enak terbuai, terayun bagaikan di awang-awang, akupun dapatkan lagi orgasmeku, aku bungkukkan badanku, aku terkam pergelangan kaki Yonash dan aku gigit kaki betis kakinya, Yonash pun teriak mengisaratkan dia juga akan memuncratkan spermanya dan tangannya menggapai pantatku, diremasnya pantatku yang bulat kencang.
"Liana, aku keluar lagi sayaangg aachh sayaangg!"

Setelah kami reda dari kenikmatan, aku pun bangkit dan jongkong, tepat memekku berada di atas mulut Yonash, kakiku di atas dua sisi pinggir bathtub sambil berpegang pada keran besi ditengah bathtub itu.
Lalu aku berkata pada Yonash, "Yonash tolong bersihkan memekku ini dengan lidah dan bibirmu ya sayang"
Yonash pun melakukan seperti apa yang ku inginkan dengan senang hati sambil menepuk-nepuk, mengelus-elus pantatku dengan kedua tangannya.

Beberapa saat kemudian Yonash menarik tubuhku turun dengan pelan dan mendudukan aku dalam air lagi didepannya, membelakanginya. Yonash mendekapku erat dari belakang sambil menciumi punggungku, Yonash tahu sekali bila aku suka diperlakukan begini sehabis ML. Maka tergambar dalama ingatanku dengan jelas, hal ini tak pernah terjadi dikehidupan perkawinanku dengan suamiku, sebaliknya, aku sangat merasa dihargai sekali oleh Yonashku.

Puas kami bermain cinta di kamar mandi kami pun mandi lagi, selesai mandi aku keringkan tubuh Yonash, aku bedaki dengan talkum kesayanganku. Yonash pun senang sekali menerima sentuhan kasih dari mulai mengeringkan tubuh dan kontolnya kemudian kubedakin tubuhnya sampai aku pakaikan T shirt dan jubah mandinya, setelah semuanya rapi, kamipun berajak ketempat tidur dan istirahat.

Terhenyak kami dari tidur, karena deringan telephone dari Hpku, kulirikkan mata kearah jam tanganku, jam menunjukkan jam 3:15 sore, terbangunlah kami berdua dan ternyata anakku yang menelphone, melaporkan bahwa dia mendapat nilai bagus pada assignmentnya. Aku katakan pujian pada anakku dan pesan bahwa Mama lagi meeting, kira 4-5 jam lagi baru pulang, silahkan makan duluan, karena Mama mau makan diluar dengan orang kantor.

Setelah kututup Hpku, secepat itu juga Yonash menyambar pinggangku dan menciumi lagi, dan kamipun making Love lagi dengan berbagai styles kita coba, kadang aku sandarkan Yonash dengan bantal di'head bed'dan aku jongkok di atas kemaluannya dan aktive naik turun, atau aku yang bersandar dan Yonash yang menyodokan kemaluannya dengan bersimpuh didepan memekku, kakiku diangkat di pinggang nya satu agak miring. Juga kita coba style lain dengan aku bersandar tidur miring, dari belakang Yonash angkat kaki kiriku, dimasukkannya kontol Yonash dari belakang, sambil tiduran miring dibelakangku seraya menggeser badan dan kepalanya menjauh dari badanku, Acchh style yang ini sangat aku senangi, style ini enak sekali rasanya, aku bisa blingsatan karena bergetar semua badan dan sukmaku mencari pegangan, sensasi yang ditimbulkan sangat berbeda untuk kami berdua, kami bisa mengerang dan melenguh sama kuat sampai kepuncak orgasmeku tercapai. Style ini lain dari yang biasa kita lakukan, dimana kita masih bisa saling berpegangan tangan, bersentuhan kulit sama kulit atau berciuman untuk meredakan getaran birahi kita yang ditimbulkan.

Paginya adalah hari Jum'at, ku minta ijin untuk 'off', karena bulan itu aku punya cukup kelebihan jam kerjaku untuk 1 hari 'off'. Pada jam 7.00 pagi Hpku bergetar ditanganku, sedianya aku yang akan menelphone Yonash, namun dia telah mendahuluiku. Yonash mengatakan bahwa dia sudah siap dijemput, menjawab ajakanku kesalah satu Winery 'Hungerford Hill' NSW, diluar kotaku, disana aku sudah membooking cottage, untuk 2 malam, karena anak-anakku pun akan ikut kamping dengan kelasnya kepantai selama 2 hari. Kesempatan ini aku gunakan untuk berwisata dengan Yonash menikmati perkebunan anggur dan pabrik wine di NSW Australia.

Menuju ke Winery tersebut kami harus menempuh pejalanan 2.5 jam dengan kendaraan, cottage-cottage didaerah itu dibuat berjauhan jaraknya antara satu dengan yang lain, adapun pagar mengelilingi tiap cottage tersebut dengan ketinggian 170 cm.

Di halaman belakang ada meja dari batu yang ditatah sebagai sarana meja makan bila kita mengadakan BBQ, dengan diatapin pohon anggur yang tumbuh merambat di atasnya menjadikan suasana ini menjadi asri, nyaman sangat romantis. Kamipun terbuai, bara asmara kami terbakar lagi, birahi kami menggelora, keinginan selalu ML disitu semakin menjadi obsesi kami berdua, sambil melihat kupu-kupu warna warni terbang menikmati kehangatan udara, bahkan burung bercengkerama, ada juga yang memadu kasih di atas kami.

Yonash selalu berkata, "Mari kita coba hidup seperti di zaman purba, buka baju aja yuk"
Aku pun tidak menolaknya, udara saat itu sekitar 21 derajat Celcius, matahari bersinar bagaikan menumpahkan sinar emasnya, langitpun biru tak setitik awan menodainya, angin tidak banyak ulah menggangu keindahan alam saat itu, orang Australia selalu berusaha keluar rumah untuk menikmati hari indah seperti ini, mereka menyebutnya 'a glorious day'.

Akupun senang dengan suasa ini, karena memang disuasana 'glorious day' ini, nafsu birahiku selalu bangkit, ingin aku menikmati dakian birahi dalam bercinta yang menggebu, ingin aku merasakan dengusan nafsu Yonash yang sedang buas liar ingin menerkamku. Kesempatan ini tidak akan kami lewatkan, semasa kami sedang dirundung asmara, baranya menghangatkan tubuh kami, keinginan kami untuk ML sangat kuat, memekku selalu berdenyut meminta di sambangi oleh kontol Yonash yang selalu mengeras tegang.

Akhirnya kami putuskan meja batu itu menjadi tempat kegiatan utama kami memadu kasih dan ML disiang hari itu, sambil membakar keratan-keratan daging ayam dan kambing, juga sosis-sosis, ditungku pembakaran yang telah disediakan di dekat meja makan tersebut.

Kadang aku duduk di meja batu itu, Yonash menjilatin memekku dengan rakus sambil duduk di bangku kayu nya, atau Yonash yang duduk dimeja dan aku aktif menyepong kontolnya yang hangat dari bawah, bahkan kami juga betul-betul ML meja itu dengan telanjang bulat, desahan erangan, lengkingan tak pernah kita tahan lagi, kenikmatan demi kenikmatan kita gapai, kita renggut dan tuai bersama-sama.

Kami juga bercinta di gudang belakang cottage, hal ini terjadi sewaktu kami membutuhkan kable perpanjangan digudang, karena sewaktu aku nungging mengorek tumpukan barang digudang menarik kabel yang ku maksud ada di bawahnya, badanku dan pantatku bergoyang, Yonash yang ada di belakangku kontan konak lagi kontolnya, dan menerkamku dari belakang, nafasnyapun tak bisa dikendalikan. Sempat juga aku kaget karena tak aku sangka Yonash tiba-tiba menjadi buas, dan setelah ku tenggok ke belakang matanya yang sayu telah memohon dan mulutnya menyerbu mulutku, kelumat bibirku.
"Liana, Liana, aku tak tahan lihat pantatmu bergoyang nafsuku memburu, aku ingin ngentot kamu disini, please let me into your warm body"
"Liana aku ingin merenggut kepuasan denganmu, tolong kamu pegangan ujung lemari ini akan aku masukkan kontolku ini dari belakang ya?"

Aku dekap dia, aku elus rambutnya aku cium dalam bibirnya yang menganga.
Lalu kubisikkan kepadanya, "Yonash sayang, OK, kita ngentot disini, kita nikmati berdua ya, tunggu aku sampai aku mencapai orgasmeku ya"
Langsung aku memposisikan diriku seperti kemauannya, kemudian Yonash menusukkan kontolnya di vaginaku dari belakang, aku berteriak kegelian dan pompaan Yonash sangat enak, dan menyentuh seluruh lorong kenikmatanku, bahkan sampai dinding rahimku yang terdalam.
Aku pun menjerit, "Yonash, kau pandai, Yonash kontolmu memberikan kepuasan didalam sana, pompa lagi Yonash enak sekali, ach Yonash aku keluaar"
Sampailah aku di puncak orgasmeku, langsung Yonash melepas kontolnya dan meraih pinggangku dan membalikkan badanku berhadapan dengannya, menggangkat tubuhku dan menjuruhku merangkulnya lehernya kuat-kuat dan memompa kontol Yonash kembali. Sambil aku dongkakan badanku kebelakang, aku memompa kontol Yonash keatas kebawah, hingga Yonash mencapai ejakulasinya.
Diapun teriak sambil memejamkan matanya dan membuka mulutnya, "Achh Liana aku sampai, enak liana memekmu enak sempit, menghimpit kontolku, aku keluaar liana.. aach, aku puas"
Kuhentikan pompaanku, namun denyutan memekkupun terasa bahwa aku akan mencapai orgameku lagi, maka aku pun berteriak kembali, sambil merangkul erat leher Yonash, kucium kuat mulutnya.

Pagi hari biasanya kita keluar melihat lembah dan ngarai didaerah itu, kemudian kita melihat pabrik Wine dalam cara memproses anggur menjadi wine. Setelah kita puas mencobai wine dan melihat-lihat sekitar daerah itu, kami kembali lagi ke cottage, Yonash memasak dan aku menyiapkan mejanya, karena Yonash memang senang memasak dan banyak akalnya.

Setelah makan kamipun tiduran sambil bercerita tentang kejadian keseharian yang aneh disekitar kita sampai tertidurlah kita sejenak. Namun tiba-tiba Yonash bangun dia menarikku dan menyodorkan kontolnya yang sudah tegang mengeras, sambil meminta dangan mata sayunya supaya aku mau menyepongnya, menjilat dan menghisapnya dengan mulutku, kulakukan semuanya ini dengan suka hati, aku kocok lagi batang kemaluan itu yang akhirnya dia mengerang menikmati ejakulasinya disertai kenikmatan yang tiada tara. Segera aku hisap spermanya yang memuncrat kuat ke mulutku dan kujilati semuanya tanpa sisa sedikitpun.

Kemudian selanjutnya Yonash memasukkan kemaluannya dalam memekku dalam posisi tiduran miring dari belakang sambil meremas payudaraku dan menciuminya dari belakang, tarian dan gerakan kemaluan Yonash hangat mengenai dinding vaginaku yang terdalam dan aku tak kuat untuk berdiam diri, dengan lebih membungkukkan badanku ke depan lagi, desahanku keluar, erangan, lengkingan jeritanku membahana, karena orgasmeku tercapai lagi.

Sore menjelang malam hari, Yonash yang suka melihat TV itu duduk dikarpet didepan TV, saat itu aku ingin mencari perhatiannya, dan memekku sudah berdenyut lagi, aku pengin making love lagi. Tanpa sungkan aku hampiri dia, dan kusodorkan memekku ke mulutnya sambil berdiri, dengan begitu dia segera menyambut dengan juluran lidahnya, menyapu dan melumatnya sepuasnya sampai akupun mengerang lalu kamipun meneruskan ML kami lagi. Hari itu nyaris kita tidak pakai pakaian, minim sekali yang kita pakai di malam yang dingin itu, kita tidur di karpet dengan bara kehangatan heater semalaman.

Kami betul-betul sangat menikmati permainan cinta yang indah yang kita ciptakan itu, kegiatan ini kami teruskan selama Yonash mengunjungi aku. Kami ML dihotelnya tiap hari sepulangku dari kerja disore sampai menjelang malam. Makan malam bersama, cari 'ice cream' yang enak berdua, belanja makanan dan barang kecil berdua. Kadang kami pergi kepantai berdua disore hari, menikmati 'sunset' sambil bercumbu, berlarian dipasir pantai, seperti kita sedang menikmati dunia remaja kembali.

Selama Yonash di Melbourne 6 bulan, aku berkunjung 3 kali keapartemen Yonash dan YonasHPun menjenguk kekotaku 4 kali. Kami rasanya tak ingin dipisahkan dan kami benar-benar menikmati permainan gelombang cinta kami. Bagiku, Yonash adalah orang yang menggugah aku dari tidur nyenyak, membuka langit biru diatasku, melebarkan cakrawala didepan mataku, untuk menikmati cinta dan permainan birahi yang penuh gelora di dunia ini.


Bersambung . . . .

Di Negeri Sakura

December akhir 1998, Yonash harus pulang ke Indonesia, sebulan kemudian Yonash tulis surat bahwa dia sudah di Negeri 'Sakura', Negeri 'Terbitnya Matahari', Yonash akan mengundangku kesana dalam waktu dekat.

Komunikasi antara aku dan Yonash 'intense' sekali, badanku selalu gemetar seolah gelombang listrik ribuan watt dikirimnya dari jauh menyeberangi lautan dan benua menerpa diriku, pikiranku tidak bisa focus menghadapi masalah kerjaan dan hidup keseharianku sendiri. Walau semuanya itu kutekan sebaik mungkin, namun arus Listrik ini sangat kuat menghempasku tak berdaya, aku tak dapat menipu diriku, aku terhanyut oleh birahi cinta. Otakku sadar betul akan keberadaanku, namun perasaanku, badan mencuat meronta, badanku menggigil panas-dingin tak karuan, meminta semua hasrat birahiku terpenuhi aku inginkan selalu bersua dan ML dengan Yonashku.

Enam bulan kemudian aku diutus perusahaan dimana aku bekerja untuk pergi ke 'Negeri Sakura', sebagai wakil perusahaan dalam menghadiri pameran dagang yang senyawa dengan warna dari perusahaan kami bergerak, adapun kota tepatnya adalah Kyoto. Bagai anjing yang kena pukul, serta merta aku menyanggupi kepergian ke kota itu, aku tulis email kepadanya bahwa aku akan datang selama 2 minggu, Kyoto 4 hari dan sisanya kekota tempat Yonash belajar.

Benar, pada saat aku mendarat dibandara, Yonash sudah menjemput dengan senyum khasnya, dan menyapa.
"Mengapa kok tegang sekali sayang lelah ya?"
"Rilekslah nanti aku pijitin dan akan segar sempurnalah tubuhmu lagi"

Sambil mengapit tanganku menyingkir dari keramaian orang-orang, kecupannya mendarat dibibirku, berpangutanlah kami terasa getaran sukma dan deburan darahku tak henti melanda diriku, cukup lama kami berpangutan, melepaskan rindu selama 6 bulan yang tak tersalurkan.

Sesampai di hotel setelah 'check in' dan masuk kamar, langsung Yonash menelanjangiku, mengendongku ketempat tidur, dibelainya seluruh tubuhku, dikeluarkannya 'body cream' dari tasnya yang sengaja dibawa dari kotanya.

Dilumurinya tubuhku sedikit dengan 'body cream' dan mulailah dia memijat sekujur badanku, setelah itu dia menyelimuti tubuhku dan dia pun merebahkan tubuhnya disampingku sambil meremas-remas payudaraku dan membelai tubuhku, hingga tertidur lelaplah diriku selama 2.5 jam, rupanya perjalanan 12.5 jam lebih membuat aku betul-betul penat.

Yonash membiarkan aku tidur, kesempatan itu dia pergunakan untuk membaca Journal dan material bacaan kuliahnya. Sebangunku Yonash gendong tubuhku kekamar mandi dengan air hangat yang telah tersedia, dan dimandikannya diriku.

Spontan ketika dia menyabuni badanku akupun menyabuni badan Yonash, dari sentuhan mesra ini timbullah gairah syahwatku, segera kutarik Yonash mendekat kebadanku dalam bathtub penuh air, kaki kita saling menyilang dan badan kita berhadapan, kumasukkan kemaluan Yonash dalam memekku, sambil berkata:

"Yonash sayang, kita ngentot lagi yang indah ya, aku rindu ML dengan mu, kontolmu enak"

Dia terseyum mengiyakan, mulailah aku memeras kontol Yonash dengan otot vaginaku, dan aku ciumi Yonash dari bibir, pipi, kuping dan lehernya, sedang Yonash mengayun pantatnya maju dan mundur. Puas dengan gaya ini, aku bangun dan aku tunggingkan badanku sambil berpegangan kran air, aku buka dua pahaku kakiku dan aku minta Yonash untuk mengentot aku dengan 'doggy style', juga 'bull style' dimana Yonash merebahkan badannya di punggungku dan tangannya meremas-remas payudaraku, Huuh nikmat sekali kontol Yonash menyentuh dinding terdalam dari liang kenikmatanku, menggeliat tubuh bagian dalamku, seolah kontolnya menari didalam disana, tak tahan aku mendapatkan dera nikmat yang tibul dari gesekan kontol Yonash, ngilu dan nikmat semakin menjadi sensasi hebat timbul dari dalam sana, hingga Yonash dan aku harus mengerang, desahan dari mulut kita tak terelakkan, getaran tubuhkupun tak kunjung berhenti, akhirnya akupun mencapai orgasme. YonasHPun teriak untuk kedua kalinya, dia mencapai ejakulasinya bersamaan denganku.

Setelah kita selesai dengan styles ini, seperti biasa kontol Yonash belum lemas dan sambil menyiram dan menyabuni badanku kontolnya masih menancap dimemekku, diangkatnya badanku dan diputarnya badanku berhadapan dengannya, tanganku merangkul kuat lehernya, kemudian dia berdiri sambil membopongku diayun-ayunkannya badanku naik turun, dan Yonash menahan badanku dengan kedua kakinya agak mengkangkang tegak sekuat tenaga, hingga terasa nikmat melanda tubuhku kembali.

Dibawanya aku di meja dekat kaca kamar mandi, didudukkannya aku di 'vanity' itu, lalu Yonash mengentotku sambil berdiri, Yonash mendengus, melenguh dan mengaduh dia keluarkan lagi spermanya divaginaku dan akupun mulai terasa akan mencapai orgasme, maka aku cenkeram, aku cakar pundak dan punggung atasnya memakai kukuku, aku jeritkan ngiluku karena aku betul-betul mencapai orgasme yang sangat tinggi dan lama.
"Yonashh aku keluaarr lagi, enak sekali Yonash kontolmu aku puas sekali Yonash!"
"Yonash memekku berdenyut-denyut aachh enak Yonash"
"Yonash cium aku Yonash please, Yonash kiss me please!", begitulah racauanku bila aku merasakan kenikmatanku dikala aku mencapai orgasmeku.

Esoknya kami pergi nonton pameran dagang undangan dari kantorku setengah harian, setelah makan siang direstoran didekat gedung pameran itu, sorenya kita nonton Orchestra, distasiun underground Kyoto, tepatnya sebelah kanan atas dari pintu masuk stasiun itu, tepat dibelakang Department Store Takashimaya.

Sepulang dari nonton Orchestra kami kekolam renang campur laki-laki dan perempuan, dan telanjang bulat. Kami berendam diair panas, kemudian ganti keair dingin, selang-seling tiga kali, dengan perubahan kondisi air tersebut, membuat kemaluan Yonash menegang keras lagi.Keadaan tubuhkupun terasa ada dorongan sensasi yang hebat, ingin dipenuhinya hasrat besar untuk melakukan ML, ditambah lagi karena dari sentuhan-sentuhan yang kami lakukan, memekku berdenyut-denyut hebat lagi, ingin merasakan desakan kontol Yonash didalam sana dan ingin kujepitnya kontol Yonash keras2 dengan otot vaginaku.

Dalam keadaan demikian kami betul-betul terbuai, hasrat untuk ML kami menjadi sangat menggebu, seolah sukmaku dan sukmanya meronta ronta ingin keluar, memadu cinta kita berdua diudara bebas. Kemaluan Yonash kudapati semakin lebih keras menegang, Yonash menarikku dengan kuat berusaha memasukkan kemaluannya kedalam memekku dengan buasnya, akan tetapi aku berhasil menahannya.
"Yonash sayang, kau 'wild' sekali kali ini kontolmu konak, kita dikamar saja ya sayang, kita puasin disana ya"
"Liana 'bidadariku', aku 'wild' sekali saat ini, ingin aku merenggut kepuasan dari dirimu kali ini lebih lebih".
"Bagaikan aku ketagihan candu Liana, aku ingin ngentot lagi sama kamu sampai puas sekali sayang", deru nafasnya sangat kencang, matanya redup sayu namun buas, bagaikan kemasukan dewa birahi dari salah satu kuil Jepang.
Kubelai rambutnya yang basah, kusambut ciumannya yang hangat menyalurkan setrum listrik beribu watt kembali padaku. Aku bimbing Yonash keatas dan aku tarik handuk dari pinggir kolam untuk menutupi kemaluan Yonash yang menegang.

Namun diluar dugaanku, Yonash malah menggendongku menuju ke salah satu kamar disitu yang kebetulan memang tersedia kamar untuk pasangan laki-perempuan menyalurkan hasrat syahwatnya, maka Yonash langsung meletakkan aku di tempat tidur dan Yonas mengentotiku sambil berdiri dan kedua kakiku lurus di dua sisi pinggangnya, dua tangan dia memegang kedua paha atasku, kita ngentot, dengan 'Rickshaw style' atau gaya 'gerobag dorong', Yonash melenguh, mendesah dan mendengus, akupun melengking keenakan karena kebuasan Yonashku, aku meleguh dan teriak keras bila kontol konak Yonash menyentuh G-spotku, dinding vaginaku yang terdalam tersasa tergesek-gesek, dihempas-hempaskannya dengan kontolnya yang tegang keras sekali.

Tiba-tiba YonasHPun teriak menyambut ejakulasinya, yang aku susul juga teriakanku yang panjang karena aku mendapatkan orgasmeku. Yonash terpuruk ambruk di dadaku sambil kontolnya masih menanjap di memekku, kami berpelukan. Maka aku belai rambut Yonash yang masih basah itu, dengan penuh kasih sayang.
"Yonash kontolmu kuat, dan gagak sekali, enak menerpa dan menari didalam sana"

Yonash tak menjawab hanya senyumannya dan redup matanya, yang menerangkan bahwa dia masih mau lagi bertarung denganku. Sepuluh menit kemudian Yonash mengangkatku, dengan kontolnya masih menancap di memekku, dan duduklah dia di pinggir tempat tidur, dan meminta aku memompanya naik turun. Aku berusaha memuaskan Yonash dengan senang hati, aku lakukan pemompaan kontol Yonash sambil badanku agak condong kebelakang dijaga dengan kedua tangan Yonash yang kuat memegangi pinggangku supaya aku tidak terbalik jatuh kebelakang.

Setelah kami daki nafsu asmara kita selama 3 menit, kamipun mencapai ke puncaknya, kami berdua melantunkan kepuasan aku mencapai orgasme dan ejakulasinya Yonash hampir bersamaan, maka melengking, berteriak bebaslah kita berdua. Rupanya pelayan-pelayan situ sudah memahami keadaan kami dan merekapun berlagak tuli dan tak perduli.

Setelah kami membersihkan diri lagi kamipun cari makan malam kemudian kembali pulang ke Hotel, terasa lelah sekali badanku dan tertidurlah aku. Dibiarkannya aku tertidur, Yonash mengambil buku untuk belajar lagi, setelah 3jam dia belajar, dibangunkannya diriku dan kami ML lagi dibalkon dengan 'doggy style' juga dikursi, yang terbuat dari besi, aku duduki Yonash yang sedang duduk dikursi balkon itu, aku masukkan kemaluan Yonash ke memekku posisiku membelakanginya, dengan agak condong ke depan kakiku mengkakang diantara dua kakinya, aku pompa kontol Yonash naik turun terus menerus, sambil Yonash memegang pinggangku.

Enak sekali rasanya dengan style ini memekku seolah digesek dan diaduk2 di tempat G-spotku, rasa ngilu tak terperikan seluruh relung kenikmatanku bergetar hebat, hingga akupun teriak histeris seperti macan betina melolong karena kena luka dari lawannya, hal ini tak bisa kutahan bila mendapatkan orgasmeku yang sangat mikmat, akupun memanggil namanya, "Yonash, Yonash! Gila kau, enak sekali kontolmu sayang!"
Sambil aku jepit, pijit kontol Yonash memakai otot vaginaku kuat-kuat, maka YonasHPun melengkikkan suaranya rupanya dia sampai kepuncak pendakiannya dan menyeprotkan spermanya yang terkumpul diujung kontolnya kedalam memekku.

Pagi harinya, biasa Yonash bangun pagi, mandi terus belajar, dengan lampu mejanya. Sesegera Yonash melihat aku mengeliat, langsung dia naik lagi ke tempat didur dan mencari gundukan nikmatku dan di jilatinnya gundukan segitiga nikmatku dengan buas dan rakusnya, cepat sekali dia membuka bajuku dan baju dia sendiri, dalam hitungan menit Yonash udah membalikkan badanku di atas badannya dengan kontol yang sudah menantang siap untuk di sepong, jadilah kita memainkan 69 kesukaan kami untuk ber"foreplay".

Setelah kami puas dengan raungan, teriakan ngilu dan geli berganti kita rasakan, dengan sigap namun penuh hati-hati Yonash membalik tubuhku, memposisikan tubuhku nungging dengan kepala miring di tempat tidur, Yonash menusukkan kontolnya dari belakang sambil menekuk kakinya ke belakang di tempat tidur, style ini selalu menjadikan badanku gemetar karena Yonash pandai sekali menyentuhkan kontolnya dalam relung nikmatku yang terdalam hingga menerpa G-spotku berulang kali, sangat ngilu rasanya bila terkena hentakan kontol Yonash, hingga kami sampai pada puncak nikmat kami masing-masing.

Setelah puas bermain cinta pagi itu, kami membersihkan diri, aku segera menyiapkan sarapan Yonash. Kemudian dia kembali belajar, akupun membaca bukuku novelku, sambil duduk bersandar bantal di 'Head bed' dengan kedua pahaku aku tekuk keatas terbuka tanpa CD, tak jarang YonasHPun menghampiriku dan mencium memekku dengan buasnya. Aku suka sekali diperlakukan begini, dan YonasHPun suka melihat aku seperti ini duduk tanpa CD didepannya sambil belajar.

Demikianlah tiap hari selama kami di Kyoto, pagi bangun tidur kami sudah tergairah untuk making love sepuasnya, kemudian Yonash meneruskan belajarnya. Jam 8:15 kami pergi ke pameran sampai siang hari, selanjutnya kami melihat kuil-kuil dan paviliun-paviliun kuno. Setelah puas pesiar, kami pulang istirahat, akan tetapi banyak sebab yang selau membuat kita tergairah untuk kita terhanyut 'makinglove' lagi, entah karena tiba-tiba aku minta ciuman Yonash yang kuat dan dalam, atau kadang hanya karena pandangan kita beradu, ataupun dengan sengaja Yonash meraba, mengeluarkan tetekku untuk di hisapnya sambil dia mengerjakan sesuatu di hotel itu. Tak lelahnya kita ML, kadang 3-4 kali dari sore sampai malam hari, mulai oral sex sampai beberapa styles ML bisa kita lakukan. Tak jarang kita tertidur lupa tidak memakai baju, karena udara sangat mendukung di 'spring' mau menuju ke 'summer'itu.

Hari kelima kita naik kereta cepat ke kota Yonash belajar, Yonash menyewa apartemen di daerah tidak jauh dari kampusnya, kami leluasa sekali ML di apartemennya dari mulai di teras belakang, di kamar, dikamar mandi dan meja makan, di atas meja dapur, sambil tiduran ataupun berdiri, aku akui stamina Yonash sangat tinggi, dia mampu ML berdiri sambil memondongku berlama-lama, sambil dia menciumi bibirku tak henti hentinya.

Bila aku merasa capek dibiarkannya diriku tidur adapun Yonash kemudian memasak nasi dan lauk atau dia mengerjakan tugasnya, dan bila aku bangun dia sudah siap menyuapkan makanan dimulutku, apa saja yang dekat dengannya entah itu makanan kecil atau hanya sekedar 'jelly fruits in the cup' kesukaannya.

Hari ke 3 dikotanya, Yonash dimintai tolong supervisornya untuk tidur dirumahnya, karena dia mau pergi ke Taiwan untuk tugas disana seminggu, dan dia boleh bawa temannya, dan kamipun pindah kesana. Rumah itu lebih besar dari apartemen Yonash, juga kebun di belakang sangat yaman, kami lakukan Ml didalam rumah dan diudara terbuka dibawah pohon-pohon cemara normal besar yang di pangkas seperti bonsai.

Disiang yang yaman 19 derajat Celcius itu kami ada di halaman belakang dibawah pohon cemara tersebut membaca Novelku, ditariknya diriku, dilepaskannya celanaku dan bajuku, di dekapnya aku sambil Yonash bersandar di batang pohon cemara itu.
"Liana kita ngentot di udara terbuka ya, aku pengin kepuasan darimu saat ini dibawah pohon ini, Liana tinggal disini dampingi aku disini sayang, kita ngentot disini terus menerus ya!"
Aku tak menjawab, hanya senyum saja, karena aku tahu itu racauan Yonash bila ingin melampiaskan nafsu birahi asmaranya bersamaku, dia sadar bahwa aku harus kembali di asalku, aku hanya mengelus rambutnya dan menciumi mulut, pipi dan lehernya.

Segera kami making love sambil berdiri berlama-lama sambil menikmati burung-burung bernyanyi di atas kita, mungkin malah burung-burung itu melihat dan menikmati suasana indah kita yang sedang 'hot' ngentot di halaman belakang itu, acchh rasanya dunia ini hanya milik kita berdua.

Esokannya kami bangun jam 8:30, karena spring time, humiditi udara disitu agak tinggi, artinya kita agak banyak berkeringat. Maka kamipun memutuskan untuk mandi dikamar mandi belakang, dimana bak mandi tersebut bentuknya seperti bak mandi di indonesia akan tetapi letaknya dibawah permukaan tanah, kedalam, sedangkan kamar mandi yang depan bermodel "bathtub" dan "shower", seperti di barat.

Kami berdua turun dalam air hangat yang sudah kita sediakan. Karena sempitnya bak tersebut yang hanya memang bisa untuk dua orang, maka kita tidak sabunan badan dulu, hanya saling meraba dan mencium, dari sentuhan itu nafsu birahi kami bangkit lagi kemudian kami saling mendekap.

Aku mulai meraba kemaluan Yonash yang ternyata memang kemaluan Yonash sudah berdiri menentang dan keras. Aku elus-elus batangnya, juga dua buah zakarnya yang menjadi agak mengecil karena membesarnya batang kemaluan Yonash tersebut. Aku suruh Yonash duduk di pinggiran bak mandi tersebut dan aku mulai menyepong kepala kemaluannya sambil berdiri didalam bak mandi, jilatanku menjalar terus ke batang kemaluan dan sampai ke kedua buah zakarnya, kuhisap buah zakar itu, kumainkan dalam mulutku.

YonasHPun kegelian dan mulai mendesah, mengerang, dengan sedikit mengangkat kaki kanan Yonash aku jilati semua paha dalam Yonash hingga Yonash menggigil kegelian.
"Liana enak Liana, teruskan liana, enak sekali ingin aku mendapat sepongan tiap hari begini"
"Tinggallah bersama aku disini terus, Liana sayang, aku membutuhkanmu"
Sekali lagi aku tak menjawabnya, hanya terus melirik keatas dan terus melakukan jilatanku ke arah batang dan kembali kekepala kemaluannya. Yonas memegang kepalaku dan menjambaknya kuat-kuat dia berusaha merunduk untuk menciup keningku tapi terlalu jauh untuk dijangkaunya, kemudian aku tepuk pantatnya untuk Yonash turun kedalam bak mandi lagi.

Sesampai didalam bak mandi lagi, langsung saja Yonash diselipkan kontol tegangnya itu kememekku dan dengan agak menggendongku dia goyangkan pantatnya maju dan mundur sampai kami mencapai kenikmatan masing-masing. Gerakan Yonash yang semakin kencang itu terasa tak membutuhkan tenaga banyak karena kami berada didalam dalam air, badan kami terasa ringan tidak menjadikan kami lelah, karena gerakan kami yang kuat, bak mandi dibawah permukaan lantai itu memuntahkan air nya ke permukaan lantai dan airpun mengalir keselokan yang telah disediakan.

Kemudian Yonash mengangkatku agak tinggi lagi, dan menyuruhku memompa naik turun, Aku sangat menikmati permainan ini, denyutan memekku menjepit kontol Yonash yang agak pasive saat ini, namun Yonash membantu badanku untuk bergerak naik turun, dua tangannya menopang pantatku untuk membantu gerakanku.

Tiba-tiba Yonash berkata lirih padaku, nafasnya memburu buas, sambil menegadahkan kepalanya serta matanya agak redup.
"Lianaa, aku sudah siap mau keluar, ujung kontolku udah berdenyut denyut, apa kamu juga udah siap kita keluaar sama-sama ya?"
"Tahan sebentar Yonash, aku pun ingin menikmati orgasmeku disini bersama kau sayang tunggu sebentar lagi"
Kemudian dalam detik-detik berikutnya aku lebih focus pada rasa gesekan kontol Yonash yang menerpa dinding rahimku terasa ngilunya tak terperikan.
Kemudian akupun berkata agak lantang, "Yoonash, keluarkanlah aku sudah siap aachh aachh sshhtth"

Segera setelah itu Yonash memuntahkan spermanya ke memekku tanda ejakulasinya tercapai sempurna, diiringi lengkingan ngilu dan kepuasannya. Sekian menit Kamipun tidak bergerak, hanya berpelukan erat sambil berpangutan, sampai betul-betul reda birahi kami.

Selanjutnya kami mandi cepat-cepat karena kami ingin melihat gugusan rumah-rumah kuno di zaman Meiji, yang jumlahnya tidak sedikit, dibutuh waktu hampir seharian, untuk melihat kesemuanya. Esoknya lagi, kami pun mengulangi hal yang sama, sebelum kami pergi ke sebuah 'castle' kuno dipinggir kota, juga melihat kuil-kuil jepang disekitar kota itu.

Kenangan indah yang kami lakukan ini kami lanjutkan terus walau kami terpisahkan beribu-ribu mill jauhnya. Kami saling kunjung mengunjung setiap 4 bulan sekali Yonash kekotaku di Australia atau aku kekotanya di Negara Sakura, hal ini sangat memungkinkan bagiku karena diAustralia dalam 1 tahun setiap karyawan berhak mendapatkan liburan sejumlah 1 bulan kerja sebagai 'annual leave' nya YonasHPun tak segan-segannya selalu membuatkan aku surat sponsor untuk Departemen Imigrasi Negera Sakura itu, untuk memudahkan aku keluar masuk ke negeri tersebut.

Hubungan cinta yang erat, indah dan panas ini tersendat saat ini, karena keberhasilannya Yonash menyandang Phd, Yonash harus pulang ke Indonesia tentunya istri dan anaknya membutuhkannya, juga pekerjaannya, namun hati kami tetap tertaut, SMS dan ICQ berjalan terus melantun sebagai media cinta kami.

Yonash selalu bilang bahwa dia selalu akan menemuiku bila ada kesempatan baik. Betul juga sewaktu aku harus kembali keIndonesia, Yonash tetap menemuiku, kami bertemu untuk berbagi rasa rindu kita yang sudah mendidih dan meluap.

Sewaktu kami berpelukan, sukmaku bergetar, badanku bergoyang, serta melelehlah airmata kebahagianku tanpa kusadari, kamipun segera melampyaskan kerinduan kami yang telah menyesak didada kami, rasanya kami betul-betul bisa menuai cinta birahi kita masing masing dengan indah diwaktu yang singkat itu.

Aku merasakan hubunganku dengan Yonash adalah merupakan kisah kasih yang sejati, hal ini tentu saja susah sekali aku lupakan, karena memang Yonashlah pembuka pelangi keindahan cinta dalam hidupku dan samudra luas dimana aku bisa menimba segala ilmu yang kubutuhkan, dari mulai pengetahuan umum, tehnik komputer, kesehatan, bahkan bila aku mendapat kesukaran dalam pekerjaan kantor diapun selalu siap memberi saran dan bimbingan bagaimana aku harus bersikap untuk menyelesaikan masalah tersebut. Yonash juga menularkan ilmu yang dia perlajari sedikit-sedikit untuk aku ikut mengerti.

Indah rasanya hidupku setelah mengenal Yonash, aku akan selalu respect terhadapnya sebagaimana dia juga respect kepadaku dan semua yang ada padaku.

Terima kasih kepada teman mayaku yang mau menshare pengalamannya dan membantuku, hingga tulisan ini bisa anda nikmati.


Tamat