Jakarta, 18 November 2000, 07:18 PM.

Termenung saya dalam mini jeep yang saya kendarai, memandangi antrean kendaraan yang hendak memasuki gerbang Puri Agung Sahid malam itu. Sepasang janur kuning berukuran besar tampak menjuntai di kejauhan, menandakan acara apa yang sedang dilangsungkan di dalamnya. Saya memang berniat menuju ke sana, sama seperti kerumunan mobil yang terjebak dalam antrean ini.Perlahan saya perhatikan mobil-mobil yang berjejal dalam antrean. Mini jeep saya terlihat seperti sebuah rumput liar di taman penuh bunga. Tepat di depan saya terpampang 735iL, lalu beberapa meter darinya tampak S320. Ada pula S70 dengan plat nomor BS di belakangnya, lalu masih banyak lagi mobil-mobil CBU yang bahkan dalam mimpi pun saya belum pernah melihatnya. Semuanya antri ingin memasuki halaman parkir perhelatan tersebut.

Tiba-tiba saya tersenyum simpul, mengingat ucapan seorang yang saya tuakan dalam hidup ini. Katanya di Jakarta tidaklah heran menemukan orang kaya, yang mengherankan adalah menemukan orang jujur. Dan sudah jujurkah semua tuan-tuan bermobil mewah ini? atau lebih jauh lagi, sudah jujur pulakah diri saya?

Sebelum terlampau jauh, ijinkanlah saya memperkenalkan diri. Nama saya Ryo, 23 M Jkt. Yah saya memang bukan lagi Ryo 23 M Bdg seperti dalam kisah-kisah terdahulu. Kelulusanku dari sebuah fakultas teknik yang dikenal sebagai ekonominya teknik (karena banyak mata kuliah ekonomi dalam kurikulumnya) dari sebuah Universitas ternama di kota itu telah mengantarkanku mendapatkan pekerjaan di Jakarta beberapa waktu yang lalu. But one thing for sure, I'm not working at Tia's office (untuk mengetahui tokoh ini, disarankan untuk membaca Walk Interview). Now I'm just an employee from one of an automobile industry in Indonesia, based on North Jakarta.

Kurang lebih 15 menit yang saya butuhkan sampai akhirnya dapat melangkahkan kaki dengan tenang menuju pintu gerbang perhelatan akbar tersebut, meninggalkan mini jeep saya yang terparkir nun jauh di sana. Setelah memasukkan amplop (yang saya yakin isinya cuma senilai kwaci bagi pasangan tersebut), mengisi daftar hadir dan mengambil souvenir yang dengan ramah diberikan oleh penerima tamu (pretty enough, but not my type), saya menyusuri elevator yang menuju ke lantai II, tempat acara tersebut diselenggarakan.

Antrian tamu yang hendak memberikan selamat telah mengekor panjang dengan saya sebagai salah satu korbannya, dengan diiringi gending-gending Jawa yang terus mengalunkan nada-nada lembut daerahku. Di kejauhan tampak Linda, teman semasa SMA dulu, dalam rentangan waktu '92-'95 yang lalu, tampak cantik dengan busana daerah Jawa, sibuk menyalami para tamu sambil sesekali menyeka keringat yang menetes di dahinya. Di sampingnya tampak suaminya yang terlihat cukup gagah. Yah.. mereka berdua nampak sangat berbahagia malam ini.

"Ryo.., ma kasih yah mau dateng, kapan nih mau nyusul? kok sendiri?", berondong Linda saat dengan lembut kusalami mereka di pelaminan. Saya hanya mampu membalasnya dengan tersenyum. Hhmm.. menikah? bahkan memikirkannya pun tidak. Dalam dua atau tiga bulan lagi usiaku akan menginjak 24, ah.. masih ada waktu cukup untuk bermain-main, melihat semua silau dunia sebelum pada akhirnya saya akan memutuskan untuk menetap dalam pelukan kedamaian seorang wanita.Kok sendiri? Pertanyaan itu yang masih menggayut di telingaku, saat satu persatu anak tangga pelaminan kuturuni. Seakan-akan dipurukkannya diriku dalam jurang kesunyian. Even an advounturer feels so lonely sometimes, seperti saat ini dimana diriku merasa sangat sendiri di tengah keramaian para tamu undangan. Hhh.. sesak juga rasanya jika sisi sentimentil ini sedang terusik.

"Ryo.. ini kamu? Apa kabar?", tiba-tiba sebuah suara wanita menghentakkan lamunanku, membangkitkan kembali diriku dari kesunyian yang baru saja kualami. Sejenak saya palingkan wajah mencari sumber suara tersebut. Rasanya pernah sangat mengenalnya. Terus kutelusuri wajah para tamu sampai akhirnya aku tertumbuk pada sesosok wajah yang cantik, lembut and of course, I'll never forget. Revy, sahabatku di SMA dulu, tampak sangat anggun dengan kebaya modern bernuansa silver transparan yang dikenakannya. Revy.. is that really you?

Tiba-tiba ingatanku terlempar pada beberapa tahun silam. Revy.. sebuah nama yang masih saja membekas hangat dalam setiap jejak ingatanku. Masih segar dalam ingatan bagaimana lekatnya kami berkawan semasa menempuh pendidikan di tahun terakhir kami pada sebuah SMA favorit di bilangan Slipi Kemanggisan dulu. Tidak ada seorang pun yang percaya bahwa kita tidak terlibat cinta. You're both too close to be friends, there must be something special between you, dan masih banyak lagi yang nyata terngiang tuduhan dari teman-temanku dulu akan hubunganku dengan seorang Revy. Jujur di dalam hati pun saya pernah memimpikan hal yang sama terjadi. Yah.. saya memang hanya manusia biasa, yang terkadang sulit mengontrol perasaan dan harapan kala mana berdekatan dengan sesosok lawan jenis yang sangat kita kenal dan terasa sangat mengenal kita. Tapi pada akhirnya saya memilih untuk mendiamkan perasaan itu lewat, sambil "membunuh" benih-benih rasa yang terlanjur tumbuh. Saya tidak akan pernah bisa kehilangannya sehingga jika saya tidak dapat memilikinya lebih dari sekedar teman, biarlah saya memilikinya sebagai seorang sahabat. Masih banyak lagi alasan mengapa saya memilih untuk tidak mengungkapkan perasaan saya terhadapnya. In fact, we live in different world.

Revy adalah anak dari sebuah keluarga yang dapat di bilang sebagai konglomerat yang berkedudukan di Surabaya. Memang Revy tidak pernah mempermasalahkan hal tersebut, bahkan dia akan marah besar jika ada yang menyinggung masalah tersebut. Namun saya juga harus tahu diri, biar bagaimanapun kesenjangan kelas sosial mau tidak mau akan menjadi kendala bagi berjalannya suatu hubungan, apalagi dalam usia remaja seperti kita. Di lain pihak, seusai bangku SMA, ia merencanakan untuk menuntut ilmu di Wina, Austria. Interior Design yang menjadi impiannya selama ini akan ditimbanya di negeri itu. And I don't belive in long distance relationship, not a second..!! Dan memang kabar terakhir darinya adalah ketika aku melepasnya di boarding gate Bandara Soekarno-Hatta di suatu malam, lima tahun yang lewat. Kami berpelukan erat, sepertinya tidak akan pernah bertemu lagi. Wajahnya perlahan menghilang di kerumunan penumpang lain yang siap berangkat. Dan wajah itulah yang sekarang hadir lagi di hadapanku.

"Ryo.., kok malah bengong? Masih inget saya nggak?" sapa Revy ramai menyapaku. Ah.. tentu saja saya ingat, peri kecilku. Tentu saja saya ingat kamu.
"Revy..?" balasku tertegun, tidak mempercayai kehadirannya di hadapanku kini.
"Of course.. who else?", seru Revy sambil meninju bahuku, "Siapa lagi temanmu yang secantik ini, hah?", katanya lagi. Huh.. pede sekali, tapi memang harus kuakui.
"Apa kabar Rev?" balasku sambil menyalami hangat tangannya. "Lho kok sendiri, cowok kamu mana?", tanyaku cepat saat menyadari lingkaran berwarna keemasan melingkar di jari manis kirinya. Ingin rasanya memeluknya, kalau saja..
"Mas Heru lagi nggak ada di Indo. Eh.. tau dari mana kamu saya punya cowok?" sahutnya tersadar kalau identitasnya terbongkar.
"Ah.. wanita mana lagi yang mengenakan cincin emas di jari kirinya, kalau bukan pemberian seorang pria spesial," todongku sambil cuek.
"Oh iya.. yah.., eh kamu kok juga sendiri, cewek kamu mana?", balas Revy nggak mau kalah.
"Saya memang masih sendiri kok, masih setia menantimu di ups.." saya tidak mampu menyelesaikan kalimat, keburu sebuah cubitan mendarat di pinggangku.
"Hhh.. gemes.. masih aja kayak dulu, ngegombalnya nggak ilang ilang," kata Revy sambil mengencangkan cubitannya di pinggangku. Tinggalah saya meringis-ringis menahan sakit, soalnya nggak mungkin teriak, banyak tamu sih.

Selanjutnya dapat ditebak, kami terlibat obrolan yang hangat dan akrab. Lima tahun tanpa kabar, dan kini tanpa sengaja bertemu di sebuah pesta pernikahan. Kabar si Anu, kabar si Itu, atau si Ini teman-teman kita dulu silih berganti mengisi topik pembicaraan. Seems just like yesterday.

Revy kini bekerja di sebuah konsultan interior design di kawasan Rasuna Said Kuningan, Jakarta. Tak jauh dari tempatnya tinggal, di sebuah kompleks apartemen yang terletak di belakang sebuah Hypermarket made in France, di daerah yang sama. Katanya menimba ilmu, pengalaman dan sense terlebih dulu, untuk nantinya membuka usaha serupa dengan modal sendiri, itu jawabannya yang diberikan kepadaku saat kutanya mengapa dia memilih untuk jadi "ekor naga", daripada menjadi "kepala ayam". Mas Harry, kakaknya semata wayang, kini sudah menikah dan dikaruniai seorang putra, menempati rumah mereka dulu di kawasan Puri Indah. Dan sebagai gantinya, Revy dibelikan sebuah unit apartemen yang ditempatinya hingga kini. Dan Mas Heru, lelaki yang berhasil melingkarkan cincin itu, adalah tunangannya sejak setengah tahun yang lalu. Ia kini sedang menyelesaikan kuliahnya di Boston, USA. Mereka telah 3 tahun berkenalan, walaupun baru berpacaran setahun yang lalu. Medio tahun depan mereka merencanakan untuk menikah, segera setelah Heru menyelesaikan studinya. Kami terus berbincang akrab, tanpa sadar jumlah tamu yang makin berkurang karena hari beranjak malam. Dengan berat hati, akhirnya kami berpisah. Sempat kuantarkan Revy menuju parkir mobilnya, sebelum akhirnya kita benar-benar berpisah.

Jakarta, 20 November 2000, 12:06 PM
Saya sedang menikmati santap siang di kantor, berkumpul dengan rekan-rekan kerja saat tiba-tiba teleponku berbunyi, dengan nama Revy terpampang di LCD-ku. Segera aku menyingkir dari meja sambil menjawab telepon.
"Halo.. Ryo?" terdengar suara wanita di ujung sana.
"Yup.. Apaan Rev?" balasku segera.
"Eh Ryo.. sibuk nggak ntar sore?" tanyanya kembali.
"Ntar sore? Hhmm.. nggak tuh kayaknya," jawabku, "Assiikk.. mau nraktir yah?" sambungku dengan pedenya.
"Huh..ge-er.." sahutnya cepat, "Revy cuman mau ngajakin nomat, abis lagi suntuk nih Ryo."
Nomat adalah singkatan dari nonton hemat, dimana setiap hari Senin kita mendapat potongan harga untuk membeli tiket.
"Boleh tapi di mana?" tanyaku lagi.
"Biasa.. di tempat bersejarah kita dulu, masak sih kamu udah nggak ingat masa-masa indah kita berdua.. hahahaha.." sambungnya diiringi gelak tawa candanya, "Revy tunggu di tempat biasanya, 5:30 teng yah.."

Kami masih sempat berbincang-bincang sebentar, sebelum ia menutup teleponnya. Tempat bersejarah? Ah.. lamunan saya kembali menyusuri jejak waktu yang telah berlalu sekian lamanya. Pondok Indah Mall adalah tempat favorit kami untuk jalan-jalan semasa sekolah dulu. Revy bilang barangnya bagus-bagus, sedangkan menurut saya yang terbaik dari tempat itu adalah pengunjung wanitanya yang cantik-cantik, hahaha.. Entah sudah berapa kali kami jalan bersama ke tempat itu. Nonton, main game (ding-dong tepatnya), makan, atau sekedar ngeceng. Beberapa kali pula kami tertangkap datang oleh teman-teman yang lain, sehingga makin meyakinkan mereka kalau kami tengah berpacaran. Dating? ah.. mungkin itu hanya harapan saya yang kelewat batas menganggap even-even itu sebagai datang.

Waktu menunjukkan jam 17:24 WIB ketika saya melangkahkan kaki memasuki area pertokoan tersebut. "Tempat biasa" yang Revy maksud tentunya masih seperti yang dulu, tempat kita sering nongkrong bareng. Outlet St. Michael di lantai dasar, bersebelahan dengan Baskin 31 Ice Cream pasti yang dimaksudnya. Dulu kita sering nongkrong makan ice cream sambil memandangi produk-produk St. Michael dari luar kaca. Hahaha.. terasa betapa masih kecilnya kami saat itu.

Seulas senyum telah menyambutku, sesampainya aku di sana. Revy telah tiba terlebih dulu, dan masih seperti dulu, tengah asyik menikmati sebuah cup ice cream rasa strawberry sambil bersender di dinding outlet pakaian tersebut. Setelah berbincang-bincang sambil menantinya menghabiskan sisa ice cream, kami pun naik ke lantai teratas untuk melihat film apa yang sedang diputar. Pangsit goreng, mie bakso dan sebotol teh dingin. Masih saja seperti dulu makanan fave-nya kalau sedang main ke PIM. Restaurant spesialis mie yang terletak tepat di seberang sineplex masih saja kena di lidahnya, pun setelah bertahun-tahun di negeri orang. Kami makan agak tergesa, karena Charlie's Angel akan ditayangkan tidak lama lagi.

Waktu sudah malam, ketika Cameron Diaz, Drew Barrymore dan Lucy Liu menyelesaikan aksinya di film dan memaksa kita untuk pulang. Seperti kemarin, kuantarkan kembali Revy menuju mobilnya. Kita menjadi semakin akrab, seperti seorang anak kecil yang tidak mau lepas dari mainan favoritnya yang telah lama menghilang. Yah.. Revy memang telah lama menghilang dari hidupku, dan entah kini apa maksud-Nya mempertemukannya kembali denganku.

Bersambung . . . . .

Sesampainya di rumah, kubongkar kembali file-file lamaku, berharap mendapatkan secuil kenangan tentang Revy di situ. Dan saya berhasil mendapatkannya..!! Dua lembar potongan karcis film "Speed" tertanda medio 94 yang lalu masih ada dalam salah satu file-file lamaku. Tersenyum aku seorang diri mengingat betapa lucu mimik wajahnya mengagumi sosok Keanu Reeves yang menjadi tokoh dalam film tersebut, 6 tahun yang lampau sambil terus mendesakku untuk mengikuti potongan rambut Keanu yang memang tengah mewabah saat itu. Hahaha.. makin kayak tikus kecebur got donk kalau saya nekat memapras rambut saya meniru tokoh tersebut. Di lain pihak, entah mengapa saya suka menyimpan benda-benda yang mempunyai memori, mungkin saya adalah orang yang setia pada kenangan. Dan malam itu saya tertidur dengan senyum. Senyum tentang indahnya sebuah kenangan.

Jakarta, 1 Desember 2000, 03:19 PM
Lapar dan haus memang nyaris tidak saya rasakan, namun perasaan yang jenuh dan mengantuk yang tengah melanda diriku dengan hebat, sambil terus mencoba fokus memandangi General Manager-ku yang terus mengomel sepanjang memimpin rapat siang itu. Busyet.. bosku ini pakai baterai apa yah, kok ngomelnya tahan banget dari tadi, pikirku sambil setengah mati menahan mata agar tidak terpejam. Memang sih dia tidak mengomeliku, namun rekan-rekan yang lain yang menjadi sasaran. Tapi tetap saja bikin bete kalau dengar orang yang ngomel melulu. Ini salah, itu salah. Ini kurang, itu kurang. Iseng kulirik ke luar jendela. Hhmm.. ruangan ini di lantai 4, kayaknya lumayan juga kalo GM-ku ini dilempar ke luar jendela, hahahaha..

"Tet.." bunyi teleponku sekali, cukup mengejutkanku. Saya rupanya lupa untuk men-set silent mode sebelum meeting tadi dimulai. Untung cuma SMS, coba kalau phone call yang masuk, bisa bikin ribut seruangan meeting. Sejenak kulirik SMS yang masuk. Ah, dari Revy yang mengajakku keluar mencari makan bersama sore nanti. Lumayan lah, malam libur seperti ini ada juga yang bisa dikerjakan. Berarti selesai meeting, saya harus menelponnya kembali untuk memastikan jadwal datang kita sore ini. Dating? hah? mimpi kamu..!!

Sejak kita bertemu lagi, memang sering kami berjalan-jalan seusai jam kantor. Hampir 2 hari sekali kami jalan, pun hanya untuk dinner dan mengobrol serta bercanda. Rasanya tidak pernah habis bahan obrolan kami. Entah mengapa kami makin terasa dekat satu dengan lainnya. Revy pernah bilang kalau jalan dengan saya banyak ketawanya. Dia bisa bebas bercanda, ketawa, bahkan sampai ngakak. Katanya lagi, komentar-komentar saya sering mengejutkannya, dan membuatnya tidak bisa berhenti untuk tertawa. Rasanya ramai, seperti waktu masih muda dulu, ujarnya lagi. Dia bilang belum ada seorang pun kecuali saya yang mampu membuatnya dapat mengekspresikan apapun rasa di dalam hatinya dengan bebas, tidak juga Heru, tunangannya. Katanya berjalan dengan tunangannya itu adalah jalan-jalan serius, dinner di tempat-tempat yang serius (maksudnya formal kali yah?), membicarakan hal-hal yang serius. Datar tanpa kejutan, tanpa gejolak. But I love him anyway, sambungnya lagi.

Tidak terasa semakin hari kita semakin dekat. Semakin sering kita jalan, ada sesuatu yang mulai mengikat perhatianku kepadanya. Semakin aku mengenal kembali dirinya, seperti saat-saat dulu. Ah.. kalau saja cincin itu belum ada..

Waktu menunjukkan jam 17:36 WIB saat kulangkahkan kaki memasuki lobby gedung kantor Revy, sebuah gedung dengan bentuk menyerupai kipas raksasa di atapnya. Saya memang menjemputnya kali ini, karena mobilnya telah expired surat-suratnya dan harus diuruskan ke pihak yang berwenang untuk perpanjangannya. It takes one or two days, katanya. Telah kutelepon dari lahan parkir tadi, mengatakan bahwa saya akan menunggunya di lobby. Yup.., itu dia. Revy telah menunggu di lobby. Setelan celana panjang hitam dengan blazer senada menutupi kausnya yang berwarna biru muda sangat chic dikenakannya.

Kemacetan Jakarta sore hari telah memaksa kami untuk membongkar kotak kue Revy lebih dulu di jalan ketika jam di mobilku menunjukkan pukul 18:02 WIB. Sebuah restaurant Korean Food yang terletak di BBD Tower (kini Bank Mandiri) di kawasan Diponegoro yang menjadi referensinya kali ini. Katanya dari situ kita bisa makan sambil menikmati gemerlapnya lampu Jakarta di bawah sana dari puncak gedung tersebut. Mendengarnya mengingatkanku pada kafe-kafe di bilangan Bukit Dago Pakar Bandung, tempat kita bisa menikmati city view Bandung sepuas mungkin sambil menghirup dinginnya udara pegunungan, sebuah pemandangan yang selalu menjadi fave saya sampai kapan pun. Andaikan Revy sempat pula merasakannya..

Kali ini Revy memang benar. Indah sekali menyaksikan gemerlapnya Jakarta dari atas sini. Lampu-lampu dari gedung maupun penerangan, berwarna-warni menghiasi pemandangan kota di malam hari. Di bawah sana tampak permainan ornamen lampu dari sebuah restaurant steak terkenal berpendar-pendar indah. Bagus memang, tapi tetap ada sisi romantisnya yang hilang. Tidaklah sesakral city view Bandung, di mana kita dibuat menyatu dengan alam, merasakan sapaan lembut angin yang menghembus wajah kita, tanpa batas dinding kaca dan pendingin ruangan seperti sekarang ini. Namun dengan Revy di hadapanku, apalah yang menjadi kurang bagus? Memandang senyumnya saja seakan mampu memadamkan setiap lampu kota yang ada di bawah sana. Hiperbolik memang, tapi bukankah begitu rasanya fall in love? Hah? Jatuh cinta? mimpi kamu..!!

"Lucu yah Ryo, kalau ingat dulu kita sering dikira pacaran," katanya di tengah obrolan.
"Iya.. dan kalau mereka melihat lagi apa yang kita lakukan sekarang, pasti semua kaget menyangka betapa awetnya kita pacaran, hahahaha.." sahutku.
Dan kami pun tertawa bersama. Seringkali kami berjalan bersama, tidak satu kata cinta pun terucap, pun setelah bilangan tahun telah berlalu. And now what a perfect situation.. Delicious food, good place, romantic sight, beautiful face, fire in the heart, unless.. unless one thing.. ring in her hand. Huh..

-----------------

Masih sempat kulirik jam yang menempel di dinding ruang tamu Revy menunjukkan pukul 22.42 WIB saat kami memasuki unit apartemennya. Sebuah unit apartemen kecil yang asri, dengan 2 kamar tidur dan teras dengan pemandangan menghampar menuju Jl. Casablanca, jelas terlihat dari lantai 7 ini.

Revy meninggalkanku sendiri di ruang tamu, saat ia meminta ijin untuk sebentar ke kamar kecil. Hhmm.. penataan ruangan yang bergaya minimalis namun dengan paduan warna yang terang dan berani mewarnai desain interor ruang tersebut. Iseng kusibakkan tumpukan CD yang berserakkan di karpet. Chaka Khan, Toto, Whitney Houston dan ah.. Syaharani.., sama seperti kasetnya yang selalu kudengarkan di mobil saat pulang-pergi kerja. Perlahan kumainkan dalam stereo set, selembut suara Syaharani melantunkan "Unforgetable" beberapa saat kemudian. Kuhempaskan tubuhku di atas sofa, saat tak lama kemudian Revy bergabung denganku, membawa dua kaleng coke dingin untuk kembali mengobrol dan bercanda, cekikikan dan tertawa lepas. God damned, I hate those ring..

Malam semakin larut, ketika kuputuskan untuk berpamitan dan pulang. Why does it feel so hard everytime I say goodbye, seems like I won't never see her again..?
Sepatu kiriku baru saja kukenakan, saat tiba-tiba dari belakangku terdengar suara Revy bertanya, "Ryo, kita sudah lama berteman, and I think I've already knew all about you, except one thing," Revy menahan nafasnya sejenak untuk kemudian melanjutkan, "..and may I know about it now? and please answer the truth".
"Sure whatever you want to know, just ask me," tanyaku terheran. Sebenarnya mau nanya apa sih nih anak?
"Ryo, have you ever had some different feelings about me?" tanyanya tergugup.
"What do you mean with different feelings?" balasku tak kalah kagetnya.
"Come on Ryo, you know what I mean. Don't make it harder for me, please.." kata Revy dengan wajah memelas.
"Why should you know?" tanyaku lagi untuk menghindar.
"I just have to know, Ryo. Please answer me.." balasnya sedikit memaksa.
Shit..!! What should I do? Tell her everything I've been feeling about her? or just lying and tell her everything is right? Perang batin berkecamuk seketika, membuatku ragu untuk memilih apa yang akan kukatakan kepadanya. Waktu merambat perlahan, sampai akhirnya saya menyerah dan memutuskan untuk menceritakan yang sebenarnya. Pikirku toh dia sudah menemukan cinta sejatinya dan sebentar lagi akan menikah. Pengakuanku mungkin hanyalah sebuah intermezzo dalam jejak-jejak hidupnya. Dan lagipula kita sudah sama-sama dewasa, pasti dapat menerima keadaan seberapa buruk pun.

"Have I fallen with you, is that what you wanna know, Rev?", tanyaku pada akhirnya. Revy hanya terdiam dan tertunduk sembari memainkan ujung blazernya dengan kedua tangannya.
"Yes Rev, I have fallen with you. In fact I have been falling in love with you since we're in school," jawabku mencoba untuk tegas. "Apakah saya pernah jatuh cinta sama kamu, Rev? Jawabnya pernah, bahkan selalu.. Saya selalu mencintaimu," lanjutku tidak kuat lagi menahan endapan perasaanku padanya.

Sunyi keadaan setelah itu. Menit demi menit berlalu tanpa kutahu apa yang harus kulakukan. Marahkah dia padaku? Jika tidak, mengapa dia terdiam begitu lama? Lalu saya harus bagaimana? Meninggalkannya begitu saja, atau harus tetap tinggal untuk melihat reaksinya? Sekonyong-konyong Revy menubruk tubuhku, memelukku erat sambil menangis. Saya hanya mampu balas memeluknya sambil mengusap-usap rambut sebahunya yang terurai di pundaknya. What's wrong honey?

"Kamu jahhaatt..!!" serunya tiba-tiba, masih sambil menangis dan memukuli dadaku dengan kedua tangannya. "Kenapa kamu baru mengatakannya sekarang? Tahukah kamu Ryo, betapa setianya saya menyimpan cinta untukmu selama ini, sampai akhirnya saya memutuskan untuk memberikannya kepada orang lain?" serunya lagi sambil sesunggukan.

Tiba-tiba dunia terasa berputar hebat manakala saya mendengar pengakuannya. Revy selama ini mencintaiku? Oh My God.. I've found someone who understand me best, and I just let it slip away? Sesak rasanya nafasku demi mendengar semuanya. Those ring.. those ring takes my happiness away..

Menit demi menit berlalu kudengarkan seluruh cerita Revy, mendengarkan bagaimana dia terus mengharapkan perkataan cinta dari bibirku, bahkan sampai saat dia menuntut ilmu ke luar negeri dan kami tidak pernah berkabar berita lagi. Sampai akhirnya dia memutuskan untuk menerima cinta Heru dan belajar untuk mencintainya, karena cinta Heru adalah kenyataan baginya, sedangkan cinta saya hanyalah sebuah mimpi. Saya tak tahu harus berkata apa. Yang saya lakukan hanya berusaha meredakan tangis dan menyekakan air matanya dengan sapu tanganku. Beberapa saat hingga akhirnya keadaan Revy cukup tenang, dan kami masih terus saja berpelukan.

I think of you every morning, dream of you every night Darling I'll never be lonely, whenever you're inside I love you, for sentimental reasons..

Alunan suara Syaharani lembut melantunkan sebuah tembang lawas "For Sentimental Reasons", makin menghanyutkan kami berdua dalam sebuah dekapan erat yang menyejukkan. Tanpa sadar tubuh kami bergerak perlahan mengikuti alunan lagu. Ya.. tanpa sadar kami berdansa, diiringi lembut musik yang keluar dari stereo set di buffet ruang tamu. Dari jendela masih terlihat Jakarta yang terang, seakan sengaja menyisakan kehangatannya untuk kami berdua. Kami terus tenggelam dalam suatu dansa yang lembut dan romantis, bahkan setelah musik berhenti dimainkan sekalipun. Kami hanya bergoyang lembut, mengikuti kata hati semata. Perlahan kukecup lembut keningnya. Terasa bagaimana ia mempererat dekapannya. Kudongakkan perlahan dagunya, masih sempat terlihat olehku bagaimana Revy memejamkan kedua matanya, sebelum akhirnya kucium bibirnya penuh perasaan. Kami berdekapan dan berciuman erat, larut dalam galau emosi dan kerinduan yang sekian lama tak terkatakan, bahkan dalam bilangan tahun sekalipun. Segala macam rasa yang pernah kami rasakan, seakan kami tumpahkan pada sebuah ciuman yang dalam. Lembut kuangkat tubuhnya hingga kini aku menggendongnya setelah beberapa saat kita bercumbu, sambil terus berciuman. Perlahan kuberjalan ke sofa dengan tetap merengkuhnya dalam dekapan.

Tiba-tiba kurasakan ruangan menjadi gelap, tatkala tangan Revy berhasil menjangkau saklar lampu yang terletak di dekat pintu utama. Sunyi senyap gelap, hanya desahan nafas kami berdua yang sedang dihanyutkan cinta. Kini kami terduduk di sofa, dengan Revy dalam pangkuanku. Kami masih terus saja berciuman, semakin dalam. Perlahan kutanggalkan dua buah kancing blazernya, untuk kemudian jatuh terjuntai ke karpet. Revy pun berusaha melepaskan satu persatu kancing kemejaku, hingga pada akhirnya ia berhasil mendapatkan kemejaku dalam genggamannya, untuk kemudian dijatuhkannya pula ke karpet.

Kami terus bergumul dalam paduan kerinduan yang tak terbilang. Tak kuingat jelas bagaimana masing-masing kami kehilangan kain penutup tubuh satu persatu, sampai akhirnya kami hanya tinggal mengenakan kain penutup tubuh yang terakhir. Kucumbui dada Revy penuh kehangatan, ketika kurasakan lembut tangannya menyusup ke balik celana dalamku, menurunkannya dan menggenggam erat kejantananku dengan telapak tangannya. Ugh.. sungguh suatu sensasi yang tak terkatakan. Kuturuni centi demi centi tubuh Revy dengan menyisakan bekas-bekas pagutan berwarna keunguan pada sekujur tubuhnya. Nafas Revy terus memburu, dan makin memburu ketika perlahan kusingkapkan celana dalam bernuansa biru muda, sedikit demi sedikit menyusuri kedua kakinya yang jenjang hingga akhirnya terlepas seluruhnya.

Bersambung . . .

Kini keadaan kami tak ubahnya tatkala pertama kali kami dilahirkan, tanpa selembar benang pun menutupi tubuh kami berdua. Perlahan kubuka paha Revy dan mengarahkan wajahku ke sana. Bagai tersengat, nafas Revy tertahan ketika ia mulai merasakan sesuatu yang lembut membelai organ kewanitaannya. Lembut sekali kumainkan lidahku di liang kewanitaannya, memberinya suatu sensasi oral yang tak terkatakan.

"Ryo.. uuhh.. hhmm.." terdengar lembut suara Revy berbisik, di antara desah nafasnya yang memburu. Terus kuperlakukan dia dengan penuh kasih sayang. Jilatan lembut diselingi gigitan kecil dan hisapan perlahan terus mendera organ kewanitaannya, membawanya makin tinggi terbuai dalam gulungan hasrat yang perlahan-lahan merambati seluruh aliran darahnya. Menit demi menit berlalu hingga..

"Ryoo.. aahh.." serunya tertahan seraya mencengkeram rambutku. Puncak itu telah datang menderanya, menenggelamkannya pada jurang kenikmatan hingga dasarnya. Saya hanya mampu memandanginya saja. Bagaimana indahnya ekspresi Revy terbuai alunan orgasme yang baru saja hadir menyapanya mampu mengalahkan segala keindahan yang pernah saya saksikan sebelumnya.Kubiarkan Revy mengejang detik demi detik puncak yang baru saja dilaluinya untuk kemudian mulai dapat mengatur nafasnya kembali. Kurasakan tangan Revy lembut menepis tanganku yang telah menggenggam latex pengaman.

"Don't use it, I wanna feel you inside me completely.." bisiknya lembut di telingaku seraya menggenggam kejantananku dan menuntunnya ke dalam liang kewanitaannya. Hangat dan mendebarkan rasanya tatkala ujung kejantananku menempel pada bibir vaginanya. Terasa sentuhan lembut tangan Revy pada pinggulku dan mendorongnya ke depan untuk menghujamkan kejantananku dalam tubuhnya. Terasa suatu sensasi yang sangat menyesakkan dan mendebarkan, ketika kunikmati mili demi mili kejantananku menembus organ kewanitaan Revy. Ekspresi wajahnya yang terlihat sangat menikmati penetrasi tersebut makin membuatku serasa terbang dibuai kenikmatan. Hingga pada akhirnya terasa kejantananku terbenam utuh dalam tubuhnya, seutuh seluruh perasaan cintaku padanya yang selama ini kusimpan. Sayu matanya memandangku, kukecup lembut keningnya sebelum akhirnya kami tenggelam ke dalam suatu persetubuhan yang sangat indah, dimana galau hati dan rasa cinta bercampur aduk menjadi satu di dalamnya.

Kini Revy terbaring di sofa dan diriku dengan posisi setengah terduduk terus memompa kejantananku keluar masuk tubuhnya. Kaki kirinya terkulai di pundakku, saat kaki kanannya terjulur ke karpet. Kami terus bersetubuh dengan sangat intim, seakan tiada lagi hari esok bagi kami.

"Ryoo.. hhmm.. aahh.." jerit Revy lirih saat sesekali dirasakannya kejantananku mendesak hebat liang kewanitaannya. Waktu terus berpacu, seiring berpacunya hasrat kami menyatukan seluruh rasa dan raga kami berdua. Makin kurekatkan persetubuhan ini saat kurasakan Revy mulai mendekati puncak keduanya. Dan..

"Ryoo.. aarrgghh.. hhmmppff.." suara Revy sungguh mendebarkan terdengar. Puncak kedua telah datang merenggutnya kembali dan menenggelamkannya dalam gulungan nafsu dan kenikmatan yang seperti tiada berujung. Belum selesai Revy melepaskan seluruh ekspresinya, dengan cepat kucium bibirnya dalam. Terdengar lirih jeritan-jeritan kecil sisa orgasmenya saat kami berciuman.

Dengan tiba-tiba kutarik tubuh Revy dan mendudukkannya dalam pangkuanku. Kini wajah kami berhadapan dekat, dengan Revy dalam pangkuan. Kembali kutikamkan kejantananku dalam kewanitaannya, seraya meremas buah pinggulnya dan menaik-turunkan tubuhnya di atas tubuhku. Kami bersetubuh sambil berciuman teramat dalam. Tubuh Revy bergoyang-goyang mengikuti setiap hentakan persetubuhan kami. Sesekali disibakkan rambutnya yang mulai basah terurai. Ada suatu momen yang sangat indah setelah sekian waktu berlalu, tatkala Revy menyibakkan rambutnya dan tetap meletakkan kedua tangannya di atas kepalanya, seraya terus bergoyang mengikuti alunan persetubuhan. Bagai sebuah tarian kehidupan yang sangat indah dan sakral, mengikuti setiap gerak tubuhnya menyetubuhiku.

"Rev, I love you," bisikku lembut di telinganya, diantara deraan-deraan lembut persetubuhan kami.
"Me too," hanya itu yang mampu diucapkannya sebelum terhentak kembali merasakan sesaknya kejantananku memenuhi organ kewanitaannya. Terasa pula olehku bagaimana vaginanya makin erat menghimpit organ kejantananku.
"Ryoo.. eenngghh.. aahh.." teriaknya tertahan ketika orgasme itu kembali menggulungnya, menyeretnya ke dalam lembah kenikmatan hingga ke dasarnya.

Kini ia merebahkan kepalanya di pundakku. "Revy sayang kamu.." ucapnya lirih di telingaku. Saya hanya mampu mengusap lembut rambutnya. Ah.. Revy, andai kamu dapat tahu betapa aku pun merasakan hal yang sama sepertimu.

Kugendong Revy menuju kamar tidurnya. Dia memelukku erat seakan tidak akan pernah ia lepaskan. Masih sempat kupadamkan lampu kamar tidur saat kami mulai memasukinya. Kami terus berciuman, semakin dalam. Kuturunkan Revy dan membalikkan tubuhnya menghadap ke jendela. Sempat kudengar jeritan lirih terkejutnya ketika aku memposisikan dirinya seperti itu. Kini Revy setengah berdiri membelakangiku, dengan kedua tangannya bertumpu pada meja kerjanya yang menghadap ke jendela kamar tidurnya yang masih terbuka. Perlahan kusisipkan kembali kejantananku dalam liang kewanitaannya. "Ugh.." terdengar lirih bisik Revy saat ia mulai merasakan tikaman kejantananku menembusnya dari belakang.

Kembali kami bersetubuh, sangat erat. Kuterus menikamkan kejantananku ke dalam organ kewanitaannya dari belakang, seraya meremasi kedua buah pinggulnya. Betapa indahnya persetubuhan ini, suatu sensasi yang belum pernah saya rasakan sebelumnya ketika bercinta seraya memandangi lampu-lampu kota yang masih saja benderang dari jendela tanpa kain penghalang yang terpampang di depan kami berdua. Kami terus bercinta, mencoba merasakan kehangatan pendar-pendar lampu jalanan kota Jakarta yang terpampang di depan kami, seakan-akan terus memancari kami dengan cinta. Galau hati, luapan emosi, kerinduan dan rasa cinta ditambah city view metropolitan berpadu dalam dekapan erat sang dewi nafsu, menghantarkan persetubuhan kami semakin dalam dan dalam. Kami berciuman, mendesah, mengerang, mendekap, coba merasakan semua sensasi yang ditawarkan dalam sebuah persetubuhan. Semakin terhimpit rasanya kejantananku di dalam liang vaginanya, ketika mulai kurasakan sesuatu bergejolak mendesak keluar dari dalam tubuhku.

"Rev, I'm almost there.." bisikku lembut.
"Yes Ryo, cum inside honey.." balasnya lirih.
Makin terasa desakan orgasme menghimpitku ketika makin kutikamkan kejantananku dalam liang kewanitaan Revy. Perlahan merambati seluruh urat syarafku.
"Ryo.. eenngghh.." jerit Revy lirih, seakan memberi tanda kepadaku bahwa ia pun sedang mendekati orgasmenya yang kesekian kali.
Kupacu persetubuhan ini semakin cepat, karena aku tahu tidak ada gunanya lagi mempertahankan lebih lama, karena tembok pertahananku akan hancur berantakan dalam hitungan detik.
"Ryoo.. aahh..!!"
"I'm cumming Rev, I'm cummiinngg..!!"
Kami berteriak hampir berbarengan kala orgasme menyapa kami dalam waktu yang bersamaan. Kurasakan derasnya cairan kejantananku menyembur keras, memenuhi liang kewanitaan Revy dengan suatu sensasi kenikmatan yang tak terbilang. Revy terus menekan pinggulku ke arahnya, seakan hendak menghabiskan setiap detik orgasme kami di dalam tubuhnya. Entah berapa lama kami terbuai tinggi, terlenakan gelombang hasrat yang terpuaskan di dalam suatu gulungan orgasme yang begitu dahsyat.

Jakarta, 2 Desember 2000, 04:12 AM
Angin pagi Jakarta meniup lembut rambutku yang basah tak beraturan di teras apartemen, sementara di belakang sana Revy sedang sibuk mencuci piring. Jujur saja, saat ini saya sedang merasa kacau. Seharusnya saya bangga dapat membuat seorang Revy jatuh cinta dan terlena dalam dekapanku. Namun yang terasa kini semata rasa bersalah menghujam batinku pilu. She is my best friend, and what have I done to her? Slept with her? and what about her marriage few months later? Did I think about it? What was I thinking? And what about Heru? Don't I just screw up their life by sleeping with Revy? Ryo, you're such a selfish person..!! Suara hatiku terus menyiksaku dengan pertanyaan-pertanyaan yang memenuhi pikiran dan kepalaku ini. Revy adalah sahabat saya, dan saya ingin melihatnya hidup bahagia, dan kini saya hanya memberinya trouble yang sangat berat. Saya hanya akan mengacaukan pilihan jalan hidupnya dengan hadir di antara dia dan tunangannya. Dan jika kehadiranku tidak mampu menggoyahkannya, setidaknya saya telah membuat pernikahan mereka tidak akan sesuci seperti yang terlihat. Dan Heru, apa yang akan diperbuatnya jika mengetahui kekasihnya jatuh cinta dan bercinta dengan pria lain? Haruskah saya bersenang-senang di atas segala resiko kehancuran orang lain, bahkan yang notabene adalah orang-orang terdekatku? Saya adalah seorang pria, dan saya tahu persis hancurnya perasaan dan harga diri seorang pria yang kekasihnya berpaling ke cinta yang lain. Haruskah saya membuat kaumku yang lain merasakan perih itu? Perih yang selama ini kadang kurasakan juga saat ingatanku melayang ke masa-masa yang lalu, at the time when I gave my best love for someone, but she felt still not worth enough..

Tiba-tiba tangan Revy melingkar di tubuhku. Dia memelukku dari belakang dengan suatu dekapan erat yang mesra. Terasa lembut wangi basah rambutnya menempel di pundakku. "Ryo.., I have to talk with you," bisiknya lirih.
"So please, say it.." balasku sambil membalikkan tubuhku dan menemukan sesosok wajah yang sangat mendamaikan dan menentramkan jiwaku, but do I feel sorrow in her eyes?
Kami duduk di teras, menikmati semilir angin pagi Jakarta yang masih belum terkotori debu polusi, ketika Revy memulai ucapannya, "Ryo, I've been thinking about us.., dan Revy tidak bisa hidup begini terus."
Saya hanya terdiam sambil menebak-nebak apa yang dimaksud Revy dari perkataan yang diucapkannya, saat Revy meneruskannya kembali, "Ryo, I have life now. Yes.. we were messed up, but I still have to go on with my own life," Revy menarik nafas sejenak, "..and Heru is my life for me now."

Saya hanya bisa memandangi mata Revy yang mulai berkaca-kaca saat kembali ia berkata, "May be I don't love him as much as I love you, but he is real for me, Ryo.. And you seems just like a dream for me," Revy terdiam sejenak, "..and I can't live in dreams. Revy butuh hidup yang nyata, Ryo. Revy butuh kepastian.. dan saat ini kepastian untuk Revy adalah Heru. Walaupun ia tidak seindah kamu, tapi setidaknya Heru-lah yang memberikan kepastian dan hidup yang nyata buat Revy. Loving you is the greatest feeling I've ever had, but.."
"Ssstt.. say no more honey, I know what you think. I understand you surely.." sahutku sambil menempelkan telunjukku di bibirnya. "Ryo mengerti apa yang kamu rasakan. Sebagai wanita di usiamu, kamu memang wajar menuntut itu. Dan pria yang terbaik bagimu adalah Heru, karena ia dapat memberikan kepastian untukmu. I know I can only give you dreams.. and dreams seems never be enough for women," sahutku lagi, "Kembalilah pada Heru, he is where your place belongs to," kataku sambil kudekap erat Revy penuh sayang.
"Thanks Ryo, kamu baik sekali, but may I ask you anything else," ujar Revy lirih sambi bersandar di pundakku.
"Sure.. anything you want, Rev," balasku cepat dengan terus membelai rambutnya.
"Will you keep this night as a secret, please..?" Revy mendongak, menatapku dengan pandangan penuh harap.
"Surely I will, Rev. Surely.." kataku meyakinkannya. "Kamu sahabat saya Rev, dan saya tidak mau ada sesuatu pun yang mengacaukan kebahagiaan hidup kamu, apalagi oleh hal-hal yang disebabkan oleh saya," lanjutku lagi, "I'll do anything to make you happy Rev, you can depend on me, as always.."

-----------------

Jalanan kota Jakarta masih lengang, ketika kubelokkan mini jeepku di dareah TPU Karet menuju kawasan Pejompongan. Pelan kutekan tombol on radioku yang langsung ter-set pada sebuah radio swasta yang khusus memutarkan lagu-lagu Indonesia di bilangan frekuensi 89-an FM.

Selamat tidur kekasih gelapku, s'moga cepat kau lupakan aku
Kekasih sejatimu tak kan pernah sanggup untuk melupakanmu
Selamat tidur kasih tak terungkap, s'moga kau lupakan aku cepat
Kekasih sejatimu tak kan pernah sanggup untuk meninggalkanmu
..

Suara Sheila on 7 dengan Sephia-nya cukup menerbangkan lamunanku kembali pada Revy. Masih terbayang bening matanya, saat terakhir aku memandangnya di pintu apartemennya. Ingin rasanya memeluk dan menciumnya, mengungkapkan semua isi hati ini yang tidak pernah terungkap sebelumnya. Semua kata cinta di dunia tidak akan pernah cukup menggambarkan bagaimana inginnya diriku memilikinya. Namun semua itu tidak saya lakukan. Biar bagaimana pun saya telah berjanji untuk tidak lagi mengacaukan kehidupan Revy. Kata cinta hanya akan membuat segalanya menjadi bertambah berat dan rumit bagi kita. Better not to say it..!!
Revy butuh kepastian.., mengapa hanya kata-katanya itu yang terngiang selalu di telingaku kini. Terbayang sekelebatan kisah-kisahku dengan beberapa wanita yang sempat hadir di jejak-jejak hidupku. Jika hingga kini saya belum menemukan yang saya cari dari seorang wanita, yaitu kedamaian, mungkin karena selama ini pula saya belum mampu memberikan apa yang mereka cari, yaitu kepastian. Diriku masih merenung saat kulewati perempatan Slipi-Palmerah yang mulai ramai dipenuhi aktivitas manusia, untuk kemudian meluncur menuju kawasan Tomang.
Ah.. kepastian.. Something women always want, something I could never give.., not yet..

TAMAT

Hubunganku dengan wanita-wanita yang menjadi sex partnerku biasanya berlangsung lama, bahkan ada beberapa yang sampai mencapai bilangan tahunan. Hal ini akan menjadikan kami lebih saling mengetahui, mengerti keinginan masing-masing lebih detail, namun ada pula beberapa yang merupakan hubungan One Night Stand. Untuk hubungan seperti itu, biasanya aku tidak akan mengeluarkan teknik permainanku habis-habisan tapi tetap berkualitas.

Cerita berikut adalah satu dari beberapa One Night Stand yang pernah aku alami.

*****

Tugas dari kantor baruku beberapa tahun yang lalu, mengharuskan aku sering bepergian seputar Asia Tenggara. Di antaranya yang paling sering aku kunjungi adalah Malaysia karena prospek di sana yang masih terbuka untuk produksi barang yang aku pasarkan yang buatan Amerika ini, juga karena produk ini masih merupakan barang baru di sana walau pun di Indonesia sudah dikenal sejak tahun 90-an.

Setiap kali ke Malaysia, aku selalu tinggal disekitar KL atau PJ, berbagai hotel berbintang aku jelajahi minimal bintang 4. Rate hotel di sana waktu itu mungkin merupakan rate yang termurah di ibukota negara-negara Asia Tenggara, bayangkan dengan cara Go Show tanpa reservasi atau tanpa corporate rate, sebuah kamar standard di hotel bintang 5 pusat kota KL hanya sekitar US$ 100, sedangkan dengan corporate rate bisa didapat dengan $60 paling mahal. Aku selalu menggunakan corporate rate kawan bisnisku di PJ.

*****

November 2001

Aku tiba siang hari di KLIA, dengan menggunakan taxi, aku check-in di Mandarin Oriental, samping KLCC dan Petronas Tower, gedung kembar tertinggi di dunia, kali ini aku akan tinggal 1 malam di Malaysia. Sorenya setelah menemui customer di kantornya yang terletak di seputaran Petronas Tower, aku kembali ke hotel jam 6.30 sore. Setelah beristirahat sejenak, aku menyegarkan tubuhku di shower lalu bersiap-siap pergi ke Beach Club untuk bertemu dengan kawan bisnisku jam 8 malam.

Namanya Beach Club, tapi bukan berada di pantai, terletak tidak jauh dari Mandarin, hanya berjalan kaki sekitar 5 menit, sepanjang jalan sekitar 300 m itu, terdapat berbagai club dan disco, dari mulai seberang hotel Shangrila pojok Jl Sultan Ismail sampai ujung Modesto dekan Mandarin mungkin ada kira kira 15 tempat hiburan.

Beach Club adalah club paling ramai dikunjungi, saat jam 8 waktu aku tiba, tempat itu telah penuh sesak dan hingar bingar, bentuk club sedemikian terbuka hingga orang yang berjalan kaki di trotoarnya, bisa melihat ke dalam serta dentuman musik yang keras terdengar sampai jalanan padahal bukan weekend.

Aku bertemu dengan kawanku di tengah sesaknya jalan masuk dan hampir tidak ada tempat duduk kosong sehingga kami berdiri sambil mengobrol dengan sedikit berteriak. Banyak gadis belasan tahun sampai yang usia 30-an di sana, minum, bercengkrama sambil menikmati lagu-lagu yang dibawakan oleh Disc Jockeynya.

Jam menunjukkan pukul 10:30 malam, tiba tiba di balik seberang bar dari tempatku berdiri, sekelebat aku menangkap mata seorang wanita yang sedang memperhatikan aku, tapi tak kuperhatikan. Karena rasa penasaran aku menoleh lagi, ternyata dia agak tersenyum, kubalas dengan senyuman pula. Ketika itu aku terlintas di pikiranku dengan kuat bahwa aku pernah bertemu dengan wanita itu, tapi aku tidak pernah ingat dimana walaupun aku telah berpikir dengan keras.

Untuk mendatangi? Terus terang aku kurang berani untuk mendatangi dan berkenalan dengan wanita, mungkin aku harus lebih PD ya, biasanya yang aku lakukan hanyalah memandang dari kejauhan seperti yang kulakukan saat itu. Kulihat dia bergerombol kira kira 9 orang pria dan wanita.

Akhirnya pada pukul 12 aku kembali ke hotel dan tidur, esok aku harus melakukan presentasi produk. Malamnya masih sempat aku buka komputerku untuk membaca email yang masuk.

Esoknya presentasi dilakukan di lantai 19 di samping Petronas Tower, sehingga aku hanya berjalan kaki melewati pintu samping KLCC dan keluar di ujung pintu yang lain untuk mencapai gedung yang aku tuju. Ternyata presentasi tersebut selesai pukul 14:30. Berarti aku bisa mengejar pesawat MAS terakhir kembali ke Jakarta. Aku bergegas kembali kehotel untuk check-out. Tetapi perut terasa lapar, karena di tempat presentasi hanya disuguhi minum saja.

Akhirnya aku mampir di sebuah restoran untuk makan seadanya mengganjal perutku. Saat aku menikmati makanan, sekilas aku lihat seseorang mendatangiku.

"Kamu Virano kan..", seorang wanita dalam bahasa Indonesia menegurku, kalau bahasa Malaysia aku pasti dipanggik encik

Aku tengok, ternyata dia wanita yang aku lihat tadi malam di Beach Club, wah ternyata dia orang Indonesia

"Seratus buat kamu.. Saya memang Virano.. Kamu siapa ya? Kamu yang ada di Beach Club tadi malam ya? Kamu dari Indonesia? Tinggal di sini atau sedang berkunjung? Sendiri? Mana gengnya yang semalam? Sud.."
"Stop stop stop, itu ada 20 pertanyaan, yang mau dijawab yang mana dulu nih he he he.." dia tertawa.

Aku baru sadar bahwa mulutku yang nyerocos bagai mitraliur melontarkan pertanyaan pertanyaan klasik padanya. Aku ulurkan tanganku dan berjabat tangan sambil menariknya untuk duduk di hadapanku.

"OK, sekarang pertanyaan pertama, kamu siapa?" tanyaku sambil aku panggil waiter dan menawarkan dia untuk memesan, dia hanya memesan minuman saja, karena sudah makan katanya.
"Ratih" jawabnya pendek
"Ratih yang mana ya?" tanyaku lagi.
"3 tahun lalu kita ketemu di Jakarta, aku bersama Vivi dan Dino serta kawan lainnya, kamu datang sama Della waktu itu dan kalian berdua bikin sensasi malam itu di table umum, kamu serakah dan gila juga ya, Della yang cantix dan sexy begitu masih nggak cukup, Vivi kamu kerjain juga malam ini, di depan cowonya pula, gimana, udah belum sama Vivi?" cerocosnya.
"Hei.. Hei.., ini kan bukan pengadilan.. Ok aku ingat sekarang.., tapi lu juga melirik kan waktu Della buka celanaku, berartu lu liat juga isinya kan.." ujarku seenaknya.

Pembaca yang ingin mengetahui ceritanya silakan baca "Della Yang (Ternyata) Liar"

"Sialan lu ya, ngebacain gua.." kami sudah memakai kata lu gua pertanda keakraban dalam pembicaraan.
"Nah lu dulu yang mulai.., so.. Lagi ngapain di KL?" tanyaku.

Ternyata Ratih juga sedang ditugaskan kantornya untuk suatu negosiasi dengan calon investor Malaysia yang berencana melakukan investasi di Indonesia di bidang konstruksi. Negosiasi akan dilanjutkan esok siang untuk memberikan kesempatan calon investor melakukan rapat internal dan dia datang beserta 3 orang staffnya dari bagian teknik yang semuanya pria.

Ratih, 34, tinggi 164, 50 kg, married dengan 2 anak, tinggi semampai, rambut sedikit bergelombang panjang sebahu, dada tidak seberapa besar, mungkin 32B, kulit agak coklat dan memiliki wajah cantik dan merangsang, mengundang minat setiap lelaki yang bertemu dengannya. Mungkin itu juga sebabnya dia dikirim oleh kantornya untuk bernegosiasi dengan para datuk berduit di KL.

Akhirnya kami berbincang mulai dari urusan bisnis sampai urusan malam, berkali kali dia bertanya apakah Vivi sudah pernah tidur denganku, aku selalu mengalihkan pembicaraan saat dia menanyakan hal itu. Aku tidak pernah membicarakan dengan siapa aku pernah berhubungan sex pada siapa pun. Hal ini merupakan prinsip buatku, kecuali saat ini melalui Rumah Seks.

Tak terasa sudah pukul 17:30, wah nggak keburu aku kejar pesawat terakhir ke Jakarta.

"Lu tinggal dimana" tanyaku.
"Mandarin, sebelah" jawabnya singkat, "Lu dimana" tanyanya balik. Timbul niat menggoda dia.
"Gua tinggal di PJ, gua nggak sanggup bayar Mandarin, mahal!"
"Cuma 68 dollar, murah dibanding Jakarta" sergahnya.
"Masih mahal, Gua bayar 35 dollar di PJ" jawabku.
"G-A-K P-E-R-C-A-Y-A" Ratih mencibir sambil mengeja huruf itu satu persatu.
"Ntar malem ke Beach Club lagi yuk" ajaknya.
"Gak sanggup bayar" jawabku sekenanya.
"On my Bill, Boss" sindirnya kesal.
"Gak keburu, PJ jauh, jam begini macet, naik LRT pun makan waktu 45 menit, mungkin jam 9-an baru bisa sampai ke sana" pancingku.
"OK, gua paksa sekarang ya, gua bayar makan lu, kita ke toko beli baju buat lu, perlu CD nggak? Lu mandi di kamar gua terus kita ke Beach Club bareng sampai mabok, semuanya OMB, kalau masih nolak gua cium lu di sini" heh kepancing dia.
"Hah mandi di kamar lu? Malu gua" jawabku bercanda.
"Apa perlu gua bukain kamar satu lagi di Mandarin" dia protes. Aku tersenum dalam hati, di kantungku juga ada kartu magnetik kunci kamar Mandarin
"OK Boss, gua nggak bisa nolak, tapi boleh kan lu cium gua di sini" ujarku memancing.
"Dasar" dia memajukan kepalanya, demikian pula aku, kami berkecup bibir sebentar, lalu aku panggil pelayan dan kubiarkan Ratih membayar billnya.

Bersama dia aku masuk ke counter ashworth, kubeli t-shirt seharga 209 ringgit lalu kubawa ke kasir. Kulihat Ratih bersiap mengeluarkan credit cardnya. Dari belakang kupeluk pinggangnya sambil berbisik di telinganya..

"I am joking honey, this is mine" aku sodorkan kartuku kepada kasir.
"Yeah, but we've just make a deal for it" jawabnya sambil menolehkan kepalanya ke samping dan harum rambutnnya tercium semerbak, kukecup lubang telinganya.
"Keep your deal for the next one or two" kataku penuh arti.

Bersambung . . . .

Terasa Ratih menyenderkan tubuhnya kepadaku hingga terasa pantatnya menekan penisku, sekejap terasa aliran listrik di sana. Akhirnya kami jalan bergandengan ke kamar Ratih, jam menunjukkan pukul 7, hari masih terang. Sesampai di kamar, aku duduk di sofanya, setelah mengobrol sebentar, Ratih masuk ke kamar mandi, pintunya sedikit terbuka lalu terdengar suara shower pertanda Ratih sedang mandi. Tak lama dia keluar kamar mandi dengan mengenakan kimono handuk panjang sampai ke bawah lutut.

"Hayo.. Sana mandi, terus kita berangkat.." katanya.

Aku buka baju dan celanaku di depan pintu kamar mandi lalu kulempar di meja tempat menaruh kopor, penisku yang lemas terlihat kecil.

"Nggak malu ya buka celana di depan gua?" katanya sambil tertawa.
"Ngapain malu, kan lu udah pernah liat" jawabku.
"Waktu itu liatnya nggak jelas, gelap dan sekelebatan, lagian kan udah lama" protesnya.
"Mau liat lebih jelas? " kataku sambil melirik dan masuk ke kamar mandi tanpa menutup pintunya sama sekali, toh kalau dia tidak jalan ke arah pintu, dia tidak dapat melihat aku yang bugil di kamar mandi.

Ketika aku menikmati hangatnya air dari shower dengan membelakangi pintu, tiba tiba terdengar pintu shower terbuka, aku pura pura tidak tahu. Lalu aku balikkan badan sambil menutup mata merasakan air shower di kepalaku, Aku intip, Ratih sudah berada di dalam shower, telanjang bulat.

"Kok nggak sama seperti yang gua lihat dulu, kecil ?" ujarnya sambil tangannya memegang penisku, otomatis aliran darah segera menuju penisku yang menyebabkan mengeras.

Aku tarik Ratih ke pelukanku sambil aku cium bibirnya dan kumasukkan lidahku ke dalam mulutnya. Ratih membalas tak kalah hot, dijulurkannya lidahnya mencari lidahku dan berusaha menyedotnya, sementara penisku segera mengeras dengan sempurna di tangan Ratih.

Segera Ratih melepaskan bibirnya dari bibirku, turun menjilati leher dan belakang telingaku, aku remas buah dadanya yang kecil tapi cukup sekal untuk wanita berumur kepala 3 seperti dia. Dia mencari putingku lalu disedotnya perlahan dan diberinya gigitan-gigitan kecil di sekitarnya.

"Ooh Rat..,. Enak Rat.. Terus.. Terus"

Sementara tangannya menjulur meremas penis dan buah zakarku sambil menurunkan badannya dia berjongkok lalu lidahnya terasa menyapu kepala penisku, dijilatnya belahan kecil penisku, kejang-kejang ngilu aku dibuatnya, lalu dikulumnya kepala penisku.

"Lho kok bisa jadi gede segini?"

Perlahan tapi pasti, penisku masuk perlahan lahan sambil kepalanya berputar ke kanan ke kiri dan lidahnya menelusuri batang penisku. Rasanya nikmat sekali. Kepalanya maju mundur mengocok penisku sambil sesekali diputarnya ke kanan ke kiri dan lidahnya bermain main di ujung penisku. Penisku dilepas dari mulutnya, lalu lidahnya menjilati buah zakarku, turun terus ke bawah ke arah pangkal penisku sampai perbatasan dengan anusku sambil tangannya terus mengocok penisku.

"Ooh.. Rat.. Aku hampir keluar.. Terus Rat.. Ke bawah.." erangku.

Ratih kembali memasukan penisku ke dalam mulutnya lalu mengocok dan dihisapnya kuat-kuat sampai akhirnya.. Serr.. Serr.. terasa spermaku keluar dengan derasnya kira kira 5-6 kali mengedut di dalam mulutnya. Ratih masih terus menghisap penisku sampai kakiku terasa lemas, tapi penisku masih terasa keras, lalu Ratih segera menungging menghadap kaca dan tangannya bersender di kaca. Tanpa basa basi langsung aku colokkan penisku ke dalam vaginanya, agak seret, namun tidak terlalu sulit untuk memasukinya.

"Vir.. Kontol lu enak.. Sayang udah nggak seberapa keras" ujarnya. Memang terasa penisku mengecil dan akhirnya lepas dari vaginanya. Ratih tertawa terbahak-bahak.
"Satu nooll" godanya sambil mengecup bibirku, lalu dia keluar dari kamar mandi.
"Nanti disambung lagi aja deh, sekarang kita ke Beach Club dulu, gua mau mabok malam ini" katanya.

Akhirnya aku dan Ratih berpakaian dan kami pergi ke Beach Club, aku perkenalkan Ratih pada beberapa kawanku di sana dan kami bersama-sama menikmati lagu dan minuman sampai jam 11 malam. Ratih tampak cukup mabuk. Dalam pelukanku kami balik ke hotel diantar mobil oleh kawanku, Ratih memberikan kunci kamarnya dan kami masuk ke lift. Kutekan lantai kamarku, Ratih tidak menyadarinya karena kepalanya disandarkan pada dadaku sampil merapatkan matanya. Akhirnya kubuka kamarku, Ratih sudah pasrah dan aku bawa dia telentang di ranjang. Kebetulan bentuk ruangan kamarku sama dengan kamar dia. Kutindih dia sambil kuciumi leher dan bibirnya.

"Ooh Vir, sorry, I am out of control, but still can fell your nice lips and tongue, please lick and suck me" rintihnya.
"You'll get the best you ever had darling, just follow the flow and enjoy my service" balasku.

Bajunya aku buka sampai dia telanjang bulat, terlihat bulu bulu vaginanya hitam berbentuk segi tiga rapi. Aku buka pakaianku sampai aku juga telanjang bulat, dia tetap tidak menyadari bahwa ini bukan kamarnya. Pelayanan aku mulai dari ujung dahinya, aku kecup perlahan, menuju kedua matanya, aku jilat mata tertutupnya lalu menuju hidung mancungnya, aku gigit ringan batang hidungnya lalu kucium bibirnya dengan penuh nafsu, Ratih membalas ciumanku dengan menggigit gigit bibirku ringan.

Kuarahkan lidahku menuju telinganya dan kukorek lubang telinganya dengan lidahku. Kepalanya bergoyang. Lalu aku sedot sedot sepanjang lehernya dari kiri ke kanan, kuangkat tangannya dan kujilat ketiaknya, dia mengerang keras keenakan dan geli. Kusedot ketiaknya agak keras.

"Viirr.. Aach.. Acchh.. Terus vir, feel good honey.." katanya sambil terus bergelinjang semantara penisku sudah mulai mengeras

Kuarahkan mulutku menuju buah dadanya yang mungil, cukup kenyal, kumainkan lidahku di putingnya lalu kedua putingnya bergantian. Jari tanganku mencari lubang vaginanya, tapi aku berhenti di klitnya, kugesek gesek jariku, kembali Ratih berteriak..

"Acchh.. Viir, aku mau keluar". Kuhentikan gerakan tanganku.
"Vir.. Terus dong, udah mau keluar.."
"Hmm.. Gua hisap aja ya" ujarku.

Langsung kuarahkan mulutku ke vaginanya, kembali kupermainkan lidahku di klitorisnya sambil kuhisap dan kusedot sedot, lalu kumasukkan lidahku kedalam vaginanya sedalam-dalamnya. Kusapukan lidahku di sekeliling dinding dalam vaginanya sambil telunjuk tangan kananku mencari anusnya. Dengan cairan dari vaginanya, jariku basah dan aku dorong memasuki anusnya sekitar 2 cm.

"Teruus viir, yang dalam lagi.. Ooh enaak.." terasa goyangan pantatnya cepat dan membuat lidahku kerepotan mengejarnya.
"Aku keluaar Viir.." Tangannya menjambak rambutku dan menarik kepalaku agar lebih dalam lidahku memasuki vaginanya. Terasa cairan sedap di lidahku, pertanda dia sudah orgasme.
"Ooh, Vir, enak sekali..,.. Give me some more.." rintihnya denga nafas menggebu.

Kembali aku jilat dan isap vaginanya, cairan cintanya masih terasa di lidahku. Lalu aku angkat kakinya tinggi tinggi, aku tarik bantal dan kusisipkan di bawah pantatnya sehingga lubang vaginanya semakin menantang. Tapi vagina bukan sasaranku, kujilat perlahan lubang anusnya mengitari seluruh permukaannya dan kudorong lidahku memasuki anusnya dan kuhisap-hisap dengan kuat.

"Viir.. Ennaak banget sih, lidah lu, nggak tahan gua nih, masuking dong, kontol lu pasti enak tuh" katanya perlahan.

Kubalikkan tubuhnya dengan 2 buah bantal di perutnya sehingga pantatnya naik mencuat ke atas. Perlahan kembali kujilat anusnya, dengan posisi demikian, pergerakan kepalaku lebih bebas mengorek ngorek anusnya, nikmat sekali rasanya. Lalu perlahan kumasukkan penisku ke vaginanya dari belakang, agak mudah masuknya karena sudah licin.

"Viir, ternyata bener, kontol lu enak, terasa sesak dan penuh, bisa lebih dalam lagi nggak?" pintanya.

Kutekan pantatnya, lalu aku duduki pantat itu sambil kuletakkan tanganku di bahunya. Perlahan kugoyang pantatku maju mundur sehingga penisku keluar masuk vaginanya dengan kedua kaki menjepit sebagian penisku. Makin lama gerakanku makin cepat. Semakin cepat, Ratih semakin histeris, semakin terasa pula penisku menggesek dinding vaginanya yang tertekan oleh kaki Ratih dan kakiku yang menekan pantatnya. Akhirnya..

"Ratih.. Ratih.. Raat.. Gua keluaarr nih" teriakku.
"Terus.. Terus.. Gua juga sudah hampir, tekan.. Tekan yang keras.." teriaknya pula.
"Aacchh.. Aacchh.. Gua juga akhirnya berhasil..".

Akhirnya kami tertidur berpelukan dan telanjang bulat hanya menarik selimut tebal yang ada.

*****

Keesokan harinya aku terbangun mendengar teriakan Ratih..

"Vir.. Mana pakaian dan koperku.. Sepertinya kok ini bukan kamarku..?" teriaknya kaget setelah melihat barang barangnya tidak ada di tempat. Aku gosok mataku sambil tersenyum.
"Nanti kita ke KLCC aja, gua beliin baju buat lu pulang"
"Sialan lu.. Ada apa ini?
"You are in my room non cantik, actually I stay here too and this is my room.."
"Huuh.. Gak pernah serius nih lu.., musti dihukum.. Hmm.. Mau lagi kaya semalem.." katanya sambil menerkam tubuhku dan menciumi tubuhku.

Akhirnya kembali kami melepaskan hasrat nafsu birahi kami pagi itu, lalu aku mandi dan langsung ke KLIA untuk pulang ke Jakarta, sementara Ratih akan balik ke Jakarta esok hari.

"Have fun tonight ya, see you in Jakarta"
"Have fun.., Have fun apaan, masih terasa nih, bakalan 3 hari!!" katanya sambil jarinya menunjuk ke arah vaginanya.

Tamat

Setelah aku lulus SMA, aku melanjutkan studi di Bandung. Kebetulan aku diterima di sebuah PTN yang terkenal di Bandung. Mengenai hubunganku dengan Tante "U" di kota asalku sudah berakhir sejak kepindahan keluarga Oom "U" ke Medan, dua bulan menjelang aku ujian akhir SMA. Namun kami masih selalu kontak lewat surat atau telpon.

Perpisahan yang sungguh berat, terutama bagiku, mungkin bagi Tante U hal itu sudah biasa, karena hubungan sex buat dia hanya merupakan suatu kebutuhan biologis semata, tanpa melibatkan perasaan. Namun lain halnya denganku, aku sempat merasa kesepian dan rindu yang amat sangat terhadapnya, karena sejak pertama kali aku tidur dengannya, hatiku sudah terpaut dan mencintainya.

Sejak aku mengenal Tante U, aku mulai mengenal beberapa wanita teman Tante U, mereka semuanya sudah berkeluarga dan usianya lebih tua dariku. Wanita lain yang sering kutiduri adalah Tante H; dan Tante A seorang janda cina yang cantik. Jadi semenjak kepindahan Tante U ke Medan, merekalah yang menjadi teman kencanku. Karena Tante H dan Tante A sudah berstatus janda, maka tidak ada kesulitan bagi kami untuk mengatur kencan kami.

Hampir setiap hari aku menginap di rumah Tante H. Dengan Tante H boleh dikata setiap hari aku melakukan hubungan intim tidak mengenal waktu dan tempat. Pagi, siang sore atau malam, di kamar, di ruang tamu, di dapur bahkan pernah di teras belakang rumahnya. Teradang kami main bertiga, yakni aku, Tante H dan Tante A. Di rumah Tante H benar-benar diperas tenagaku. Sesekali waktu aku harus melayani teman Tante H yang datang ke sana untuk menghisap tenaga mudaku. Aku sudah tidak perduli lagi rupanya, aku dijadikan gigolo oleh Tante H. Pokoknya asal aku suka mereka, maka langsung kulayani mereka.

Suatu saat aku bertemu dengan seorang gadis. Cantik dan sexy banget body-nya. Dian namanya, teman adik perempuanku. Dengan keahlianku, maka kurayu dan kupacari Dian. Suatu hari aku berhasil mengajaknya jalan-jalan ke suatu tempat rekreasi. Di suatu motel, akhirnya aku berhasil menidurinya. Aku agak kecewa, rupanya Dian sudah tidak perawan lagi. Namun perasaan itu kupendam saja. Kami tetap melanjutkan hubungan, dan setiap kali bertemu, maka kami selalu melakukan hubungan badani.

Rupanya Dian benar-benar ketagihan denganku. Tidak malu-malu dia mencariku, dan bila bertemu langsung memintaku untuk menggaulinya. Tapi aneh, Dian tidak pernah mengajakku, bahkan melarang aku datang ke rumahnya. Kami biasa melakukan di motel atau hotel melati di kotaku, beberapa kali aku mengajak Dian ke rumah Tante H. Kuperkenalkan Tante H sebagai familiku, dan tentunya aku tidak mau menyia-nyiakan kesempatan untuk bercumbu dengannya di kamar yang sering aku dan Tante H gunakan bercumbu.

Suatu hari, entah kenapa, tiba-tiba Dian memintaku untuk main ke rumahnya, katanya dia berulang tahun. Dengan membawa seikat bunga dan sebuah kado aku ke rumahnya. Aku pencet bel pintu dan Dian yang membukakan pintu depan. Aku dipersilakan duduk di ruang tamu. Segera Dian bergegas masuk dan memanggil mamanya untuk diperkenalkan padaku. Aku terkejut dan tergagu melihat mamanya, sebab perempuan itu. Ya.. mamanya Dian sudah beberapa kali tidur denganku di rumah Tante H.

Mama Dian nampak pias wajahnya, namun segera mama Dian dapt cepat mengatasi keadaan. Mama Dian berlagak seolah-olah tidak mengenalku, padahal seluruh bagian badannya sudah pernah kujelajahi. Beberapa saat Mama Dian menemani kami ngobrol. Dengan sikap tenangnya aku pun menjadi tenang pula dan mampu mengatasi keadaan. Kami ngobrol sambil bercanda, dan nampak terlihat bahwa Mama Dian benar-benar seorang Ibu yang sayang pada putri tunggalnya itu.

Keesokan harinya, Mama Dian menemuiku. Di ruang tamu rumah Tante H, Mama Dian menginterogasiku, ingin tahu sudah sejauh mana hubunganku dengan Dian. Aku tidak mau segera menjawab, tanganku segera menarik tangannya dan menggelandang tubuhnya ke kamar. Dia berusaha melepaskan peganganku, namun sia-sia, tanganku kuat mencekal, sehingga tidak kuasa dia melepaskan tangannya dari genggamanku.

Kukunci pintu kamar dan segera kuangkat dan rebahkan tubuhnya di atas kasur. Segera kulucuti pakaianku hingga aku telanjang bulat, dan segera kutindih tubuhnya. Dia meronta dan memintaku untuk tidak menidurinya, namun permintaanya tak kuindahkan. Aku terus mencumbunya dan satu persatu pakaiannya kulucuti, dan akhirnya aku berhasil memasukkan penisku di vaginanya. Begitu penisku melesak masuk, maka Mama Dian bereaksi, mulai membalas dan mengimbangi gerakanku. Akhirnya kami berpacu mengumbar nafsu, sampai akhirnya Mama Dian sampai pada puncak kepuasan.

Peluhku bercucuran menjatuhi tubuh Mama Dian, kuteruskan hunjaman penisku di vaginanya. Mama Dian mengerang-erang keenakkan, sampai akhirnya orgasme kedua dicapainya. Aku terus genjot penisku, aku benar-benar kesal dan marah padanya, karena aku tahu dengan kejadian itu maka bakalan usai hubunganku dengan Dian, padahal cinta mulai bersemi di hatiku.

Sambil terus kugenjot penisku di vaginanya, kukatakan padanya bahwa Dian juga sudah sering aku tiduri, namun aku sangat mencintai, menyayangi bahkan ingin menikahinya. Aku katakan semua itu dengan tulus, sambil tidak terasa air mataku menetes. Akhirnya dengan hentakan yang keras aku mengejan kuat, menumpahkan segala rasa yang kupendam, menumpahkan seluruh air maniku ke dalam kemaluannya. Badanku terasa lemas, kupeluk tubuh Mama Dian sambil sesenggukan menangis di dadanya. Air mataku mengalir deras, Mama Dian membelai kepalaku dengan penuh rasa sayang. Kemudian dikecup dan dilumatnya bibirku.

Tubuhku berguling telentang di samping kanan tubuhnya. Mama Dian merangkul tubuhku, menyilangkan kaki kiri dan meletakkan kepalanya di dadaku. Terasa kemaluannya hangat dan berlendir menempel di perutku, tangan kirinya mngusap-usap wajahku. Tidak henti-hentinya mulutnya menciumku.

Sambil bercumbu, kuceritakan semua kisah romance-ku, hingga aku sampai terlibat dalam pergaulan bebas di rumah Tante H. Dengan sabar didengarnya seluruh kisahku, sesaat kemudian kembali penisku menegang keras. Segera tanganku bergerilya kembali di liang kemaluannya, selanjutnya kembali kami berpacu mengumbar nafsu kami. Kami bercumbu benar-benar seperti sepasang pengantin baru saja layaknya. Seolah tidak ada puasnya. Sampai akhirnya kami kembali mencapai puncak kepuasan beberapa kali.

Setelah babak terakhir kami selesaikan, Mama Dian bangkit dan menggandengku menuju kamar mandi, kami mandi berendam bersama di kamar mandi sambil bercumbu. Sambil berendam kami bersenggama lagi. Setelah puas, kami menumpahkan hasrat kami, kami keringkan tubuh kami dan segera berpakaian. Nampak sinar puas membias di wajah Mama Dian.

Dengan bergandeng tangan kami keluar kamar, kupeluk pinggangnya dan kuajak menuju ke ruang tamu. Kami duduk berdua, kemudian berbincang mengenai kelanjutan hubunganku dengan Dian. Mama Dian ingin agar hubunganku dengan Dian diakhiri saja, walaupun kami sudah begitu jauh berhubungan, sekalipun Dian sudah hamil karenaku. Dia memberikan pandangan tentang bagaimana mungkin aku menikahi Dian, sedangkan aku dan Mama Dian pernah berhubungan layaknya suami istri, sebab bagaimanapun kami akan tinggal serumah. Bagaimana mungkin kami melupakan begitu saja affair kami, rasanya tidak mungkin.

Aku dapat mengerti dan menerima alasan Mama Dian, namun aku bingung bagaimana cara menjelaskan kepada Dian. Aku tidak sanggup kalau harus memutuskan Dian. Akhirnya aku mengatakan ideku pada mama Dian. Selanjutnya selama beberapa hari aku tidak menemui dan sengaja menghindari Dian. Mamanya memberitahu kalau Dian saat ini dalam keadaan hamil 2 bulan akibat hubungannya denganku.

Pada suatu hari, aku ditelpon Mama Dian. Dia memberitahu kalau Dian sedang menuju ke rumah Tante H untuk mencariku. Aku sudah tahu apa yang harus kulakukan. Saat itu Tante H sedang menyiram tanaman kesayangannya di kebun belakang, segera kuhampiri dia dan kuajak dia ke kamar yang biasa aku dan Dian pakai untuk berkencan. Kulucuti seluruh pakaian Tante H dan juga pakaianku sendiri, selanjutnya kami bersenggama seperti biasanya.

Tidak berapa lama Dian datang dan langsung menuju ke kamarku. Terdengar pekik tertahan dari mulutnya saat melihat adegan di atas ranjang, dimana aku dan Tante H sedang asyik bersenggama. Terdengar pintu kamar dibanting, Dian pulang ke rumah dengan hati yang amat terluka. Tante H merasa tidak tega dengan kejadian itu, Tante H memintaku untuk segera menyusul Dian, namun tidak kuhiraukan, bahkan aku semakin keras dan cepat menghentakan penisku di liang kemaluannya.

Tante H mengerang-erang keenakan, mengimbangi dengan gerakan yang membuat penisku semakin cepat berdenyut. Kami mencapai orgasme hampir bersama, aku berguling dan menghempaskan badanku ke samping Tante H. Mataku menerawang jauh menatap langit-langit kamar, air mataku bergulir membasahi pipiku. Inilah akhir hubunganku dengan Dian, akhir yang amat menyakitkan. Dian pergi dariku dengan membawa benih anakku di rahimnya. Musnah sudah impian dan harapanku untuk membina rumah tangga dengannya.

Tante H menghiburku, dia mengingatkan aku bahwa aku sudah membuat keputusan yang benar. Jadi tidak perlu disesali. Didekapnya tubuhku, aku menyusupkan wajahku ke dada Tante H, ada suatu kedamaian di sana, kedamaian yang memabukkan, yang membangkitkan hasrat kelelakianku lagi. Sesaat kemudian kami berpacu lagi dengan hebat, hingga beberapa kali Tante H mencapai puncak kepuasan. Aku memang termasuk tipe pria hypersex, dan mampu mengatur timing orgasmeku, sehingga setiap wanita yang tidur denganku pasti merasa puas dan ketagihan untuk mengulangi lagi denganku.

Beberapa hari kemudian aku terima telpon Dian. Sambil terisak, Dian pamit padaku karena dia dan mamanya akan pindah ke Surabaya. Aku minta alamatnya, tapi Dian keberatan. Dari nada suaranya nampak Dian sudah tidak marah lagi padaku, maka aku memohon padanya untuk terakhir kali agar dapat aku menemuinya. Dian mengijinkan aku menemuinya di rumahnya, segera aku meluncur ke rumahnya. Untuk inilah saat terakhir aku berjumpa dengan kekasihku.

Kupencet bel pintu, Mama Dian membuka pintu dan mempersilakan aku masuk. Nampak wajahnya masih berbalut duka dan kesedihan, dia amat merasa bersalah karena menjadi penyebab hancurnya hubunganku dengan Dian. Mama Dian menggandengku menuju ruang keluarga, nampak Dian kekasihku duduk menungguku.

Melihatku, Dian bangkit dan menghampiriku, tidak kusangka pipiku ditamparnya dengan keras. Kubiarkan saja agar rasa kesal dan tertekan di hatinya terlampiaskan. Dian berdiri bengong setelah menamparku, dilihat tangannya dan pipiku bergantian seolah tak percaya akan apa yang dia lakukan. Tiba-tiba ditubruk dan dipeluknya badanku, dibenamkan wajahnya ke dadaku sambil sesenggukan menumpahkan tangisnya. Aku peluk tubuhnya dan kuelus rambutnya.

Agak lama kami demikian, kami menyadari bahwa saat inilah saat terakhir bagi kami untuk bertemu. Mama Dian mendekat dan merangkul kami berdua dan membimbing kami untuk duduk di kursi panjang. Kami bertiga duduk sambil berpelukan, Mama Dian di tengah, kedua tangannya memeluk kami berdua.

Akhirnya kesunyian di antara kami terpecahkan dengan ucapan Mama Dian. Mama Dian mengatakan memberi kesempatan pada kami untuk memutuskan, apakah akan kami lanjutkan hubungan kami atau kami putuskan sampai disini saja. Berat sekali rasanya, jika kami teruskan hubungan kami maka berarti aku memisahkan jalinan kasih ibu dan anak tunggalnya ini. Aku menyerahkan keputusan akhir pada Dian. Sambil terisak, Dian akhirnya memutuskan untuk mengakhiri hubungan kami, saat kuingatkan bahwa di rahimnya ada benih anakku, Dian menjawab biarlah, ini sebagai tanda cinta kasih kami berdua, Dian akan tetap memelihara kandungannya dan akan membesarkan anak itu dengan kasih sayangnya.

Beberapa saat kemudian aku berpamitan, dengan berat Dian melepaskan pelukanku, namun sebelum kami berpisah, sekali lagi Dian memintaku untuk menemaninya. Ditariknya aku ke kamarnya, dan dengan penuh kasih sayang, dibukanya pakaianku dan pakaian yang melekat di tubuhnya. Kami berdiri berpelukan dengan tanpa sehelai benang menempel pada tubuh kami. Kucumbui Dian kekasihku untuk terakhir kalinya, kugenjot penisku di vaginanya dengan lembut dan penuh perasaan, aku khawatir kalau-kalau genjotanku akan menyakitkan anakku yang ada di rahimnya.

Semalam kami bercengkerama, pada pagi keesokan harinya aku berpamitan. Dengan perasaan yang amat berat, dilepas kepergianku. Aku berpamitan pula pada Mama Dian, kucium punggung tangannya sebagai tanda kasih anak ke ibunya, ditengadahkan wajahku dan dikecupnya keningku dengan penuh rasa sayang. Aku menitipkan anakku pada Dian, dan mohon padanya agar memberi kabar saat kelahirannya nanti. Sampai disitulah akhir hubunganku dengan Dian dan mamanya.

Bersambung . . . . .

Beberapa hari setelah perpisahanku dengan Dian, aku merasa sepi dan sedih. Tante H yang senantiasa menghiburku, dengan gurauan, kemolekan, kehangatan tubuhnya, dan dengan kasih sayangnya terkadang di dalam kesendirianku, aku teringat Tante U, dengan segala kehangatan tubuhnya. Aku teringat moment-moment yang pernah kami jalani di salah satu kamar di rumah Tante H.

Di salah satu kamar di rumah Tante H itulah kami biasa mengumbar nafsu kami, saling menumpahkan rasa rindu kami, sudah tak terhitung lagi barapa banyak aku menyenggamainya, menumpahkan segenap rasa dan nafsuku, dan sebanyak itu kami berhubungan tak pernah sekalipun kami menggunakan alat kontrasepsi, baik itu kondom, spriral, tablet atau sebangsanya. Jadi kami melakukannya secara alami saja, dan tentunya dapat dibayangkan akibatnya. Yach.., Tante U pergi dengan membawa banyak kenangan indahku, membawa cintaku, dan membawa pula janin dari benih yang kutanam di rahimnya.

Awal semester pertama sudah berjalan 2 bulan lebih 5 hari, jadi tak terasa aku sudah menempati rumah petak kontrakanku selama itu. Setiap hari aku berjalan kaki ke tempat kuliah, yang memang tak jauh dari rumah kontrakanku. Setiap kali aku berangkat atau pulang kuliah, aku selalu melewati sebuah rumah yang dihuni satu keluarga dengan dua anak perempuannya, sebenarnya 3 orang anaknya dan perempuan semuanya. Dua sudah berkeluarga, yaitu Kak Rani dan Kak Rina, sedangkan si bungsu Yanti masih SMA kelas 1 (baru masuk).

Kak Rani dan Kak Rina anak kembar, hanya saja nasib Kak Rani lebih baik ketimbang Kak Rina. Kak Rani bersuamikan pegawai Bank dan sudah memiliki rumah serta dua anak perempuan, sedangkan Kak Rina bersuamikan seorang pengemudi box kanvas suatu perusahaan dan belum dikarunia anak, serta masih tinggal bersama ibunya. Bu Maman seorang janda yang baik hati dan sayang benar sama cucunya, yaitu anak Kak Rani.

Pada mulanya aku berkenalan dengan Yanti, Yanti termasuk gadis yang agresif, dan aku juga sudah mendengar cukup banyak tentang petualangan cintanya sejak dia duduk di bangku SMP, jadi masalah sex buat Yanti bukan hal yang baru lagi.

Perkenalanku terjadi saat aku pulang kuliah sore hari, dimana hujan turun cukup lebat. Pada saat aku berjalan hendak memasuki mulut gang, berhentilah sebuah angkot dan ternyata yang turun Yanti dengan seragam SMA-nya.

Aku menawarinya berpayung bersama dan ternyata dia mau. Kuantar Yanti sampai rumahnya, setiba di rumahnya dipersilahkannya aku masuk dan duduk di ruang tamu, sementara dia masuk berganti pakaian. Saat aku menunggu Yanti, Kak Rina keluar dengan membawa secangkir teh hangat dan kue. Mulutku secara tak sadar ternganga melihat kecantikan Kak Rina. Mata nakalku tak henti melirik dan mencuri pandang padanya. Padahal Kak Rina hanya berpakaian sederhana, hanya mengenakan daster motif bunga sederhana, namun kecantikannya tetap nampak. Kulitnya yang putih kekuningan dan badannya yang segar dengan buah dada yang menonjol, semakin menambah kecantikan penampilannya sore itu.

Melihatku, dia tersenyum, nampak sebaris gigi putih yang bersih berjajar. Aku tergagap dan segera kuulurkan tangan untuk berkenalan dengannya. Hangat tengannya dalam genggamanku, dan sambil menunggu Yanti selesai berganti pakaian, dia menemaniku ngobrol. Dalam obrolanku dengan Kak Rina sore itu, baru kutahu kalau Kak Rina sering melihatku saat aku berjalan berangkat dan pulang kuliah. Itulah hari pertamaku berkenalan dengan keluarga Yanti.

Pagi esok harinya, saat aku berangkat kuliah, aku bertemu Kak Rina di mulut gang. Kami bersalaman, tiba-tiba timbul kenakalanku, kugelitik telapak tangan Kak Rina saat kugenggam, ternyata dia diam saja, bahkan tersenyum padaku. Sejenak kami berbasa-basi bicara, kemudian aku cepat bergegas kuliah.

Sore hari aku baru pulang kuliah, langit mendung tebal, sepertinya mau hujan. Saat kubuka pintu rumah, kulihat Yanti dan teman kostku sedang ngobrol di ruang tamu. Rupanya dia sengaja datang untukku. Tak lama kemudian teman kostku pamit mau kuliah sore sampai jam 19.00 WIB. Setelah aku berganti pakaian, kutemui Yanti dan kami ngobrol berdua. Tiba-tiba aku teringat bahwa Yanti belum kusuguhi minum, cepat-cepat aku permisi ke dapur untuk membuat minuman buatnya. Saat aku beranjak ke dapur, Yanti mengikutiku dari belakang, dan di dapur kami lanjutkan obrolan kami sambil kuteruskan membuat minuman.

Yanti berdiri bersandar ke meja dapur, aku mendekatinya dan iseng kupegang tangannya. Agaknya Yanti memang mengharapkan suasana demikian. Dia tanggapi pegangan tanganku dengan mendekatkan tubuhnya ke tubuhku, sehingga wajah kami berjarak hanya beberapa senti saja. Hembusan nafasnya terasa menerpa wajahku. Kesempatan itu tak kubiarkan lewat begitu saja, segera kusambar pinggangnya dan kucium serta melumat mulutnya.

Kami berciuman agak panjang, lidah kami saling beradu dan memilin, sementara sigap tanganku menggerayangi dan meremas pantat Yanti. Tanganku tidak berhenti, terus bergerak menyingkap bagian depan roknya, dan segera tanganku mengelus-elus vagina Yanti yang masih tertutup celana tipis, sementara itu mulutku menjalar dan menciumi lehernya. Yanti merintih lembut, dan semakin mempererat pelukannya.

Tangan kananku yang sudah terlatih segera melepas kancing depan bajunya, selanjutnya meremas-remas buah dadanya, kulepas tali BH-nya, dan segera kujelajahi dua bukit kembarnya yang sudah mengeras. Kuhisap lembut puting susunya, Yanti semakin menekan kepalaku ke arah dadanya.

Aku sudah tahu apa yang dikehendakinya, segera kutarik dia ke kamarku, dan segera kubuka resleting roknya, kulepas bajunya kemudian BH-nya. Nampak tubuh Yanti polos tak tertutup kain, hanya CD tipisnya saja yang tinggal melekat di badannya. Segera kuhujani Yanti dengan ciuman, kujilati sekujur tubuhnya, kuhisap puting susunya, dan terus mulutku bergerak ke bawah, sambil pelan-pelan tanganku melepas CD-nya.

Begitu CD-nya lepas, segera kuserbu liang kenikmatannya, lidahku menjilati vaginanya, sementara kedua tanganku meremas-remas pantatnya yang bulat penuh. Yanti merintih dan mengerang, dan sesaat kemudian ditariknya bahuku ke atas, sehingga kami berdiri berhadapan. Segera dilepas kancing bajuku, dan dilepasnya semua pakaianku. Sambil membungkukkan badan, dihisap batang kejantananku, dijilati dan dikocoknya pelan. Ohh.., sungguh nikmat tak terbayang.

Segera kudorong tubuhnya telentang di atas dipan, dan lidahku terus bergerilya di kemaluannya, juga ke dua jari tanganku ikut pula menjelajahi vaginanya. Kedua pahanya mengangkang lebar dan nampak lubang kemaluannya sepertinya siap melahap kejantananku bulat-bulat. Yanti mengerang-ngerang dan memintaku segera memasukkan batangku ke dalam liang senggamanya.
"Mas.. ayo.. masukkan.. ayo Maas..!"

Hujan di luar turun dengan deras, suara hujan mengalahkan erangan dan teriakan Yanti, sehingga aku tak khawatir orang akan mendengar suaranya. Kubiarkan Yanti dalam keadaan begitu sambil lidahku terus menjilati kemaluannya. Yanti merintih dan mengerang sambil menghiba untuk segera memulai permainan kami. Bau liang senggamanya semakin membangkitkan gairahku, dan akhirnya aku pun tak tahan.

Segera kutindih tubuhnya, dan kebenamkan penisku di liang vaginanya dengan satu sentakan yang sedikit agak keras. Segera kukocok kemaluannya dengan cepat dan keras. Yanti mengerang, merintih dan mengimbangi gerakan keluar masuk kejantananku dengan pas, sehingga kadang terasa batang kemaluanku bagai dihisap dan diremas di dalam liang senggamanya. Terasa penisku berdenyut-denyut, sepertinya hendak keluar air maniku. Segera kuhentikan gerakan kejantananku dan segara kucabut. Kugeser tubuhku dan kumasukkan penisku ke dalam mulutnya. Segera dihisap dan dikulumnya penisku tanpa rasa jijik. Setelah agak berkurang denyutan penisku, segera kubenamkan lagi ke dalam kemaluan Yanti.

Bukan main, remasan dan sedotan vagina Yanti. Aku jadi mengerti sekarang beda antara kemaluan seorang wanita yang masih gadis dan belum pernah melahirkan dengan wanita yang sudah melahirkan seperti Tante U. Kubalik tubuh Yanti dan kuangkat pantatnya agak tinggi, sehingga Yanti dalam posisi nungging. Segera kutancapkan penisku ke liang senggamanya dari belakang. Lagi-lagi Yanti mengerang-erang, kadang menjerit kecil. Tiba-tiba diangkat dan diputar badannya ke belakang, serta diraihnya kepalaku serta diciumnya mulutku, sementara penisku tetap bekerja keluar masuk vaginanya.

Berapa saat kemudian kuganti posisi, aku berbaring telentang dan Yanti menindih tubuhku. Dipegang dan dibimbingnya penisku masuk ke vaginanya, dan segera digoyang badannya naik turun di atas tubuhku. Kuremas payudaranya dan kuhentakkan pantatku ke atas, saat badan Yanti bergerak ke bawah menekan masuk penisku ke dalam liang senggamanya. Tak lama kemudian gerakan Yanti semakin menggila dan semakin cepat. Dari mulutnya terdengar erangan yang semakin keras, dan akhirnya badannya menegang sambil dari mulutnya terdengar lenguhan.
"Ughh.. Aaah.. Aaah.."
Kemudian tubuhnya menubruk dan memeluk tubuhku erat-erat.
"Mass.. aku sudah.., keluar.. ooh.. Enak..!"

Pelan kubalik badannya, dan kutindih serta kugenjot vaginanya cepat dan keras. Terlihat mata Yanti mendelik, membalik ke atas, mulutnya merintih dan mengerang. Kupercepat gerakanku dan kugenjot penisku sepenuh tenaga. 15 menit kemudian terasa penisku berdenyut-denyut. Kepala Yanti bergoyang ke kanan dan ke kiri. Kedua kakinya menjepit pantatku, sehingga tak ada kemungkinan aku mencabut batang kemaluanku saat air maniku keluar nanti. Dan akhirnya dengan suatu sentakan yang keras, kubanjiri liang senggamanya dengan cairan maniku.

Kumarahi Yanti, karena dia tak memberiku kesempatan membuang air maniku di luar liang kemaluannya. Aku khawatir hal ini akan berakibat fatal, yaitu Yanti hamil. Dia hanya tertawa kecil dan memelukku erat, sambil berbisik di telingaku bahwa dia sudah KB suntik. Aku terheran-heran mendengarnya, karena sudah sedemikian jauhnya pengetahuan dia tentang berhubungan sex dan menjaga diri dari kehamilan. Mendengar itu aku lega dan segera kucium dan kulumat mulutnya. Kami bercumbu, berciuman dan bergumul di atas dipan, kebetulan dipanku ukurannya lebar, sehingga kami leluasa bercumbu di atasnya.

Dua puluh menit berlalu, terasa penisku mulai menegang dan mengeras. Segera kumasukkan lagi batang kejantananku ke vagina Yanti. Kembali kami berdua mengumbar nafsu sepuas hati, kali ini aku tetap menjaga posisi di atas, karena aku tahu bahwa pada ronde kedua dan ketiga aku lebih dapat mengatur dan menahan klimaks lebih lama. Yanti mengerang dan merintih, dan akhirnya pada puncak kepuasan yang kedua, kusemburkan lagi benih-benih manusia ke dalam rahim Yanti.

Keringat kami telah bercampur dan membasahi tubuh kami, seprei tempat tidur sudah berantakan tidak karuan, kami berbaring berpelukan, kepalanya di dadaku, tangan Yanti memainkan penisku, dan sesekali kami saling berciuman. 15 menit kemudian kami ulangi lagi hal yang sama, hingga klimaks kami dapatkan lagi, Kembali kuguyur vaginanya dengan caiaran maniku sambil kami berciuman panjang sekali, seolah tak akan berhenti.

Setelah cukup beristirahat, segera kami berkemas dan berpakaian, dan tidak lupa berjanji untuk mengulangi lagi apa yang kami lakukan sore ini. Menjelang maghrib, kuantar Yanti pulang ke rumah, dan sebelum aku pamit pulang, sekali lagi kupeluk pinggangnya dan kucium bibirnya dengan mesra. Sejak hari itu, resmilah Yanti menjadi pacar tetapku, alias pemuas nafsuku.

TAMAT

Di cerita kali ini, untuk pertama kalinya aku mencoba untuk mengambil sudut pandang lain. Kalau biasanya aku selalu mengambil sudut pandang dari pihak laki-laki, kali ini aku akan mencoba menghayati apa yang dirasakan seorang wanita dalam petualangannya. Aku sempat juga bertanya sama dengan cewekku (dia jadi peran utama di cerita ini) segala sesuatu tentang cewek dan bagaimana rasanya dia melakukan itu denganku. Pokoknya aku les singkat dengannya, dan akhirnya kudapat juga pengetahuan itu. Oke kita mulai saja cerita ini.

Namaku Vania, aku seorang gadis berumur 17 tahun, sekarang aku duduk di kelas 3 SMA. Aku satu sekolah dengan Riko, penulis cerita ini. Ayahku keturunan Barat dan ibuku keturunan Chinese. Perpaduan ini yang membuatku menjadi seorang gadis tinggi ramping, berkulit putih dan walaupun tubuhku tidak terlalu seksi, bisa kututupi kekurangan itu dengan wajahku yang kata orang sih cantik. Tentu saja aku senang mendengarnya, apalagi ketika Riko mengatakan kalau bibirku benar-benar menggoda. Memang sih aku belum pernah tidur dengan seorang pria, tetapi kalau soal yang begituan aku cukup ahli, yah mungkin ketularan sama omes-nya (otak mesum) Riko dan teman-temannya yang tidak kalah omes. Jadi kesimpulannya, aku juga termasuk ahli di bidang begituan.

Hari itu, kira-kira jam 4 sore tanggal 12 Februari tahun ini, aku jalan-jalan bersama Precill dan Yuli. Kami memang sedang mencari sesuatu yang dapat kami berikan ke cowok yang paling dekat dengan kami, kan 2 hari lagi Valentine, jadi harus memberikan yang istimewa donk. Setelah sekitar 2 jam berkeliling mencari barang yang cocok, aku akhirnya menyerah. Aku sama sekali tidak mendapatkan barang yang benar-benar spesial untuk cowokku (hehehe, maksudnya untuk gue yang nulis cerita ini).

Akhirnya kuputuskan untuk mencari di tempat lain saja besok. Aku pulang tanpa membawa apa-apa, berbeda dengan Precill dan Yuli yang sudah mendapatkan yang mereka cari. Aku memang susah mencari barang untuk Riko, dia tuh orangnya senang yang romantis dan sedikit berbau omes gitu lah. (Ini sepertinya pujian untuk gue). Tetapi aku yakin, aku akan mendapatkan sesuatu untuknya. Kan kalau kita mau usaha, pasti kita akan mendapatkan apa yang kita inginkan. Bener ngtidak..?

Singkat cerita, aku sama sekali tidak mendapatkan apa-apa, bahkan besoknya juga aku masih tidak mendapatkan apa-apa. Aku tidak mau memberikan sesuatu yang biasa, kupikir lebih bagus aku tidak memberikan sama sekali daripada kuberikan sesuatu yang biasa di hari yang spesial nanti. Ternyata Riko sudah berinisiatif lebih dulu, dia mengajakku candle light dinner. Tepat seperti dugaanku, dia memang suka keromantisan, kami hanya makan sedikit terus minum sedikit dan kami sempat slow dance dulu sebelum akhirnya duduk lagi, hanya duduk dan saling memandang.

Tidak tahu karena aku terbawa suasana atau memang si Riko jago (muji gue lagi nih), yang jelas aku benar-benar menikmati malam itu. Riko memberikan kalung cantik dan dia memasangkan di leherku.
Terus diciumnya pipiku dari belakang sambil berkata, "Biar hari ini jadi hari yang eloe kenang selama hidup eloe. dan gue harap eloe juga inget siapa yang ada di sini ngerayain hari Valentine ini sama eloe." (Mengganggu lagi nih, perasaan gue ngomongnya ngtidak gitu deh, tapi intinya sih sama lah.)

Kalian pasti mengerti kan kalau cewek itu mudah terangsang kalau suasana hatinya mendukung ditambah dengan sentuhan yang tepat. Tidak seperti cowok, cowok itu mudah sekali terangsang, biasanya langsung tegang itunya hanya karena melihat dada atau paha cewek. Oke, kembali lagi deh ke cerita kita. Tidak tahu kenapa, yang jelas Riko melakukan sesuai dengan apa yang kuharapkan, dan tidak tahu kenapa, aku akhirnya menemukan sesuatu yang spesial untuk kuberikan kepadanya. Kuajak dia ke rumahku, aku tahu persis orangtuaku tidak ada di rumah, dan di rumah hanya ada si Iyem saja.

Sampai di rumah, Riko duduk di kursi tamu seperti biasa dan kubawakan minuman untuk dia. Ketika aku balik lagi, Riko sedang melihat-lihat album fotoku. Dia tersenyum ketika melihat fotoku ketika masih kecil. Ketika aku datang dia langsung tersenyum ke arahku. Kuletakkan minuman di meja dan bilang kalau aku tidak dapat memberikan apa-apa di hari Valentine ini, tetapi aku punya sesuatu yang spesial buatnya di hari spesial ini.

Aku duduk di sebelah Riko, kubiarkan Riko memelukku dan menciumku. Bibirnya lembut membasahi bibirku, terus dia mengambil sirup di meja dan pura-pura menumpahkannya di bajuku.
Kami berdua tertawa bersama, terus dia berkata, "Ups.., sorry ya. Mendingan eloe ganti baju dulu, nanti masuk angin kalo pake baju basah gini."
Aku tahu Riko memang sengaja, dia mau mengajakku ke kamar. Deg-degan juga sih, tetapi aku sudah bertekad kalau aku harus dapat memberikan yang spesial buatnya hari ini.

Rupanya Riko sudah tahu kalau aku memang mau memberikan sesuatu yang sudah 17 tahun kujaga baik-baik. Yap, aku memang memilihnya untuk mengambil kesucianku. Kurasa memang dia orang yang tepat. Aku ke kamar, dan seperti yang kuduga dan kuinginkan, Riko mengikutiku. Terus dia duduk di ranjangku memperhatikanku jalan ke arah lemari pakaianku.

Aku cuek saja buka baju di depan dia, tetapi waktu aku mau membuka BH-ku, Riko memelukku dari belakang sambil berkata, "Biarkan malam ini berjalan lambat, jangan habiskan waktu terlalu cepat."
Aku menurut saja, kubiarkan dia mencium leherku, bahuku dan akhirnya menggendongku ke tempat tidur. Riko masih belum puas bermain dengan bibirnya, dia menciumku dua kali, dan begitu kusadar, tahu-tahu BH-ku sudah hilang, tidak tahu kemana. Aku tidak sadar kapan Riko membuka BH-ku itu, yang jelas sekarang dadaku sudah telanjang. Mungkin karena aku terlalu terbawa suasana.

Riko mulai bosan bermain dengan bibirnya, kali ini dia menggunakan lidahnya menjilati puting buah dadaku. Lembut dan membuatku enak kegelian. Aku hanya memejamkan mata sambil merasakannya menjilat dan sesekali menghisap putingku. Tiap kali dia hisap seperti ada setrum di badanku, aku selalu menggeliat menahan geli. Aku tidak bosan-bosan merasakan enaknya permainan lidah Riko. Entah berapa lama aku terdiam merasakan nikmatnya sentuhan demi sentuhan dari bibir dan lidahnya.

Ternyata bersamaan dengan lidahnya bermain, tangan Riko tidak tinggal diam. Soalnya waktu kubuka mata, aku kaget sekali, ternyata aku sudah telanjang bulat, dan Riko hanya menggunakan celana dalam saja. Hebat juga dia bisa menenlanjangiku dan melepas pakaiannya tanpa dapat kuketahui. (Sekedar informasi, dia aja yang ngtidak sadar keenakan, padahal gue lumayan lama juga ngebugilin dia dan gue sempat keluar dulu minum sirup gue yang masih kesisa, masalahnya lidah gue udah kering ngejilatin dadanya, hehehe.)

Kucoba untuk bangun, tetapi badanku terasa lemas, aku sama sekali tidak bertenaga. Aku tidak dapat berbuat apa-apa ketika Riko mulai turun terus mencium pusarku. Terus tangannya membuka pahaku lumayan lebar. Aku merasa malu juga ketika Riko melihat vaginaku. Riko tidak lama-lama melihatnya, dan tidak lama dia sudah menjilati bibir kemaluanku.

Lebih gila lagi, ternyata ketika dia menjilat vaginaku, rasanya jutaan kali lebih nikmat dari permainannya di puting payudaraku. Dia menjilat beberapa kali, terus dia menjilat klitoris-ku. Ini lebih hebat lagi, soalnya tanpa sadar aku mendesah. Sebenernya lebih mirip teriak keenakan ketika lidahnya pertama kali menyentuh klitorisku yang memang super sensitif. Gila, ternyata Riko tidak hanya menjilatnya beberapa kali, tetapi berkali-kali, terus dia memelintir perlahan klitoris-ku. Wah, itu sih tidak dapat dijelaskan, yang jelas badanku refleks kejang dan aku menjambak rambutnya tanpa sadar. Tetapi ketika rasa kesetrum itu mulai hilang, aku malah ingin lagi. Ternyata Riko tahu, dia memelintir lagi klitoris-ku sekali lagi dan seperti sebelumnya, aku kejang lagi. Terus dia malah lebih gila lagi, digosok-gosokkannya klitorisku dengan ujung jarinya. Aku tidak tahan kejang-kejang, tetapi Riko memegang pinggangku, jadi aku tidak dapat bergerak bebas.

Rasa nikmat itu lalu memuncak dan aku tidak sadar lagi, semua terasa gelap dan badanku kejang-kejang tidak karuan tanpa dapat kukontrol. Aku tahu aku sudah sampai puncak, dan begitu kusadar lagi, Riko sudah menggosok-gosok kepala penisnya yang besar sekali ukurannya. Aku tidak yakin penis sebesar itu dapat masuk ke vaginaku, ada juga sih rasa takut. Tetapi aku sudah bertekad, aku akan memberikan kesucianku untuk Riko.

Riko terus menekan sedikit penisnya. Bibir kemaluanku terasa terbuka, dan akhirnya kurasakan kepala penisnya di bagian luar vaginaku. Riko terus mencium bibirku dan membuka pahaku lebih lebar, kututup mataku, siap menerima apa yang akan terjadi. Ternyata tidak terjadi apa-apa, sialnya ketika kubuka mata, Riko sedang menekan penisnya kuat-kuat ke vaginaku. Kontan saja aku berteriak, lumayan kencang juga.

Belum habis rasa kagetku, Riko menyodok lagi penisnya ke vaginaku, perih sekali rasanya. Sepertinya badanku terbagi dua karena robek disodok penis sebesar itu. Tetapi rasa sakit itu berangsur-angsur hilang dan berubah menjadi rasa nikmat yang tidak kalah dari rasa nikmat ketika Riko memelintir-melintir klitoris-ku. Riko mulai goyang maju mundur pelan-pelan, tetapi kerasanya hebat sekali ketika penisnya menggosok-gosok dinding vaginaku. Sepertinya tidak ada ruangan kosong lagi di vaginaku, semua terasa sudah sesak disodok-sodok. Aku mencoba untuk menahan sakit dan itu berhasil. Rasa sakit itu berubah menjadi sengatan-sengatan listrik yang membuatku ingin lagi disodok-sodok.

Melihatku mulai tenang, Riko tambah mempercepat mengocok vaginaku yang sudah banjir karena basah. Aku hanya dapat memejamkan mata dan mendesah-desah menikmati permainan Riko. Yang jelas aku bener-bener hanyut dalam suasana itu. Tiba-tiba Riko bergerak semakin cepat dan ada sengatan yang lebih nikmat lagi dari dalam vaginaku. Sepertinya aku akan mencapai puncak lagi, dan aku sudah tidak sabar menunggu saat indah itu. Riko semakin cepat dan liar mengocok vaginaku. Sama sekali sudah tidak ada iramanya lagi.

Tanpa sadar aku mulai berteriak-teriak kecil menikmati semuanya itu. Terus akhirnya semua gelap, aku kejang-kejang lagi seperti tadi. Aku baru sadar waktu ada sesuatu yang hangat di perutku, dan waktu kubuka mata, Riko sedang mengocok-ngocok penisnya dengan tangannya dan dari penisnya muncrat cairan putih kental ke perutku. Kubiarikan Riko memuncratkan maninya sampai habis, baru aku berusaha bangun. Aku pusing sebentar, tetapi terus hilang. Riko membersihkan badannya di kamar mandi, terus menghampiriku yang sudah menggunakan pakaian lengkap.

Riko mencium keningku, terus dia duduk di sebelahku, meremas jariku sambil bilang kalau dia puas sekali dan dia bilang aku tidak akan kecewa memilihnya. Aku percaya kalau Riko serius, aku tahu dia bukan orang yang suka mempermainkan cewek. Aku yakin pilihanku kali ini benar. Pasti benar deh.
"Thank's buat hadiahnya, ini bener-bener hadiah yang tidak ternilai buat gue." kata Riko, terus menciumku lagi.
Kemudian dia membantuku ke kamar mandi untuk membersihkan badan. Aku benar-benar lemas, dan ketika Riko ingin pulang, aku hanya mengantarnya sampai pintu depan saja, tidak sampai gerbang. Terus ketika Riko sudah pulang, kukunci pintu dan terus aku roboh di sofa. Aku lemas sekali dan tidak ingat apa-apa.

Waktu kubangun pagi, aku benar-benar kaget, soalnya aku masih telanjang. Aku langsung lari ke kamar dan pakai baju. Aku terus duduk di ranjang. Ada sisa-sisa rasa pedih di selangkanganku, tetapi rasa pedih itu kalah dengan kenangan nikmat tadi malam. Benar-benar malam yang spesial untukku dan kuharapkan malam yang spesial juga untuk Riko.

TAMAT

Namaku Adi, aku mahasiswa salah satu universitas swasta terkenal di jurusan ilmu komputer di Jakarta. Kejadian ini terjadi saat pameran GAIKINDO AUTO EXPO 11th, di Jakarta Convention Center, Senayan. Malam itu malam penutupan pameran tanggal 29 Juli 2001, aku bersama geng-ku datang ke pameran itu, di sana banyak Sales Promotion Girl (SPG) yang cantik, seksi, dan mengundang nafsu, dengan baju tank top ketat dan rok mini mereka menawarkan "produk" mereka agar laku dijual ke para pengunjung, terutama laki-laki hidung belang.

Pameran itu juga dimeriahkan dengan kehadiran para penari erotis di stand Isuzu, Peugeot, Daihatsu, dan peragaan busana yang membuat air liur menetes di stand BMW. Aku hanya bisa meneteskan air liur saja melihat mobil mewah dan cewek cantik yang merupakan kombinasi kenikmatan hidup bagi seorang lelaki sejati, maklum aja, aku belum punya pacar dan hanya naik motor Tornado hijau butut ke kampus dan sehari-hari aku menjadi sales aksesories HP dan jual-beli HP bekas. Terutama Samsung SGH-600.

Aku pergi bersama-sama anak-anak geng-ku, yaitu bosku, Joni, dia yang menyediakan transportasi yaitu Panther merah New-Royale tahun 1997. Konon kabarnya, ia pernah merampas kesucian tiga gadis teman SMU-ku sekaligus pada malam yang sama saat mereka "piknik" di villa-nya di Ciater. Memang uang dan kekuasaan pasti akan membawa kenikmatan tersendiri bagi orang yang memilikinya. Kami satu geng merupakan teman sejak di SMU Negeri **. jumlah geng kami hanya berjumlah 7 orang dan semuanya "batangan" alias tidak ada cewek-nya.

Tak kusangka dari sekian banyak SPG cantik, terlintas olehku Lingga, cewek bunga kelasku yang pernah "mempermainkan"-ku bersama kedua temannya Susan dan Siska, April lalu. Timbul niat jahatku untuk membalas perbuatan jahatnya padaku, karena dia pula ujian Kalkulus-ku dapat nilai D. karena saat ujian dia duduk tepat di depanku, dan CD-nya mencuat ke permukaan, terang saja saat ujian aku tak dapat konsentrasi dan mengerjakan soal dengan benar. Dia menjaga stand **** (edited).

Langsung kuhampiri dia dan menanyakan kabarnya,
"Hi, Kok kamu ada di sini?"
"Iya, udah seminggu nih," jawabnya santai.
Kami berbincang-bincang sebentar dan kuperkenalkan pada teman-temanku, mereka ngobrol, dan Joni bosku menawarkan tumpangan pulang, karena sudah sekitar jam 21.00, dan pameran hampir usai, maka Lingga tanpa pikir panjang langsung mengiyakan tawaran bosku. Dia langsung berkemas dan tidak ganti baju lagi karena katanya dia kenal dengan pemilik perusahaan itu.

Dia minta diantarkan ke kostnya di Jln. **** (edited) tempat kami berempat "bermain" dulu. Untuk ukuran SPG, busananya tergolong sopan dan tertutup, dia mengenakan kaos ketat hitam yang tertutup sampai leher dan siku, dan rok pendek hitam yang hanya 5 cm di atas lutut. Setelan warna hitamnya sangat serasi dipadupadankan dengan kalung di lehernya dan Nokia 8810 digantungkan di depan dadanya.

Kami berjalan menuju mobil, entah apa yang dipikirkan Lingga saat ia menerima ajakan tadi, apakah ia sudah tidak waras? Lingga duduk di bangku depan kami berdelapan masuk, dan Joni langsung tancap gas menuju rumahnya, Lingga bingung, tapi Joni bilang dia tahu jalan pintas ke **** (edited). Ternyata Joni memang berhati iblis, dia membawa kami ke rukonya di bilangan Mangga Dua, setelah itu Lingga mencoba berontak, tapi kami semua berhasil melumpuhkannya dengan memegang erat pergelangan tangannya dan meremas-remas dengan keras payudaranya dari arah belakang dan depan. Ia pun lemas tak berdaya seketika.

Kami memapah Lingga ke kamar Joni, kebetulan orangtua Joni sedang liburan ke Lido. Joni segera mengambil Handycam-nya dan koleksi VCD porno-nya yang hampir menyamai koleksi di Glodok, karena waktu SMA dia terkenal suka memborong di Glodok, jadi dia memang sangat berpengalaman dalam hal itu, termasuk kami semua juga. Lingga masih dalam keadaan sadar dan kami merebahkannya terlentang di ranjang Joni yang sudah banyak memakan korban para gadis tak berdosa sebelumnya. Dia sudah pasrah dan sedikit terangsang karena stimulasi kami yang dahsyat tadi di garasi sebelumnya. Joni sudah dalam keadaan stand-by, kami melempar undian siapa yang maju duluan, mujurnya aku menang dan dapat kehormatan maju bertempur dahulu, yang lain harap sabar mengantri giliran. Semua pasti kebagian.

Sebelum mulai, Lingga minta ijin melepas kalung miliknya, dia taruh di tempat yang aman, dan kami mulai main seperi pada April lalu. Aku melucuti pakaiannya mulai dari kaos ketat hitamnya bertuliskan "I'm **** (edited)", kurampas HP-nya dan bra-nya yang sudah membesar dari yang dulu, sekitar ukuran 33B sudah familiar denganku. Kubuka kait branya, dan kurenggangkan tungkai kakinya, mulai kudodori roknya dan kutarik CD-putihnya, sekejap tubuhnya terlentang tanpa sehelai benang pun. Kusodorkan penisku yang sudah siaga 1, sementara Joni merekam semua gerakan kami tadi dan menyetel VCD porno di VCD player portable-nya untuk menambah gairah kami semua. Lingga mulai mengulum dari kepala sampai testis, dia kelihatan senang sekali melakukannya dan keahliannya meningkat dari yang dulu. Tanganku langsung meremas-remas buah dadanya sampai ia sesak nafas. Kami lanjutkan dengan ber-doggy ria, setelah 15 menit, karena aku tahu diri masih banyak yang ngantri dan aku sudah mulai mau ejakulasi, jadi kutumpahkan saja di vaginanya yang bulu kemaluannya rada pitak karena kucabuti sebagai souvenir April lalu dan mempersilakan giliran selanjutnya.

Giliran selanjutnya adalah teman sekelasku, Norman, badannya kecil dan kurus, mungkin bukan lawan yang berarti bagi Lingga, tapi Norman memberikan Lingga kesempatan ambil nafas dulu, karena Norman juga sudah sering ML sebelumnya dengan pacarnya di apartemen Hotel **** (edited), dia sangat pandai mengatur ritme dan garang, tapi sayang hanya tahan selama 2 menit saja, sama lamanya dengan buang air kecil di WC. Lingga terlihat kurang puas.

Kontestan berikutnya Hendra, anak Jelambar ini sering mengetes kemampuannya setiap minggu di Kali Jodo. Badannya, anu-nya kecil, pendek, kurus tapi bulu kemaluannya keriting, kalo dilihat sekilas seperti domba berbulu hitam. Dia cukup baik terutama saat melakukan gaya misionaris, terlihat sekali stamina yang sudah sering terlatih sebelumnya.

Edy segera bersiap-siap, rambut bulenya yang baru dicat memang mirip dengan warna rambut Lingga, dan ternyata bulu kemaluannya juga dicat bule, entah salon mana yang mau melakukan layanan seperti itu. Dia tahan selama waktu 5 menit, itupun sudah dibantu Lingga dengan gaya emansipasi-nya. Mungkin Edy butuh banyak latihan lagi. Padahal ia termasuk penggemar berat gambar porno Vivian Shu, karena banyak sekali posternya di kamar Edy.

Yanto segera mengambil posisi seperti saat dia menunggang RX-King kesayangannya, dia memang sangat sayang motornya. Dia menunggangi Lingga dengan kuat sekali seperti saat ngetrek di Kemayoran, karena Yanto tiap hari melewati Kemayoran untuk ke kampusnya di Sunter. Dia mampu bertahan sekitar 7 menit.

Akhirnya datang juga yang kita tunggu-tunggu yaitu Joni, giliran aku yang memegang Handycam, dia mulai dengan foreplay yang sangat menjanjikan walaupun Lingga terlihat mulai lelah, tapi tetap dicekoki penisnya sepanjang 25 cm, dimasukkan ke rongga mulut dan vaginanya yang sudah kotor dipompa dengan full power, Lingga mendesah-desah dan mulai berteriak kesakitan, karena puting susunya sudah ditarik-tarik oleh tangan Joni yang memang sangat handal sekali, karena latihan teratur dan penghayatan peran yang sempurna dijalankan selama hampir setengah jam. Lingga langsung lemas tak berdaya lagi.

Setelah selesai pergelaran aksi Joni tadi, keadaan hening sejenak, hanya terdengar suara erangan Lingga yang sedang orgasme untuk kesekian kalinya, entah tak terhitung berapa liter sperma yang mengenang di vaginanya dan yang sudah ditelan melalui rongga mulutnya. Lingga komplain, "Lu orang beraninya maen keroyokan, entar gua bawa temen-temen gua biar kita imbang, kita liat siapa yang bisa tahan paling lama." Entah berapa puluh cowok yang menjadi lawan mainnya atau mungkin juga cewek, karena Lingga termasuk cewek penganut hiper-biseks tulen. Kami memberinya time out untuk menge-charge battery-nya yang sudah terkuras habis.

Berikutnya adalah giliran teman sekelasku di PCM, Yosef ingin mempertontonkan hasil pertapaannya di salah satu diskotek di kawasan Mangga Besar. Di sana reputasinya cukup dikenal para WTS sebagai "Peraba ulung", hampir tak ada satupun WTS di daerah itu baik senior ataupun yang bau kencur yang belum pernah dicoba olehnya. Ia mengambil kuda-kuda dan mulai memasukkan penisnya ke rahim Lingga dan dikocok ke segala arah, naik dan turun. Lingga menanggapinya dengan serius sekali, dari matanya terpancar kenikmatan dan dari desahannya kutahu dia sangat menikmati permainan kami. Tampang Yosef memang bisa menipu orang banyak, dengan potongan rambut culun dan kaca mata tebal seperti engkong-engkong, tapi permainannya memang sangat berpengalaman dan aku hanya merekam gerakan-gerakan tadi. Tiba-tiba tangan Lingga menegang karena tak kuasa menahan sakit dan mencoba memegang sisi ranjang untuk pegangan. Karena iseng, kutaruh penisku di atas tangannya dan kusuruh dia meremas-remas, tapi aku tahu saat itu sedang giliran Yosef dan dia mulai menggunakan gaya family style yang tak dapat ditandingi oleh Lingga. Yosef puas setelah men-doggy dan memaksa Lingga menelan dan menjilat spermanya baik dengan bibir mulut dan bibir kemaluannya.

Lingga sudah tak tahan lagi, kali ini dia baru menemukan lawan-lawan yang sepadan dengan kemampuannya. Lingga mencoba bertahan dan mencoba bangun berdiri, karena semua orang sudah mengambil gilirannya. Terdengar suara motor masuk ke dalam ruko Joni, ternyata itu adalah motor Supra Millenium milik Dody, teman geng kami yang berprofesi sebagai sales VCD porno. Dia langsung naik ke kamar Joni, dan satu hal yang tak pernah berubah darinya adalah sifat tak tahu malunya. Ketika melihat ada cewek telanjang lagi nganggur, tanpa ba bi Bu walaupun Lingga saat itu tengah mencoba bangkit langsung dilumpuhkan dengan tembakan peluru karetnya yang terkenal dahsyat. Kontan saja Lingga kembali tergeletak dan langsung dipaksa melakukan gaya-gaya yang sering ditontonnya berulang kali di VCD BF dagangannya itu. Herannya ia tanpa minta permisi dulu, baik pada kami atau pada Lingga, santapannya saat itu.

Saat ia tahu Lingga sudah bekas kami dan sudah tak ada tenaga lagi, ia tetap pantang mundur dan terus ML dengan berbagai gayanya membuat pantat Lingga kembang kempis dengan sodokan penisnya yang sangat besar, tubuh Lingga disetnya dalam posisi duduk berhadapan dan payudara Lingga diemutnya seperti bayi sedang menyusu, cairan putih kental mulai berceceran di selangkangan Lingga, untuk kesekian kalinya ia orgasme lagi. Dody dengan baiknya mau membersihkan cairan itu dengan cara dijilat dan dihisapnya sampai daerah lubang kemaluan sampai tulang selangka dan pangkal paha Lingga mengkilat seperti mobil habis dipoles, tapi sayang sekarang jadi penuh dengan bau ludah Dody.

Karena kami tak tahan dengan bau busuk itu, begitupun juga dengan Lingga, maka ia bergegas menuju kamar mandi ingin membilas tubuhnya. Joni melarang pintu kamar mandi ditutup, jadi Lingga mandi dengan ditonton live kami berdelapan dan direkam di Handycam. Lingga mandi sambil masturbasi dengan menggosok-gosok payudaranya dan memasukkan jari tengahnya ke vagina sambil disiram dengan shower, ia mengambil posisi jongkok dan mulai kencing, baru kali ini kulihat wanita kencing tepat di hadapanku, lalu bulu kemaluannya jadi tersisir rapi dibasahi oleh air pancuran yang kencang. Untung saja semua kejadian tadi sudah direkam olehku.

Kutaruh Handycam di tempat yang memungkinkan untuk mengambil fokus yang baik, lalu aku masuk kamar mandi dengan senjata yang sudah tegak 90 derajat lagi dan kemudian diikuti oleh teman-temanku. Kami mengerumuni Lingga dari 8 penjuru arah angin, ia tak berkutik dan hanya memegang pancuran, kami menggiringnya dengan mengacungkan senjata kami ke tubuhnya, belahan pantatnya dan lubang vaginanya. Kami paksa Lingga keluar kamar mandi untuk melakukan gaya pamungkas kami. Mungkin baru kami di dunia ini yang pernah mempraktekkan gaya ini, Lingga kami telungkupkan di atas Joni, dan Joni mulai memasukkan penisnya ke lubang vaginanya, dilanjutkan dengan Yanto dengan tunggangan penisnya di lubang anus Lingga. Ia terlihat mulai tak tahan, dan mulai berteriak-teriak. Tapi aku masukkan penisku di mulutnya, seketika ia tersumpal dan tak bersuara lagi. Dilanjutkan dengan Hendra yang mengangkat tungkai kaki kiri Lingga dan Norman di kaki kanan sambil meremas areal pantat Lingga yang masih kosong. Edy menaruh tangan kiri Lingga di atas penisnya dan mulai diremas oleh Lingga, Edy membalas dengan meremas payudara kiri Lingga dan Yosef juga melakukan hal yang sama tapi ia beroperasi di daerah sayap kanan. Seketika Lingga kehilangan keseimbangan. Dody naik ke atas punggung Lingga untuk menjaga keseimbangan kami dan ia mulai membalut penisnya dengan rambut Lingga dan dengan kejamnya ia menjambak rambut Lingga sampai rontok beberapa helai. Kami bertahan selama 5 menit lamanya.

Setelah formasi kami runtuh, terasa sekali betapa lelahnya memperagakan gaya tersebut. Apalagi Lingga yang menjadi objek, tapi kurasa ia menikmatinya. Kami mulai ejakulasi lagi, kali ini kami serentak menyemprotkan ke dalam rahimnya, kalau nanti Lingga sampai hamil, entah siapa ayah anak itu nanti. Sebenarnya aku kasihan juga pada dia, tapi dia bersikeras untuk melakukan hal itu, dan satu persatu bergiliran penis kami dibersihkan dengan juluran lidahnya sampai bersih semua. Dan kami mencabuti bulu kemaluannya untuk oleh-oleh kami buat mengenang masa indah ini, setiap orang dapat sekitar 7 helai. Hutan yang lebat tadi kami gunduli, entah kapan hutan itu di-"reboisasi" lagi.

Sudah hampir tengah malam, Lingga minta diantar pulang, kali ini benar-benar pulang ke rumah kost-nya. Joni menyiapkan mobil Panther Sporty silver dan mengantar Lingga pulang, entah apakah Joni minta tambah lagi di mobil atau mungkin di tempat kost-nya, tapi kurasa tidak, karena dia sudah terlalu lelah, untuk menyetir saja, kakinya terlihat gemetaran dan sempoyongan, jelas tak akan kuat untuk ronde berikutnya. Dan yang lainnya pulang naik mobil Norman, Escuddo.

Kami dan Lingga sepakat untuk merahasiakan hal ini dan tetap tutup mulut, salinan rekaman tadi kami berikan pada Lingga dan bagi Anda yang ingin memiliki rekaman itu, harap hubungi e-mail. Selamat mencoba dan untuk Lingga kuucapkan terima kasih dan untuk Susan dan Siska tunggu pembalasan dendamku selanjutnya.

TAMAT