Linggawati adalah seorang sales marketing sebuah produk yang digunakan oleh perusahaan tempatku bekerja. Ia minta dipanggil Ling-Ling atau Aling. Kebetulan aku yang menangani pembelian produk yang dipasarkannya. Kami baru bertemu kira-kira dua minggu yang lalu ketika dia datang ke kantor untuk menawarkan produk. Panjang lebar ia menjelaskan dan meyakinkanku tentang produk yang ditawarkannnya. Akhirnya kami sepakat untuk membeli produk tersebut dengan garansi, apabila produk tersebut tidak bagus, maka pembayaran mendapatkan potongan 50% dan pembelian berikutnya dibatalkan.
Setelah produk tersebut dikirimkan ke lapangan dan diuji coba, maka supervisor lapangan menyatakan bahwa produk tersebut tidak sesuai dengan apa yang tertera dalam label sertifikasi. Aku segera menelpon Aling dan memberitahukannya tentang hasil uji coba di lapangan. Ia sangat terkejut ketika kuberitahu hasilnya kurang memuaskan. Ia berjanji akan datang ke kantor untuk membicarakan hal tersebut. Kalaupun hasilnya kurang bagus ia meminta agar dibuat berita acara hasil uji coba di lapangan.
Ketika ia datang ke kantor, aku sedang berbicara dengan supervisor lapangan di telepon. Begitu tahu Aling datang maka kusampaikan agar Aling langsung berbicara dengan supervisor. Aling tampak penuh percaya diri ketika berbicara dengan supervisor rekanku. Akhirnya dengan lega Aling menutup telpon dan meminta masuk ke ruang meeting untuk memberitahukan hasilnya. Perusahaanku memang bukanlah perusahaan besar dan aku sendiri tidak mendapat ruangan khusus. Hanya Direksi saja yang mempunyai ruangan tersendiri.
Kamipun masuk ke ruang meeting untuk mendiskusikan masalah ini.
"Pak Anto, ternyata ada kesalahan pemakaian produk saya di lapangan dan saya sudah memberitahu cara pemakaian yang benar. Mungkin hasilnya akan dapat dilihat seminggu lagi," katanya membuka pembicaraan.
"Oh ya, terima kasih kalau rekan-rekan dilapangan sudah diberitahu cara pemakaian yang benar. Maaf sudah merepotkan dan menyusahkan Ibu Aling".
"Ah tidak apa-apa. Itu sudah menjadi bagian tugas saya kok. Kalau pelanggan puas kan saya senang juga," katanya sambil menatapku.
Aku balas menatapnya dan sekarang baru kulihat bahwa gadis peranakan China ini punya pesona tersendiri. Tubuhnya yang langsing, dengan tinggi kukira sekitar 165 cm, rambutnya panjang terurai sampai di punggungnya, muka oval, bibir tipis, dada yang kencang dan segar membusung di balik bajunya dan kulitnya yang, so pasti, kuning mulus. Hanya sayang hidungnya sedikit mancung ke dalam dan ada sedikit bekas jerawat di pipinya. Tapi overall nilainya kukira dapat 7,5. Dan stocking hitam membungkus kakinya yang indah. Degup jantungku agak sedikit kencang ketika melihat kakinya itu. Ia duduk tepat di depanku dan meskipun ia duduk dengan merapatkan pahanya, namun pikiranku sudah membayangkan apa yang ada di balik rok span hijaunya.
Aku tiba-tiba aku tersentak ketika tersadar bahwa kami sedang berbicara di dalam ruang meeting.
"Oh.. Sorry, sampai di mana tadi ya?" tanyaku tergagap.
"Bapak ini melamun terus. Malam minggu masih lama, sekarang baru Selasa. Begini saja Pak, nanti saya tunggu laporannya minggu depan. Mudah-mudahan puas dengan produk kami dan bisa menjadi customer kami".
"Ya tentu saja, mudah-mudahan saja Ibu... Eh maaf, produk Ibu bisa kami pakai,"
Aku sengaja memelesetkannya dan menunggu reaksinya. Ia hanya tersenyum lebar tanpa mengomentari perkataanku. Akhirnya dia mohon diri untuk kembali dan melaporkan hasil pertemuan ini pada pimpinannya.
Kurang lebih seminggu kemudian aku mendapat laporan dari lapangan bahwa ternyata setelah diulang sesuai dengan rekomendasi Aling maka hasilnya lebih baik jika dibandingkan dengan produk yang lama.
Aku segera menelpon Aling untuk memberitahukan tentang hasil uji coba kali ini, namun menurut operator di kantornya dia sedang pergi ke Bank. Aku hanya menitipkan pesan supaya nanti ia menghubungiku. Menjelang sore aku baru dapat telpon dari Aling.
"Pak Anto, tadi telepon ke kantor ya? Sorry tadi aku ke Bank sebentar," katanya.
"Iya, tadi telpon mau kasih tahu hasil uji coba produknya".
"Bagaimana Pak? Masih ada komplain? Atau puas dengan saya... Maksud saya produk kami?" Tanyanya bertubi-tubi dengan nada penuh ingin tahu dan yang terakhir tadi aku tidak tahu apakah ia sengaja memelesetkan kata-kata atau sekedar menggodaku saja.
"Excited, the great satisfaction".
"Baiklah kalau begitu sudah bisa saya siapkan tagihannya dong".
"Ibu ini kalau masalah uang cepatnya bukan main. Bagianku mana?" kataku menggodanya.
"Benar nih Pak? Beritahu saja rekening Bapak, nanti saya transfer".
"Ah nggak, cuma bercanda saja kok".
"Beneran juga nggak pa-pa, itu biasa. Toh Bapak juga telah membantu untuk menerima produk kami".
Aku tetap menolak, karena idealismeku yang mengharuskanku untuk menolak pemberian dari rekanan. Akhirnya,
"Ya sudah kalau Bapak nggak mau, tapi ijinkan saya atas nama perusahaan dan kalau nanti malam tidak ada acara kami ingin mengajak Bapak makan malam".
"Oke, kalau urusan makan saya tidak berani menolaknya". Aku memang hobi makan, namun badanku juga tidak terlalu overweight.
Setelah jam kantor akupun langsung menuju ke restoran yang sudah disepakati. Aku sengaja tidak pulang dulu, takut nggak keburu lagi. Sampai di restoran kurang lebih jam setengah enam, kulihat Aling sudah duduk sendirian di meja yang terletak di sudut ruangan.
"Selamat malam Bu Aling. Sorry terlambat nih," kataku.
"Malam juga, nggak kok. Saya juga baru sampai dan lihat-lihat menu. Pak Anto mau makan apa. Oh ya, pimpinan saya minta maaf tidak bisa ikut, beliau titip salam untuk Bapak".
"Terserah Ibu saja, saya makan apa saja bisa kok. Satu yang nggak bisa saya makan hanyalah makanan yang nggak enak. Minumnya saya minta orange juice".
"Baiklah kalau begitu," katanya sambil menulis pesanan kami.
Sambil menunggu pesanan kami mengobrol. Mulanya hanya masalah pekerjaan berkaitan dengan produk yang kami pakai. Lama kelamaan mulai masuk dalam pembicaraan yang lebih pribadi. Akhirnya kami saling memanggil nama saja, toh usia kami tidak berbeda jauh. Usianya hanya setahun lebih muda dariku. Ternyata ia berasal dari Bangka, dan di Jakarta baru dua tahun.
Akhirnya ia bercerita bahwa sebenarnya ia sudah mempunyai seorang anak di luar nikah karena kecelakaan, dan sekarang anaknya dititipkan ke Engkongnya di Bangka. Akupun memberikan empatiku dengan mengatakan bahwa semua orang punya masa lalu yang mungkin saja tidak baik, namun kalau kita selalu memandang ke masa lalu maka masa depan yang ada di hadapan kita akan terlewatkan.
Kami makan dengan cepat. Selesai makan, kamipun keluar restoran dan ia menawariku untuk mengantarku pulang. Aku memang belum dapat jatah mobil kantor. Ada satu mobil kantor yang nganggur dan biasa kupakai, tapi sewaktu-waktu diperlukan aku harus rela naik kendaraan umum. Sore ini mobil tersebut sedang dipakai ke Tanjung Priok untuk mengawasi pemuatan barang di kapal.
Sambil menyetir Aling pun mulai bercerita lagi tentang dirinya, "Aku masih muda dan bodoh waktu itu. Ketika kekasihku mengajakku untuk melakukan hal itupun aku tak bisa menolaknya. Aku hamil setelah melakukannya beberapa kali. Celakanya Ahin, kekasihku menolak untuk bertanggungjawab dan memilih pergi ke luar negeri untuk melanjutkan sekolahnya".
"Sudahlah, Ling. Itu masa lalu yang mestinya bisa kau kubur. Tidak ada seorangpun yang menginginkan hal seperti itu terjadi dalam kehidupannya. Lagipula sekarang ini di Jakarta orang akan lebih menghargai prestasi seseorang daripada melihat ke masa lalunya.
Rumah Aling ternyata satu jalur dengan rumahku, rumahnya terlebih dahulu dan empat kilometer kemudian barulah rumahku.
"To, kita mampir ke apotik sebentar ya! Ada obat yang akan aku beli. Kalau nggak keberatan mampir ke rumahku dulu, aku masih ingin ngobrol denganmu. Sepertinya ngobrol denganmu ada satu sudut pandang tersendiri. Kamu bisa memberikan rasa percaya diri dan mengomentari sesuatu dari sudut positifnya," katanya sambil memarkir mobilnya di depan sebuah apotik.
Aku hanya menunggu di mobil saja, karena Aling melarangku turun, katanya sebentar saja kok. Ternyata memang hanya sepuluh menit Aling sudah keluar dari dalam apotik.
"Sebentar saja kan? Sekalian Anto jagain mobilku, hi... Hi... hikk," ia tertawa ketika masuk ke dalam mobil.
Jam baru menunjukkan pukul setengah delapan ketika kami sampai di rumahnya. Sebuah rumah kontrakan yang cukup lumayan untuk seorang gadis muda sepertinya. Kamar tidurnya ada dua, ruangan tamu yang kecil namun asri dan dapur dengan gaya minimalis. Aku duduk di sofa ruang tamu.
"Sebentar To, aku ganti pakaian dulu. Oh ya, mau minum apa?" katanya.
"Martini satu gelas dengan es batu," kataku menggodanya.
"Ihh, nggak ada lah ya. Emangnya disini bar?" katanya serius.
"Ya sudah kalau nggak ada. Air es juga sudah cukup kok," kataku sambil tertawa.
"Dasar. Emang tukang ngegoda.. Sebentar ya, tiga menit lagi minuman sudah siap," katanya sambil berjalan ke dalam kamarnya.
Setelah berganti pakaian Aling keluar dari kamar dan ke dapur. Tak lama kemudian iapun kembali ke ruang tamu dengan dua gelas air dingin dari kulkas. Tanpa menunggu ditawari kuteguk isi gelasku sampai habis. Ia tersenyum dan berkomentar.
"Kasihan. Haus ya? Kalau kurang gelas satunya boleh kau minum lagi!"
"Cukup kok, tapi biar aja gelas satunya lagi untukku".
Aling mengangsurkan gelasnya di depanku.
"Untukmu," katanya.
"Lho terus minum kamu mana?" tanyaku.
"Biar aja. Aku nggak begitu haus. Lagian kan gampang saja entar kalau haus. Di kulkas masih banyak air putih".
Aling duduk di depanku. Ia memakai celana pendek santai dengan kaus oblong putih tipis yang longgar. BH nya yang berwarna merah tampak jelas membayang di balik kausnya. Dari bawah lengan kausnya kadang-kadang bisa terlihat pangkal payudaranya yang padat. Sementara pahanya yang mulus sering terlihat saat ia mengubah posisi duduknya. Pada saat pangkal buah dadanya atau paha mulusnya tersingkap tentu saja aku merasa tertantang, namun aku tidak berani memulai atau membawa pembicaraan kami agar lebih mengarah. Adik kecilku sudah mulai bereaksi, namun tidak sampai mendesak celanaku.
Akhirnya kami terhanyut dalam obrolan panjang. Ia yang lebih banyak mendominasi pembicaraan. Aku hanya mendengarkan saja dan sesekali mengomentari apa yang diucapkannya. Kelihatannya ia senang ada yang mendengarkan dan menanggapi keluhannya. Ia sering menatapku dengan pandangan tajam dan menyiratkan suatu keinginan. Aku masih ragu dengan situasi ini. Kalaupun terjadi hal-hal yang diinginkan, aku harus yakin bahwa aku menguasai keadaan.
Setelah jam dinding menunjukkan pukul setengah sembilan akupun minta diri untuk kembali ke rumahku. Ia hanya menatapku tanpa mengiyakan. Aku berdiri dan sampai di depan pintu sekali lagi aku berpamitan. Kembali ia hanya diam saja. Aku kebingungan sendiri. Aku merasa bahwa gadis ini menginginkan sesuatu, namun aku sendiri tidak yakin dengan perasaanku sekarang ini. Lagipula ia seorang gadis Chinese mana mungkin menghendaki diriku yang berkulit coklat agak gelap ini.
Bersambung . . . .