Aku (Anis) 39 tahun. Satu Bulan terakhir ini, tiba-tiba aku teringat ketika aku baru saja selesai menamatkan pendidikanku di SMA tahun 1984 pada salah satu ibu kota kecamatanku. Sebut saja Kecamatan KH pada salah satu Kabupaten di Sulsel. Ketika itu aku menghadapi permasalahan yang hampir sama dengan permasalahanku saat ini yakni bentrok dengan keluarga. Hanya saja ketika itu, aku bentrok dengan orang tuaku, sedang saat ini aku bentrok dengan istri.
*****
Ceritanya, hanya persoalan sepele yaitu orang tuaku menghendaki agar aku tidak melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi, tapi aku tetap ngotot untuk mendaftar pada salah satu perguruan tinggi di Makassar. Karena tidak didukung orang tua, aku terpaksa meminjam uang dari tetangga sebesar Rp.10.000, buat ongkos mobil ke Makassar dan sisanya buat jajan. Karena aku tidak punya kenalan di Kota Makassar, maka aku terpaksa bermalam di terminal bus sambil mencari kenalan agar aku bisa mendapatkan kerja secepatnya. Kerja apa saja asal halal.
Setelah dua hari aku bergaul dengan orang-orang terminal, akhirnya ketemu dengan seorang tukang batu yang waktu itu sedang merenovasi tembok dan lantai tunggu para penumpang. Aku menawarkan diri menjadi buruh pada tukang tersebut, dan setelah kuceritakan masalahku yang sebenarnya, akhirnya ia menerima tawaranku itu. Aku ditawarkan gaji Rp.2.000/hari tanpa ditanggung makan dan penginapan. Aku langsung setuju saja, sebab jika tidak, aku akan mati kelaparan mengingat uang jajanku telah habis. Namun aku minta agar gajiku dapat kuterima setiap hari dan tukang itupun setuju. Setelah lima hari aku bekerja dengan tekun dan bermalam bersama dengan sopir-sopir bus malam di terminal, aku dikenalkan dengan seorang pengusaha beras yang kaya oleh salah seorang sopir bus kenalan saya di terminal itu.
Malam itu aku diantar ke salah satu rumah besar yang beralamat di Jl. SA. Aku gemetaran dan nampak kampungan ketika memasuki rumah yang serba mewah itu. Kalau tidak salah, ada 7 buah mobil truk dan dua mobil sedang serta 3 mobil kijang pick up di parkir di depannya. Seorang pembantu laki-laki setengah baya mempersilakanku masuk duduk di ruang tamu. Tidak lama kemudian seorang gadis entah pembantu atau keluarga si pengusaha itu sedang membawa 3 cangkir kopi beserta kue kering. Kue seperti itu rasanya seringkali saya makan di kampungku.
Setelah kami duduk kurang lebih 2 menit di ruang tamu, tiba-tiba:
"Iyana eddi muaseng elo makkulliah na de' gaga ongkosona? (Ini orangnya yang kamu maksud mau kuliah tapi tidak punya biaya?)" tanya seseorang yang baru saja keluar dari kamarnya dengan perawakan tinggi besar, perut gendut dengan warna kulit agak hitam. Ia gunakan bahasa Bugis mirip bahasa yang sehari-hari kugunakan di kampungku.
"Iye' puang. Iyana eddi utihirakki (Yah betul. Inilah orangnya yang saya antar)" jawab si sopir yang mengantarku itu.
Selama di rumah itu, kami bercakap dengan memakai bahasa daerah Bugis. Namun, untuk memudahkan dan memperjelas kisahku ini, sebaiknya kugunakan bahasa Indonesia saja tanpa mengurangi makna percakapan kami, apalagi bahasa percakapan kami adalah campuran bahasa Indonesia dan Bugis.
"Oh yah, masuk saja dulu makan nak, siapa tahu temanmu itu belum makan malam" katanya pada si sopir itu sambil mempersilakan kami masuk ke ruang dapur.
"Ayo Nis, kita sama-sama makan dulu baru ngobrol lagi" ajakan si sopir itu seolah ia sudah terbiasa di rumah itu.
"Yah.. Terima kasih Pak. Rasanya aku masih kenyang" kataku pura-pura kenyang meskipun sebenarnya aku sangat lapar karena belum makan malam.
"Ayolah.. Masuklah.. Jangan malu-malu. Tidak ada siapa-siapa di rumah ini. Biar sedikit saja di makan" kata sopir bersama dengan si pemilik rumah itu sambil ia berdiri menuntunku masuk ke ruang makan. Ternyata di atas meja telah tersedia makanan lengkap seolah meja itu tidak pernah kosong dari makanan.
Setelah kami duduk di depan meja makan, aku menoleh kiri kanan dalam ruangan itu dan sempat kulihat 3 orang perempuan di rumah itu. Seorang di antaranya sedang cuci piring. Ia sudah cukup tua, yang jika ditaksir usianya sekitar 50 tahun ke atas. Sedang yang satunya lagi sedang berbaring di atas salah satu tempat tidur sambil membaca koran. Bila ditaksir usianya antara 30 sampai 40 tahun. Namun seorang wanita lagi sedang asyik nonton TV sambil bersandar pada rosban tempat wanita berbaring sambil baca koran tadi. Ia nampak masih muda. Jika ditaksir usianya sekitar 17 sampai 25 tahun. Nampaknya ia masih gadis.
Selama kami menyantap makanan di atas meja itu, kami tidak pernah bicara sama sekali. Namun aku merasa diperhatikan sejak tadi oleh wanita setenga baya yang sedang baca koran itu. Ia sesekali mengintip aku sambil memegang korannya. Lebih aneh lagi, setiap kami beradu pandangan, wanita itu melempar senyum manis. Aku sama sekali tidak mengerti maksudnya, tapi aku tetap membalas dengan senyuman tanpa diperhatikan oleh si sopir teman makanku itu. Kalau bukan karena si sopir itu berhenti duluan makan, aku tidak bakal berhenti makan dan aku semakin betah duduk berlama-lama di kursi makan itu berkat lemparan senyum si wanita setengah baya itu.
Setelah kami duduk kembali bersama dengan si sopir itu di ruang tamu, laki-laki berperawakan besar tadi kembali duduk di depanku dan berkata,
"Kamu dari daerah mana dan dimana orang tuamu nak?" tanya laki-laki itu.
"Dari Bone Pak. Orang tuaku tinggal di kampung" jawabku.
"Kamu tinggal di Kota Bone atau desanya?" tanyanya lagi serius.
"Di kampung jauh dari kota Pak" jawabku lagi.
"Saya sudah dengar permasalahanmu dari sopir ini. Kalau kamu mau tinggal sama kami, aku siap membiayai kuliahmu jika kamu lulus nanti"
"Terima kasih banyak Pak atas budi baik bapak. Aku bersyukur sekali bisa bertemu dengan bapak" kataku dengan penuh kesopanan.
"Kebetulan sekali kami juga asli Bugis tapi Bugis Sinjai. Bahkan istri pertamaku tinggal di Kota Sinjai" lanjutnya terus terang.
"Yah kalau begitu, aku sangat beruntung pergi ke Makassar ini," kataku.
Setelah kurang lebih 3 jam kami ngobrol, laki-laki itu menyuruh kami masuk ke salah satu kamar depan untuk istirahat. Tapi si Sopir temanku itu malah minta pamit dengan alasan pagi-pagi mau cari penumpang. Aku mengerti dan laki-laki tadi yang belakangan kuketahui kalau ia adalah majikanku dan kepala rumah tangga dalam keluarga itu, mengizinkan si sopir tadi pulang ke terminal. Sebelum majikanku itu berangkat untuk mengurus usahanya pada esok harinya, sambil menyantap hidangan pagi bersama istrinya yang kemarin kulihat baca koran dan anak satu-satunya di rumah itu yang kemarin nonton TV di ruang makan, ia memperkenalkan seluruh anggota keluarga dan pembantunya di rumah itu, termasuk sopirnya. Setelah itu ia tunjukkan kamar tidurku dan jelaskan kerjaku sehari-hari di rumah itu. Aku diminta menjaga rumah dan membantu istri keduanya ketika ia sedang pergi ke luar kota mengurus perusahaannya.
Aku senang sekali mendengar pekerjaan yang dibebankan padaku, apalagi membantu istrinya yang kuyakini cukup ramah dan bijaksana. Sejak hari pertama aku sudah cukup akrab dengan anggota keluarga di rumah itu dan aku mengerjakan seluruh pekerjaan di rumah itu, termasuk mencuci, memasak dan menyapu sebagaimana layaknya keluarga atau pembantu umum di rumah itu. Sikap kami berjalan biasa-biasa saja tanpa ada keanehan hingga hari kedua belas.
Namun pada hari ketiga belas, pikiranku mulai terganggu ketika majikan laki-lakiku menyampaikan bahwa ia akan pergi ke Sinjai untuk membeli gabah dan beras untuk beberapa hari. Aku yakin kalau pergaulanku dengan istri keduanya itu bisa tambah dekat, sebab akhir-akhir ini istrinya itu sering minta aku membersihkan tempat tidurnya dan berpakaian yang sedikit kurang sopan di depanku saat suaminya keluar rumah. Aku justru sangat gembira mendengarnya.
Setelah majikan laki-lakiku itu berangkat bersama sopir pribadinya sekitar pukul 9.00 pagi, aku kembali melaksanakan tugas hari-hariku seperti hari-hari sebelumnya yakni mencuci pakaian, piring dan menyapu tempat tidur majikanku. Pembantu rumah itu sedang menyapu di halaman belakang, sementara anak gadis satu-satunya itu sedang ke sekolah.
"Nis, bisa nggak kamu membantu aku seperti suamiku membantuku setiap malam?" tanya istri keduanya itu ketika aku sedang membersihkan tempat tidurnya. Aku sangat kaget dan bingung atas permintaannya itu. Aku tidak segera menjawab karena aku tidak tahu maksudnya dengan jelas.
"Membantu bagaimana yang ibu maksud?" tanyaku penuh ketakutan.
"Memijit kepala dan punggungku sebelum aku tidur, karena mataku tak bisa tertidur sebelum dipijit" katanya sambil sedikit senyum.
"Kalau soal pijit memijit, kurasa sangat mudah Bu'. Aku bisa, tapi.. Tapii aapa bapak tidak marah nanti kalai ia tahu Bu?" tanyaku terbata-bata kalau-kalau ia hanya memancingku.
"Nggak bakal marah kok. Kan kamu sudah jadi kepercayaannya. Lagi pula kamu diberi tugas menjaga aku selama ia belum pulang" katanya lagi.
Setelah kusetujui permintaannya, ia lalu keluar dan duduk baca koran di ruang tamu, sedang aku ke halan depan untuk menyapu, lalu istirahat di kamar tidurku.
Setelah makan malam, aku bersama pembantu nonton TV di ruang makan, sedang ibu majikanku dan anak gadisnya nonton TV di kamarnya masing-masing. Setelah siaran berita yang kami tonton habis, pembantu itu pergi tidur di kamarnya yang berdekatan dengan ruang dapur. Sedangkan anak gadis majikanku masih terlihat belajar di kamarnya dengan pintu kamar yang terbuka lebar. Aku kembali teringat dengan perintah ibu majikanku tadi pagi. Aku bertanya-tanya dalam hati kapan perintah itu harus kulaksanakan, karena ibu tidak menjelaskan jam berapa dan di mana. Di ruang makan, atau ruang tamu ata di kamar tidurnya. Aku tunggu saja perintahnya lebih lanjut.
Setelah terdengar pintu kamar anak gadis majikanku itu tertutup dan terkunci rapat sebagai tanda ia sudah mau tidur, maka terdengar pula pintu kamar majikanku terbuka pertanda ia mau keluar dari kamarnya. Aku pura-pura tidak memperhatikannya. Namun tiba-tiba ibu majikanku itu duduk tidak jauh di sampingku sambil nonton TV bersamaku.
"Nis, sudah lupa yach permintaanku tadi pagi?" tanyanya setengah berbisik yang membuat aku kaget dan gemetar.
"Ti.. Tiidak Bu'. Mmaaf Bu', aku hampir lupa" jawabku ketakutan.
"Kalau begitu ayolah. Tunggu apa lagi. Khan sudah larut malam" ajaknya.
"Ta.. Tapi di mana Bu'?" tanyaku singkat.
"Tentu di kamarku donk. Tidak mungkin di sini atau di kamarmu" jawabnya.
Aku sebenarnya sangat takut kalau ada orang lain yang mencurigai aku. Tapi karena ini adalah perintah majikan, lagi pula semua orang di rumah itu pada tidur, maka apapun resikonya aku harus jalankan. Ibu majikanku berjalan dengan pelan seolah takut pula diketahui orang lain dan ia menuju kamar tidurnya, sementara aku ikut di belakangnya dengan pelan dan hati-hati pula. Setelah masuk kamar, ia lalu menutup dan mengunci pintunya dengan rapat. Lalu ia membuka daster yang dipakainya dan terus telungkup tanpa memakai baju, melainkan hanya BH dan celana tipis yang agak pendek di badannya.
"Ayo Nis, silakan dipijit kepala dan leherku bagian belakang lalu punggungku" pintanya seolah tak sabar menunggu lagi.
Aku segera duduk di pinggir tempat tidurnya, lalu secara pelan dan hati-hati menyentuh kepalanya bagian belakang, terus turun ke leher belakangnya. Setelah aku mencoba menekan dan mengeraskan sedikit pijitanku, ibu majikanku itu tiba-tiba bersuara dengan nada sedikit agak tinggi.
"Wah.. Kenapa tidak pakai minyak gosok Nis. Ambil di kolom rosban?"
"Yah.. Yah.. Maaf Bu'. Aku tidak melihatnya tadi" kataku dengan suara agak tinggi pula.
"Jangan terlalu besar suaranya Nis, nanti kedengaran orang" kata ibu.
Setelah ibu majikanku melarangku bersuara agak keras, ia lalu berbisik.
"Punggungku juga Nis, biar aku bisa tidur nyenyak".
Menyentuh kepala dan rambut serta lehernya saja, aku sudah cukup terangsang dibuatnya. Apalagi memijit kulit punggugnya yang setengah telanjang itu. Tapi karena itu adalah perintah majikan, maka aku segera laksanakan.
Bersambung . . .