Nama saya Bernard, usia saya kini 29 tahun. Istri saya (yang saya nikahi tiga tahun yang lalu) bernama Dina. Kami bertemu saat kuliah, dia lebih muda dua tahun dari saya. Manis menurut saya dengan tinggi 160 cm. Saya sangat mencintai istri saya karena sangat pengertian. Kami sudah mempunyai anak (laki-laki) berumur 1,5 tahun, lucunya anak saya ini, saya bisa tahan bermain dengannya sampai berjam-jam. Itulah sebabnya saya sering berkata kepada teman-teman saya bahwa kebahagiaan abadi adalah jika kamu pulang dari kantor kemudian bermain bersama anakmu. Namanya Jason, sengaja saya namakan demikian karena saya sangat suka dengan point guard Phoenix Sun yaitu Jason Kidd. Untungnya dia juga sudah mulai suka memantul-mantulkan bola ke tanah, sebuah dasar permainan basket.
Saya bekerja disebuah perusahaan multinasional yang bermarkas di Jerman. Penghasilan saya lumayan, lebih dari cukup malah, sehingga saya bisa tinggal di perumahan elite di pinggir kota Jakarta. Namun saya lebih suka hidup sederhana, mobilpun hanya punya satu.
Saya punya sobat kental yang bernama Irvan. Persahabatan saya dengan Irvan sudah terbina sejak kami masih sama-sama TK. Usianya sama dengan saya, kami hanya berbeda satu bulan (saya lebih tua). Perkenalan saya dengan Irvan terjadi karena kami saling berebut kue ulang tahun yang dibawa oleh teman kami. Saat itu, seperti layaknya anak kecil kami bertengkar yang kemudian berkembang menjadi perkelahian ala anak kecil. Irvan sempat terjengkang saat itu, demikian juga saya yang terjatuh karena kaki saya ditendangnya setelah ia terjatuh kena pukulan saya. Dilerai oleh guru, kamipun akhirnya berkenalan. Hukuman yang diberikan Ibu Yanti adalah selama satu bulan selama di sekolah, kami harus bersama terus. Ternyata hukuman seperti ini sangat efektif karena sejak saat itu pula kami selalu bersama.
Kebersamaan kami tidak hanya di TK. Ketika masuk SD, kami ingin sekali untuk tetap bersama. Kebetulan niat kami ini menjadi kenyataan. Kami masuk ke sebuah SD swasta yang terkenal amat disiplin. Seingat saya, kami hanya sekali terpisah selama SD, SMP dan SMA, yaitu kelas empat SD. Sisanya kami selalu sekelas. Hingga SMA kami selalu mempunyai prestasi di sekolah yang hampir sama. Jika Irvan dapat ranking tiga maka saya dipastikan akan berada di peringkat dua atau empat. Terhitung saya unggul lima kali dan Irvan tujuh kali.
Kedekatan saya dengan Irvan juga mengimbas ke kedua orang tua kami. Saya sudah seperti anak sendiri di depan orang tuanya demikian pula sebaliknya. Ketika kecil, kami sering bergantian menginap. Ini memang memudahkan kedua orang tua kami untuk mengontrol kami. Kalau saya menginap di rumah Irvan, maka ibunya segera menelepon ibu saya dan mengatakan bahwa saya menginap di rumahnya. Hal serupa juga terjadi pada Irvan.
Satu-satunya yang berbeda pada kami hanya sifat. Saya orang yang mudah sekali bergaul. Setiap ada pertemuan, hampir dapat dipastikan saya menjadi centre of attention karena kemampuan saya untuk berbicara. Irvan sebetulnya bukannya tidak baik berkomunikasi, ia hanya lebih pendiam, itu pula yang membuatnya tampak lebih berwibawa dibanding saya.
Hobi kamipun sama yaitu main sepakbola dan basket. Jika main sepakbola, Irvan biasa menempati posisi wingback kanan, sedang saya gelandang bertahan. Karena wibawanyalah, Irvan selalu menjadi kapten saat bermain sepak bola. Di basket, posisi yang sering di tempatinya adalah posisi small forward. Saya sendiri biasa di posisi shooting guard.
Kami memang ditakdirkan untuk bersahabat. Selain hobi dan tetek bengek lain yang sama, kami sama-sama bungsu dari empat bersaudara. Jumlah kakak perempuan dan laki-laki pun sama, hanya berbeda urutan. Keluarga Irvan, laki-laki-perempuan-perempuan-laki-laki sedang saya, perempuan-laki-laki-perempuan-laki-laki. Tinggi kami berdua tidak berbeda jauh yaitu sekitar 180 cm, hanya saja Irvan lebih tinggi dari saya sekitar satu cm. Penampilan fisik kami, kalau boleh saya sedikit sombong, sangat OK. Banyak teman-teman wanita kami yang tertarik kepada kami.
Ketika kuliah (tempatnya juga sama di sebuah perguruan tinggi swasta di Bandung, jurusan manajemen), kami tetap satu kost. Tapi karena namanya juga kost-kostan, kami tidak bisa memilih untuk bersebelahan kamar. Irvan mendapat kamar di lantai dua sedang saya dilantai satu.
Prestasi kami saat kuliah juga hampir mirip dengan prestasi kami di TK-SD-SMP-SMA, hanya saja kali ini karena kuliah kami tidak mungkin sekelas terus. IP kami yang selalu mirip, kisarannya sekitar 2,7-2,8. Yang ajaib, saat sebelum sidang sarjana, IPK kami sama persis yaitu 2,76. Karena malam sebelum sidang (kami sidang berbarengan) saya sibuk menjadi mentor bagi Irvan, akhirnya saat sidang sesungguhnya saya hanya mendapat nilai B dan Irvan justru A. Akan tetapi, hal ini bukanlah masalah bagi saya.
Dua tahun terakhir sebelum lulus, Irvan tertarik dengan gadis sekampus kami yang berada di angkatan dua tahun lebih muda. Nama gadis tersebut Sheila. Rupanya sangat cantik, berhidung mancung, berkulit putih mulus, berdarah bule sedikit (ayahnya indo-belanda). Tingginya sekitar 175 cm dengan berat badan yang sangat proporsional. Yang kurang proporsional menurut saya hanyalah dadanya yang sedikit kebesaran. Singkat kata Sheila sangat seksi. Jujur saja, saya sempat suka dengannya.
Awal-awal pendekatan, Irvan selalu mengajak saya bila apel ke rumah Sheila. Alasannya singkat saja "Loe khan pinter ngomong..". Karena saat itu saya juga belum punya pacar, kami sering sekali jalan bertiga. Tak heran jika Sheila kemudian dekat juga dengan saya. Kedekatan saya dengan Sheila bahkan sudah melebihi kedekatannya dengan Irvan. Ini saya anggap sudah sangat berbahaya, jadi akhirnya saya memutuskan untuk tidak lagi menemani Irvan.
Pendekatan Irvan untuk mencairkan hati Sheila berlangsung cukup lama, kurang lebih 1,5 tahun. Malah akhirnya saya yang lebih dahulu mendapat pacar, yaitu Dina yang saya dekati selama kurang lebih enam bulan. Dan tak lama (kurang lebih satu bulan) setelah saya dan Dina resmi pacaran, merekapun menyusul resmi berpacaran. Bahagianya hati kami saat itu.
Sheila juga yang mempunyai usul agar kami mengontrak rumah bersama (maksudnya saya dan Irvan). Dan usulan ini kami anggap sangat bagus dan enam bulan sebelum lulus, kami pindah ke rumah kontrakan kecil berkamar dua. Sheila dan Dina sering datang dan mengurusi segala kebutuhan kami, dari mulai makan hingga keperluan kami sehari-hari. Saat itu kami merasa sebagai dua cowok paling beruntung di dunia. Kebiasaan kami untuk menjaga keamanan adalah sistem bawa kunci sendiri-sendiri. Setiap saat pagar rumah di gembok dan pintu rumah dikunci, ada atau tidak ada orang. Kebiasaan Irvan jika pulang ke rumah adalah teriakannya yang khas "Permisi..!", saya tidak mempunyai kebiasaan itu. Ini pula akhirnya yang menjadi tanda siapa yang pulang.
Setelah lulus, kami sibuk mencari kerja ke sana ke mari. Irvanlah yang paling beruntung di antara kami. Baru sebulan lulus, dia sudah menerima panggilan di sebuah perusahaan swasta di Jakarta, sedang saya juga sudah sering terima surat balasan, tapi isinya kerap berisi penolakan.
Sebulan setelah dipanggil, Irvan dinyatakan diterima di perusahaan tersebut. Inilah yang membuatnya menjadi sering bolak balik Jakarta-Bandung. Saya menjadi sering sendirian di rumah, walaupun Dina masih sering datang dan menemani saya. Saya dan Irvan walaupun mempunyai pacar yang sering berkunjung ke rumah, sangat menjaga pergaulan. Saya dan Dina kerap hanya berciuman dan berpelukan jika di rumah, demikian pula dengan Irvan dan Sheila. Kami juga menjunjung sopan santun yang menjadi dasar budaya suku kami.
Suatu hari, saat saya sedang sendirian di rumah, Sheila menelepon. Saya katakan bahwa Irvan belum pulang dari Jakarta. Namun, rupanya Sheila justru ingin berbicara dengan saya. Mulanya saya pikir hanya akan berbicara di telepon, paling nanya soal Irvan, pikir saya. Rupanya Sheila ingin berbicara langsung dengan saya dan meminta ijin untuk datang. Saya ijinkan, kebetulan Dina kuliah sampai malam dan baru besok datang ke rumah kontrakan ini.
Kira-kira pukul satu, dengan mukanya yang ceria Sheila datang. Setelah mengunci pagar dan pintu kami duduk di ruang tamu (kebetulan, ruangan di rumah ini selain dua kamar tidur, hanya ruang tamu ini). Sheila saat itu mengenakan pakaian yang sudah menjadi ciri khasnya, jeans ketat, kaus juga ketat dengan rompi diluarnya.
Kami berbincang-bincang dan bercanda cukup lama. Kami memang sangat nyambung jika ngobrol, jadi obrolan seakan mengalir tanpa diatur. Sampai tiba-tiba Sheila menundukan kepalanya dan ketika kepalanya terangkat lagi, saya lihat butiran airmata mengambang disudut matanya.
"Sel, kenapa..?", aku segera bertanya sambil berjalan mendekatinya. Dengan mata merah dan airmata yang siap meleleh, Sheila berkata bahwa suasana seperti ini sudah lama ia harapkan. Saya jadi bingung akan maksudnya berkata seperti itu.
"Gue sangat mengharapkan bisa ngobrol berdua sama loe sudah sejak lama Nard", ucap Sheila sambil menyeka air matanya. Saya berlutut di depannya sambil bertanya lagi maksudnya apa. Ia mengulangi perkataannya dan menambahkan bahwa maksudnya adalah ngobrol berdua dengan saya.
Saya masih kebingungan dan tak bisa berbicara ketika dari mulut Sheila keluar pernyataan yang mengagetkan, "Gue sebetulnya suka sama loe, Nard".
Hah? Saya terlonjak kaget dan tetap tak mampu berkata-kata. Kemudian Sheila menambahkan bahwa dirinya sangat terpukul ketika tahu bahwa saya dan Dina resmi pacaran. Harapannya musnah, impiannya melayang, angannya terbang yang berakibat ia akhir luluh di depan Irvan. Bersedianya ia menjadi pacar Irvan rupanya terdorong rasa kecewanya gagal mendapatkan saya. Atas dasar itu juga Sheila memberikan usul agar saya dan Irvan tinggal di rumah kontrakan ini, maksudnya agar ia bisa setiap hari melihat saya, sekedar melihat saya.
Semakin lama berpacaran dengan Irvan, hatinya justru semakin kuat melekat pada diri saya. Ia tahan berada di rumah ini hanya untuk melihat segala aktivitas saya seharian, walaupun itu dilakukannya dalam pelukan dan belaian Irvan. Tak dipungkirinya, Irvan sangat ia sayangi, tapi cintanya tetaplah pada saya. Ia membutuhkan orang yang mampu menjadi tempat bertanya, Irvan tidak memiliki itu. Sifat dasar kamilah yang akhirnya menjadi penentu bagi Sheila.
"Nard, maukah kamu peluk Sheila?" Saya terdiam sejenak, sungguh tak mampu berkata-kata.
Memeluk Sheila? Bagi laki-laki lain kesempatan ini tidak akan dibiarkan hilang, tapi bagi saya, memeluk Sheila dengan kehangatan cinta adalah pengkhianatan terhadap Dina dan Irvan.
Akhirnya segala perdebatan di kepala saya perlahan-perlahan saya singkirkan. Pelan-pelan tangan saya mencari pinggang Sheila dan mendekatkan tubuh saya kepadanya. Sejenak saya merasakan dada saya menabrak segumpal benda kenyal di dada Sheila. Tangan Sheila kemudian melingkar dipundak saya dan segera menarik saya agar lebih menempel pada tubuhnya. Seketika saya merasakan himpitan kekenyalan dadanya di dada saya. Sheila memeluk saya dengan kuat dan mulai mencium leher saya sambil berkata pelan di telinga saya, "Terima kasih Nard, Saya mencintaimu",.
Bersambung . . . .