Aku duduk hampir membeku, memperhatikan diriku pada cermin di dinding. Memperhatikan Martin sekarang berdiri di depan bahuku, memasangkan kalung di leherku. Aku melihat di cermin jubahnya yang terbuka, penisnya sekarang tersentuh lengan tanganku, langsung bersentuhan karena blus tak berlengan yang aku kenakan.
"Bagaimana, kamu suka Lusi? Ayo, peganglah. Sudah pernahkah kamu melihat yang seperti ini?"
"Tidak. Belum pernah. Ini sangat besar. Aku belum pernah melihat yang sebesar ini."
Aku menggerakkan kepalaku ke samping saat aku bicara, menatap pada kemaluannya yang menggesek bahuku, mengamati kantung buah zakarnya untuk pertama kali. Itu juga besar. Besar tetapi lebih lembut dibanding kantong berkerut Tom.
"Terimakasih. Aku pikir kemungilanmu yang cantik membuatnya nampak lebih besar. Sentuhlah kalau kamu ingin."
"Kal.. Eh.. Benda ini?"
"Apapun yang kamu inginkan, Lusi. Kamu ingin merasakannya, ya kan?"
"Uh huh." aku menggenggamkan jariku melingkarinya.
Aku merasakannya mulai mengeras pada sentuhanku. Aku pernah dengar kemaluan yang belum di sunat tapi aku belum pernah melihat sebelumnya. Saat itu mengeras aku lihat kulitnya menyingkap. Aku menyingkap dengan lemah-lembut dan melihat kulitnya menarik kembali memperlihatkan sebuah mahkota yang tinggi.
"Apa itu melukai kamu?"
"Kebalikannya Lusi, sentuhanmu terasa nikmat. Apa kamu belum pernah melihat sebuah penis yang belum disunat?" Aku menatapnya.
"Tidak disunat."
"Oh Tuhan. Martin tolong jangan tertawakan aku. Satu-satunya kemaluan yang telah kulihat hanya milik Tom. Dan bahkan saat dia sedang ereksi tidak seperti milikmu. Aku tidak pernah melakukan sesuatu seperti ini sebelumnya. Apakah itu benar jika aku hanya merasakan kemaluanmu dan melihatnya?"
"Lusi, Lusi sayang. Kamu adalah sebuah harta karun seutuhnya. Aku tidak pernah akan menertawakan kamu. Kamu adalah sebuah bunga yang menunggu untuk mekar. Lakukanlah, remas penisku, rasakan bagaimana kamu membuatnya keras, tapi tolong sebut ini dengan penis bukan kemaluan"
"Oh brengsek, kamu pasti berpikir aku adalah orang bodoh atau yang semacam itu. Aku merasa seperti seorang idiot. Maafkan aku, aku tidak ingin menggoda, benar-benar tidak. Bukan berarti aku tidak bisa berhubungan seks atau apapun yang seperti itu. Hanya saja aku tidak pernah berada di dalam situasi seperti ini." aku jelaskan panjang lebar sekarang, menjatuhkan penisnya seperti sebuah kentang panas.
"Lusi, tenang. Percayalah padaku, aku tidak berpikir kamu adalah seorang yang bodoh atau apapun yang seperti itu. Lakukanlah, ini adalah kesempatanmu untuk merasakan sebuah penis. Ambil kesempatanmu." dia menempatkan tanganku kembali pada penisnya, menggenggam jarinya ke jariku.
"Katakan penis, Lusi. Katakanlah apa yang sedang kamu pikirkan. Hanya kocok sedikit" ketika tangannya memandu tanganku dalam sebuah gerakan mengocok.
Aku menyaksikan dengan tertarik saat tangannya memandu tanganku yang pelan-pelan mengocok ke atas-bawah pada batang yang keras itu. Aku melihat kulitnya menyingkap memperlihatkan bagian atas kepala yang dimahkotai saat kocokanku bergerak ke bawah dan kemudian pada kocokan ke atas, kulitnya membungkus kepalanya dan membentuk sebuah ujung yang berkerut. Tangannya melepaskan lenganku.
Aku melanjutkan mengocok penisnya seperti terhipnotis. Aku menekannya. Aku bisa merasakan penisnya yang menjadi lebih keras. Aku meremasnya lebih keras dan dalam pikiranku aku sedang berkata ' penis' berulang kali. Kemudian aku mengucapkannya.
"Penismu jadi sangat keras. Rasanya sangat hangat. Aku ingin meremas penismu." dan tiba-tiba aku ingin katakan semua kata-kata yang selama ini ku tabukan. Perkataan penis nampak membuatnya lebih erotis lagi.
"Umm, ya. Remas Lusi." tangannya kini meluncur ke balik blusku. Tekanan lengan tangannya pada wajahku membawa pipiku bersentuhan dengan penisnya.
Aku memandangi cermin di seberang kami. Aku belum pernah melihat diriku yang sedang berhubungan seks. Sekarang aku menjadi sangat terangsang saat aku melihat diriku menggosok penisnya pada pipiku, melihat kancing blusku terbuka saat tangannya menuju ke payudaraku. Blusku terbuka. Tangannya menyelinap masuk braku. Jarinya menjepit puting susuku.
Aku tidak bisa percaya bagaimana nikmatknya rasanya. Bagaimana sangat erotisnya. Bagaimana sangat sangat bersalah tetapi sangat sangat menggairahkan. Tangannya memaksa braku turun, puting susuku jadi terlihat. Aku melihat ke atas dan melihat Martin yang sedang menatap ke cermin juga.
"Kamu mempunyai puting susu yang menakjubkan Lusi. Mereka sangat keras, sangat besar. Mereka seperti permata merah muda di atas bukit. Apakah kamu suka mereka dijepit?"
"Ya. Itu rasanya enak. Aku suka mereka dijepit dengan keras."
Aku melihat di dalam cermin, blusku tersingkap hingga perut, sebelah payudaraku terekspose penuh sedang braku tetap menutup yang sebelahnya. Tangan Martin memegang putingku, ibu jari dan jari telunjuknya berputar, menarik, menekan puting susuku. Aku melihat tanganku yang mengocok penis tebalnya, menggosoknya pada pipiku. Aku melihat cairan precumnya keluar sedikit dari lubang kencingnya kemudian dia mengamati saat aku mengoleskan precumnya ke pipiku..
Aku memalingkan wajahku menghadap penisnya, mengamati precum yang pelan-pelan membentuk tetesan yang lain. Aku menggosokkan ibu jariku di ujung penisnya, menikmati genangan dari precum itu ketika aku menekan kepala penisnya. Menjadikan kepala penisnya berkilauan. Aku menggosok penisnya pada pipiku lagi.
Aku merasa tangan Martin yang bebas berada di kepalaku, merasa dia memutar kepalaku dengan lembut. Penisnya meluncur melewati pipi dan menggosok bibirku. Secara naluri aku membuka mulutku, mulai menjilat kepala kerasnya yang hangat. Aku melanjutkan mengocok penisnya ketika mulutku mengulum kepala itu. Itu bahkan nampak lebih besar sejak aku menghisapnya.
"Umm, yaa. Gerakkan lidahmu Lusi. Tuhan, rasanya enak. Bermain-mainlah dengannya sayang. Jilat naik turun batang itu. Umm, nikmat."
Kujalankan lidahku naik turun sepanjang batang itu. Penisnya kini berkilauan dengan air liurku. Saat mulutku berada pada buah zakarnya, dia mengangkat penisnya sedemikian rupa sehingga buah zakarnya menggosok daguku. Aku belum pernah menjilat buah zakar seseorang, tetapi aku tahu apa yang dia inginkan. Itu apa yang juga aku inginkan. Aku ingin bermain-main dengan kantong besar itu. Aku mulai menjilat buah zakarnya saat penisnya berada tepat di wajahku. Aku bisa merasakan panas dari penisnya di wajahku.
Martin menarik blusku yang tersisa melewati bahu. Ketika melepaskannya dari badanku, dia melepaskan braku juga, yang mengikuti blusku jatuh ke lantai. Aku mengerling ke cermin itu. Memandang dan merasa tangan besarnya mencakup payudara kecilku. Aku kembalikan tatapanku pada penisnya, ketika jarinya dengan lembut mulai memutari puting susuku. Aku melihat pembuluh darah biru yang panjang di sepanjang batang itu. Aku sapukan lidahku sepanjang pembuluh darahnya, dan kemudian menekan kepala penisnya untuk membuka lubangnya sedemikian rupa sehingga aku bisa memeriksanya dengan lidahku.
"Tuhan kamu mempunyai puting susu yang keras Lusi. Apa kamu suka mereka dihisap? Katakanlah apa yang kamu inginkan, aku ingin membuat kamu merasakan nikmat seperti yang kamu lakukan untukku."
"Dijepit, ya yang keras. Dan hisap, gigit putingku." aku berbisik dengan penisnya yang menyentuh bibirku.
"Bagus. Aku suka menghisap puting." dia tertawa saat menarikku berdiri pada kakiku.
Saat aku melepaskan genggamanku pada penisnya dia berlutut di depanku. Mulutnya menelan satu payudara, dia mulai menghisap selagi lidahnya menjilat puting susuku. Tangannya pada punggungku, memelukku erat, membelaiku saat dia menghisap payudara yang kiri kemudian berganti yang sebelah kanan. Saat dia menghisap dalam mulutnya, aku bisa merasakan lidahnya yang menjilat, kemudian ketika mulutnya mundur, giginya dengan lembut menggigit puting susuku. Dia memegang puting susuku diantara giginya dan menjalankan ujung lidahnya. Tuhan, itu terasa nikmat.
Saat dia bekerja pada putingku, tangannya meluncur menuju ke pinggulku. Kulepas kancing celana panjangku. Celana panjang dan celana dalamku dilepasnya sekaligus. Sama sekali tanpa berpikir tentang itu, aku melangkah keluar dari pakaianku yang terakhir. Dia masih menghisap, menggigiti puting susuku saat tangannya sekarang membelai kaki dan pantatku. Secara naluriah aku melebarkan kakiku, mengundang tangannya pada vaginaku. Larangan terkhirku menguap ketika Martin mulai mengelus vaginaku.
Aku memandangnya, melihat bibirnya bekerja di sekitar payudaraku. Aku melihat putingku tertarik keluar saat ia menghisap dan menggigit dan menarik puting susuku dengan mulut dan giginya. Aku melihat tangannya menggosok vaginaku. Aku melihat jarinya menghilang lenyap ke dalam rimbunan rambut lebatku. Merasa jarinya meluncur menyentuh vaginaku. Saat dia menggerakkan jarinya keluar masuk, aku menggelinjang.
"Terasa enak?" dia tersenyum.
"Ya, ya."
"Umm, dan rasanya enak juga." katanya saat menarik jarinya dan menjilatnya, dan kemudian menyodorkan jarinya kepadaku untuk dijilat.
Aku belum pernah merasakan diriku sendiri. Jika itu pernah terjadi kepadaku, aku yakin aku akan menganggap itu adalah sebuah tindakan yang menjijikkan. Tetapi sekarang aku menjilat jarinya dan merasa kagum bahwa aku menyukai itu.
"Aku pikir vagina ini memerlukan sebuah jilatan yang bagus. Kamu suka vaginamu dioral, ya kan? Tidak pernah ada seorang perempuan yang tidak menyukainya"
Aku suka itu. Hanya saja itu tidak sering terjadi. Tetapi sekarang aku menginginkannya lebih dari yang pernah ada. Dia mengangkatku ke atas meja, mendudukkanku pada tepinya. Aku membuka lebar kakiku mengundang mulutnya kepada bibirku. Menempatkan jariku pada vagina, aku melebarkannya terbuka, menarik rambutnya ke samping. Aku merasa sangat erotis saat aku membayangkan pandangannya pada vaginaku, daging merah muda yang basah yang kini terpampang karena bibirnya yang terbuka.
Bersambung . . . .