"Iyaa.. Mas, sekarang Santi juga sudah terbebas..", ujar Eksanti mengabulkan permintaanku. Celana dalamnya telah beranjak ke bawah pahanya. Sebenarnya sudah sedari tadi ia ingin melakukan hal itu.
Angin dingin menimbulkan suara berkesiut di luar jendela kamar tidur Eksanti. Ia menelentang kembali, kini dengan mata terbelalak sepenuhnya. Kamar tidur yang senyap itu sebenarnya dingin sekali. Tetapi tubuh Eksanti seperti dibakar api, dan ia terkejut sendiri ketika tak sengaja tangannya menyentuh selangkangannya. Celana dalamnya agak basah, dan sebuah rasa geli yang telah lama ia tak rasakan ternyata muncul di sana. "Oh, aku begitu terangsang malam ini", desah Eksanti panik di dalam hati.
"Jangan dulu kamu sentuh yang di bawah sana, Santi. Please, tanganmu tetap berada di atas. Sekarang kamu arahkan jemari ke mulutmu, lalu kamu hisap pelan, kamu jilat basah hingga pangkal jemari telunjukmu..", aku melanjutkan permohonanku.
"He.. emm..", Santi mendesah sambil mulai memasukkan jemari ke dalam mulut kecilnya. Jemarinya basah oleh cairan ludahnya sendiri, ia sedang mengkhayalkan sebentuk daging bulat, panjang, lebih besar dan lebih keras dari sosis. Ia mengulumnya pelan, dan sesekali menghisapnya dengan sepenuh perasaan.
"Please, sekarang jemarimu yang basah kamu tarik dari mulutmu, Santi. Kamu usapkan jemarimu di mana sekarang, 'yang..?"
Cepat-cepat Eksanti memindahkan tangannya, tetapi tangan itu jatuh di atas dadanya. Untuk sejenak, ia mencoba mengatur nafasnya yang mulai terengah, tetapi tanpa diperintah tangan itu ternyata mulai meraba-raba. Eksanti menggelinjang. Eksanti mendesah gelisah. Rasa geli menyelimuti puncak-puncak dadanya. Rasa geli yang minta digaruk. Maka menggaruklah jemari-jemarinya, mengusap dan membelai pula. Gagang telephone ia jepit di antara pundak dan kepalanya, dua tangan kini ada di dadanya. Dua-duanya mereMas, mengusap, menggaruk, membelai.. Eksanti mendesahkan namaku berkali-kali dengan bisikan tertahan; kuatir teman di sebelah kamar kost-nya terbangun.
"Oocchh.. Mas, Santi sedang memilin lembut puting Santi. Oocchh.. Mas.. keras sekali, Santi ingin Mas menggigitnya, Santi ingin Mas meremasinya.., pelan saja Mas..", Eksanti berkata demikian sambil jemari telunjuk dan jempolnya memilin-memutar putingnya dengan lembut.
"Iya.. Sayang, Mas sedang menjepitnya dengan bibir Mas, lalu lidah Mas menyapu-nyapu lubang di ujung putingnya.. Enak sayang..?", akupun tak kalah dalam mengimbangi fantasinya.
"Iyaa.. Mas.., sekarang tangan Santi ada di atas perut Santi", Eksanti melanjutkan.
"Iyaa.. sayang, bibir Mas sekarang sedang mencium lembut perutmu yang putih. Lidah Mas berputar-putar di sekitar pusarmu. Lalu Mas turun ke pangkal pahamu.. Terus bibir Mas berhenti di sana..", aku berhenti untuk menunggu reaksinya.
Eksanti tak tahan lagi. Dengan satu tangan tetap meremas-remas dadanya sendiri, ia mengusap-usap kewanitaanya dengan tangan yang lain. Celana nilon tipis masih menutup sebagian di sana, tetapi tentu saja tak mampu mencegah rasa nikmat yang datang dari telapak tangannya. Apalagi kemudian Eksanti menelusupkan tangan itu ke balik celana dalamnya, menemukan lembah sempit di bawah sana telah basah oleh cairan cinta. Menemukan pula tonjolan kecil di bagian atas telah menyeruak keluar dari persembunyiannya, menonjol diam-diam menanti sentuhan jarinya.
"Oochh..", Santi mengerang pelan sementara jemarinya kini tengah berada tepat di atas gerbang kewanitaannya yang telah terbebas. Ia benar-benar telah memelorotkan celana dalamnya.
"Lalu Mas menyentuhi rambut kewanitaanmu dengan bibir Mas. Lalu Mas menjilat-jilat lembut bibir kewanitaanmu di bawah sana. Lalu Mas gigit pelan klitorismu.. Mas hisap.., Mas.. gigit, Mas.. hisap lagi. Telunjuk Mas sesekali berputar-putar di atas daging kecil merah itu..", aku kembali mengendalikan fantasinya.
"Oocch.. Mas, Santi pengin Mas.. Santi pengiinn.. oochh.. sekarang..", Santi tidak kuasa meneruskan kata-katanya.
"Iya.. sayang, Mas juga.. Mas sekarang akan memasukkan jemari Mas ke dalam kewanitaanmu Santi..", aku berbisik lembut kepadanya.
"Oocchh..", Santi mengerang pelan.
Eksanti menggigit bibir bawahnya, tersentak bagai tersengat listrik, ketika ujung telunjuknya tak sengaja menyentuh tonjolan kenikmatan itu. Sebuah desah cukup keras menghambur keluar dari mulutnya. Untung teman-teman sekostnya sudah terlelap sehingga mungkin tak akan terbangun walau Eksanti berteriak sekali pun.
"Jemari Mas masuk.., berdenyut lembut di dalam sana. Kamu menghentak, kamu menjepit. Jemari Mas keluar.. masuk.. keluar.. masuk.. pelan sekali.. lembut sekali.. Semakin licin, kamu semakin berdenyut, kamu menggelepar pelan..", aku berkata demikian sambil semakin keras mengocok kejantananku sendiri.
Aku meraba-raba kejantananku. Mengerang pelan karena merasakan tubuhku mulai bereaksi seperti biasanya, menyebabkan semua ototku terasa menegang, bagai seorang pelari yang sedang bersiap-siap melesat dari garis start. Kejantananku sudah menegang setegang-tegangnya. Bergetar seirama degup jantungku yang tak teratur. Naik turun seirama nafasnya yang mulai memburu.
Mula-mula, aku hanya mengusap-usap kejantananku di atas kulit lembutnya. Mengelus-elus perlahan, menimbulkan rasa geli yang samar-samar, seakan-akan untuk memastikan bahwa segalanya berjalan perlahan menuju tempat tujuan. Tetapi, sebentar kemudian gerakan tanganku semakin cepat, bukan lagi mengusap tetapi menguyak-uyak. Nafasku semakin memburu. Rasa geli yang nikmat tersebar sepanjang kejantananku yang terasa bagai batang besi panas membara.
"Mas.., sekarang Santi benar-benar sudah basah.., Santi ingin bercinta dengan Mas.. Masukkan kejantananmu sekarang Mas, please..", sekarang giliran Santi yang memohon kepadaku.
"Iya sayang.., kejantanan Mas juga sudah keras menegang. Sekarang Mas mengarahkannya ke dalam gerbang kewanitaanmu, tanganmu meremas batang kejantanan Mas, sembari mengarahkan ujungnya ke sana. Mas mengusapkan pada bibir kewanitaanmu, Mas merasakan basahnya cairan cintamu, lalu Mas melesak pelan", aku berkata dengan cepat sambil tanganku semakin keras meremasi kejantananku.
Aku tak tahan lagi. Tanganku memelorotkan celana tidurku makin jauh, meremas batang tegang yang membara di bawah sana. Lalu dengan tidak sabar aku memelorotkan lagi celana tidurku hingga ke mata kakiku, hingga kini kejantananku bisa benar-benar terbebas, tegang menjulang. Jemariku meremasinya, membelai di sepanjang batangnya.., pelan sekali.., lembut sekali.. dari atas ke bawah, keatas, kebawah lagi.. Segera aku merasakan pinggulku bagai berubah menjadi kaldera gunung berapi yang penuh lahar menggelegak. Setiap kali aku mereMas, setiap kali pula gelegak itu bagai hendak meluap keluar. Setiap kali pula aku mengerang dengan otot leher menegang seperti seorang yang sedang menahan sesuatu dengan susah payah.
Remasan tanganku semakin lama semakin teratur, diikuti gerakan naik turun seperti memeras. Setiap kali gerakan itu sampai ke ujung yang membengkak-membola itu, aku merasakan tubuhku seperti disedot ke dalam pusaran air birahi. Aku menggeliat-geliat keenakan. Kedua kakiku merentang tegang, dengan tumit tenggelam dalam-dalam di kasur. Aku mengerang.
"Ooochh.., teruskan Mas..", Eksanti berbisik sambil mengangkat kedua pahanya untuk mempermudah usapan jemarinya di bibir kewanitaannya.
"Lalu Mas mendorong senti, demi senti. Kakimu menggamit kuat erat pinggang Mas. Pinggulmu mulai bergoyang pelan membantu perjalanan Mas, dan Mas merasakan ujung kejantanan Mas kini telah menyentuh dinding kewanitaanmu yang terdalam", aku merasakan cairan bening sedikit mengalir di bawah sana.
"Ooocchh..", Eksanti mengerang semakin keras, ketika ia sendiri mulai memasukkan jemari tengahnya ke dalam liang basah itu. Eksanti mengerang tanpa berusaha menahan suaranya. Ia sudah tak peduli lagi. Kedua pahanya terpentang lebar dan jari tengahnya melesak menerobos di antara lembah bibir-bibir kewanitaannya. Jari itu meluncur teratur.. turun sampai melesak sedikit memasuki liang surgawi yang berdenyut-denyut.. lalu naik menyusuri lembah licin yang hangat dan basah itu.. lalu terus naik ke atas lepitan kewanitaannya, tiba di tonjolan yang kini memerah itu.. berputar-putar di sana dua-tiga kali ..
"Aaacchh..," erangan Eksanti semakin jelas. Kalau saja ada orang berdiri di balik pintu dan menempelkan kupingnya, niscaya ia akan mendengar erangan itu.
Tangan Eksanti bergerak semakin cepat, sementara tangan yang satunya juga terus meremas-remas payudaranya dengan gemas. Tubuh Eksanti berguncang-guncang oleh gerakannya sendiri. Ia menggumamkan namaku itu dengan sedikit keras, lalu menggulingkan tubuhnya menjauh dari sisi tempat tidur. Eksanti sudah tak lagi mempedulikan keras erangan suaranya. Ia sedang dalam perjalanan yang tak mungkin dihentikannya lagi. Ia harus sampai ke tujuan!
Aku pun merasakan tujuan asmara telah tampak di pelupuk mataku. Tanganku kini mencekal-meremas langsung kejantananku. Ada sedikit cairan licin membasahi bagian ujung kejantananku. Akibat gerakan turun naik, cairan itu terbawa oleh telapak tanganku membasahi batang kenyal-keras yang panas membara..
"Mas menggenjotmu dengan pelan, menerjangmu dengan lembut, semakin lama semakin keras.. semakin kuat Mas memompamu. Kamu meronta.. kamu meremasi rambut kepala Mas. Kamu mencakar dan menekan kulit punggung Mas. Mas menghentak.. menghentak.. semakin kuat. Dan..", aku sengaja menghentikan fantasiku, karena ingin mendengar reaksi Eksanti. Namun aku tidak memperlambat aktifitas tanganku di bawah sana. Gerakan tanganku semakin cepat dan teratur. Naik turun, naik turun, naik turun.. Terkadang agak lama di bagian ujung, meremas-remas dan mengepal. Menimbulkan rasa geli yang berkepanjangan, menyebar ke seluruh tubuh, menggetarkan semua otot, bahkan sampai menyebabkan ranjangku berderik-derik pelan.
"Ooochh.. Aacchh..", Eksanti merintih-rintih keras dalam kenikmatan sensasi fantasinya. Hanya suara rintihan itu yang bisa aku dengar dari ujung telephone selama beberapa saat. Aku terdiam menikmati suara rintihannya. Jemari tengah Eksanti telah lancar ke luar masuk, sambil sesekali ujung jempolnya menekan-berputar di klitorisnya yang tegang memerah.
Ranjang Eksanti bergoyang keras ketika ia mulai merasakan dirinya mendaki puncak asmara. Kini dua jari yang melesak, mengurut, menelusur lembah sempit di bawah sana. Kini kedua pahanya terentang maksimum, membuat kewanitaanya terbuka lebar, memberikan keleluasaan gerak kepada tangannya.
Tangan yang satu lagi kini beralih ke bawah, namun gagang telephone masih dijepit diantara kepala dan pundaknya. Eksanti memerlukan kedua tangannya untuk mendaki puncak gemilang birahinya. Satu tangan untuk melesakkan kedua jarinya cukup dalam ke liang surgawi yang menimbulkan rasa nikmat itu, sementara tangan yang lain mengusap-menekan-memilin tonjolan merah yang kini berdenyut-denyut itu.
Eksanti bahkan sampai merasa perlu mengangkat pinggulnya, memberikan tekanan ekstra ke seluruh daerah kewanitaannya, menggosok-gosok keras dengan kedua tangannya..
Aku menggosok-gosok dengan cepat. Mengurut dengan keras. Naik turun tanganku semakin cepat, semakin cepat, dan semakin cepat. Nafasku terengah-engah. Kakiku terasa bagai melayang, padahal keduanya menjejak kasur dengan keras. Gagang telephone aku jepit di antara pundak dan kepalaku. Satu tanganku yang bebas kini mencengkram seprai, seakan mencegah tubuhku melambung ke langit-langit. Aku tak tahan lagi, aku menggerendeng merasakan tubuhku seperti hendak meledak.. Lalu aku benar-benar meledak. Menumpahkan cairan-cairan hangat di telapak tanganku.
Eksanti merasakan tubuhnya mengejang, ia mencoba terus menggosok-menggesek, tetapi rasa geli-gatal begitu intens memenuhi tubuhnya. Ia tak tahan lagi. Ia mengerang parau ketika sebuah ledakan besar memenuhi dirinya. Kedua kakinya terentang kejang. Kedua tangannya meninggalkan daerah kewanitaannya, mencengkram seprai di kedua sisi tubuhnya. Klimaksnya datang bagai guntur bergulung-gulung..
******
Ketika nafas kami mulai mereda, suasana hening di dalam telephone itu. Sesekali aku hanya bisa mendengar hembusan nafas beratnya, demikian pula Eksantipun hanya bisa mendengar dengusanku.
"Santi, kamu masih di sana?", aku mengawali percakapan kembali.
"Iyaa.. Mas, Mas udah lega belum?", ia menjawab pelan pertanyaanku.
"Mas, lega.., dan capek.., terima kasih yaa.. San. Santi enak nggak?", aku berkata lagi.
"Ehh..mm", Eksanti tidak menjawab, hanya tersenyum di seberang sana. Namun aku tahu pasti bahwa ia pun telah sangat menikmati ke-'lega'-an bersamaku beberapa menit yang lalu.
"Santi, kita udahan dulu yaa.. Mas mau bersih-bersih dulu nih terima kasih yaa..", aku berkata terus terang. Aku memang harus membersihkan cairan cintaku yang tumpah ruah di atas perut dan sprei ranjangku.
"Iya Mas, Santi juga mau mandi lagi nih.. Gerah sekali rasanya", ia berujar. Naah.. ketahuan deh.. Santi memang harus mandi, tetapi alasan gerah tidaklah masuk akal, karena malam itu suhu udara dingin sekali. Namun aku tidak berusaha meledeknya untuk kealpaannya ini. Aku paling tahu, Santi sangat sensitif pada perasaannya yang satu ini.
"Sampai besok yaa.. IOU", aku mengakhiri percakapan.
"IOU Mas.., mimpiin Santi yaa.., bye", lalu Santi menutup telephonenya.
******
Malam bagai tak peduli. Tetap dengan kelam dan dingin dan desir angin bersiut. Langit sesekali berkerejap oleh kilat di kejauhan. Awan hitam berarak menutupi cahaya bulan, mencegah Raja Malam itu menerangi muka bumi. Pohon-pohon bagai tidur sambil berdiri, terayun-ayun oleh angin yang meraja lela.
Sebentar kemudian hujan mulai turun. Mula-mula hanya berupa rintik kecil. Tetapi lalu dengan cepat semakin lebat. Bahkan kemudian sangat lebat seperti dicurahkan dari langit. Aku masih tergeletak lunglai. Eksanti pun tidak segera mandi, ia terkulai lemas. Kami berdua terpisah oleh tembok, halaman, batu, sungai kecil, pohon, jalan raya, dan sebagainya.. Tetapi kami berdua bersatu dalam fantasi erotik, kami bertemu dalam imajinasi asmara yang menggelegak membara. Siapa bilang tidak ada kekuatan telepati di dunia ini?
Bersambung . . . . .