Ahh.., saya menjatuhkan tubuh saya di sofa baru di apartmen yang berlokasi di pusat kota Amsterdam. Jam menunjukkan pukul 17.00, dari jendela saya memperhatikan pohon yang di tumbuh di depan apartemen, di tepi kanal yang banyak dilalui turis asing. Terlihat hanya sehelai daun yang masih tersisa di batang pohon tersebut yang menandakan musim dingin telah tiba.
Dengan perasaan malas saya bangun dan menyalakan radio. Dari channel Sky Radio (Radio terbaik di negeri Kincir Angin) terdengar lagu I turn to you dari Melanie C. Karena lapar, saya mencari snack di dapur dan saya menemukan potato chips kesukaan saya.
Sambil mengunyah chips tersebut, melanjutkan lamunan saya dengan memperhatikan lalu lalang perahu di kanal depan. Sedang asyik-asyiknya melamun dari radio terdengar lagu, All my bags are pack, I am ready to go, Im standing here outside your door, I hate to wake you up to say goodbye. But the dawn is breaking, its early morning. The taxis waiting, hes blowing his horn, Already Im so lonesome I could cry. So kiss me and smile for me, Tell me that youll wait for me hold me like youll never let me go. Cause im leavin on a jet plane, Dont know when Ill be back again. Oh, babe, I hate to go. Theres so many time Ive let you down, So many times Ive played around. I tell you now, they dont mean a thing
Lagu dari John Denver yang berjudul Leaving on the Jet Plane membuat mata saya berkaca-kaca dan bibir saya terasa kelu, dengan tatapan hampa pikiran saya melayang jauh.
Jakarta, Mei 1999
Dengan lunglai saya meletakkan HP saya di meja. Saya baru saja menerima telepon dari pacar saya yang bernama Yenny. Dia akan datang minggu depan! Biasanya saya akan berbahagia sekali kalau dia datang. Tetapi kali ini berbeda, semuanya sudah berubah.
Krisis ekonomi menghancurkan masa depan saya. Di awal tahun 2000, saya bermain saham yang memberikan keuntungan luar biasa. Dengan modal sekitar 200 juta dan pinjaman dari bank (margin trading) sekitar 400 juta, saya bisa mendapatkan sekitar 20 juta perbulan. Semuanya terasa indah, saat itu makan di hotel berbintang terbaik di Jakarta dan nongkrong di mana saja bukanlah masalah bagi saya.
Ketika harga saham terpuruk karena krisis, kemewahan yang saya nikmati berakhir. Dengan nilai saham uang terpuruk hingga 10%, bisa dibayangkan kerugian yang saya alami. Saya memerlukan sekitar 15 juta perbulan hanya untuk membayar bunga pinjaman tersebut. Akhirnya saya menjual rumah dan mobil saya untuk menutup kerugian tersebut. Semua jerih payah dan tabungan saya sejak tahun 1995 habis tanpa sisa.
Hidup saya hanya mengandalkan gaji dari pekerjaan saya yang tidak terlalu besar. Tetapi minggu lalu saya menerima kabar bahwa bank tempat saya bekerja termasuk salah satu bank yang akan dilikuidasi. Dunia terasa begitu gelap dan kejam.
Dengan kondisi tersebut bagaimana saya mempunyai muka untuk bertemu Yenny? Sebagai informasi saat itu saya berumur 26 tahun dan Yenny berumur 23 tahun. Kita sudah pacaran sekitar 3 tahun. Saya bekerja di Jakarta dan Yenny yang lulusan diploma Australia membantu papanya di Medan. Mereka adalah keluarga yang cukup terkemuka di kota Medan. Sebelumnya saya merasa minder dengan kondisi saya, apalagi sekarang saat saya sudah tidak mempunyai apa-apa lagi.
Saya ingat kalau kita jadian di tahun 1996 dan sehari sebelum keberangkatan saya ke Jakarta, kita bernyanyi berdua di karaoke di kota Medan. Kita mengulang lagu Leaving on the Jet Plane berkali-kali. Saya bilang kepadanya: Every place I go, Ill think of you Every song i sing, ill sing for you when I come back, Ill bring your wedding ring..
Saat itu saya berjanji kepadanya bahwa saya akan setia, akan membangun karir dan tiba saatnya saya akan meminangnya.
Akhirnya di hari Jumat, Yenny tiba di Jakarta. Dengan mobil pinjaman, saya menjemput dia di bandara Soekarno Hatta. Dia terlihat begitu anggun saat keluar dari bandara. Dengan jeans warna hitam dan kaos ketat berwarna biru tua, dia terlihat sangat cantik. Tinggi badan Yenny sekitar 170 cm dengan berat 55 kg, sangat proporsional. Saya sendiri setinggi 175 cm dan berat 65 kg. Sering dia bercanda bahwa dia tidak bisa memakai sepatu hak tinggi karena akan lebih tinggi dari saya.
Saya mengantarkan dia ke rumah kakeknya di kompleks Pantai Mutiara. Berhubung di rumah kakeknya sedang ramai, saya cuma duduk sebentar kemudian saya pamit. Sebelumnya kita sudah janjian bahwa besoknya kita akan ke Bandung. Saya sendiri kuliah di Bandung, jadi sudah mengenal kota Bandung dengan segala seluk-beluknya.
Hari Sabtu pagi, jam 10 pagi saya sudah nongol di rumah kakek Yenny. Setelah basa-basi, berangkatlah kita menuju kota Bandung. Pagi itu Yenny memakai jeans berwarna biru dan kaos ketat berwarna putih. Cetakan buah dadanya begitu menantang, memang Yenny dikarunia buah dada yang montok, sekitar 34C. Tetapi saya sendiri lagi murung. Saya sedang memikirkan bagaimana caranya untuk menceritakan kondisi saya pada Yenny.
Perjalanan ke Bandung memakan waktu sekitar 3 jam, dalam perjalanan Yenny bercerita bahwa papanya sudah menginginkannya untuk married dan dia menanyakan rencana saya. Saya cuma terdiam, tanpa apa-apa bisakah saya married? Tetapi untuk mengaku, bibir saya terasa berat.
Sekitar jam 2 siang, kita check in di hotel Chedi yang berlokasi di Jalan Cimbuleuit (melewati kampus Unpar). Bagi yang tahu hotel ini pasti sependapat dengan saya kalau saya bilang ini merupakan salah satu hotel yang paling romantis di Indonesia, betul khan? Kita hanya memesan satu kamar, sebelumnya memang kami sering tidur sekamar. Cuma sampai saat ini kita belum pernah berhubungan seks, cuma saling berciuman dan saling meremas apa saja yang bisa diremas. Saya berasal dari keluarga yang cukup kolot, dan walaupun sering bertualang saya mengharapkan keperawanan di malam pernikahan saya (egois ya?).
Siang itu kita jalan-jalan ke Cihampelas dan BIP. Malam jam 10 saya mengarahkan mobil saya menuju Calista yang berlokasi di Dago Atas. Setelah melalui jalanan yang gelap dan melewati kompleks perumahan, tibalah kita di caf Calista dengan pemandangannya yang menakjubkan. Dari sini kita bisa melihat kota Bandung dengan keindahan lampunya. Luar biasa.., saya sulit menemukan kata-kata yang tepat untuk menceritakan perasaan saya. Di depan caf, terdapat beberapa mahasiswi dari Unpar yang mengumpulkan dana dengan berjualan bunga ros. Saya membeli 12 ros dan memberikannya ke Yenny. Dia tersenyum senang.
Kita memilih tempat duduk di ujung, yang bisa melihat langsung ke indahnya lampu di kota Bandung. Kami makan sambil ngobrol, saya membelai tangan dan meremas jarinya. Dia banyak menceritakan kesuksesan bisnis keluarganya, sedangkan saya cuma mendengarkan.
Tanpa terasa waktu sudah menunjukkan jam 12 malam, dan kita sepakat untuk pulang. Saya merangkul dia karena dia sedikit menggigil oleh dinginnya angin malam. Badannya terasa hangat.
Tiba di kamar hotel, saya langsung melemparkan tubuh saya ke kasur. Capek juga setelah seharian mutar-mutar kota Bandung. Yenny juga membaringkan tubuhnya di sebelah saya. Saya merangkulnya, entah siapa yang memulai, bibir kami sudah bertautan. Kita bergantian menjulurkan dan mengisap lidah. Cukup lama kita berciuman, kemudian ciuman saya beralih ke hidungnya, matanya, keningnya dan lehernya yang jenjang. Yenny memeluk saya dengan erat.
Tangan saya sudah beralih ke buah dadanya yang saya remas secara lembut. Terdengar dia mendesah. Ciuman saya terus berlanjut sambil tangan saya mencari-cari puting susunya. Dada saya berdegup kencang dan tangan saya terasa dingin. Akhirnya saya memberanikan diri untuk memasukkan tangan saya ke dalam kaosnya. Terasa oleh tangan saya kulit di perutnya yang halus. Dengan menarik branya ke bawah, jari tangan saya beralih ke buah dadanya yang montok. Terasa lembut dan saya elus buah dadanya dengan gerakan melingkar. Semakin lama semakin ke puncak, akhirnya tiba di puting susunya yang saya putar secara perlahan dengan jari saya.
Ahh.., Terdengar nafas Yenny yang kian memburu. Kemudian kaosnya saya tarik ke atas. Terlihat buah dadanya yang sangat putih dan montok. Di ujungnya terlihat puting susunya yang berwarna merah muda. Saya menelan ludah, kemudian mengarahkan ciuman saya ke perutnya lalu naik ke puting susunya. Saat itu Yenny meronta-ronta seperti cacing kepanasan. Dia merangkul leher saya dan rangkulannya semakin erat. Tiba-tiba dia melepaskan rangkulannya dan tangannya beralih ke celana saya. Dia mengelus kemaluan saya yang sudah tegang sejak tadi.
Sementara waktu terus beranjak, dinginnya udara kota Bandung tidak kita hiraukan lagi. Dengan cepat saya membuka kaos dan celana saya berikut celana dalam saya. Saat saya sudah bertelanjang bulat, Yenny tidak berani memandang ke arah kemaluan saya.
Kemudian saya membantu dia membuka kaos dan celananya. Dalam sekejap dua insan manusia sudah berada dalam kondisi polos tanpa tertutup apapun. Saya melirik pangkal pahanya, terlihat bulu-bulunya yang lebat. Saya melanjutkan ciuman dan hisapan pada buah dadanya. Kemudian turun ke arah perutnya dan semakin ke bawah. Jilatan saya tidak langsung saya tujukan ke pangkal kemaluannya, melainkan berlanjut ke pahanya. Lalu ke lututnya yang saya gigit perlahan. Nafas kita berdua semakin memburu.
Sekarang ciuman saya diarahkan ke atas, ke arah kemaluannya. Saya membuka pahanya, terlihat bibir kemaluannya yang berwarna merah dan terlihat basah. Dengan dua jari, saya membuka bibir kemaluannya dan mencari-cari klitorisnya. Setelah menemukan, klitorisnya saya tempatkan di antara jari tangan saya dan lidah saya diarahkan ke sana.
Ahh.., Terdengar teriakan tertahan Yenny saat lidah saya menyentuh klitorisnya. Terasa asin dengan bau harum yang sangat merangsang. Cukup lama lidah saya bermain di sana, kadang saya hisap pelan, kadang saya menjilat dengan cepat. Dalam sekejap, carian di kemaluannya bertambah banyak. Saya bisa melihat lubang kewanitaannya yang sangat sempit, jilatan saya kadang-kadang diarahkan ke sana.
Sementara itu jari tangan Yenny mengelus dan membelai batang kemaluan saya yang sudah keras dan berukuran 14 cm.
Guss.. masukkin yaa, pinta Yenny.
Saat itu otak saya masih jalan. Jangan Yen.. ingat malam pengantin kita.., ok? jawab saya.
Dengan tatapan mata sayu, Yenny memohon, Tolong Guss, saya nggak tahan lagi.. tolong dong..
Saya merasa iba dan serba salah. Saya sudah bertahan selama tiga tahun, masakah saya harus menyerah hari ini?
Entah dari mana asalnya, tiba-tiba saya memutuskan untuk jalan terus. Kakinya saya buka dan saya mengarahkan torpedo saya ke liang senggamanya. Terasa begitu sempit, dengan sedikit memaksa.., akhirnya.., Aaahh.. Yenny berseru, Ahh.. sakit.. Gus..
Saat itu saya merasa sedikit heran karena menembus perawan itu tidak susah, tidak seperti yang diceritakan teman saya.
Pelan-pelan hujaman torpedo saya semakin dalam. Rangkulan Yenny pada leher saya semakin erat, terasa kukunya di kulit punggung saya. Saya memulai gerakan memompa. Pelan namun mesra. Jepitan otot kemaluannya sangat terasa. Begitu nikmat, sensasi yang sulit dilukiskan dengan kata-kata.
Saat itu lidah kita bertemu dan saling memelintir. Goyangan saya dipercepat dan sekali-kali saya mengganti goyangan keluar masuk dengan goyang memutar. Eeennaakk Gus..
Terasa goyangan pinggul Yenny yang semakin cepat, tiba-tiba dia berseru, saya datangg Guss..
Saya memperdalam hujaman torpedo saya karena saya merasa bahwa saya juga hampir ejakulasi.
Ahh.. tubuh Yenny mengejang, dalam beberapa detik saya mengalami hal yang sama. Kita ejakulasi pada waktu yang hampir sama.
Setelah itu kita berbaring dan ketika sudah tenang, Yenny mengakui bahwa sebelumnya dia sudah pernah melakukan hubungan seks. Sewaktu dia kuliah di Australia, dia pernah pacaran dan berhubungan seks, walaupun cuma sekitar 10 kali.
Saat itu pikiran saya begitu kalap. Saya menjaga dan menghargainya selama tiga tahun dan apa yang saya dapatkan? Ampas dari orang lain? Amarah saya begitu memuncak.
Yen, kenapa nggak berterus terang? Kenapa? Tanpa terasa air mata saya mengalir. Di sebelah Yenny dengan menangis terisak-isak meminta maaf kepada saya. Saat itu saya cuma berdiam diri dan berbaring menghadap ke arah lain. Saya merasa dia begitu kotor. Saat itu saya sendiri tidak berpikir betapa banyak cewek yang pernah saya tiduri.
Paginya kita langsung balik ke Jakarta tanpa banyak bicara. Di mobil, saya menceritakan kondisi keuangan saya dan saya bilang bahwa saya tidak sepadan dengannya. Saya tidak mempunyai apa-apa lagi. Dan saya merasa nggak bakalan bisa kawin dalam waktu tiga empat tahun ke depan.
Dia cuma menangis. Setelah itu, Yenny balik ke Medan dan kita tidak pernah berhubungan lagi. Di bulan Juni 1999, perusahaan saya bangkrut dan dengan sisa uang yang saya miliki, saya mengikuti ujian TOEFL dan GMAT dan melamar beasiswa ke Inggris.
Badai pasti berlalu, Seperti lirik lagu lama, demikian juga nasib saya. Saya berhasil mendapatkan beasiswa untuk mengambil MBA di Inggris selama dua tahun. Walaupun tidak mempunyai materi, setidaknya saya mempunyai otak dan ilmu.
Di bulan September 1999, saat pulang ke Medan untuk pamitan kepada orang tua saya, saya bertemu Yenny. Saat itu dia sudah mendapatkan cowok lain, yang walaupun lebih tua (umur 35 tahun), namun sangat matang dan memanjakan dia. Saya sebenarnya masih mereka-reka, kita putus karena dia merasa terhina dengan perlakuan saya atau karena kondisi materi saya?
Di Inggris saya berpacaran dengan seorang cewek dari Jakarta. Umur pacaran kita cuma tiga bulan, saya merasa tidak cocok dalam pembicaraan dan sifatnya.
Saat ini saya melakukan kerja praktek di Amsterdam. Bulan lalu saya mendengar bahwa Yenny sudah menikah. Dan saya begitu menyesal. Apakah cinta bisa di nilai dengan keperawanan atau harta benda? Saya sadar sekarang (tetapi sudah terlambat), keperawanan itu tiada artinya dibandingkan kecocokan, sifat, dan kecantikan spiritual.
Yen, kalau kamu membaca cerita ini, saya mau minta maaf. Saya begitu naif, bodoh, dan egois. Seandainya saya bisa kembali ke masa lalu, saya tidak akan mempersoalkan masalah keperawanan itu dan akan mencintai kamu dengan tulus. Saya cuma bisa mendoakan kamu agar selalu berbahagia.
Di luar angin membawa daun terakhir jatuh ke bumi membawa misteri alam dan percintaan manusia bersamanya.
Komentar, kritik dan saran harap ditujukan melalui email saya.
Tamat