"Prologue"
"Heehh..!" Windu menghela nafas panjang. Gontai melangkah menelusuri trotoar sepanjang jalan By-pass di depan Jayabaya. Langit bertambah gelap, yang tersisa hanya guratan jingga di ufuk barat.
"Belum pernah beginian yah..? Wah, masih perjaka doong..? Tenang mas, pelan-pelan saja.. Jangan gugup gitu ahh.." masih teringat kata-kata wanita di panti pijat tadi, dengan senyum yang menggoda tapi ditafsirkannya sebagai sindiran.
"Hei, cowok..!" Windu terkejut mencari sumber suara yang terdengar aneh itu. Sesosok tubuh tinggi semampai sedang berdiri di dekat halte sambil tersenyum padanya.
"Ditemenin yuk..!" sosok tinggi bak peragawati itu mengedipkan mata.
"Bangsat! Bencong!" makinya.
"Heii.. cakep.. ayoo doong.. Suka nyepong kan?"
Windu mempercepat langkahnya sambil terus memaki dalam hati. Suara aneh itu masih terus memanggil. Kini ia mulai tertawa terbahak-bahak. Tawa yang juga ditafsirkannya sebagai ledekan atas apa yang baru saja dilakukannya. Lari! Ia lari meninggalkan seorang wanita pemijat yang sedang tergolek telanjang bulat di atas dipan di sebuah panti pijat di kawasan Jakarta Timur.
Peristiwa itu berulang kembali di benaknya, bak film-film BF yang bosan ditontonnya.
Episode 1: Malam Keparat
"Malam pak.. Belum pernah ke sini yah?" resepsionis di panti pijat itu tersenyum pada Windu yang masih agak kikuk. Mau keluar, malu. Sudah terlanjur ada di dalam.
"AC atau biasa?" wanita setengah baya itu kembali bertanya.
"Ehmm.. AC boleh.." Windu memberat-beratkan suaranya agar terdengar berwibawa. Tapi yang keluar justru suara gemetar.
"Silakan pak.." si resepsionis itu berjalan ke arah dalam ruangan, Windu mengikuti dari belakang, menelusuri lorong yang diterangi lampu temaram. Kiri kanan terlihat kamar-kamar yang hanya ditutupi selembar hordeng yang warnanya tidak jelas. Di depan sejumlah kamar ada sepasang selop menggeletak.
Mereka sampai di ujung lorong. Di sebelah kanan ada tangga kayu yang menuju ke atas, sementara di dekat anak tangga, sejumlah wanita dengan dandanan menor sedang duduk sambil ngobrol. Obrolan mereka terhenti saat Windu dan si resepsionis melewati mereka dan berbelok menaiki tangga kayu.
"Wi.. buat aku doong!" beberapa di antara mereka menegur si resepsionis yang ternyata bernama Dewi. Windu hanya tersenyum kaku sambil terus naik ke atas tangga, berbelok ke kiri menuju deretan kamar berpintu. Dewi, si resepsionis membuka salah satu pintu, menyalakan lampu dan AC yang bunyinya sudah seperti mesin diesel. Windu berdiri kikuk di depan pintu.
"Sempat lihat yang duduk-duduk tadi, pak? Mungkin ada yang ditaksir, atau mau saya pilihkan saja?" tawar Dewi.
Dewi mendekati ujung tangga, matanya melirik ke bawah lalu melihat ke arah Windu.
"Itu Wiwit, anak Malang. Baru sebulan di sini. Kalau yang lagi merokok itu sudah senior. Namanya Nani. Pijitannya terkenal enak. Kalau mau servis ekstra langsung ke mereka. Bisa tawar-tawaran kok, pak..! Nah, yang itu, Titi, anak Sukabumi.. Kalau untuk servis ekstra, Titi ini jagonya. Pijatannya juga oke punya." Dewi nyerocos mempromosikan wanita-wanita yang sedang ngobrol di bawah.
"Yang bagus deh.. " Windu berucap pelan.
"Kalau begitu, bapak masuk dulu, rileks saja, nanti saya suruh si.. emm.. bagaimana kalau Titi. Dijamin oke. Kalau tidak puas, jangan kesini lagi deh pak!" si resepsionis tersenyum sambil menuruni tangga.
Windu masuk ke kamar berukuran sekitar 2x3 meter itu lalu duduk di atas tempat tidur. Dadanya berdetak keras. Keringat dingin mulai membasahi keningnya. Kacamata minusnya mulai berembun. Hembusan AC tidak mampu mengusir kegelisahannya.
Episode 2: Si Mungil
"Malam, oom!" sosok mungil berambut pendek itu sudah berdiri di depan pintu, mengejutkan Windu yang masih berusaha menenangkan diri.
"Panggil saya Titi. Oom siapa..?" si tubuh mungil itu melangkah dan duduk di kursi depan tempat tidur. Ia meletakkan tasnya di meja, lalu meraih asbak dari bawah kursi.
"Ehmm.. Win.. eh, Wawan..!" jawab Windu.
Windu terkesima melihat tubuh mungil yang duduk di depannya itu. Dari wajahnya, Windu menaksir usianya yang paling baru sekitar 18-an.
"Mau langsung pijit..? Atau mau ngobrol dulu, atau mau yang lain, terserah si oom deh!" si mungil itu mulai menyalakan rokok Sampurna hijaunya.
Ia menghembuskan asap rokok ke arah Windu sambil menyilangkan kaki kanan di atas kaki kirinya. Paha putih mulusnya tersembul dari balik rok pendek warna coklat yang dipakainya.
"Langsung boleh!" Windu berusaha mengendalikan kegelisahannya.
"Oke! Bajunya lepas doong!" si mungil mematikan rokok di asbak, melepas blus coklatnya dan mengantungkannya di belakang pintu. Gerendel di pintu dipasangnya lalu ia melangkah ke arah washtafel dan mulai mencuci tangan.
Dada Windu tambah berdebar tidak menentu. Saat seperti itu akhirnya tiba juga. Akhirnya ia akan merasakan tubuh seorang wanita yang selama ini cuma bisa dilihatnya di film-film sambil ngeloco alias bermasturbasi. Tapi lama-lama ia penasaran juga. Dari mailing list di internet, Windu mendapatkan alamat beberapa tempat di mana ia bisa melepaskan kelajangannya. Dari mailing list itu juga ia tahu soal tarif dan tempat yang paling bagus. Setelah berkali-kali berpikir panjang, dengan bermodalkan uang satu juta kiriman ayahnya yang tuan tanah di kampung, kali ini Windu memberanikan dirinya. Alasannya akan dipakai les komputer. Akhirnya ia memberanikan diri untuk datang ke salah satu tempat yang direkomendasikan seorang pengirim mailing list. Dan kini ia tengah berada di hadapan seorang wanita mungil, menggunakan rok pendek dan baju tanpa lengan, tipis berwarna putih. Sayup di balik baju tipis itu ia melihat dua titik hitam berseberangan.
"Bangsat! Si mungil ternyata tidak pakai BH." dalam hati.
Debaran di dada Windu semakin tidak menentu. Ia melepas kemeja dan celana panjangnya, lalu duduk di pinggir tempat tidur dengan hanya bercelana pendek sambil berusaha mengatur dirinya agar tidak nampak grogi. Si mungil mengambil lotion di rak sebelah atas washtafel lalu berbalik ke arah Windu.
"Baru pertama kali yah, Oom..! Tenang aja deh.. Engga usah grogi gitu..!" si mungil tersenyum.
"Asu! Ketahuan juga!" Windu mengumpat dalam hati.
Ia tidak ingat lagi apakah ia mulai terangsang atau tidak. Yang dipikirkannya cuma bagaimana ia menguasai diri. Dalam hitungan sepersekian detik, wajah ibunya di kampung berkelebat di kepalanya. Ibu yang rajin menasehati untuk rajin belajar, rajin sholat dan jauhi berzinah.
"Ah, persetan..! persetan!" dalam hati Windu.
Windu berbaring menelungkup di ranjang berlapis seprei putih yang masih bau pewangi. Kepalanya ditelungkupkan di atas bantal, sambil terus berusaha menahan debaran jantungnya yang tambah tidak menentu. Apalagi saat sepasang tangan halus mulai menyentuh punggungnya dan mulai memijat perlahan.
"Wah, si Oom tegang bener.. Tenang Oom.. Habis dipijat, dijamin tegangnya hilang. Paling jadi tegang yang lain.." si mungil mulai nakal dengan ucapannya, sambil memperkeras pijatannya di punggung Windu. Sesekali ia menambahkan lotion.
"Wah, hebat juga si mungil ini.." Windu mulai bisa menikmati pijatan di punggungnya. Suasana ruangan senyap. Yang terdengar hanya deruman AC dan derikan tempat tidur. Sesekali si mungil nyeletuk dengan kata-kata nakalnya.
"Celananya, Titi lepas yah mas.. Nanti kotor lho kena lotion!"
"Mas.. ia memanggil mas..!" dalam hati Windu.
Entah mengapa panggilan "mas" itu membuatnya terangsang. Perlahan si mungil menarik turun celana pendek yang dipakai Windu.
"Pinggulnya angkat dulu dong, mas..! Ihh males nih!" ia merasakan pantatnya dicubit.
Windu menurut. Isi kepalanya sudah penuh dengan berbagai pikiran yang paling jorok. Celana pendeknya tersangkut sesuatu benda kenyal yang mulai menegang. Dengan sekali sentak, si mungil akhirnya berhasil melepasnya dan melemparkan celana itu ke kursi.
"Nah, kan begini lebih enak.. Iiihh pantatnya bohay juga!" si mungil menepuk pantat Windu.
Dengan santai si mungil naik ke ranjang dan duduk di atas pantat Windu dan melanjutkan memijat. Beberapa tetes keringat jatuh di punggungnya. Dadanya kembali berdebar keras saat pantatnya merasakan gesekan sesuatu benda kasar di selangkangan si mungil.
"Kapan dia buka celana dalamnya?" Windu yakin si mungil tak bercelana dalam.
Gesekan itu terus bergerak turun hingga ke paha, saat si mungil bergerak. Windu merasakan batang kemaluannya menegang keras. Tidak terasa sudah setengah jam lebih pijatan itu berlangsung dari punggung sampai ke kaki.
"Mas kok diam aja sih.. Engga enak yah pijatan Titi?" si mungil berbisik menunduk dan berbisik di telinga Windu. Sepasang benda kenyal menempel di punggungnya.
"Enak.. enak kok..! Lagi nikmatin aja..!" Windu menjawab sekenanya.
"Mau yang lebih enak? Tapi kena bayar ekstra lho.." tiba-tiba tangan mungil itu sudah menelusup di antara selangkangan Windu dan menyambar batang kemaluan Windu yang sudah sangat menegang. Tanpa menunggu jawaban Windu, tangan yang masih belepotan lotion itu mulai mengurut batang kemaluan Windu yang terjepit himpitan tubuhnya. Windu mengangkat pinggulnya agar si mungil lebih leluasa mengurut benda keramat itu.
"Mau yah, mas.. dijamin deh.."
Dada Windu kembali berdebar tidak menentu. Tangan kanan si mungil terus mengurut sementara tangan kirinya mulai membuka belahan pantat Windu. Dan tiba-tiba jempol kiri si mungil mulai mendesak masuk ke lubang pantat, sementara tangan kanannya bertambah keras meremas dan memijat batang kemaluan Windu yang sudah tidak menentu kerasnya. Rasanya luar biasa. Baru kali ini batang kemaluan itu merasakan sentuhan tangan lain, selain tangannya. Ia merasa di awang-awang. Sesuatu mulai terasa mendesak ingin keluar dari dalam dirinya.
"Pegel ah Mas tangan Titi.. Sini balik badannya.."
Windu menurut. Ia membalikkan badan dan telentang di atas ranjang. Tubuh kedua orang itu bermandikan keringat. Dengan sigap si mungil kini duduk di atas perut Windu lalu mulai menunduk menciumi dadanya yang bidang.
"Mas badannya bagus.. Titi jadi terangsang nih!" si mungil mulai mendesah.
Gesekan aneh itu kini terasa di perut dan mulai menurun ke arah bawah, semakin ke bawah, terus. Windu menahan nafas. Debaran di dadanya kini terasa sangat cepat, apalagi saat ia merasakan gesekan kasar bercampur cairan hangat di batang kemaluannya. Akhirnya saat itu tiba juga. Nafsunya bercampur rasa gugup. Mukanya memerah. Si mungil menghentikan gerakan pinggulnya dan menatap wajah Windu.
"Mas belum pernah beginian yah..? Wah, masih perjaka doong..? Tenang mas, pelan-pelan saja.. Jangan gugup gitu ahh.." si mungil tersenyum.
Perlahan ia bangkit dari tempat tidur lalu mengambil sesuatu dari tasnya.
"Pertama, kita pakai ini dulu. Biar aman..!" dengan cekatan, si mungil menyobek bungkusan kecil itu dan mengeluarkan sebuah benda berwarna merah jambu dari dalamnya. Kondom!
"Sini Titi pasangin yah mas" dimasukkannya kondom yang masih tergulung itu di mulutnya dan langsung berjongkok di pinggir tempat tidur.
Ia melirik sejenak, tersenyum, lalu langsung memasukkan mulutnya ke batang kemaluan Windu dan mengulumnya.
"Ah!" sejenak Windu terpekik merasakan kehangatan mulut si mungil di batang kemaluannya, apalagi saat mulut itu mulai mengulum.
Terasa batang kemaluannya mulai terjepit oleh benda aneh yang terasa pas sekali. Si mungil masih meneruskan mengulum dan ketika ia mencabut kulumannya, batang kemaluan besar Windu sudah terbungkus kondom.
"Seperti inikah rasanya menggunakan kondom?" dalam hati Windu.
Ia memegang batang kemaluannya yang nampak aneh terbungkus karet berwarna pink itu.
"Eit.. jangan dipegang dong. Inikan urusan Titi..! Mas Wawan rileks aja.."
Si mungil kini menanggalkan baju putih tipisnya, lalu roknya. Di hadapan Windu kini berdiri sesosok tubuh telanjang. Payudara si mungil ternyata tak semungil tubuhnya. Kedua benda bulat itu benar-benar ekstra besar dan menggantung. Jantungnya terasa mau copot melihat pemandangan indah itu. Tubuhnya terbujur kaku, batang kemaluannya yang terbungkus karet berdenyut-denyut tidak menentu. Si mungil kembali naik ke tempat tidur. Ia duduk di atas dada Windu sedemikian rupa sehingga di hadapannya kini terpampang jelas rimbunan hitam yang terbelah di tengahnya menampakkan sebentuk daging berwarna kemerahan. Benda itu memancarkan bau aneh yang sangat merangsang. Si mungil memasukkan jarinya ke sela-selau benda itu, menggosok-gosoknya sambil mengerang pelan. Perasaan Windu campur aduk. Benda yang selama ini cuma dilihatnya dari majalah dan video porno sekarang terpampang jelas hanya beberapa senti meter dari mukanya yang bertambah merah.
Si mungil mulai bergerak turun sambil membungkuk menciumi telinga, leher, dada, terus ke perut Windu. Payudaranya berayun-ayun mengikuti gerakan tubuhnya. Windu menahan nafas menanti detik-detik di saat akhirnya benda itu akan tiba di tujuan. Tubuh mungil itu kini duduk mengangkang di antara pinggul Windu.
"Oke, mas.. rileks aja.. Kita mulai yah.." pinggulnya digerak-gerakkan dan sesekali menyentuh batang kemaluan Windu yang sangat mengeras.
Ia mulai menurunkan pinggulnya ke bawah mencari batang kemaluan Windu dan siap menelannya. Begitu dirasakannya sudah berada di posisi yang pas, si mungil menekan pinggulnya ke bawah dengan keras. Windu menahan nafas. Wajah ibunya yang selalu penuh nasehat berkelebat di kepalanya lalu berganti dengan wajah ayahnya yang berhasil ditipu untuk mengirimkan uang dengan alasan les komputer, lalu berganti lagi dengan wajah nakal si mungil.
"Ahh!" batang kemaluan Windu melejit ke arah samping, lolos dari terkaman mulut bagian bawah si mungil. Kembali ia bangkit, tangannya mencari-cari batang kemaluan Windu di bawah selangkangannya, menegakkannya sehingga pas berada di liang kewanitaannya. Ia melirik sebentar ke arah Windu yang nampak sangat tegang, tersenyum nakal, dan kembali menekan pinggulnya.
"Mmhh.. ahh!! Bandel nih..!!" batang kemaluan Windu kembali melejit ke samping.
Kelebatan wajah ibu dan ayahnya kembali muncul. Windu memejamkan mata berusaha mengusir wajah kedua orang itu. Si mungil meraih lagi batang kemaluan Windu dan mengarahkannya di posisi yang pas dan kembali menekan pinggulnya.
"Lho, kok mulai kendor..! Jangan tegang dong, mas.. Santai aja." Windu tidak tahu harus berkata apa.
Dalam hitungan detik saja ia mendapati batang kemaluannya sudah melemas. Wajah Windu pucat pasi.
"Emm, aku mau ke kamar mandi sebentar..!" Windu menggeser tubuh telanjangnya sehingga mau tak mau si mungil bergerak ke samping membiarkan Windu bangkit dari tempat tidur. "Jangan lama-lama yah.. Tenang saja, mas.. masih banyak waktu." mata si mungil mengikuti tubuh telanjang Windu yang bergerak gontai ke arah kamar mandi.
Rasa simpatinya mulai muncul melihat Windu yang serba kikuk. Belum pernah ia menemui pelanggan yang seperti ini.
Di kamar mandi, Windu terduduk di atas kloset. Kondom yang dipakainya terjatuh ke lantai kamar mandi, karena batang kemaluan yang sudah kembali menciut. Dicobanya meremas-remas, tetapi tidak ada pengaruhnya. Benda itu malah tambah menciut. Windu terduduk lemas dengan wajah pucat pasi. Tidak dihiraukannya suara panggilan si mungil dari dalam kamar.
"Kenapa aku?" dibenaknya mengalir seribu tanya.
Ia keluar dari kamar mandi, dan mendapati si mungil masih tergeletak telanjang bulat di atas tempat tidur. Secepatnya ia meraih semua pakaian dan mengenakannya kembali. Tak dihiraukannya serbuan pertanyaan si mungil. Windu cuma ingin keluar secepatnya dari tempat itu. Di depan, kembali ia bertemu dengan Dewi si resepsionis.
"Sudah, pak..?" pertanyaan Dewi tidak digubris. Dikeluarkannya uang satu juta keparat itu dari kantongnya lalu diserahkan kepada Dewi, dan secepatnya keluar.
Beberapa orang yang sedang duduk di ruang tamu dibuat terheran-heran. Ada yang berbisik-bisik sambil tertawa. Semuanya tak digubrisnya. Ia terus berjalan dan berjalan menjauh dari rumah keparat itu.
"Kenapa?" pertanyaan itu terus mengalir tidak henti-henti di kepalanya.
Ia berjalan secepat mungkin, setengah berlari, sampai akhirnya lelah sendiri. Lampu-lampu jalanan sepanjang Bypass mulai menyala seolah menyoroti dirinya. Windu menunduk. Ia berjalan gontai. Berjalan dan terus berjalan.
Epilogue: Bangsaatt!
Dengan tubuh penuh keringat, Windu memasuki kamar kosnya. Tak dihiraukan panggilan teman-temannya yang sedang nongkrong di warung indomie depan kos-kosannya. Ia cuma ingin sendiri.
"Kenapa..?" pertanyaan itu terus menembaki kepalanya sampai pusing.
Ia melepas seluruh pakaiannya dan memandangi batang kemaluannya. Ia terduduk di pinggir tempat tidurnya yang penuh dengan majalah porno. Pelan-pelan ia mulai meremas benda kecil itu. Pikirannya melayang ke si mungil yang mungkin masih tidur telanjang di panti pijat tadi. Dibayangkannya payudara yang berayun-ayun di depan matanya, belahan liang kewanitaannya yang kemerahan dan basah, desahan nafasnya, tetesan keringat di dadanya. Windu meremas dan mengocok, tidak dirasakannya batang kemaluan keparat itu sudah menegang sekeras-kerasnya.
Yang ada di kepalanya hanya si mungil yang telanjang bulat, di sela-sela pertanyaan mengapa yang terus memenuhi kepalanya.
Ia terus meremas, mengocok, meremas. Sesuatu terasa mendesak keluar dari dalam tubuhnya. Nafasnya mendesah. Windu terus mengocok dan meremas sekuat tenaga. Semakin cepat, semakin keras. Terus mengocok dan meremas. Tubuhnya menegang. Matanya memerah, air matanya mulai menetes.
Langit semakin gelap, malam semakin sepi. Di sela-sela dengkuran anak-anak kos yang berbaur dengan orkes nyanyian serangga malam, terdengar teriakan desahan bercampur tangisan dari kamar Windu. Desahan yang semakin lama semakin keras dan akhirnya berubah menjadi teriakan memecah malam.
"Bangsaatt!!"
Tubuh telanjang Windu yang bermandikan keringat terbujur di lantai kamarnya. Cairan putih berceceran di sekujur lantai di sekitarnya. Tangannya masih mengenggam batang kemaluan keparat itu. Nafasnya masih memburu, di sela-sela isak tangisnya. Tidak didengarnya ketukan di pintu yang berulang-ulang memanggil namanya dengan nada penuh kekhawatiran. Ia menangis dan terus menangis.
TAMAT