Awan berarak, terus merobah polanya. Bersama dengan jumlah panas yang disebarkan sang surya, berubah pula saturasi warna si awan. Amanda masih terpaku pada satu sisi pintu gerbang, dari sebuah rumah yang pernah mengisi hari-hari yang tak akan pernah terlupakan. Tertunduk memandangi satu tas yang sejak pagi berusaha dia penuhi dengan benda atau apapun miliknya yang mungkin masih bisa dibawa tanpa membawa serta kenangannya. Dan, tampaknya tas itu sama sekali tidak mengisyaratkan adanya beban yang berarti. Heh, adakah satu benda saja yang mungkin lepas dari cerita cinta mereka selama 2 tahun terakhir bersama.

Langit telah berubah jadi merah, dan sunset pantai Kuta ada di balik bangunan hotel megah di depan sana. Tetapi sepoi angin yang begitu dia kenal, yang biasa mereka nikmati sambil bercanda di pasir putih, Kini bertiup dengan kejam menyerupai satu badai yang siap mengakhiri satu babak dalam satu kehidupan. Bertiup kencang menerobos setiap pori-pori dari tubuh Amanda, bergolak, melingkari ulu hati, memberikan rasa perih yang tak terucapkan. Perih di ulu hati yang seakan akan merupakan satu titik inti atau pusat dari badai yang akan meledak setiap waktu, atau mungkin berlalu dalam sepi dengan tetap meninggalkan luka yang tak terobati, dengan segala kata maaf.

Tubuh yang tetap tegak di sisi gerbang besi yang besar itu, tertunduk dalam, lebih mirip satu torso yang telah kehilangan segala bentuk kehidupan. Tangis yang diharapkan akan sedikit meringankan bebannya tak kunjung datang, mengering di satu sudut yang tak diketahui berikut darah yang tadinya mengalir di setiap nadi dalam tubuhnya. Kini tubuhnya menggigil dan pucat.

Joe menghentikan mobilnya beberapa meter dari gerbang tersebut. Memandang pada sosok yang terpaku di sana. Sejuta penyesalan datang seketika, menyaksikan hasil dari suatu ego yang dipertahankan. Satu kenikmatan sesaat yang tak pernah dibayangkan, hasilnya, dapat begitu hebat akibat yang ditimbulkan. Melihat tubuh yang begitu di kenal, yang selalu direngkuh dalam manja, yang selalu ingin dilindungi. Kini hancur oleh ulahnya sendiri. Seluruh sendi dalam tubuh Joe bergetar hebat, penyesalan yang tak terhingga hadir menguasai seluruh jiwa. Air mata mendesak keluar, "Damn it.." Joe memukul keras stir mobilnya, mencoba bertahan.

Perlahan dia turun dari mobilnya, dan dihampirinya dengan tergesa tubuh yang seakan siap untuk segera jatuh sebelum sempat ditangkap ke dalam pelukannya. Tapi dia tidak punya keberanian untuk itu, merasa tidak memiliki hak untuk memeluk tubuh itu, setelah Amanda mengetahui kepergiannya ke Bedugul dengan Lea. Perlahan disentuhnya ujung jemari Amanda, yang masih terhanyut dengan kesedihannya yang belum mengetahui kedatangannya. Perlahan kepala gadis yang selama ini begitu dikasihinya itu bergerak, tersadar kembali dari satu alam yang sempat membawanya pergi. Merasakan sentuhan yang dia tahu pasti milik siapa, tanpa membalikan badan dan, tanpa dapat tertahankan, air mata yang sejak tadi diharapkan dapat mengurangi sesak dalam dadanya, mengalir membasahi setiap lekuk indah wajahnya. Dia terisak.

Dunia serasa berputar, sekeliling bumi bagaikan suatu gerak yang berjalan lambat, bergerak dalam slow motion. Warna merah jingga sunset mendominasi keseluruhan background. Perlahan direngkuhnya tubuh yang seolah telah lepas dari kehidupan, yang berdiri tanpa suatu tanda kehidupan yang menyangganya. Setiap indera dalam tubuh Joe terasa luar biasa peka, setiap sentuhan kulit yang bersatu memberikan getaran aneh, setiap tetes air mata yang mengalir jatuh ke dada Joe, terasa begitu hangat. Dan setiap rasa yang menyatu, berpindah, berbaur dalam kepedihan. Bagaikan seorang paranormal yang dapat ikut merasakan suatu penderitaan hanya melalui satu sentuhan. "God.. what did I do.." Joe mendesah berat.

Amanda nyaris tidak dapat bertahan untuk dapat tetap tegak, seluruh sendi terasa telah berpindah ke tubuh Joe yang menggantikannya sebagai penopang. Perlahan Joe membopong tubuh kekasihnya kembali ke dalam rumah. Kembali ke kamar di mana mereka pernah membangun mimpi tentang masa depan.
"Joe.. shss.. Joe," Amanda mendesahkan nama kekasihnya.
"Aku di sini Mandy.." bisik mesra Joe di satu sisi kupingnya.
Amanda tersenyum pahit. Hanya satu orang yang menyebutnya dengan nama itu. "Well.. you came.. and you gave without asking. But I send you away, oh Mandy." Perlahan lagu tersebut mengalun dalam khayalnya.

Nama tersayang dari sebuah lagu milik Barry Manilow, Ack, sebuah lagu yang indah, tapi sarat dengan kesedihan. Sering Amanda berpikir, akankah nasib serupa dialaminya. Akankah nasib Mandy menjadi miliknya juga, setelah cowok terkasih menyebutnya dengan nama tersebut? Dilingkarkan tangannya ke pundak Joe. Ingin didekap erat, ingin dinikmati aroma dari kekasih yang selama ini memenuhi rongga dadanya. Mereka berdekapan, lama, nafas teratur, satu-satu menghembuskan rindu melewati relung-relung hati yang terasa kering, membisikan sejuta penyesalan. Penyesalan akan sesuatu yang telah ternoda dan tidak akan sama lagi. Kecupan mesra hadir mengelitik leher, membangkitkan rindu yang datang sebelum perpisahan terjadi. Air mata kembali menetes, menyadari ini adalah satu bentuk rindu yang akan selalu menghantui hari-harinya setelah hari ini. Bibir yang kering itu bergerak, meniti setiap inci dari leher jenjangnya, setiap inci memperpendek jarak kerinduan yang akan segera datang.

Joe terdiam sejenak. Dipandanginya wajah murung di depannya. Bibir itu basah dengan sisa air mata. Dikecupnya, ingin dirasakannya air mata dari wanita terkasih, dalam bentuk yang lain. Bibir mereka bersatu, saling mengisi setiap rongga yang terbuka. Namun tetap dengan kelembutan yang luar biasa. Perlahan satu demi satu baju mereka telah lepas. Mereka masih diam, tidak berkata-kata. Mungkin sebuah kata yang keluar nanti, akan langsung membuyarkan semua kemesraan yang telah terbangun saat ini.

"Napasnya hangat pada leherku, pada pundakku. Rambutnya jatuh di kening selagi ia mencium buah dadaku. Bagaimana bisa tak kucintai dia?" pikir Amanda. Ia mengenal seluruh lekuk tubuhku, setiap bintik pori-poriku. Ia hafal tempat-tempat di mana ia musti meletakkan jari-jarinya pada tubuhku. Aaah! Bibirnya lembut pada puting buah dadaku. Jari-jarinya menyentuh perutku, pahaku. Lalu ia ada di atasku, di antara kedua tungkaiku. Bibirnya menutup bibirku, erangannya merasuk dalam dadaku waktu ia menyatukan tubuhnya denganku.

Perlahan Joe menempatkan btang kemaluannya pada posisi untuk segera memasuki liang kemaluan Amanda, ditekannya dengan lembut, seakan takut membangunkan kekasihnya dari satu mimpi indah, "Ack.." Amanda membuka matanya seketika, bersama dengan setetes air yang kembali mengalir, merasakan bagaimana Joe memasuki tubuhnya. Tak ada yang bergerak. Waktu membeku. Aku menikmati dia dalam diriku. Merasakan bagaimana denyut kemaluan Joe menggetarkan seluruh syaraf yang tadi sempat terasa mati. Tidak ada goyangan liar seperti biasanya, semuanya terjadi dalam keheningan yang dalam. Keheningan terasa begitu mendebarkan, menuju ending dari dari satu cerita cinta mereka. Hanya geliat-geliat mesra yang tak tertahankan, yang hadir dalam percintaan kali ini. Tidak lagi hadir nafsu dalam segala bentuknya, explorasi tidak lagi tergesa-gesa, semua begitu dihayati, inci demi inci jadi begitu berharga untuk di sentuh, setiap aroma yang hadir merupakan satu yang tak ternilai.

"Dear God. Kenapa baru dapat kurasakan arti dari satu persetubuhan yang indah, setelah semuanya telah berada di ambang perpisahan." Joe mempertanyakan dalam hati. Tidak ada ejakulasi dalam bentuk apapun, karena memang menjadi tidak lagi penting. Setiap sentuhan yang ada sudah merupakan satu orgasme panjang yang sulit dibayangkan. Semua ectasy yang hadir, tidaklah dapat diungkapkan. Dengan batang kemaluan yang masih terbenam dalam liang hangat kemaluan Amanda, Joe menyandarkan kepalanya di sisi Amanda. Setiap desahan nafas Joe yang teratur, membelai, mengelus ke dalam telinga Amanda. Mengalirkan gairah yang tak henti. Jarinya menari-nari di sekeliling bukit indah Amanda, memberikan tambahan rangsangan dalam bentuk tersendiri, membawa setiap energi yang terkumpul, mengalir bersama jari-jari Joe, menyelusuri setiap lekuk indah dari tubuh Amanda, hingga perlahan-lahan Amanda bergerak melepaskan diri, melepaskan semua belaian yang dikuatirkan akan membawanya kembali. Kembali ke satu moment di mana dia merasa harus tinggal. Duh, seandainya, seandainya masih tersisa sedikit kepercayaan akan masa depan yang pernah mereka impikan. Walaupun hanya sedikit, cukup rasanya untuk menjadi dasar bagi kesempatan kedua.

"Thanks Joe, aku tahu kamu masih sayang, masih ingin kita bersama.." bisik Amanda lebih tenang.
"Tapi ada yang telah berubah, ada yang terlanjur tidak dapat diperbaiki, aku harus pergi Joe."
"Aku masih akan selalu menyayangimu," bisik Amanda terakhir kali.
Semua energi yang mengalir hangat dalam tubuh Joe, mendadak menjadi dingin. Semua gairah yang ada, padam. Bersamaan dengan ereksi yang menurun. Dipandanginya tubuh Amanda yang bangkit untuk berpakaian. Terakhir kali pemandangan seperti ini hadir. Tidak akan lagi bisa dinikmati untuk sisa hidupnya. Akankah nanti terbiasa, sepi seketika menyergap, sebelum waktunya.

Amanda kembali tersenyum pahit, setelah menelpon taksi. "Aku pergi Joe," lebih mirip satu bisikan. Joe membantunya membawa tas, sebelumnya masih sempat diselipkan boneka 3 anak babi kesayangan Amanda. Kembali mereka berdiri di depan pintu gerbang besi depan rumah. Kali ini masing-masing menempati satu sisi. Diam membisu. "Please stay.." Kata-kata yang seharusnya diucapkan untuk menahan kepergian Amanda ditelannya. Dibiarkan bergaung dalam dada. Dibiarkan menjadi satu sakit yang abadi, sakit dalam penyesalan yang panjang. Dalam hati Joe berharap taksi yang dipesan tidak pernah datang. Biar mereka dapat lebih lama bertatapan, berharap bahwa setiap detik yang lewat masih akan mendatangkan keajaiban. Berharap Amanda masih akan merubah keputusannya untuk pergi.

Akhir penantian pun tiba. Sebuah taxi berhenti tepat di depan gerbang. Mata Joe memerah, Amanda tertunduk, menahan dengan segala daya untuk tidak menangis lagi. Perlahan Amanda masuk ke dalam taksi. Joe membantu dengan tasnya dalam diam. Banyak kata yang ingin diucapkan, dia rela untuk bersimpuh di depan Amanda, seandainya itu dapat menghentikan langkah Amanda. Ahk, dia terlalu mengerti Amanda. Tak satu pun yang dapat menghentikannya. Lagipula semua tidak akan sama lagi seandainya hubungan ini tetap dipertahankan. Masih dengan mata memerah mereka berpandangan untuk yang terakhir kali. Lama.. hening. "Take care, and call me, whenever you need me. I'll be there," bisik Joe bergetar. Hanya itu dapat diucapkan, dan taksi pun bergerak membawa pergi sang kekasih. Air mata menetes jatuh satu satu.

Bisa kubayangkan tangismu, saat taksi yang membawamu melaju. Tidakkah kamu ingin berbagi denganku? Kenapa harus keras hati menanggung sendiri. Tidakkah ada kesempatan untuk memperbaiki diri? Sedikit pun, bukanlah suatu kebanggaan, bagiku. Hanya perlu satu kenikmatan singkat untuk dapat menuai satu penyesalan panjang. Penyesalan yang ada tak tergantikan, entah sampai kapan.

TAMAT