Aku bekerja di sebuah perusahaan swasta yang terletak di daerah Senayan. Atasanku adalah seorang wanita berusia awal empat puluhan. Seorang janda yang cukup cantik. Dia seorang wanita keturunan. Aku dengannya cukup dekat, karena kami berasal dari daerah yang sama. Sebuah kota kecil di Kalimantan Barat. Dia sering meminta bantuanku untuk menginstalasikan komputer atau mengajari anaknya komputer. Memang aku tidak dibayar, tapi Susan, atasanku itu, selalu membantuku bila aku membutuhkan. Misalnya saat adikku akan kuliah, dia membantuku membayar uang kuliahnya yang cukup besar jumlahnya.



Susan berpisah dari suaminya yang orang Finland, tiga tahun yang lalu. Mereka mempunyai anak kembar berusia awal 16 tahun. Seorang anak ikut Susan, yang satunya ikut suaminya. Suaminya kini ada di Singapore, membuka perwakilan sebuah perusahaan ponsel di sana. Anak Susan bernama Karina. Anaknya manis sekali, cantik kalau boleh dikatakan demikian. Tubuhnya bongsor untuk remaja seusianya. Tingginya seratus tujuh puluh tiga, lebih tinggi dariku yang hanya 167 cm ini. Tubuhnya sudah lumayan matang. Lekuk-likunya telah tampak. Pada pantatnya yang montok, dan dadanya yang mengundang. Aku tidak dapat menghilangkan pikiranku darinya. Teringat selalu pada hidungnya yang bangir, mulutnya dengan bibir tipis dan selalu berwarna dadu. Tapi aku masih menghormati ibunya, sehingga jauhlah keinginanku untuk mendekatinya. Karina sekolah di sebuah sekolah untuk anak-anak orang asing di Indonesia.

Suatu siang Susan memanggilku ke ruangannya. Dia tampak cantik sekali hari ini. Dengan stelan berwarna biru muda.
"Tommy, Karina minta kamu ke rumah sepulang dari kantor."
"Ada apa, Mbak?" Tanyaku.
Susan memang minta untuk dipanggil Mbak kalau di tengah keluarganya, panggilan ibu hanya untuk lingkungan dinas.
"Dia mau pasang internet tuh. Dia minta ajarin sama kamu. Bikin email, homepage, dan macem-macem."
"Oooh."
"Bisa, Tom?"
"Bisa Mbak, bisa. Nanti malam khan? Saya nggak ada acara kok."
"Syukurlah."

Maka malam itu aku segera ke rumah Mbak Susan. Karina sudah menantiku di sana. Dia mengenakan T-shirt bergambar Spiderman dan celana jeans yang dipotong pendek sekali. Bongkahan pantatnya nyaris keluar. Tanpa sadar aku menelan liurku.
"Mas Tom. Kalau komputerku tidak perlu diganti kalau mau pasang internet?" "Tidak perlu. Beli modem apa?"
"Tricom. Bagus nggak?"
"Good. Berapa?"
"Sembilan ratus."
"Bukan. Kecepatannya, 56 ya?"
"Iya."
"Sudah di-setup?"
"Kalau sudah sih, aku nggak minta Mama menyuruh Mas Tom ke sini. Yuk Mas.."
Gadis dengan wajah baby si Agnes "Tralala-trilili" itu menarik tanganku, mengajakku ke dalam kamarnya. Terasa lembut tangannya menggenggamku.
"Mas, perlu pakai Pentium II, nggak?"
"Ah, tidak perlu. Pentium II juga sudah bagus."
"Eh, kemarin aku lihat monitor warna-warni, bagus deh. Mau ganti ah."
"Apaan? Monitor 17 inch kamu juga sudah mantep. Jangan kaya gitu. Lagian itu yang untuk Apple ya?"
"Tidak tahu. Jadi jangan ganti, nih?"
"Jangan. Mending duitnya ditabungin saja."
"Oke boss."

Di kamarnya yang rapi dan penuh dengan gambar Spice Girl itu kumerasa mukaku gerah dan melekat oleh keringat.
"Karin, numpang cuci muka dong."
"Sana, di kamar mandiku saja."
Dia menunjuk sebuah pintu yang nyempil di sudut kamarnya. Aku segera menuju kamar mandi tersebut. Selama ini aku belum pernah masuk ke situ, walaupun sering masuk ke kamarnya. Kamar mandinya bersih, dengan aksesori Spice Girl juga. Dia memang maniak Spice Girl! Di cantolan yang ada di pintu kamar mandinya, kulihat sebuah celana dalam berwarna biru yang berpotongan seksi sekali, dihiasi renda-renda di tepi-tepinya. Gila, anak semuda itu telah memakai pakaian dalam seperti ini. Selintas terbayang dalam benakku tubuh mulus Karina hanya terbalut celana dalam ini. Iiih, tanganku mengambil celana dalam itu, kering, tapi sisa pakai karena ada beberapa rambut halus di situ. Oooh, rambut kemaluan perawan. Tanpa sadar aku mendekatkan celana dalam itu ke hidungku, menghirup aroma yang diumbarnya. Bau khas kewanitaan menyapa penciumanku. Aku terangsang seketika. Setelah itu aku keluar dari kamar mandi, mendekatinya yang duduk di depan komputer.
"Mas Tom, cepeten dong."
"Iya. Ini sudah."
Aku lalu menginstal modem barunya. Dia berdiri merapat di sampingku. Sesekali dadanya menyentuh bagian belakang tubuhku, kejantananku tambah kencang berdiri. Aduuh! Lalu kemudian aku mencoba mengakses ke internet dengan fasilitas login TelkomNet dan tersambung. Karina tambah bernafsu, tubuhnya merapat ke diriku lebih rapat.
"Coba dong, Mas Tom."
"Iya. Ini."
"Mas, provider yang bagus apa ya?"
"Banyak. Yang penting kamu lihat kecepatan akses dan datanya." Lalu aku menyebutkan beberapa ISP yang aku tahu. Karina lalu duduk, aku yang berdiri. Dia asyik surfing. Sesekali saat tangannya memegang tuts komputer, bajunya yang berleher lebar terbuka. Aku dapat melihat bra yang digunakannya. Nafsuku tambah memuncak. Aku tak tahan lagi lama-lama di sini. Harus segera disalurkan.
"Karin. Aku pulang dulu ya, sudah bereskan?"
"Heeh. Makasih, Mas Tom."
Ciumannya mendarat di pipiku. kejantananku tambah berdenyut.
"Eh, minta alamat e-mail Mas Tommy dong."
Setelah itu aku pun pulang.

Di kost, aku tak sanggup lagi. Kunyalakan komputerku dan mengambil VCD porno yang baru kubeli minggu lalu di Glodok, tapi belum pernah kutonton. Segera kuputar VCD itu, judulnya Fugitive 2. Sebuah film porno Perancis. Lumayan bagus gambarnya. Ada ceritanya juga. Aku lebih senang yang seperti ini. Jadi nggak main hantam saja. Sambil duduk nonton kukeluarkan kejantananku yang dari tadi bengong kegerahan. Kuusap-usap dengan penuh perasaan. Batang yang besarnya berani saingan dengan kemasan pasta gigi ukuran family itu tambah membesar. Sekian menit bersolo karier, aku rasakan si Junior tambah panas. Wah, perlu sesuatu nih. Aku segera berdiri, hendak mengambil lotion pelembab. Aku membuka celanaku dan kemejaku, tinggal memakai baju kaos dalam saja. Saat hendak mengambil lotion di rak, tiba-tiba pintu kamarku terbuka.
"Tommyy, kamu sudah pulang khan? Pinjem kalkula.. aaw!" Si Mella, tetangga sebelah kamarku menjerit. Matanya melotot melihat kejantananku yang mengacung tegak.
Refleks, kusambar kemejaku, menutup kejantananku.
"Sor, sorry, Tom." Katanya, sementara kakinya terpaku tak bergerak.
"Eh, Mella. Mau apa?"
"Pinjem kalkulator. Tapi.. nggak jadi deh."
"Eh, ambil saja di atas kompu.." Aku tersadar, suara mendesah terdengar nyaring, dan di layar tampak seorang lelaki gundul tengah menyetubuhi dua orang perempuan.
Mata Mella nyaris keluar memandangnya. Tapi dia masih belum bergerak. Aku mengambil kesempatan itu untuk mengambil sarung Bali di atas tempat tidurku, tak peduli kalau Mella dapat melihat pantatku saat aku berbalik. Setelah sarung di tangan, segera kubelitkan di pinggangku.
"Tom, sorry Tom."
"Nggak apa-apa. Ini, kamu perlu kalkulator ya?"
Aku meraih kalkulator, saat itu sekaligus kumatikan komputerku. Mella tersenyum malu, saat kulihat matanya terpaku pada gambar di situ.
"Eeeh.. eh." Hanya itu yang diucapkannya.
"Ini." Aku mengangsurkan kalkulatorku.
Mella mengambilnya. Lalu berbalik. Aku sempat meraih tangannya sebelum dia pergi.
"Mel.., please, jangan bilang siapa-siapa."
Dia hanya mengangguk. Setelah itu aku hanya berbaring di tempat tidur. Nafsuku terbang setelah dipergok Mella. Pastilah dia tahu aku sedang masturbasi tadi. Akhirnya aku mencoba untuk tidur.

Tapi lima belas menit kemudian, kamarku diketuk orang. Aku membuka pintu. Mella! Gadis mungil dengan postur dan wajah mirip-mirip Dhea anggota Warna itu menatapku, berdiri di depan pintu dengan kalkulator di tangannya. Kelihatannya dia segan masuk kamarku dengan tanpa mengetuk pintu, seperti yang selama ini dia lakukan. Memang dia sudah cukup akrab denganku. Dua tahun satu kost-an.
"Masuk Mel." Ajakku.
"Ini, aku hendak mengembalikan kalkulatormu." Dia melangkah masuk.
"Tumben cepet."
"Tidak banyak soalnya." Dia mahasiswa ekonomi di sebuah universitas di Depok.
"Oooh."
"Soal yang tadi.."
"Sudah deh. Janji ya, kamu tidak cerita-cerita."
"Bukan itu."
"Lalu apa?"
"Film tadi film apaan Tom?"
Hah! Aku kaget juga.
"Film.. film biru, kata orang-orang."
"Bagus?"
Apa mau anak ini, tanya hatiku.
"Emh, lumayan. Ada ceritanya."
"E.. boleh nonton nggak?"
Edan! Hatiku bersorak-sorak.
"Boleh. Aku puterin ya."
Aku segera menyalakan komputerku. Mella memperhatikan saja, berdiri di belakangku. Saat film dimulai, dia menutup pintu.
"Nih tonton." Kataku.
"Kamarmu nggak dikunci, kan?"
"Nggak. Kenapa?"
"Aku numpang tidur."
"Lho, di sini saja. Nonton denganku. Bukankah tadi kamu sedang nonton?"
Sableng! Tapi hatiku tambah bersorak-sorak. Kesempatan nih! Si junior yang tadi males, kini menggeliat. Mella melihatnya, lalu mengalihkan pandangan sambil tersenyum. Sungguh, aku tak pernah menyangka Mella seberani ini. Gimana ya? Dia memang dekat denganku, tapi aku selalu bersikap seperti teman. Aku kenal pacarnya, malah.
"Sini, duduk." Katanya.
Bagai kerbau dicucuk hidung, aku duduk di sampingnya. Adegan demi adegan berlalu. Mella terkadang memberi komentar, cekikikan, atau bertanya padaku. Suaranya sudah terdengar lain. "Kena lu!" Teriak hatiku. Otakku semakin panas. Juga kejantananku.
"Eh, Tom. Tadi kamu sedang nonton, sambil.. onani, kan? Sekarang kok nggak?" Tanyanya.
Wow!
"Gila kamu. Masak di depan kamu aku mengeluarkan senjataku?"
"Nggak apa-apa kok. Aku tahu kebutuhan laki-laki."
Kacau nih cewek!
"Aku bantuin deh." Dia cekikikan.
"Kalau aku mau pun, curang namanya."
"Curang?"
"Iya. Kamu lihat punyaku, aku lihat apa?"
"Kamu mau lihat punyaku?"
"Emang boleh?"
Dan tanpa tedeng aling-aling lagi. Mella membuka celana panjangnya. Ya ampun! Mimpi apa aku kemarin?
Lalu sebelum membuka celana dalamnya yang berwarna pink, dia berkata, "Hei, buka dong punyamu!"

Astaga! Rejeki nih! Aku langsung saja berdiri, melepaskan sarung Bali yang kukenakan. Kejantananku langsung meloncat keluar, seperti anak anjing keluar dari sarangnya. Mella pun melorotkan celana dalamnya. Pemandangan luar biasa pun terpampang di depanku. Oooh! Glek, aku menelan liurku. Segera kukunci kamarku. Mella berdiri menatapku tak berkedip, tak menghiraukan pekikan dan erangan dari speaker komputerku. Dia mendekatiku, berjongkok. Diamatinya senjataku dengan seksama sambil tangannya perlahan-lahan meraba naik turun. Jari-jari tangannya dengan lembut mengelus mulai dari akar hingga ujungnya, menelusuri setiap urat-urat yang sudah meregang dan bertebaran di sana-sini. Ujung jari telunjuknya kemudian mengelus mulai dari bagian yang paling bawah. Dan perlahan-lahan naik mengikuti alur bulu-bulu yang tumbuh hingga ke bagian tengah. Kemudian ia mulai menggenggam lagi lebih erat. Dicobanya lebih erat lagi tapi tidak bisa, genggaman jemari tangannya yang lentik itu telah penuh dengan batang tubuh kejantananku. "Aahh." kudengar desahan dari mulutnya. Mella menggumamkan sesuatu yang tak jelas kudengar. Ia benar-benar pandai menikmati sensasi yang mengalir melalui sentuhan-sentuhan jemarinya pada kejantananku.

Sesaat kemudian ia melepaskan genggaman jemarinya, kedua tangannya menyelinap ke belakang tubuhku meremas pinggulku dan menariknya, berusaha untuk menggeser tubuhku untuk lebih maju lagi. Kubantu dengan menyorongkan pantatku ke depan punggungku. Kedua kakiku semakin terbuka lebar. Senjataku tersandar dalam keadaan tegang. Aku lalu duduk di kursi.

Bersambung ke bagian 02