Pengalaman Tinggal di Negeri Orang 3




Pengalaman Tinggal di Negeri Orang 3
Suasana pagi hari yang cerah mengiringi keindahan kota Spanyol, hujan yang turun di malam hari tadi telah berubah menjadi cuaca yang cerah, matahari pagi bersinar dengan terangnya. Ketika aku bangun cuaca terasa panas, mungkin cerahnya sinar matahari pagi yang masuk ke dalam bilik kardus dimana kami bertiga tidur, membuat aku yang masih tidur menjadi terbangun. Mataku melirik ke kanan dan kiri, ternyata kedua wanita Kuwait itu telah bangun, dan dari tempat aku berbaring terdengar suara gemercik air dan suaranya terdengar dari dalam kamar mandi di sudut ruangan.


Aku berdiri dan menuju kamar mandi, ketika aku sampai dekat pintu kamar mandi, tiba tiba Maisharo menjerit kecil

"Aaahhhhh Ba pakkkkk, Jangan kesini, kami lagi mandi..Bapak kesana dulu" sahut Maisharo.


Ternyata Maisharo mandi hanya memakai BH dan celana dalam saja, sedangkan Mashito mandi dengan baju tidur yang dipakainya semalam (baju daster) , namun Mashito tidak memakai BH dan celana dalam, karena celana dalamnya masih belum kering waktu dijemur semalam. Tetapi ketika Mashito menoleh kearahku, dia sedikit terkejut dan matanya agak melotot , namun kemudian dia tersenyum manis tapi malu. Mungkin karena ingat kejadian semalam yang sulit dia lupakan, sehingga ketika aku mendekat kepintu kamar mandi seolah dia tidak begitu malu sekali. Demi menjaga rahasia, mau tidak mau dia mendelik juga ke arahku, tapi ekor matanya meng-isyaratkan aku untuk menghindar dari situ, karena di situ masih ada anaknya. Maisharo lagi mandi hanya menggunakan BH dan celana dalam saja. Akupun mengerti maksud isyarat itu, akan tetapi mau tidak mau akupun turut menikmati keindahan tubuh Maisharo. Dalam kondisi setengah telanjang, tubuh anak Mashito sangat luar biasa indahnya. Ibunya saja sudah begitu sempurna, apalagi anaknya yang aku nilai masih perawan, sangat luar biasa mulusnya. Untuk penilaianku, Maisharo mempunyai daya tarik tersendiri, selain wajahnya cantik jelita, sorot matanya lembut. Tapi yang lebih mempesona dari wajah jelitanya adalah, setitik tanda hitam sebesar ujung pena di pipi kanannya. Tanda itulah yang membuat daya pikat dari seorang darah perawan dari negara Kuwait ini, belum lagi kedua lekukan di kedua belah pipinya yang putih dan kencang itu, menambah kesempurnaan dirinya.



Akupun sadar atas isyarat ibunya, lalu aku menjauh dan menuju ke arah jendela serta melihat kebawa, disana terlihat suasana mulai ramai dengan aktivitas orang-orang negara ini.Tidak lama aku mendengar panggilan dari Mashito

"Pak.mandilah ´ kami sudah selesai."

Aku melihat kedunya memang sudah selesai dengan telah kembali memakai baju kerudungnya masing-masing. Akupun masuk kekamar mandi lalu mandi telanjang. Rasanya tubuhku sangat segar bugar pagi hari ini, apalagi disiram dengan air yang lumayan dingin. Rasa lelah semalam telah sirna karena telah istirahat dan tidur dengan nyenyaknya, sehingga pagi ini sungguh segar sekali. Setelah selesai, aku kembali ke bilik kamar, dan berganti pakaian dengan celana panjang serta baju kaos yang bersih.

Karna pagi ini aku mulai beraktifitas yakni bekerja mencari rejeki untuk memenuhi kebutuhanku dan kedua wanita itu. Setelah selesai berpakaian , kami betiga sarapan alah kadarnya, kalau sebelumnya aku tidak biasa kalau tidak makan nasi, namun karena sudah terbiasa akhirnya sarapan roti itulah menemaniku sebagai menu setiap pagi. Kami bertiga sarapan roti serta buah-buahan dengan air mineral yang ada, Mashito sepertinya sangat bahagia sekali, dari sorot matanya aku melihat dia seperti ingin mengatakan sesuatu, tapi suasana tidak menunjang, tetapi senyum manisnya dan gerak geriknya sudah dapat aku baca kalau dia sangat bahagia sekali. Hal lain dengan Maisharo, dia jadi pendiam seolah ada sesuatu yang ingin dikatakan. Lalu aku berkata

"Ada apa sayang?"

Maisharo tetap membungkam

"Ayo cerita ada apa nak?"

"Iabicaralah ada apa?" jawab Mashito ..

Maisharo malu "Mi! Sama Bapak"

"Malu kenapa?" sahut Mashito

"Malu tadi di kamar mandi"

"Ohitu yang menjadi pikiran kamu, kalau masalah yang tadi..Bapak minta maaf, kalau Bapak salah" kataku

"Iya sudah" sahut Mashito "Bapak kan sudah minta maaf, lagian Pak Soleh kan sudah kamu anggap sebagai Bapak sendiri"



"Benar kata ibumu, Bapak sudah menganggap kamu sebagai anak sendiri, mestinya tidak perlu malu lagi, Tempo hari kan seperti ini juga, ketika bapak tidak tahu kalian berdua mandi, malah kamu tidak marah sama Bapak."

Lalu aku mendekati Maisharo dan kurangkul bahunya lalu berkata sambil mencium rambut dan pipinya

"Bapak sangat sayang pada kamu, sudah jangan diam begitu terus, kalau kamu masih terus marah, nanti Bapak pergi ni, habis tidak mau memaafkan Bapak dan membenci Bapak"

Mashito berkata "jangan pak, kasihanilah kami, karena hanya permasalahan kecil saja Bapak jadi pergi. Jangan tinggal kami Pak" terlihat matanya berkaca.

Maisharo akhirnya sesegukan " huk ..huk hukk .. ternyata dia menangis juga.

Lalu dia memelukku" .maafkan Masiharo pak, Masiharo tidak bermaksud begitu" .. Maisharo hanya malu saja, saya tidak benci sama Bapak, juga tidak marah sama Bapak. Jangan tinggalkan kami Pak, tidak ada lagi tempat kami berlindung, bila Bapak pergi...Maisharo mohon Pak, huk ..huk ..huk!"

Aku mengusap rambut Maisharo

"Ya sudah, Bapak cuma bercanda saja, Bapak tidak mungkin meninggalkan kalian berdua, karena kalian berdua juga membuat Bapak bergairah dalam bekerja dan mencari nafkah. Kalian bagaikan teman, anak, bahkan istri-istri Bapak"

Lalu Mashito ikut memeluk tubuhku, sehingga kedua wanita ini menjadi sesegukan. air mata keduanya menetes di pipi mulusnya.

Lalu Maisharo berkata "Pak, Maisharo berjanji tidak akan marah lagi bila terjadi seperti itu lagi!"

Aku mengangguk pelan lalu mencium keduanya dengan penuh kasih sayang. Lalu aku berkata kepada mereka berdua

"Hari ini Bapak akan bekerja, doakan saja mudah-mudahan hari ini kita dapat rejeki yang banyak dan menurut keterangan majikan tempat Bapak bekerja Nyonya Helena. Dia akan menyuruh kita secepatnya tinggal di perkebunan tanah miliknya. Di samping itu dia juga akan memberikan kendaraan untuk kita. Jadi itulah doai Bapak biar semuanya berjalan dengan lancar sehingga kita dapat tempat tinggal yang layak, tidak lagi tidur di tempat seperti ini, di bangunan yang tidak terpakai hanya ditutupi oleh kardus kardus bekas. Orang sini sangat disiplin dalam perkataan dan perbuatan, mereka tidak suka dibohongi atau ditipu. Kalau sudah merasa ditipu atau dibohongi maka mereka tidak akan pecaya lagi sama orang. Jadi kebaikan mereka harus kita jaga, supaya mereka bertambah baik kepada kita."



Keduanya berkata kepadaku "Berangkatlah Pak, doa kami menyertai Bapak. Semoga rejeki selalu berada disekitar kita."

Aku tersenyum, lalu menyahut "terima kasih sayang" sambil satu persatu kucium pipi mereka masing masing.

Mashito berdiri lalu keluar dari bilik entah ada ursan apa, kemudian tinggal aku dan Maisharo berada dibilik kardus tersebut. Maisharo kusuruh pindah di pangkuanku. Maisharopun menurut dan pindah duduk di pangkuanku. Lalu aku berkata

"kamu ini cantik tapi manja"

Maisharo cemberut kemudian tersenyum kepadaku, tampak lesung pipitnya mengembang ketika tersenyum. Lalu kubelai pipinya dan bibirnya, ia menatapku

"Pak?"

"ya sayang" jawabku "ada apa?"

Maisharo tidak meneruskan kata-katanya. Aku memandangi bibirnya yang ranum, merah merekah. Secara perlahan wajahku mendekati wajahnya, dekat sekali wajahku. Matanya perlahan terpejam dengan semakin dekatnya wajahku dan bibirku menyentuh bibir ranum miliknya. Dengan kecupan lembut, aku merasakan hembusan nafas harumnya menerpa wajahku, hembusan seorang nafas remaja yang baru mekar, seolah harumnya setangkai bunga mawar merah. Gerakan halus bibirku membuat Maisharo menjadi terbuai, tanganya secara tidak sadar melingkar dileherku, seolah isyarat bahwa dia telah menerima kecupan lembut dariku. Bukan sekedar kecupan, namun lumatan lembut sudah dapat dirasakannya. Lumatan bibirku di bibir Maisharo semakin seru, ternyata gadis remaja nan cantik jelita dari negara Kuwait ini, sudah mulai berani membalas dengan gerakan perlahan. Bahkan kini kurasakan lumatan bibir Maisharo semakin kuat seolah dia menemukan pelajaran baru, yang baru pertama kali dia rasakan. Tanpa terasa tanganku bergerak ke leher jenjang Maisharo, lalu usapan usapan lembut tanganku semakin erat tangannya melingkar dileherku. Tanganku bagaikan seekor ular bergerak turun dan turun hingga berhenti digundukan bukit salju yang masih terbungkus baju kurungnya.



Ketika tanganku berhenti disitu dan tepat dipuncak gunung merapi yang belum aktif itu, secara reflek jemari Maisharo memegang tanganku dengan kuat. Aku tidak melakukan apa-apa, hanya saja jari-jariku saja yang secara nakal bergerak gerak mencuil-cuil (mencolek-colek), permukaan gunung kembar yang masih terbungkus oleh beberapa kain-kain penghalang. Namun lama kelamaan jari tangan Maisharo yang mencengram pergelangan tanganku mulai mengendur, tetapi tetap tidak melepaskan tanganya.

Gerakan jariku mulai bermain, tadinya hanya mencolek colek, sekarang gerakan mengusap dan remas lembut mulai aku lancarkan. Suara dari mulut Maisharo yang masih saling melumat, terdengar tersumbat oleh mulutku. Desahan yang tidak bisa keluar itu menadakan gadis remaja ini telah diselimuti gejolak darah mudanya. Usapan lembut dan remasan perlahan dari tanganku buah dada sebelah kirinya tidak mendapat perlawanan. Memang kencang sekali buah dada anak Mashito, lebih kencang dari ibunya. Remasan remasan lembut jari tanganku membuat tubuh Maisharo bergetar dan bergelinjang. Ingin rasanya aku meneruskan aktifitasku terhadap anak Mashito , namun aku masih berpikir, aku akan mulai bekerja, kemudian menjaga perasaan Mashito bagaimana seandainya dia tahu akupun menggarap anaknya. Remasan di buah dada Mashito masih aktif aku lakukan, lalu dengan perlahan tanganku bergerak turun dan turun hingga kepinggulnya.

Kemudian gerakan jari tanganku berpindah ke depan. Kini lumatan bibirku di bibir Maisharo kuhentikan.

"Hmmm...shhh!!" desahan halus keluar dari bibirnya ketika tanganku bergerak ke depan dan tepat di pertengahan pangkal pahanya.

"Pakkkk.." katanya menatapku, lalu ia menggelengkan kepalanya, "jangan" mulutnya berkata lirih.

Aku tersenyum dan kembali mengecup bibirnya. Setelah itu aku berkata "Ehmm" sambil mengangguk. Maisharo tersenyum malu, dan tampak rona merah pipinya. Kemudian aku bangkit berdiri dan diikuti olehnya yang berdiri juga, lalu aku keluar dari bilik kardus dan kulihat Mashito lagi membersihkan sampah sampah di sekitar tempat kami tidur. Ketika aku mendekatinya dia tampak tersenyum.

"Aku berangkat sayang" pamitku yang dibalasnya dengan ciuman di pipiku

"Cepat pulang ya Pak!" kata keduanya

"Ya" jawabku



Kupandangi keduanya, tampak di raut wajahnya memancarkan kebahagian, keduanya seolah menemukan keceriaan. Aku lalu turun kebawa menuju tempat aku bekerja yakni tuan majikanku Nyonya Helena pemilik toko roti terbesar di kota ini. Toko roti tersebut tidak terlalu jauh dari tempatku tinggal lebih kurang 300 M kalau jalan kaki. Aku berjalan santai, sambil menikmati suasana pagi yang cerah di pagi hari ini. Tak lepas mataku memandang keindahan bangunan dan kota negara orang ini, sungguh bersih sekali, di sudut-sudut kota dan tempat umum tidak ada satupun sampah yang berserakan, bahkan puntung rokok yang biasa diisap orang, tak tampak terlihat. Memang disiplin sekali orang-orang disini tingkat kesadaran kebersihan lingkungan memang diterapkannya sekali, jauh sekali dibandingkan dengan negaraku, membuang sampah semaunya saja, tidak lagi mengindahkan kebersihan dan kesehatan lingkungan.

Ah...susah ngomong, kalau mau memikirkan itu, yang terpikir hanya memenuhi kebutuhan perut saja, urusan itu pemerintah lah yang ngurus, itu kata-kata yang selalu diucapkan oleh kita. Yang tak lepas dari mataku adalah, orang-orang disini terkesan acuh. Pakaian mereka bagus bagus, tapi yang lebih membuatku greggg dan menelan air liur adalah perempuannya cantik-cantik. Sulit membedakan mana yang cantik, karena semuanya memang cantik. Pakaiannyapun sungguh membuat jantungku berdetak, ada yang tembus pandang, banyak belahan dadanya yang rendah, ada yang tidak pakai BH, belum lagi rok yang dipakai pendek-pendek, sehingga bentuk paha yang putih indah terbuka jelas. Anak-anak remajanya sungguh mempesona, cantik putih dengan rambut pirangnya namun banyak juga asli rambutnya hitam. Asyik berjalan dengan berbagai penglihatan, sampailah aku di toko roti majikanku Nyonya Helena. (Di sini percakapan diterjemakan dalam bahasa kita saja, biar lebih menyentuh dan masuk dalam alur ceritanya.)

"Pagi Nyonya Helena"

"Ow...Bapak Soleh, pagi juga, apa kabar Pak?"

"Baik, Nyonya sendiri bagimana?" sahutku

"Ha.ha baik juga" sahutnya dengan tawa.

"Apa yang dapat saya kerjakan hari ini Nyonya?" tanyaku.

"Ehmmmm...begini Bapak ke ruangan kerja saya, nanti saya beritahukan tugas tugas dan tanggung jawab Bapak, Ok"

"Baiklah Nyonya" jawabku"

"Ayo ke ruangan saya" sahutnya.



Aku mengikuti Nyonya Helena, majikanku dari belakang. Kulihat bentuk tubuhnya tinggi langsing, pinggang sedang ukuran orang sini, bokong besar kencang, paha tampaknya putih, kendati hanya memakai rok hitam rendah di atas lutut. Sedangkan baju kemeja lengan pendek warna putih menghiasi tubuh bagian atasnya. Waktu menyapanya di depan tadi, aku melihat bagian depannya agak rendah, inilah kebiasaan orang bule wanita, sepertinya sudah biasa memakai baju seperti itu. Sehingga cuek saja dengan lawan ngomongnnya, entah itu perempuan, laki-laki, tua muda, dll seolah hal biasa. Kalau dinegaraku, hal seperti ini pamali, malu, tidak bermoral, tidak dapat pendidikan dan sebagainya. Belum lagi yang melihat, bisa bisa leher melintir patah dibuatnya kalau lewat di depan muka. Jangankan yang terang-terangan, yang ngintip-ngintip dikit dari belahan dada dan selangkangan dilihat berulang-ulang, bahkan orang mandi dan tidurpun diintip saking pingin melihat yang ditutup BH dan celana dalam. Hehehe...itu kebiasan negeri kita. Belum tau kalau yang diintip tahu, bisa ke dokter mata kena siram air cabe Hihihi. Nyonya Helena tampak cantik sekali pagi ini, dengan rambut hitam bergelombang sebahu, mata indah berwana biru. Alis mata tebal menghiasi keningnya, hidung yang pasti pancung memang keturunan orang bule, serta bibir indah dihiasi lipstik yang tidak terlalu merah. Perhiasan baik telinga dan leher turut menyertai kecantikannya. Yang membuatku tidak dapat menahan napas adalah, bentuk dadanya yang membusung kencang ke depan, secara transparan terlihat memakai BH berwana putih, serta kulit tubuh yang lebih halus dari orang bule-bule yang lain. Beda dengan keturunan bule Eropa Barat dan Latin Spanyol keturunan dari negara latin jadi kulitnya lebih bagus dan indah.

Tangannya ditumbuhi bulu-bulu halus berwarna hitam, ditunjang dengan jari jari tangan yang lentik tanpa pewarna kuku. Orang bule memang postur tubuh tinggi-tinggi biarpun masih anak atau remaja tingginya sudah bisa mencapai 155 - 160 cm bahkan lebih, begitu juga Nyonya Helena kendati sepintas agak pendek, tetapi saat berdiri, postur tubuhnya tinggi dan perkiraanku lebih tinggi dari Mashito 178 cm dan beratnya kurang lebih 65 kg. Dibandingkan dengan tubuhku yang hanya 170 cm beratku 60 kg, memang jauh sekali hanya sebahunya saja. Banyaknya perkataan dan penilaianku membuat aku kaget ketika Nyonya Helena menegurku.



"Bapak Soleh!"

"I.iii ,.. iya Nyonya " . Aaaa.. ada apa?"

Nyonya Helena tersenyum memandangku "Ada apa Pak? Ngelamun?"

"Ehh...anu. Saya kagum suasana ruangan ini. Bagus, sejuk dan bersih..seperti kamar"



"Oh...itu" sahut Helena, "Ini ruang kerja saya. Beda dengan yang lantai dasar, di lantai dasar, namanya kasir" katanya sambil tersenyum.

"Oh... pantas ruangannya bersih Nyonya" jawabku, "ada kursi sofa besar berjumlah 3 buah, ada televisi besar, ada kulkas. Meja kerja pakai telpon, lantai pakai karpet berbulu, seperti kamar saja Nyonya" kataku lagi.

"Ha..ha.ha" Helena tertawa manis, menampakkan giginya yang rata bersih dan putih menambah keindahan senyum manisnya, "Ah Bapak bisa saja, inikan untuk kenyamanan dan bisa berkonsentrasi sahut Nyonya Helena...Eh Pak, kenapa dibuka sepatunya?"

"Aaaanu Nyonya nanti kotor" jawabku

"Tidak apa-apa jawabnya pakai saja."

Akupun memakai sepatu jelekku yang aku bawa waktu di kapal dulu.

"Nah, Pak Soleh, Bapak sekarang bekerja disini, tugas Bapak sekarang adalah mengawasi keluar masuknya barang di gudang ya. Jadi kalau ada barang yang masuk misalnya bahan-bahan untuk membuat roti, Bapak harus catat dan juga jika dipakai oleh anak buah saya lain, Bapak juga harus mencatatnya. Setiap hari Bapak harus melaporkannya kepada saya dan minta tanda tangan kepada yang memasukan barang dan yang minta barang. Mengerti maksud saya Pak?"
 

"Mengerti Nyonya" jawabku.

"Bagus" kata Nyonya Helena sambil tersenyum "Nanti kalau ada masalah Bapak bisa bicara pada saya, ok."

"Baik Nyonya" sahutku."kalau begitu saya akan mulai bekerja Nyonya"

"Ya silakan" sahutnya sambil tersenyum.

Akupun beranjak dari kursi sofa dimana di depan saya Nyonya Helena duduk, ketika duduk tadi kedua paha mulus tertangkap oleh mataku walaupun rok hitamnya tidak terlalu naik kepangkal pahanya, hanya sekilanan jari tanganku saja, sudah cukup membuat darahku berdesir.

Uh ala , dasar wong deso" memang ndak bisa liat yang mulus-mulus, dan pantangan melihat yang sedikit-sedikit terbuka sudah kasak-kusuk (Made in Indo).



Namun ketika aku akan melangkah Nyonya Helena berkata sambil berdiri

"Pak Soleh!"

"Ada apa Nyonya?" jawabku ..

"Begini, sesuai dengan janji saya tempo hari, saya minta tolong sama Bapak untuk tinggal di tanah perkebunan saya yang pernah saya tunjukan dulu itu. Masalah kebutuhan seperti biaya listrik, perlengkapan rumah tangga serta perbaikan-perbaikannya, saya yang akan tanggung semuanya. Bapak hanya menempati saja lahan perkebunan itu dan dijaga serta dibersihkan dan kalau Bapak sudah siap nanti setelah istirahat siang Bapak boleh pulang dan saya akan mengantar Bapak kesana, bagaimana?" Nyonya Helena menatapku

Akupun berkata" baiklah Nyonya saya setuju" ia tersenyum menatapku.

"Kamu sendirian saja?" sahutnya kembali

"saya bertiga" jawabku,

"Istri? Anak?" tanyanya.

"Saudara"

"ohh .. Ok Pak Soleh"

Kini aku mulai bekerja di toko roti Nyonya Helena dengan semangat dan tanpa terasa hari telah menunjukan pukul 01 siang waktu Spanyol. Tanpa aku sadari ternyata Nyonya Helena telah berada di gudang tempat aku bekerja

"Pak Soleh!" panggilnya

"oh Nyonya Helena!! Bisa mau ke tempat ini?"

"Tidak masalah" jawabnya sambil tersenyum "Bagaimana, apa semuanya sudah selesai?"
 

"Sudah Nyonya, saya tinggal mau mengunci gudang saja.

"Ok" saya tunggu di luar

Nyonya Helena keluar dengan lenggang lenggoknya. Sedangkan bokong besarnya turut bergoyang seirama dengan jalannya. Setelah aku mengunci gudang, akupun keluar menemui Nyonya Helena yang berdiri didekat mobil jenis Van miliknya. Ia membuka pintu mobilnya, lalu aku disuruhnya masuk. Setelah masuk, dia men-start mobilnya dan melaju kearah bangunan yang aku tinggali sekarang. Jalan masuk ke bangunan tempat tinggalku hanya bisa dilintasi 2 mobil, setelah sampai aku turun dan diikuti oleh Nyonya Helena. Aku masuk bangunan dan naik ke lantai dua, di sampingku Nyonya Helena ikut juga ke atas. Sesampai di atas lantai 2 aku memanggil Mashito dan Maisharo.

"Mashito! Maisharo!"



Dari balik kardus muncul dua perempuan cantik memakai baju terusan panjang. Keduanya memandangku dan Nyonya Helena, seperti tanda tanya. Lalu aku jelaskan kepada mereka berdua

"Mashito, Maisharo, ini kenalkan Nyonya Helena, dia majikanku yang mempunyai toko roti tempat Bapak bekerja sekarang.

Lalu keduanya berjabat tangan.

"Helena" sapanya sambil berjabat tangan dan tersenyum.

Mereka berdua balas memperkenalkan diri dan menjabat tangan Nyonya Helena dengan senyum manis.

"Jadi begini...Mashito dan Maisharo, Nyonya Helena ini pernah bilang ke Bapak bahwa dia punya tanah perkebunan yang cukup luas dan minta tolong kepada kita untuk menjaganya dan menempatinya. Di sana juga telah tersedia, sebuah rumah yang cukup untuk ditinggali oleh kita betiga. Sekarang ini Nyonya Helena akan membawa kita pindah rumah dan tanah miliknya."

"Ia betul" jawab Nyonya Helena.

"Jadi sekarang kalian siap-siap pindah ke sana, tempat ini tidak cocok untuk tempat tinggal. Masalah perabot rumah tangga, nanti saya yang mengurusnya, ok."

Lalu Mashito dan Maisharo berpelukan tanda gembira. Akhirnya aku, membereskan barang-barang yang ada untuk diangkut ke mobil van milik Nyonya Helena. Dibantu oleh Mashito dan Maisharo untuk membereskannya. Karena barang-barang kami hanya sedikit, jadi hanya beberapa menit saja sudah selesai. Setelah semua barang masuk kedalam mobil, kami berangkat ke lokasi yang dimaksud oleh Nyonya Helena. Lumayan jauh perjalannya, tetapi karena jalan tidak terlalu ramai oleh kendaraan dalam waktu kurang dari 25 menit sudah sampai. Aku Mashito dan Maisharo terpana dengan rumah yang akan kami tempati. Lumayan bagus, mungkin luas bangunannya 120 m2.

Sedangkan luas tanahnya, walah luas sekali. Sepertinya ada bangunan lagi, dan sepertinya gudang tempat barang-barang yang tidak terpakai atau tempat penyimpanan peralatan perkebunan, dari rumah ini ke sana hanya 100 meter.



Nyonya Helena turun dari mobil, lalu dia menuju rumah tersebut dan membuka pintu rumah. Akupun turun dan ikut masuk ke dalam rumah diikuti oleh Mashito dan Maisharo, rumah ini jauh lebih bagus , karena terbuat dari batu alam dan batu bata, dibandingkan rumahku di kampung halamannya, jauh sekali. Perabot seperti kursi sofa, meja dan kursi makan, lemari, makan, tempat tidur beserta kasurnya. Ada listrik, kamar tidur ada dua dan lengkap dengan tempat tidur dan lemari. Kamar mandi terletak di belakang, air menggunakan pompa manual yang ditarik dari sumur. Semua perabotan rumah ditutup menggunakan kain putih, sehingga tampak bersih dan tidak terkena debu. Walaupun begitu, rumah ini harus dibersihkan juga.

"Nah Bapak Soleh, Mashito dan Maisharo sekarang kalian tinggal disini, jagalah rumah ini serta pelihara kebun yang ada seperti apel, serta lainnya kalian urus dan hasilnya bisa kalian manfaatkan kalau masih bisa. Sebab kebun ini sudah cukup lama sudah hampir 10 tahun sejak orang tua saya meninggal, dan tidak ada yang mengurusnya sedangkan kami sibuk dengan bisnis masing-masing."

"Baik, Nyonya kami akan menjaga dan merawat rumah ini" sahutku

Tanpa diperintah olehku, Mashito dan Maisharo telah membuka penutup perabot dan membersihkan rumah dari debu-debu.

"Pak Soleh ikut saya!"

"Baik Nyonya."

Nyonya Helena keluar rumah, sedangkan Mashito menurunkan barang-barang dari mobil dan Maisharo sibuk membersihkan dalam rumah. Aku mengikuti Nyonya Helena,

dia menuju bangunan di belakang. Setelah sampai ditempat yang kami tuju, dia membuka pintu bangunan yang lumayan besar, kami masuk ke dalam. Di dalam ternyata ada mobil tua jenis truk yang sudah lama. Banyak peralatan perkebunan seperti mesin pembajak tanah, cangkul, dll. Mesin potong rumput, mesin untuk panen.



"Pak Soleh ini gudang peralatan, mungkin ada manfaatnya bagi Pak Soleh"

"Waduh, Nyonya Helena, jadi teringat waktu di kampung halaman saya di Indonesia, hanya saja alat-alat lebih bagus dan semua pakai mesin"

"Pakai saja Pak" sahut Helena.

"Tapi masalah mesin dan mobil ini...saya kurang paham Nyonya" sahutku.

"Nanti saya cari montir yang bisa perbaikan mesin-mesin ini dan mobilnya"

"Nyonya terus terang saya sangat berterima kasih sekali atas kebaikan Nyonya kepada saya, dan juga kedua saudara saya (
agak berbohong sedikit masalah Mashito dan Maisharo), karena kebaiknya Nyonya Helena, kami dapat tinggal di rumah yang layak dengan semua perlengkapannya."

Helena tersenyum, "Pak Soleh daripada rusak dan tidak dihuni, lebih baik Bapak yang saya suruh menjaganya karena selama ini saya menilai Pak Soleh orangnnya baik dan jujur. Karena itulah saya memilih Pak Soleh untuk menjaga harta milik kami. Terus terang, melihat ketekunan Pak Soleh, saya teringat dengan almarhum papa saya yang giat bekerja di kebun, bertani menggunakan alat mesin itu. Saya melihat Pak Soleh seperti orang tua saya. Terkadang saya merasa sedih, mengenang Papa saya, dia orang ulet, pantang menyerah, dan selalu mendidik kami menjadi anak yang berhasil."

Kulihat Nyonya Helena meneteskan air mata di pipinya yang putih bersih. Tampak sekali mata biru bening itu berlinang air mata. Aku yang mudah ibah, lalu mendekat Nyonya Helena yang tersandar di tanduk depan mobil tua milik orang tuanya itu. Dengan keberanianku aku, aku mengusap air matanya. Nyonya Helena menatapku lalu dengan bola mata berkaca-kaca, dan diapun memeluk tubuh sambil menangis, tubuhnya terguncang-guncang menandakan kesedihan yang mendalam, mengenang alm papanya. Aku mengelus-elus punggunya, pelukannya pun semakin erat, terasa gunung kembarnya menempel kencang di dadaku. Dengan belaian lembut, tanganku terus mengelus penggungnya. Kemudian Nyonya Helena menatap wajahku, bola mata berwarna biru seolah menembus wajahku. Sorot matanya seakan mengharapkan sesuatu, tiada kata yang keluar dari mulutnya, dengan lembut tanganku menyekah air matanya.



Secara perlahan wajahku maju mendekati wajahnya, lalu dengan lembut bibir menyentuh keningnya. Matanya terpejam, kecupan lembut membuat hatinya damai. Air mata yang mengalir seakan berhenti, kesedihan yang mendalam seolah sirna. Mata terbuka terus menatapku, dengan gerakan perlahan bibirku mengecup hidungnya. Terus bergerak ke bawah ketika mendekati bibirnya aku berhenti. Mataku menatap bola mata birunya, ia pun menatapku. Bibirku mendekati lagi bibirnya dan ketika bibirku menempel di bibirnya, kecupan lembut aku berikan kepadanya. Nyonya Helena menyambut kecupan bibir dengan hati pasrah, suasana yang mendukung didalam gudang lama milik Papa Nyonya Helena, membuatku dan Nyonya Helena menjadi lupa akan status majikan dan bawahan. Kini bibirku mulai melumat bibirnya. Nyonya Helena menyambut lumatan bibirku dengan penuh bergairah. Pertemuan kedua bibirku dengan bibir Nyonya Helena, mengeluarkan suara 'cuupp...cupppp ssuuuppp .. cuuupppp , ciiippppp' Tanpa ada suara desahan yang keluar dari bibirnya. Birahiku mulai naik, tidak hanya bibirku yang melumat bibir Nyonya Helena, namun tanganku turut beraksi bergerak turun, hingga menyentuh benda bulat yang masih tertutup baju di bagian atas. Benda kenyal tersebut, seolah mau keluar dari sarangnya, baju putih Nyonya Helena memang agak ketat, sehingga kancing kancing bajunya seolah mau lepas. Benda itu aku rabah secara perlahan dan lembut, gerakan halus mengusap-usap permukaan gunung kembarnya terus berlanjut. Kini usapan kunaikan menjadi remasan remasan lembut dan baru terdengar secara perlahan suara Nyonya Helena berdesah. Lumatan bibirku secara perlahan aku lepaskan, kini bibirku bergerak menyusurih leher putih Nyonya Helena. Ciuman dan kecupan lembut bibirku di leher putihnya hingga penyentuh belahan baju atasnya. Jari tanganku berusaha melepaskan kancing-kancing baju tersebut, sedangkan kedua tangan Nyonya majikanku, merangkul pundakku. Satu kancing baju atas terbuka, tampak kulit putih bagian dada atas terbuka Lalu jariku bergerak lagi, kancing kedua terlepas, semakin tampak pangkal buah dada nyonya majikanku. Lalu kancing ketiga tertepas, muncul BH putih berendah masih menutupi bentuk buah dadanya. Kancing keempat terbuka, gunung kembarnya telah terlihat hampir semuanya. Kini gunung kembar milik Nyonya majikanku, Helena tampak sedikit terlihat, hanya saja belum semua terlihat, masih sebagian saja karena masih tertutup oleh baju putihnya



Aku hanya menciumi permukaan bukit salju itu. Rintihan halus terdengar di bibir nyonya majikanku, Helena.

"Oohhhhh, .. Aaahhhhhhh...sshhhhh!"

Sambil menciumi belahan dan pangkal bukit kembar itu, satu tanganku menahan tubuh Helena, sedangkan tangan kananku bergerak meremas-remas bukit kembar bagian kirinya. Jari tanganku merasakan kekenyalan bukit kembar Nyonya Helena, dan aku tidak tau sudah punya anak berapa majikkanku ini. Puas mencium bukit kembar milik majikkanku, tangan kananku bergerak turun kebongkahan daging bulat besar di bawah pinggangnya. Ketika menyentuh bongkahan itu, tanganku mulai meremas remas bongkahan itu terasa kenyal empuk dan lembut. Tanganku bergerak turun dan turun hingga menyentuh kulit paha bagian bawah atas dengkulnya lalu bergerak naik, usahaku untuk menaikan rok pendek itu berhasil. Rok pendek Nyonya Helena terangkat naik dan terus naik, seiring dengan pergerakan jari-jari tanganku yang mengusap lembut belahan pahanya. Rok pendek tersebut terus naik tidak sampai melewati pangkal pahanya.

Sekilat aku melihat keputihan kedua belah paha Helena, dan aku juga tadi melihat banyak tumpukan jerami di sekitar mobil tua yang ditutupi oleh kanvas yang lumayan lebar.

Melihat itu aku menggiring Nyonya Helena ke sana, lalu sambil melumat bibirnya, aku merebahkannya di tumpukan jerami yang ditutup oleh kanvas. Aku mulai meremas buah dada Nyonya majikanku Helena, silih berganti, tanganku bergerak turun meremas remas kedua paha mulusnya. Nyonya majikanku, memang cantik, tampak indah bentuk kedua belah pahanya. Usapan jariku di pangkal pahanya, samar-samar mengitip secarik kain putih di antaranya. Cucukupun semakin tegang, secara perlahan tubuhku bergerak menaiki tubuh nyonya majikkanku Helena, setelah berhasil menaiki tubuhnya, aku merangkulnya mesra. Desahan lembut terdengar dari bibir Nyonya Helena.

"Pakkk Solllllleeeeehhhh .Oooohhh.. Szzzzzzzzzzzzzz"

Penisku bertambah keras, aku berusaha membuka kancing dan reseliting celana panjangku. Setelah terbuka aku kembali menindih tubuhnya.

"Pakkkkk...Ooohhhhhh .. Tuhaaaannn, auuuuwwww!" desahnya panjang

Napsu birahi kami berdua telah membara. Namun saat yang diinginkan sebentar lagi akan terlaksana, tiba-tiba...

"Bapak...Pak...Pak Soleh!"

Aku tersentak diikuti oleh Nyonya Helena.

"Gawat Nyonya kita dicari" kataku kepada Nyonya Helena, "mari rapihkan...nanti kita ketahuan"

"Ok Pak, cepat nanti mereka datang kemari" Nyonya Helena tampak panik juga dibuatnya, tidak terlebih aku



Ternyata suara itu adalah suara Maisharo memanggilku. Buru buru aku mengancingkan kembali celana dan menaikan reselitingku. Kubantu Nyonya Helena merapihkan kancing bajunya. Lalu kuraih tangannya, kemudian Nyonya Helena merapihkan rok hitamnya serta menurunkannya. Aku membersihkan jerami yang sedikit menempal dipakaian Nyonya Helena, baik di rambut baju serta roknya. Aku sendiri merapihkan tubuh dari kotoran jerami dan debu yang menempel ditubuhku dibantu juga oleh Nyonya Helena. Setelah rapih aku memandang wajah cantik majikanku, dari sorot matanya terbersit sesuatu yang tidak bisa diungkapkan, apa dia merasa bersalah atau merasa kecewa, sulit ditebak. Namun yang pasti diriku yang merasa kecewa

"Sial" omelku dalam hati agak dongkol terhadap Maisharo, "kalau tidak karena kamu mungkin siang ini aku sudah dapat bercinta sama nyonya majikkanku...was ya Maisharo"

Kemudian aku berkata "Nyonya maafkan saya, saya khilaf, saya tidak tahu diri Nyonya, saya telah melakukan kesalahan yang tidak mestinya saya lakukan"

Nyonya Helena berkata lembut sambil menggeleng

"Bapak Soleh tidak bersalah, Bapak baik, hal itu adalah rasa cinta dan sayang yang Bapak Soleh berikanan kepada saya dan hal itu adalah wajar, karena bagaimanapun dan dimanapun hal seperti pasti akan terjadi. Baik dari Bapak Soleh sendiri maupun dari diri saya sendiri"

Nyonya Helena mendekatiku lalu dengan kecupan lembut dia mengecup bibirku.

"Bapak tidak perlu merasa bersalah" jawabnya halus.

Karena yang melakukan adalah keinginan majikanku sendiri, secara reflek aku membalas kecupannya dengan lumatan. Beberapa detik kemudian lumatan bibir kami terlepas. Secara singkat aku mengecup leher putihnya dengan lembut. Lalu dengan senyum menghiasi bibirnya Nyonya Helena mengajaku keluar.

"Mari Pak Soleh...itu dipanggil saudaranya"

"Mari Nyonya" jawabku.

Ketika kami keluar dari gudang tua itu, Maisharo sudah berjalan ke arah gudang. Melihat kami keluar, ia berhenti dan terus berbalik menuju rumah. Tak lama Nyonya Helena berpamitan pulang untuk melihat tokonya. Dia berpesan kepada Mashito dan Maisharo untuk menjaga rumah mereka. Aku mengantarnya keluar dan sampai ke mobil, sedangkan ibu dan anak itu, kembali masuk rumah dengan kesibukannya.



Sesampai di mobilnya Nyonya Helena berkata

"Besok pagi, saya jemput Bapak"

"Tidak usah Nyonya biar saya berangkat sendiri saja." jawabku

"Dengan apa?" tanyanya sambil tersenyum

Aku berpikir, benar juga, pakai apa aku ke tokonya. Di sini jalannya saja, aku belum hafal betul. Kendaraan disini, juga jarang-jarang, entah ada atau tidak kendaraan umum.

Sedangkan rumah, dari rumah satu kerumah yang lain lumayan jauh 200 sampai dengan 500 meter.

"Bagaimana" tanya Nyonya Helena

"Baiklah Nyonya besok pagi saya menunggu Nyonya!"

Lalu ia masuk ke mobil, setelah menstater, dia melambaikan tangannya dari dalam mobil, mobil jenis van melaju meninggalkan perkarangan rumah miliknya itu, yang saat ini aku tempati bersama Mashito dan Maisharo. Aku masuk ke dalam rumah turut membantu membersihkan debu dan sarang laba-laba yang banyak di dalam rumah, maklum rumah ini sudah cukup lama tidak dihuni. Tidak terasa, hari sudah menjelang sore, matahari sudah hampir tenggelam dan sebentar lagi akan berganti malam. Usaha kami membersihkan rumah akhirnya selesai juga. Kulihat Mashito dan Maisharo tampak kelelahan, keringat membasahi baju kurungnya. Sedangkan debu dan sarang laba-laba lengket di baju dan wajahnya. Mereka duduk duduk di sofa lalu aku duduk di dekat mereka.

"Akhirnya kita mempunyai rumah juga ya"

Keduanya walaupun lelah, dapat tersenyum bahagia. Aku memeluk keduanya sambil mencium pipi mereka masing-masing. Keduanya membalas memeluk dan mencium pipiku.

"Sekarang sudah sore, kita mandi yuk!" ajakku.

"Baik Pak!" jawab mereka berdua.

"Tempat mandi ada di luar, jadi terpaksa kita mandi di sana. Air baknya masih kering, Bapak akan memompa airnya kalian bantu memasukan ke dalam bak ya"

"Baik pak!"



Setelah mengambil perlengkapan mandi, sabun, sikat gigi, dan handuk kami bertiga pergi ke kamar mandi diluar. Aku mengompa air, ternyata airnya cukup lancar dan jernih lagi.

Keduanya saling membantu mengisi bak, setelah cukup penuh baru mandi. Karena sudah lama tidak terpakai, pintu kamar mandi rusak sehingga tidak dapat ditutup atau dibuka, jadi terpaksa dilepas saja takut tertimpa pintu kamar mandi. Setelah keduanya masuk ke dalam, mereka tampak ragu

"Ayo mandilah!" kataku "Tidak perlu malu dan takut, Bapak akan jaga kalian berdua."

Keduanya lalu membuka pakaian masing-masing dan melirikku. Mereka saling pandang, keduanya tampak paham apa yang terganjal dihati dan pikiran mereka. Haruskah membuka baju di hadapanku? Lalu Mashito memandang anaknya seraya memberikan isyarat mengangguk. Kemudian mereka melepaskan baju kurungnya. Kini kedua hanya mengenakan BH dana celana dalam, Mashito berwarna putih sedangkan Maisharo agak putih tapi menjurus ke pink. Hari mulai semakin gelap, aku mencari saklar lampu. Aku mendekati kamar mandi, mataku melihat ke atas dan ke dinding

"Ada apa Pak?" tanya Mashito

"Ada sesuatu"

Mereka merasa curiga, lalu keduanya mendekati aku.

"Bapak melihat sesuatu yang aneh?"

Aku memandang keduanya, terlihat raut wajah kecemasan. Kuraih kedua pinggang ramping mereka, dan keduanya merapat ke tubuhku.

"Bapak cuma mancari saklar lampu...hari semakin gelap, jadi Bapak ingin menghidupkan lampu supaya mandi bisa kelihatan. Nah ini!" di balik pintu yang rusak ini saklarnya. setelah aku tekan 'Plazzz' suasana ruangan kamar mandi yang gelap kini menjadi terang.

"Nah sekarang mandilah! kamar mandinya sudah terang."

Mashito mulai mandi dan membersihkan tubuhnya, membasahi rambut hitamnya, menyikat gigi serta menyabuni tubuhnya. Sedangkan Maisharo mencuci bajunya dan ibunya.



Mashito sudah hampir selesai, tubuh setengah telanjangnya semakin putih mengkilat kena siraman air dan sinar lampu kamar mandi. Buah dada itu tampak menggoda, hutan rumput ilalang hitam itu yang tertutup kain segitiga putih di antara kedua belah pahanya yang putih mulus, sungguh membangkitan birahi. Mashito telah selesai mandi, kini dia mengelap tubuhnya dengan handuk lalu melilitkan handuk ke bagian atas tubuhnya, kemudian dia melepaskan BH serta celana dalamnya.

"Umi...sini pakai dalamnya, biar Maisharo yang cuci!"

Mashito menyerahkan BH dan celana dalamnya kepada anaknya kemudian dia keluar kamar mandi. Aku yang bediri diluar kamar mandi dihampiri olehnya lalu ia berkata

"Bapak sana mandi!"

Aku meraih pinggangnya

"Heiiiii!!" teriaknya kecil "bau...cepet mandi sana Pak!"

Sambil berlari menghindar dariku Mashito masuk ke dalam rumah. Aku berjalan mendekati pintu kamar mandi dan berdiri disitu.

"Mai!" sapaku

"Ya...ada apa Pak?" Maisharo menoleh ke arahku

"Bapak boleh mandi?"

"Ya boleh Pak, mandilah sini" sahutnya.

"Kamu tidak marah?" tanyaku.

Sambil tersenyum dan menggelengkan kepala Maisharo berkata "tidaklah Pak."

"Karena bapak jadi takut kalau kamu marah lagi seperti tempo hari" balasku.

"Ah...waktu itu, karena Mai kaget saja, karena malu terhadap Bapak, apalagi waktu itu umi ada di dekat Maisharo"

"Sekarang?" timpalku

"Kalau sekarang tidak lagi" jawabnya.

"Kenapa?"

"Takut"

"Takut karena apa?"tanyaku lagi

"Takut kalau Bapak meninggalkan Maisharo dan umi"

"Bapak tidak setega itu", jawabku "kamu sudah selesai nyucinya?"

"Sudah ni' , tinggal mandi saja" sahut Maisharo.

"Tuh wajah, tangan bagian tubuh kamu hitam semua"

"Iya Pak, banyak sekali debu dan kotoran rumah ini"

"Maklum lah sayang, rumah ini sudah lama tidak dihuni jadi wajar tidak terawat dan berdebu" jawabku.

"Pegel dan capek sekali rasanya badan Mai"

"Tapi walaupun capek dan pegal-pegal, kamu senang juga kan, punya rumah?"

"Ya pastilah Pak, dibandingkan kita tidur di bangunan tua itu."

"Makanya kita mesti beryukur, ada orang baik yang perhatian sama kita. Jadi kebaikanya mesti harus kita jaga"

"Iya' ya Pak" sahutnya



"Ayo mandi sini, tuh kotor semua tubuh kamu!"

Maisharo mendekat dan menyiramkan air ke tubuhnya.

"Uuuuhh . segar sekali rasanya" .

Akupun menyiramkan air ke tubuhku, memang terasa segar sekali habis bekerja seharian.

"Sini Bapak gosoki tubuh kamu dengan sabun"

Maisharo tidak banyak bicara, dia malah mendekatkan punggungnya ke dekatku. Akupun dengan senang sekali menyabuni serta mengosok noda-noda hitam di sekujur tubuhnya.

Rasanya tidak rela tubuh yang hanya berbalut BH dan celana dalam ini ditempeli oleh kotoran sedikitpun. Mulai dari leher dan tengkuk, kedua bahunya kemudian punggung, turun ke pinggang serta bongkahan bokong bulat nan kencangnya. Maisharo tidak terlalu banyak memprotes, ketika pantatnya kiri dan kanan aku sabuni sambil sesekali aku remas, hanya tubuhnya saja seperti bergoyang merasa geli. Tubuhnya aku tarik ke belakang sehingga punggung menempel di dadaku, sedangkan pantatnya yang bulat dan kencang menempel ketat tepat di celana pendekku. Kontan saja cucuku yang sedari tadi sudah menegang menjadi bertambah keras. Aku tak tahan menahan himpitan pantatnya terhadap batang penisku, secara perlahan celana pendekku aku pelorotkan hingga jatuh ke lantai kamar mandi. Kini yang hanya tinggal, hanyalah celana kolor warna putih miliku menutupi penisku yang tegang. Aku masih menyabuni punggung sambil memijit bahunya, dan Maisharo berkata pelan.

"Aduhhhh...enak Pak"

"Apa yang enak?" tanyaku

"Pijitannya" sahut Maisharo.

"Yang dimana sayang yang enak?" tanyaku kembali.

"Di bahu dan punggung" jawabnya "Bapak pinter sekali"

"Pinter apanya?"

"Mijitnya" sahutnya pelan.

Gerakan tangan dan jariku perlahan turun, Maisharo melenguh pelan.

"Oohhhhh .. addduhhhh . enak sekali pak...ilang rasa capeknya" sahutnya.

"Ah, baru sebagian saja, belum seluruhnya" jawabku.

"Iya, tapi tetap enak sekali pijitnya pak" katanya pelan.

"Bentar" tanganku yang sudah berada di pantatnya aku tekan dengan lembut dan pelan, seirama putaran kedua jemariku di bongkahan daging kenyal di tergantung di bawah pinggangnya.

Walaupun masih dihalangi oleh celana dalam putih sedikit merah mudah, tidak menyurutkan aktivitas tanganku sambil meremas pantatnya.

"Uuuuuuhh . pegal sekali di situ pak"
 

"Enak sayang?" bisikku.

Maisharo mendesah lirih sambil mengangguk. Pijitan lembut dipantat bulatnya membuatnya memejamkan matanya.



"Aduh...anak Bapak sayang, sampai tiduran begitu saking enaknya" kataku.

"Heeh" sahutnya lirih sambil tersenyum manis.

Ciuman lembut di antara telinga dan leher sampingnya semakin kepalanya direbahkan ke bahuku

"Paakkkk" desisnya lirih

"Kenapa sayang?" tanyaku

"geliiii aaahhh!"

"Bapak gemes sayang" sahutku

"Uu hhhh Bapakk" sahutnya manja.

Tanganku berpindah ke atas mengusap-usap lehernya putihnya hingga mengelus-elus bahunya. Kecupan lembut di bahu dan lehernya tidak pernah aku lewatkan, membuatnya semakin terbuai manja. Jemari tanganku terus bergerak turun dan turun hingga mendekati pangkal gunung kembarnya. Hati dan bathinku bergemuruh, semakin mendekati daerah gunung kembar itu, tangan dan jariku seolah keram dan gemetaran. Rasanya baru kali ini saja aku menyentuh kulit mulus seorang perempuan. Padahal ibunya Maisharo baru beberapa hari yang lalu aku garap. Apa karena yang aku gerayangi sekarang adalah seorang gadis perawan hingga semua tubuhku semakin gemetar terutama lututku. Dengan kekuatan hati , perlahan dan lembut aku perlakukan Maisharo dengan penuh kasih sayang, supaya tercipta kemesraan yang alami. Jemariku semakin bergerak perlahan hingga akhirnya mendarat juga dipuncak anak gunung berapi yang belum aktif. Pada saat kedua telapak tanganku mendarat di puncaknya, saat itu juga tangan Maisharo memegang kedua tanganku. Lalu di berkata pelan

"Pakkk!!!"

"Ia...ada apa sayang?" jawabku.

"Jangan!!" jeritnya pelan.

Aku diam saja tetapi telapak tanganku tetap mengusap sambil memijit pelan dengan penuh kelembutan.

"Ooohh Pa.aaa.kkk...sudah: .. jangannnn!"

"Kenapa?" tanyaku.

"Geliiiiiiii" balasnya

"Tidak apa-apa sayang...pelan-pelan saja" kataku.

"Aahhh, Bapak nakal!"

Gerakan tanganku mulai meremas pelan

"Sssszzzz . Paaaakkkkkkk suuuudaaahhh, nanti Umi melihat" pinta Maisharo memohon.

"Tidak sayang" jawabku

"iiihhhhh Bapak makin nakal aja ah" sahutnya .



Tangan Maisharo masih memegang tanganku yang masih dengan lembut meremas pelan kedua gunung kembarnya, tetapi tidak berusaha menepis dan memindahkan kedua tanganku. Tanganku semakin liar, respon yang tidak memberikan perlawanan membuatkan semakin gatal dan bersemangat. Remasan agak kutingkatkan, namun tetap dengan secara berirama dan pelan agar tidak menimbulkan paksaan di dalam diri Maisharo yang akhirnya dapat menimbulkan kenikmatan bagi dirinya. Jemariku terus dengan lembutnya meremas mesra kedua gunung kembarnya dan secara perlahan jari-jariku menyusup masuk ke dalam BHnya.

"Oohhh Pakkkkk!" suara Maisharo lirih

Dan ketika kedua telapakku telah menempel di seluruh permukaan buah dadanya barulah aku merasakan betapa kencangnya dan lembutnya kulit buah dada Maisharo.

"Oohhh tuhan! ini baru karuniamu. Kau ciptakan anak ini begitu sempurna sekali." Kataku dalam hati

Busa sabun yang menempel ditubuh kami berdua, menambah licinnya kulit tubuh Maisharo. Pada saat kedua telapak tanganku menempel dan mengusap serta meremas buah dadanya, terasa sekali puting susunya menegang. Belum dapat aku pastikan bentuk dan ukuran buah dada Maisharo serta keindahan kulit buah dadanya, karena masih menggunakan BH. Hanya saja tidak sebesar milik ibunya, cuma masih tergolong lumayan bila dibandingkan anak-anak di negara asalku.

"Oohhhh Pakkkkkk...sudaaahhh...aaahhhh...geeliiiiii...Pakkkkkk!" rintihan halus keluar dari mulut Maisharo.

Sambil mengusap dan meremas pelan buah dada Maisharo, tangan kananku meluncur turun dari salah satu buah dadanya, secara perlahan dan lembut, jemari tanganku bergerak menelusuri kulit perut dan pusarnya. Di bagian bawa pusarnya aku merasakan sesuatu yang kasar seperti rambut, ketika kulirik kebawa ternyata bulu-bulu kemaluan Maisharo tubuh subuh sampai melewati karet celana dalamnya. Memang tidak salah orang keturunan bangsa Arab mempunyai bulu-bulu yang sangat rimbun. Walapun masih tergolong muda pertumbuhan bentuk tubuh hormon anak perempuan sangat cepat.

Hal ini yang dialami oleh Maisharo, bulu-bulu kemaluan sangat lebat sama seperti ibunya Mashito.



"Iiii...Bapakkkk, ssssshhhh!" desahan mulut Maisharo semakin terdengar.

Jari tanganku semakin turun dan turun hingga menyentuh karet celana dalam milik Maisharo. Jari-jariku terus bergerak pelan dan turun, terasa empuk di permukaan celana dalamnya. Bentuk benda diantara kedua belah paha Maisharo hampir mirip dengan ibunya, empuk dan lembut. Dan begitu usapan dan remas lembut jari tanganku di bagian bawah selangkangannya, secara reflek jari tangannya mencengram kuat tangan kananku.

Maisharo berkata pelan"Pak...jangan" . ya Pak"

"Kenapa?" tanyaku

"Tidak boleh Pak"

"Ya kenapa sayang?" sahutku

"Mai takut...itu melanggar Pak"

"Kita bukan suami istri, tidak boleh melakukan hal-hal seperti ini. Sejauh ini, tidak seorangpun pernah melakukan hal semacam ini, baik orang tuaku bahkan orang lain."

"Ah, Mai...masa gitu sama Bapak" sahutku

"Ya betul pak" balasnya.

"Bapak cuma pingin meraba saja sayang, masa tidak boleh? Katanya Bapak sudah kamu anggap orang tua sendiri"

"Betul Pak" sahutnya, tangannya masih memegang kuat tanganku

"Mai sayang...bolehkan bapak merabanya? Bapak sudah lama tidak mengelus dan meraba benda itu, kamu tidak kasihan sama Bapak? Sejak istri Bapak meninggal, bapak sama sekali tidak pernah menyentuh perempuan sayang, apalagi meraba dan menyetuh tubuh kamu seperti hal sekarang ini"

"Mai...hmmmmmm" suaranya lirih.

"Bolehkan sayang?" pintaku, "Bapak mohon padamu sayang, ya bolehkan?"

"Pakkk... Mai takut Umi melihat...Mai juga takut kalau ada orang yang melihat, kita baru saja pindah ke sini, dan apa kata orang-orang di sini?" sahut Maisharo setengah berbisik.

"Kamu tidak usah kuatir, orang sini ramah ramah dan tidak mau mencampurin urusan orang lain, jadi kamu tenang saja" jawabku, "jadi gimana sayang? Bolehkan?"

"Heemmmmm" sahutnya pasrah



Suara heemnya sepertinya meng-isyaratkan boleh pikirku. Tanganku mulai bergerak lagi, walaupun tangan Maisharo masih menggenggam tanganku, tetapi gerakan tanganku di atas celana dalamnya hingga bagian bawa kemaluannya berjalan lancar, sepertinya Maisharo mengijinkan jari-jariku menari-nari disekitar situ. Karena sudah mendapatkan ijin, jari-jari tanganku bergerak kesana kemari dan ketika jariku naik keatas menyelinap di karet celana dalam Maisharopun tidak ada penolakan. Bulu kemaluan di sekitar bawah pusarnya tidak dapat ditampung oleh seluruh celana dalamnya. Dan ketika jari tanganku telah bergerak masuk kedalam celana dalam Maisharo, diapun tidak melakukan penolakan bahkan tangannya yang tadi mencengram tanganku, sekarang telah berpindah memegang paha kananku. Sama halnya seperti ibunya, bulu bulu kemaluan Maisharo sangat rimbun dan tebal manakala telapak tanganku bersentuhan dengan bulu bulu itu.

Jari-jariku semakin nakal, seolah ada mata saja jari tengahku mencari sesuatu yang selalu dicari oleh kamu laki-laki. Itu adalah sebuah lembah licin, di antara lembah terjal dan licin itu ada sebuah gua yang tersembunyi di antaranya. Gua itulah yang akan dicari oleh kaum adam untuk dijelajahi gerangan apa yang tersembunyi di dalamnya. Saat jariku menyentuh bukit kecil di antara rimbunan rumput hitam nan tebal itu, saat itu juga tubuh Maisharo bergetar, suara rintihan halus terdengar dari mulut mungilnya.

"Sssssszzzz...Uuuuuuhhhh .. Paaaaakkkkkkkk!"

Benda sebesar biji kacang kulit menonjol di antara bukit terjal itu semakin menegang, begitu juga tubuh Maisharo bagaikan tersengat aliran listrik ribuan watt, tubuhnya meliuk bagai cacing yang kena sinar matahari. Pekikan kecil keluar dari mulutnya

"Ahhh!!!! .. Bapakkkk !!! Auuuuwwwww...sudaaaahhhhhh Paaakkkkkk!"

Jariku terus menggelitik biji kacang itu sambil menelusuri belahan bukit karang yang semakin licin oleh rembesan air yang terdapat dari dalam gua suci itu. Semakin menahan gejolak dari dalam tubuhnya semakin tak kuasa Maisharo membendung derahan darah mudanya. Dan akhirnya secara tiba-tiba dan tanpa diduga, tubuhnya berbalik menghadapku dan sorot matanya tajam seolah menembus bola mataku. Aku melihat kilatan sinar matanya, seakan meminta kepastian dan kejujuran dariku. Lalu aku berkata pelan,

"sayang...jangan ragukan ketulusan kasih sayang Bapak, cinta dan sayang Bapak kepada kamu dan ibumu sangat tulus."

"Betulkah apa yang Bapak baru katakan?" tanyanya pelan.

"Betul sayang" jawabku



Tanpa sungkan lagi, Maisharo mencium pipiku dengan senyum mengembang dengan lesung pipitnya yang indah. Akupun langsung melumat bibir mungil itu, respon lembutpun aku terima dari bibirnya. Ia membalas lumatan bibirku dengan mesra.

Bongkahan pantat sang gadis perawan yang bulat padat, menjadi sasaran kedua tanganku. Remasan lembut terhadap kedua pantatnya menambah gairah kami berdua, tak terasa 30 menit sudah cumbu rayu yang kami lakukan. Suasana dingin di dalam kamar mandi tidak terasa oleh kami berdua, dinginnya air seolah berubah menjadi panas, sepanas membara dari dalam tubuh kami berdua. Suasana gelap terus merangkak malam, entah jam berapa sekarang ini, yang jelas nyamukpun ikut nimbrung dalam aktifitas acara kami berdua.

Sedangkan Mashito yang berada didalam rumah entah apa yang dia kerjakan, sehingga apa yang terjadi dikamar mandi saat ini seakan tidak peduli dengan rumah baru yang kami tempati. Lumatan bibir kami berdua semakin romantis, sedangkan tanganku juga tak tinggal diam. Buah dada dara yang masih perawan ini yang belum pernah disentuh oleh lelaki manapun menjadi sasaran kedua telapak tanganku. Gunung kembar ini memang sangat ranum dan kencang, tanpak puting susunya menonjol tegang dibalik BH tipisnya. Tanganku kembali bergerak turun dan langsung masuk kedalam celana dalam itu. Ia tidak lagi memprotes perlakuan jari-jariku di daerah kemaluannya, sekarang dia hanya pasrah terhadapku. Dengan gerakan halus celana dalamnya aku pelorotkan secara perlahan, secara perlahan celana dalam ini mulai melorot dari pantatnya, terus pangkal pahanya, terus kedua belah pahanya, lalu lutut dan akhirnya jatuh diantara kedua kakinya. Kini tanganku bergerak lagi ke punggungnya mencari-cari pengait BH nya, setelah dapat dengan gerakan pelan tezzz...pengait itu terlepas. Tanpa malu lagi, Maisharo dengan sendirinya turut membantuku melepaskan BHnya sendiri dengan menggerakan kedua tangannya kiri dan kanan dijatuhkannya ke lantai. Batang penisku yang sedari tadi belum juga keluar dari sarangnya, dengan menggerakan satu tangan saja kolorku berwarna putih melorot jatuh di kedua telapak kakiku.



"Iiiihhhh, Bapak apa itu!" jerit Maisharo pelan.

"Ini pisang raja, hehehe!" jawabku bercanda sambil ketawa

"Pisang raja?" wajah Maisharo berkerut tapi raut mukanya menjadi memerah, "masa pisang raja bisa berada di situ?" tanyanya tersenyum

"Suka suka dia mau di mana, mungkin mau ngintip Ratu Kerang, hihihi" jawabku bercanda.

"Ratu Kerang?" kembali dahi Maisharo berkerut, "memang ada Ratu Kerang?"

"Ya adalah" jawabku menggoda

"Mana? Mai mau lihat"balasnya memancing

"Tuh, di bawah sana!" jawabku

"Mana? tidak ada" sahut Maisharo sambil matanya mencari ke kiri, kanan dan belakang.

"Tidak ada Pak" kembali penasaran Maisharo dibuatnya.

"Ini" jawabku sambil satu tanganku menyentuh belahan vaginanya.

"Auuuuuwwww...Paaakkkkkkkk, iiiihhhhh Bapak jahat, nakal" salah satu tangan lembutnya mencubit perutku.

"Aduhhhhh...sakit sayang!" keluhku.

"Syukur, habis Bapak nakal" sahutnya manja.

"Mai" sambil kutarik pinggangnya ke arahku sehingga batang penisku nyelip di antara rimbunya rumput hitamnya.

"Kenapa Pak?" sahutnya pelan.

"Kita terusin di kamar saja ya?" tanyaku

"Mai takut Umi melihat kita" jawabnya pelan.

"Kita lihat situasi dan keadaan dulu" ajakku, "sampai saat ini ibu kamu tidak memanggil kita. Mungkin dia tertidur karena capek sekali, sehingga lupa terhadap kita" kataku lagi.

"Gimana sayang?" tak lupa tanganku meremas pantatnya.



Tubuh Maisharo sedikit agak maju, terasa kepala penisku menyentuh bibir vaginanya.

"Auuuwww...Pak .. geliiiii aahhh!" teriak Maisharo manja.

"Geli apanya?" godaku.

"Itunya...mengenai anunya Mai"

"Itunya yang mana?" balasku pura-pura tidak tahu "dan anunya Mai yang mana geli?" sahutku menggoda gadis perawan ini.

"Itu...pisang rajanya mengenai tempat kencing Mai"

"Ah itu belum apa-apa sayang. Mungkin si pisang pingin mengintip bagian dalam ratu kerang" jawabku bercanda hehehe..

Belum lagi kedua buah dadanya yang mencuat ke depan dengan puting susunya mengeras menggoda tepat di depan mukaku. Dengan penuh kelembutan dan kasih sayang, lidahku menjulur keluar menyentuh puting susu yang sudah mengeras itu. Belum sempat aku mengulum puting susu itu, kepalaku telah ditahan olehnya.

"Jangan...Bapak, ahhhhh!"

"Yuk kita ke dalam!" ajakku

Tanpa jawaban Maisharo melepaskan pelukanku. Aku membiarkannya, dia kembali mencuci celana dalamnya kemudian celana kolorkupun dia cuci. Setelah selesai, dia mengeringkan tubuhnya dengan handuk. Aku yang masih menyabuni tubuhku dan membersihkan kotoran yang melekat di tubuhku tidak lepas dari pemandangan indah di depan mataku. Sampai akhirnya Maisharo berkata

"Bapak, Mai duluan ya"

"Ya sayang" jawabku, "tunggu Bapak di kamar ya"

Maisharo tersenyum manis sekali, lalu diapun mengangguk dan masuk ke dalam rumah.

By: Kelana Jam



© Karya Kelana Jam