Namaku Yudha. Kini aku berumur 29 tahun. Aku bekerja di salah satu perusahaan swasta di Jakarta. Aku memiliki kisah menarik. Kisah ini bermula 5 tahun yang lalu.
Aku memiliki tetangga seorang wanita cantik yang waktu itu berumur 38 tahun. Aku biasa memanggilnya Mpok Ria. Karena dia orang Betawi. Mpok Ria adalah istri kedua dari suaminya yang sekarang. Sebelumnya ia sudah pernah menikah dan memiliki anak perempuan, yang biasa kupanggil Ati. Aku dan Mpok Ria bertetangga sangat akrab. Sejak aku SD, keluarga Mpok Ria dekat dengan keluargaku. Kedua orang tuaku yang sudah tua dianggap sebagai orang tua oleh keluarga Mpok Ria. Hubungan kami tetap akrab meski kedua orang tuaku telah meninggal.
Aku sebenarnya sudah nafsu melihat Mpok Ria sejak SMP. Bodinya seksi dan kencang. Buah dada dan pantatnya besar. Sering kali jika aku bermain ke rumahnya, Mpok Ria hanya menggunakan daster atau, dengan cuek setelah mandi, hanya dengan menggunakan handuk, melenggok di depanku. Aku menjadi terangsang dan pulangnya langsung beronani. Aku tidak berani berbuat lebih jauh karena hubungan yang sudah terlalu akrab itu. Apalagi Mpok Ria melihatku yang masih SMP hanya menganggapku sebagai adiknya.
Tapi ketika aku semakin dewasa, segalanya mulai berubah. Tepatnya ketika usiaku 25 tahun. Aku sebenarnya pria yang tampan dan menarik. Tapi aku agak malas pacaran. Sementara nafsu seksku yang tinggi biasa kusalurkan melalui onani. Soalnya aku takut berhubungan seks dengan pelacur. Selain karena bahaya penyakit, aku males keluar duit. Selama ini fantasi onaniku selain bintang Porno adalah Mpok Ria dan anaknya, yang kini sudah beranjak dewasa. Umurnya 18 tahun. Kulitnya putih mulus bodinya bener-bener proposional. Meskipun pantat dan Buah dadanya tidak terlalu besar. Wajahnya juga cantik seperti Shu Qie bintang film cina.
Suatu ketika aku mendapatkan telepon dari seseorang yang ingin berbicara dengan Ati. Rumah Mpok Ria tidak ada telepon jadi mereka menumpang di rumahku. Aku segera bergegas ke rumahnya. Rupanya Ati sedang mandi. Karena teleponya penting dan ditunggu, maka dia bergegas berganti pakaian. Ati hanya menggunakan daster yang tipis dan membentuk seluruh tubuhnya yang seksi. Ati bergegas menuju ke rumahku sementara aku mengikuti dari belakang. Pinggulnya yang bergoyang-goyang membangkitkan gairahku.
Sampai di rumahku, Ati duduk menerima telepon dengan posisi duduk yang menantang. Bagian bawah dasternya tersingkap, sehingga terlihat jelas pahanya yang putih mulus. Aku duduk di sofa didepanya dan mataku menjelajahi seluruh tubuhnya. Aku baru tahu ternyata Ati tidak sempat memakai BH. Kulihat putingnya tercetak di bagian dada dasternya. Ati menyadari bahwa aku sedang mengamatinya. Dia tersipu dan berusaha memperbaiki posisi duduknya. Namun dasternya yang pendek membuat posisi duduknya tetap saja merangsang. Tak berapa lama dia selesai menelepon. Dia berdiri dan siap-siap untuk pamit. Aku langsung memegang tangannya.
“Mau kemana? Sini dulu dong temenin gue ngobrol.”
“aduh.. Ati mau pergi nanti jam 1 ke blok M. Udah janjian ama temen.”
“ya udah nanti aja siap-siapnya. Kita ngobrol dulu..”
“aduh… mas Yudha.. Ati harus siap-siap”
“Iya deh. Sekarang Ati sombong. Gak mau ngobrol sama aku lagi.”
“Kok mas Yudha gitu. Emang mau ngobrol apaan?”
Ati duduk di sebelahku. Harum tubuhnya habis mandi semakin merangsangku.
“Ati mau ke Blok M ama siapa ? ama pacar ya ?”
“ah nggak kok. Ati gak punya pacar.”
“kok gak punya padahal Ati kan cantik”
Dia terlihat tersipu. Tanganku mulai membelai perlahan rambutnya. Kemudian turun ke lehernya. Dia masih diam. Akupun memberanikan diri mengecupnya. Dia nampak canggung menerima ciumanku. Aku makin berani. Tanganku merayap di pahanya. Ati pun mulai membalas ciumanku bertubi-tubi. Bibir kami saling berpagutan. Perlahan ku singkap bagian atas dasternya dan dengan leluas tangan kiriku mengelus Buah dadanya. Bibir kami masih saling bertautan. Ati sepertinya mulai terhanyut. Aku mulai menciumi bagian wajah yang lainnya. Pipi, dagu, lehernya yang jenjang. Ati terlihat terbuai. Aku pun mendesah di telinganya “kamu cantik sekali Ti”. Kemudian kurebahkan tubuhnya. Dasternya sudah tersingkap sebatas perut. Terlihat buah dada Ati yang membusung. Ukurannya tidak terlalu besar. Mungkin sekitar 34. Tapi bentuknya bulat dan padat berisi. Perlahan aku mulai mengulum kedua bukit tersebut secara bergantian. Putingnya yang kecoklatan kujilati sambil sesekali ku hisap lembut. Ati memejamkan matanya dan mulai mendesah. Tangannya berpegangan pada ujung sofa. Sementara tubuhnya terus bergeliat.
“aghhh.. sshhshs.. agghh..”. Desahannya membuatku makin lahap mengulum Buah dadanya. Tangan kiriku bergerilya menuju selangkangannya. Kumasukan jariku di antara CDnya dan kugesek-gesekan di permukaan vaginanya.
“agh.. mas Yudha.. aghh… sshssh..”
rupanya dia terangsang dengan permainanku. Kuhentikan kulumanku di Buah dadanya. Sejenak aku kembali mengulum bibirnya sementara tangan kiriku tetap menggesek-gesek vaginanya. Ati semakin larut dalam permainan ini. Ciumannya pun menjadi lebih memburu. Akupun mulai melepas CDnya. Kemudian aku turun menciumi seluruh bagian tubuhnya hingga sampailah aku di depan lubang vaginanya yang sudah basah. terlihat bibir vaginanya yang sempit ditumbuhi sedikit rambut yang halus.
“mas Yudha mau ngapain… ?” ujarnya lirih.
Aku tidak menjawab. Bibirku mulai menciumi bibir vaginanya yang sempit itu. Kemudian ku jilati seluruh permukaan. Sekalli-kali lidahku menusuk agak dalam menjangkau klitorisnya. Kemudian ku gigit kecil klitorisnya. Ati terlihat sangat terangsang. Dia merintih sambil berkali-kali memajukan vaginanya ke depan agar lidahku makin dalam menjangkau klitorisnya.
“aghh…. hahh… hahh…. enak maaas.. aghh… terus maasss… shhh..”
Cukup lama aku bermain dengan vaginanya. Sementara Penisku semakin mengeras. Kira-kira 10 menit Ati mulai Orgasme.
“aghhhhhhhh…..” Cairan putih kental keluar dari vaginanya. Napasnya tersenggal-senggal.
Aku yang masih berpakaian lengkap langsung membuka seluruh pakaianku. Aku telanjang bulat dengan penis yang sudah menegang sedari tadi. Ati terpaku melihatku. Sepertinya dia menunggu langkahku selanjutnya. Karena aku sudah sangat bernafsu, maka aku langsung mengarahkan Penisku yang berukuran 15 cm itu ke lubang vaginanya. Ku lebarkan selangkangannya terlihat lubang itu sudah siap menanti untuk ditusuk. Ati terlihat diam saja dan menunggu penetrasiku.
“Ati diam ya.. agak sakit sedikit..” kata ku sambil mengelus pahanya.
Perlahan ujung Penisku mulai menusuk. Ati meringis. Aku mengelus Buah dadanya biar Ati bisa merasakan rangsangan seksual pada bagian tubuhnya yang lain. Penisku pun mulai menusuk makin dalam.
“ah… sakit mas..” ringisnya.
Aku mulai mencium bibirnya agar dia bisa melupakan rasa sakitnya sedikit. Penetrasi ku hentikan sejenak dan aku konsentrasi menciumi bibirnya. Setelah Ati terlihat hanyut, aku mulai melanjutkan kembali penetrasi. Perlahan-lahan Penisku masuk seluruhnya ke dalam vaginanya. Kurasakan otot vaginanya memijit pelan pangkal Penisku. Sambil tetap ku kulum bibirnya, kugoyangkan pantatku perlahan-lahan. Naik turun makin lama makin cepat. Ati terlihat mulai menikmati gesekan Penisku di vaginanya. Aku segera mempercepat goyangan pantatku. Terasa nikmaaat sekkaalii. Seluruh permukaan vaginanya yang sempit habis dijelajahi Penisku. Penisku terasa seperti di urut-urut. Kadang agak sepet kadang licin. Yang jelas nikmaaat….
Ceplak.. cplak… cplak… cplak.
Terdengar suara dari bagian bawah. Sementar Ati terlihat terengah-engah. Matanya memejam dan bibirnya mendesah tak karuan.
“aghh.. enaaakkkk maaasss…. terussss shhhhhh… terusss… ahhhh… ahhhh. aahhhhh…. !!!”
“aduh Ti… Memek loe… enak banget. Aghh.. shhhh… sempit…. Enak… ahhhh.. ahhhh…..” Kataku di sela desahannya.
Ati merem melek dan berkali-kali menggigit bibirnya diantara desahan-desahannya.
Tiba-tiba kurasakan otot vaginanya semakin keras menjepit.
“mass akuuu mauuu piii piiis…” Aku sadar dia mau orgasme kembali. Ku percepat ayunan pantatku sambil ku angkat pantatnya sedikit ke atas. Dia mulai menggelinjaaang.
“aghhhh massss… aaaahhhhggghhhh….” teriaknya di ujung orgasmenya.
Aku berhenti menggoyang. Kubiarkan Penisku di dalam vaginanya. Terlihat Ati sangat menikmati orgasmenya. Wajahnya tersenyum puas. Aku yang belum orgasme mencabut Penisku dari vaginanya. Ku minta Ati untuk berbalik dan menungging. Dia pasrah menuruti. Terlihat pantatnya yang montok menantang. Dari sini vaginanya terlihat lebih sempit. Kembali ku masukan Penisku dari belakang. Kali ini terasa lebih mudah. Ati pun tidak meringis lagi. Penisku perlahan mulai masuk ke dalam vaginanya. Kemudian mulai ku goyangkan pantatku maju mundur. Gesekan vaginanya terasa lebih sempit dibandingkan sebelumnya. Pantatnya yang montok ku remas-remas. Ati kembali mendesah.
“aduh… ahh… ahhh”
Perlahan tanganku merayap menuju Buah dadanya yang bulat menggantung. Kemudian kuremas-remas dengan nafsu. Ati tambah terangsang dengan hebat. Desahannya makin tidak teratur. Aku pun makin bernafsu. Goyangan pantatku makin cepat. Napas kami sama-sama memburu. Remasan tanganku di Buah dadanya makin keras. Kugigit telinga dan bahunya dari belakang. Secara refleks Ati membalikan wajahnya dan mencium bibirku. Kami terus berpagutan. Goyangan pantatku makin cepat..
“aghhhh… aghhhh.. shhhh… hhhhhhahhgghh.. iyyyaaa…” kurasakan aku akan orgasme. Tapi rupanya Ati orgasme kembali. Dia menggelinjang hebat.. ahhhhhhh…. aku mencabut Penisku dan menggesek-gesekan diantara pantatnya yang montok. Kuremas dan kutekan kedua belah pantatnya. Gesekan Penisku semakin cepat dan akhirnya aku ejakulasi ahhhhhhh…. ahhhh…
Crooot… Croooot.. Crooot…. air maniku muncrat dengan hebaatnya di atas punggung Ati. Aku terkulai dan langsung duduk sambil meremas-remas pantat Ati yang seksi. Ati terkulai dengan Posisi telungkup. Ku lap punggungnya dengan CDku. Ku lihat Ati tersenyum. Aku memeluknya dan mencium keningnya.
“aku sayang kamu Ti..” Bisikku.
Ati tersenyum. Memang ku tahu sejak SMP Ati sudah naksir kepadaku. Tapi aku cuek karena aku lebih bernafsu kepada ibunya. Kini Ati sudah jatuh dipelukanku. Ku lihat jam dan aku baru menyadari bahwa kami telah bermain selama hampir satu jam. Ati pun memakai CDnya dan memakai dasternya. Dia pamit pulang.
Sejak itu aku dan Ati berpacaran. Kami sering melakukan hubungan sex. Biasanya di tempatku karena aku tinggal sendiri. Ibunya, Mpok Ria mengetahui hubungan tersebut. Dia tampak setuju dan merestuinya. Dia semakin ramah kepadaku dan semakin tidak canggung dalam berpakaian di hadapanku. Sering dia hanya mengenakan bra melenggang di depanku jika aku bertamu ke rumahnya di siang hari yang panas. Aku semakin bernafsu melihatnya.
Suatu hari Mpok Ria bertengkar hebat dengan suaminya. Kemudian dia kabur dari rumahnya dan tinggal di sebuah rumah kontrakan di daerah depok. Suaminya tidak lagi peduli sehingga dibiarkan saja Mpok Ria pergi. Aku dan Ati pernah mengunjunginya dan meminta Mpok Ria untuk pulang. Tapi Mpok Ria menolak dan tetap tinggal di kontrakannya. Sejak itu Ati dan Mpok Ria tinggal terpisah. Ati tetap tinggal di rumahnya dan menemani ayahnya.
Suatu hari aku mengunjungi rumah Mpok Ria. Waktu itu hari libur dan Ati harus menjaga rumah. Aku dimintanya untuk mengunjungi ibunya. Karena sudah akrab Mpok Ria tidak malu menerimaku. Setelah ngobrol ngalor ngidul, angin sepoi-sepoi dan perjalanan yang jauh membuatku mengantuk. Waktu itu sudah jam 3 sore.
“mpok aye tidur dulu ye. Ntar jam lima bangunin aye.” Karena Mpok Ria orang betawi maka aku berdialek betawi jika ngomong dengannya.
“ya udah tidur deh. mau di sini ape di kamar?”
“di sini aje deh. Anginnye enak sih.”
Aku pun mulai tiduran sementara Mpok Ria pergi ke dapur.
Sejam kemudian aku terbangun oleh suara bising sebuah motor di pinggir jalan. Aku bangun dan mencoba mencari Mpok Ria. Kulihat ke dalam kamarnya, sepi. Aku pun pergi ke dapur, tidak ada. Kayaknya Mpok Ria sedang mandi. Kulihat di depan kamar mandi disebelah dapur ada sendalnya. Aku menghampiri mencoba mengintip ke dalam melalui salah satu celah dari pintu kamar mandi yang terbuat dari papan. Ternyata benar Mpok Ria ada di dalam. Tapi ia tidak sedang mandi. Ku lihat tangan kanannya yang sedang menggesek-gesek vaginanya sementara tangan kirinya meremas-remas Buah dadanya yang besar. Terdengar desahan kecil dari mulutnya. Pemandangan ini membuatku terangsang. Aku pun mulai mengocok Penisku. Tiba-tiba aku sadar bahwa ini adalah kesempatan bagiku. Mpok Ria memang sudah lama tidak berhubungan seks dengan suaminya. Hampir 8 bulan. Sejak suaminya sering sakit dan tinggal dirumah istri tuanya. Pasti Mpok Ria sangat haus sentuhan pria.
Aku berdiri dan mengetuk pintu kamar mandi.
“mpok lagi ngapain ? aye mau ke kamar mandi nih” kayaknya Mpok Ria kaget. Dari dalam kudengar ia menjawab dengan gugup.
“ehh.. gue lagi maandi..”
“aduh Mpok aye sakit perut nih mpok…” kataku sambil berpura-pura.
“ya udah… tunggu sebentar…” kudengar suara air disiram dan tidak berapa lama Mpok Ria keluar dengan mengenakan handuk. Tubuhnya yang seksi terlihat sangat merangsang. Buah dadanya yang besar membusung tertutup sebagian oleh handuknya. Ku rasakan Penisku bangun pelan-pelan.
“katanya lagi mandi, kok gak basah.” Godaku
“yee kan gak jadi mandi”
“lagi mandi apa lagi ngapain..”
Mpok Ria terlihat memerah wajahnya menahan malu. Dia mencoba membenarkan handuknya yang agak melorot.
“mpok, aye tahu mpok lagi pengen begituan. Aye mau kok nolongin mpok.” kataku sambil maju dan menarik ke bawah handuknya. Seketika itu juga Mpok Ria telanjang bulat di hadapanku. Berbeda dengan anaknya, Buah dada Mpok Ria besar. Ukurannya mungkin 36. Di usianya yang sudah 38 tahun ini badannya masih kenceng. Meskipun dia tidak pernah fitness ataupun minum jamu. Wajahnya yang cantik, hanya memiliki sedikit kerutan di ujung matanya.
Mpok Ria berusaha menutupi tubuhnya dengan tangannya. Dia terlihat akan marah. Aku pun segera mencium bibirnya biar dia tidak bersuara. Dia nampak gelagapan. Dengan sekuat tenaga ku rangkul dan ku angkat Mpok Ria masuk kembali ke kamar mandi. Dia berontak dan berusaha melepaskan diri. Aku melepaskannya dan langsung mengunci pintu kamar mandi. Sekitar rumah Mpok Ria cukup sepi. Sehingga jika dia berteriak belum tentu ada yang mendengar. Tapi aku tidak mau memperkosanya. Ku biarkan Mpok Ria yang gemetaran di tepi bak mandi.
“Yud, loe mau ngapaain..?” ujarnya agak gemetar.
Aku tidak menjawab. Dengan tenang ku buka pakaianku satu per satu. Akhirnya aku telanjang bulat dihadapannya. Penisku yang sedari tadi menegang mengacung dihadapannya. Aku tersenyum melihat Mpok Ria yang gemetar dan memandangi Penisku. Aku tahu dia pasti menginignkannya. Ku permainkan Penisku naik turun di hadapannya. Ku lihat dia menelan ludah. Penisku yang panjangnya 15 cm sudah ereksi sempurna. Sehingga terlihat kokoh sekali. Aku maju ke depan mendekatinya. Kulihat napasnya mulai memburu. Matanya terus menatap Penisku. Aku yakin tidak akan ada perlawanan darinya. Tanganku mulai membelai bahunya perlahan bergerak kebawah menuju Buah dadanya yang besar. Kedua telunjukku bergerak mengikuti lekuk Buah dadanya yang bulat. Kemudian kuplintir putingnya yang belum mengeras layaknya sedang memutar gelombang radio. Mata Mpok Ria tetap tak lepas melihat Penisku. Perlahan-lahan dia mulai menutup matanya. Mpok Ria sudah pasrah. Segera ku lumat kedua Buah dadanya dengan rakus. Bergantian kiri dan kanan sambil tanganku meremasnya juga bergantian. Lidahku bermain-main dengan leluasa di kedua putingnya dan menyapu seluruh permukaan Buah dadanya. Sekali-kali ku gigit kecil Buah dadanya. Mpok Ria mulai memiringkan kepalanya. Mulutnya agak terbuka dan mengeluarkan rintihan yang pelan hhheh.. ssshh.. tangan kanannya berpegangan pada pinggir bak mandi sementara tangan kirinya memegang kepalaku sambil beberapa kali menekan ke dalam dadanya.
Tangan kiriku mulai turun ke bawah menuju selangkangannya sementara tangan kananku meremas-remas pantatnya. Mulutku masih sibuk melahap Buah dadanya. Setelah sampai divaginanya, jari tengahku langsung masuk ke dalamnya. Dengan cepat ku gesek-gesekan jariku di dalamnya. Mpok Ria langsung terangsang dengan hebat. Tangan kirinya makin kencang menjambak rambutku dan kepalaku ditekan makin dalam.
“Aghh.. aghhhhh… aghhhh…. terus yud…. terus…. shhh.. aghhhh…. aghhhh…. yaaah… ahhhh”
Mpok Ria terus meracau tak karuan. Selama sekitar 5 menit aku korek habis-habisan vaginanya. Kemudian aku merasakan cairan bening mengalir dari vaginanya melalui jariku. Rupanya dia sudah terangsang hebat. Aku menghentikan permainan jariku dan mulai merambat mencium ke bawah menuju vaginanya. Ku lihat vaginanya yang ditumbuhi bulu-bulu agak lebat disekitar lobangnya sudah basah. Aku siram dengan air agar vagina itu menjadi lebih bersih. Lalu aku mulai menjilati seluruh permukaannya. Kedua tanganku meremas-remas pantatnya yang montok dengan sekali-kali mengagaruk belahan pantatnya. Kedua tangan Mpok Ria menjambak kepalaku dengan keras sambil mendesah panjang dan tak beraturan.
“Aghhhh… yaaa… yaaa…. Teruuusss yud… terus shhhh ahh.. ahhghhh….”
Lidahku makin dalam menjangkau ke dalam vaginanya sambil sekali-kali menyentuh klitorisnya. Terkadang kuhisap dan ku gigit kecil klitorisnya. Ku jilat, hisap, jilat, hisap, gigit, jilat demikian berulang ulang ku permainkan vaginanya. Makin lama desahannya makin memburu.
“yd… gue… mao… keluaaar… aghhh”
Terlihat cairan putih meleleh keluar dari lubang vaginanya. Kulihat Mpok Ria merem melek dan nafasnya terengah-engah. Aku berdiri dan mencium bibirnya.
Kemudian aku berbisik.. “mpok sepongin aye dong..”
Mpok Ria langsung berjongkok. Tangan kanannya memegang Penisku dan mulai mengocoknya sambil sesekali dikecupnya. Seluruh permukaan Penisku dan bijinya dikecupnya pelan-pelan. Aku menikmatinya tapi Mpok Ria belun juga menghisap Penisku.
“mpok ayo dong diisep..” Pintaku sambil membelai rambutnya.
Dia pun mengisap hanya kepala Penisku. Kemudian dengan cepat dia menjilati seluruh permukaan Penisku layaknya sedang menjilati es krim. Meskipun rasanya nikmat tapi aku ingin Penisku dihisap. Tanganku memegang kepalanya dan ku pencet hidungnya. Seketika itu dia membuka mulutnya. Aku langsung memasukan Penisku ke dalam mulutnya. Tanpa melepas cengkramanku di kepalanya aku mulai menggoyangkan pantatku. Penisku keluar masuk dengan cepat di dalam mulutnya. Nikmatnya luar biasa. Kurasakan kepala Penisku menyentuh langit-langit mulutnya dan terkadang menyentuh ujung kerongkongannya.
‘mmmghhh….. mmmhhgghhh… ‘ kulihat Mpok Ria memberontak. Aku melonggarkan cengkramanku. Mpok Ria langsung melepaskan mulutnya dari Penisku.
“uhuugg… uuhhuggg… heeegghh…” rupanya Mpok Ria tersedak.
“Aduuuh… maaf mpok kekencengan.” Kataku sambil membelai rambutnya. Mpok Ria teresenyum dan langsung menghisap Penisku lagi. Kali ini aku tidak memegangi kepalanya lagi karena dia mulai menghisap seperti yang aku inginkan. pertama-tama pelan lalu semakin lama bertambah cepat. Diselingi dengan kecupan, jilatan dan kocokan tangan. Terlihat Mpok Ria bernafsu sekali melahap Penisku. Setiap kali dihisap serasa Penisku diurut pelan-pelan dan licin. Aku serasa melayang. Nikmat sekali. Seluruh batang penisku berada di dalam mulutnya.
“aghhhh…. yes… aghhh… yes..” desahku.
Tak lama kemudian aku merasa aku akan ejakulasi. Segera ku pegang kepala Mpok Ria dan aku mulai menggoyangkan pantatku dengan cepat. Sleep… sleeeep…. sleeep…. sleeep.
Bunyi Penisku beradu dengan pinggir mulutnya.
Mpok Ria mencoba memberontak “mmmhhh…. mmmmmhhhh…”
tapi hal itu malah membuat nikmat karena Penisku jadi menelusuri seluruh rongga mulutnya. Akhirnya aku ejakulasi di dalam mulutnya. Mpok Ria mencoba melepaskan mulutnya dari Penisku. Tapi aku malah semakin menekan dan memaksanya menghisap lebih dalam
“isep mpok…. iseeep…. enak kok mpok…. banyak proteinnya…” Akhirnya dia pasrah dan menelan semua air maniku.
Setelah habis semua air maniku. Penisku menurun ereksinya. Mpok Ria ku lihat tersenyum sambil membersihkan air mani yang meleleh keluar dari mulutnya.
“Mpok kita lanjutin di kamar yuk..” ajakku.
Mpok Ria langsung berdiri berjalan mendahuluiku menuju kamar tidurnya. Goyangan pantatnya yang montok perlahan mulai membangkitkan kembali Penisku. Aku siram dengan segayung air biar lebih segar dan aku mengikuti Mpok Ria menuju kamarnya.
Mpok Ria langsung rebahan di tempat tidurnya. Dadanya semakin terlihat membusung merangsang. Jarinya memainkan vaginanya. Aku langsung rebah disamping kirinya. Ku hisap kedua Buah dadanya yang menantang tersebut sementara tangan kiriku mulai bermain di dalam vaginanya. Tangan kanan Mpok Ria mengocok-ngocok Penisku yang tampaknya akan segera ereksi dengan sempurna kembali. Bibir kami kemudian saling berpagutan dan tangan kami makin cepat bergerak. Jariku keluar masuk dengan cepat demikian juga tangannya yang mengocok Penisku dengan cepat. Tak berapa lama kurasakan Penisku sudah kembali ereksi dengan sempurna. Masih dengan posisi rebahan di sampingnya, aku memasukan Penisku ke dalam vaginanya. Kaki kiri Mpok Ria melintang di badanku sehingga selangkangannya terbuka lebar. Karena sudah sering dipakai maka aku tak kesulitan memasukan Penisku ke vaginanya. Dengan cepat kugoyangkan pantatku. Tangan kiriku sibuk meraba bagian depan tubuhnya. Buah dadanya, perutnya, permukaan vaginanya. Sementara bibirku juga sibuk bergerilya ke bahu, leher dan bibirnya. Tidak seperti anaknya yang cenderung pasif kalo sedang berhubungan, Mpok Ria tampak lebih aktif. Dia ikut menggoyangkan pantatnya ketika Penisku keluar masuk di vaginanya. Seluruh dinding vaginanya serasa keras menjepit penisku. Terdengar desahan-desahan kecil dari mulutnya. “shhh…. ahhhh… ehhh.. shhhhh”
Selanjutnya kami melakukan banyak variasi gaya. Kedua kakinya kuangkat kebahuku dan pahanya kurapatkan. Dengan begini bukaan lobang vaginanya menjadi lebih sempit. Sehingga jepitannya lebih terasa di Penisku. Ayunan pinggulku yang ritmis, membuat gesekan penis dan vagianya menjadi lebih nikmat. Kemudian ku rebahkan pahanya ke samping kanannya dan dengan posisi menyamping aku melakukan penetrasi. Vaginanya terasa agak longgar tapi kuat mencengkram Penisku. Rasanya benar-benar nikmat… ohhhh… yeeeahh.. desahku seiring goyanganku yang cepat menusuk-nusuk vaginanya. Mpok Ria terlihat meremas-remas sprai tempat tidur. Matanya terpejam dan dari mulutnya keluar rintihan-rintihan yang merangsang
“ooughhh…. yaaahh… ouuhhh…. aghhhh… hahhhhgghhh… yaaahh…”
Selama hampir satu jam aku menghujamkan penisku ke vaginanya. Posisiku di atas membuatku leluasa melakukan manuver. Tanganku dengan leluasa meremas-remas buah dada dan pantatnya.
Kemudian aku menyelipkan bantal dibawah pantatnya sehingga vaginanya terangkat ke atas dan penetrasiku bisa lebih dalam. Mpok Ria terlihat makin menggila. Kepalanya bergerak ke kiri dan kanan. Sementara pinggulnya menggelinjang ke atas merepotkan aku menahannya.
Selama satu jam itu pula Mpok Ria sudah dua kali mengalami orgasme. Aku pikir tenaganya sudah habis. Sementara aku masih belum orgasme juga. Tiba-tiba Mpok Ria mendorongku kesamping dan dia langsung berada di atas. Kemudian secara menggila dia goyangkan pantatnya naik turun maju mundur. Penisku berputar-putar mengikut gerakan dan isapan vaginanya. Luar biasaa wanita ini. Ternyata tenaganya masih banyak. Buah dadanya yang bergoyang bergelantungan segera kuhisap. Sementara goyangannya makin liar..
“ahhh… oughhh… yahhh… ayo… yud…. rasain memek gue..” Mpok Ria meracau gak karuan. “iseepp tookeet gue yud… ahh terus yud..”
Aku memeluk punggungnya keras sambil mulutku terus menghisap Buah dadanya dengan nafsu. Sepertnya aku akan keluar. Segera ku pegang pinggulnya dan ku goyangkan tubuh Mpok Ria dengan cepat
“ahhh… gue mao keluar Yud..”
“aye juga mpookk…. ahhhhh”
Akhirnya aku ejakulasi bersamaan dengan orgasme Mpok Ria yang ketiga kalinya. Kurasakan denyut Penisku yang cepat bersamaan dengan disemburkannya air maniku ke dalam vagina Mpok Ria. Kami berpelukan sangat erat. Sementara otot vagina Mpok Ria terasa keras memijit-mijit Penisku. Kami pun berciuman. Dan Mpok Ria rebah di pelukanku.
“mpok.. sorry aye nggak ngeluarinnye diluar. Soalnya kagok.”
“gak ape-ape Yud. sebenarnya mpok udah di vasektomi 3 bulan yang lalu. Jadi mpok gak bakal hamil.”
Betapa senang aku mendengarnya. Dengan begini aku bisa puas ngentotin Mpok Ria tanpa takut dia hamil. Sementara dengan anaknya, aku lebih sering mengeluarkan diluar. Sore itu kami melakukannya berulang-ulang, sampai jam 9 malam aku pamit pulang.
Sejak saat itu aku sering melakukan hubungan badan dengan Mpok Ria dan anaknya, Ati, secara bergantian. Mpok Ria mengatakan bahwa hubungan denganku sebatas rekreasi dan pemuasan kebutuhan. Karena ia tidak ingin terikat apa-apa denganku. Lagi pula dia tahu anaknya Ati sangat mencintaiku. Dia nggak mau mengambil kebahagiaan anaknya. Tak lama kemudian Mpok Ria resmi bercerai dengan suaminya karena suaminya lebih peduli dengan Istri tuanya. Mpok Ria benar-benar hidup sendirian. Aku pun akhirnya melamar Ati untuk ku jadikan Istri. Setelah itu dengan alasan untuk menemani istriku, aku minta Mpok Ria untuk tinggal serumah bersama kami. Padahal ini akal-akalan aku dan Mpok Ria biar bisa lebih sering berhubungan sex. Karena biarpun serumah aku bisa berselingkuh dengan Mpok Ria. Biasanya kami melakukan hubungan saat istriku belanja ke pasar atau pada saat malam ketika ia tidur. Bahkan pernah kami melakukannya ketika istriku ada di rumah.
Waktu itu dia sedang menyetrika di ruang depan sambil menonton tv. Mpok Ria di dapur sedang mencuci piring. Aku yang kebetulan hendak ke kamar mandi di dekat dapur, terangsang melihat Mpok Ria yang hanya mengenakan daster tipis. Tubuhnya yang seksi berbayang dibalik daster tersebut. Aku langsung menghampiri dan mencium bibirnya. Mpok Ria yang malamnya belum mendapat jatah dariku langsung membalas dengan penuh nafsu juga. kemudian bagian atas dasternya dibuka sedikit dan dia menurunkan BHnya sehingga Buah dadanya yang montok muncul keluar. Aku pun mengulumnya dengan penuh nafsu sementara tanganku mengelus-elus pahanya. Mpok Ria berpegangan pada pinggir bak cuci piring. Cuma sekitar 5 menit kami melakukan fore play. Aku langsung melorotkan sedikit celanaku sehingga Penisku bisa keluar dengan leluasa. Mpok Ria menyingkap bagian bawah dasternya dan menggeser sedikit bagian tengah CDnya sehingga terlihatlah lubang vaginanya. Tanpa menanggalkan pakaian, kami melakukannya sambil berdiri. Meskipun demikian kami lakukan dengan sangat membara. Tentu saja karena dilakukan dengan khawatir dan terburu-buru, maka hubungan sex itu berlangsung cepat juga. Hanya sekitar 10 menit. Setelah itu aku langsung ke ruang depan menemani istriku, seolah-olah tak terjadi apa-apa.
Source
Me and My Teacher - 1
Namaku Indra. Sudah hampir sebulan bulan ini aku menjadi budak seks ibu Anna, Ibu guru biologi di sekolahku. Dengan bermodalkan foto-foto diriku (baca "My Teacher"), dia membuatku menuruti semua perintahnya.
Setiap harinya kecuali hari rabu dimana ibu Anna mengajar praktikum biologi, aku diharuskan datang ke rumahnya, tidak boleh lewat dari jam satu siang. Jam pulang sekolah adalah jam 12:30, namun karena jarak rumah ibu Anna yang tidak terlalu jauh (10 menit perjalanan dengan kendaraan umum) maka itu aku masih sempat untuk makan siang dahulu di kantin. Walaupun tak urung seorang teman dekatku mulai mencurigai kegiatanku. Karena memang tidak biasanya aku selalu bergegas pergi setelah pulang sekolah. Biasanya aku menghabiskan waktu di sekolahan dengan teman-temanku untuk sekedar ngobrol sambil makan roti bakar atau juga bermain basket sampai sore.
Dengan sebuah kebohongan yang diikuti kebohongan lainnya aku untuk sementara dapat meloloskan diri dari kecurigaannya. Di rumah ibu Anna sudah banyak pekerjaan yang menantiku. Sesudah mencuci piring-piring kotor, kemudian aku mencuci pakaian-pakaiannya dengan mesin cuci, sesudah itu baru aku terakhir menyapu dan mengepel lantai. Pada awalnya pekerjaan itu menghabiskan waktu selama satu jam, kini setelah terbiasa, aku dapat mengerjakannya dalam waktu 30 menit. Ibu Anna sendiri biasanya datang pada jam sekitar jam 01:30-02:00 siang.
Ibu Anna pernah memberikan larangan masuk ke kamarnya jika dia belum datang, namun suatu hari aku pernah memberanikan diri untuk masuk ke kamarnya untuk mencari foto-foto diriku yang kuperkirakan disembunyikannya di suatu tempat di kamarnya. Dengan cepat aku memeriksa dengan seksama kamar itu mencari dimana kira-kira foto-foto itu disembunyikan. Akhirnya aku menemukan satu laci lemarinya yang terkunci. Sesudah mencari beberapa saat, akhirnya aku temukan kuncinya di bawah tumpukan buku.
Namun ketika kubuka laci itu yang kutemukan adalah kumpulan vCD porno yang semuanya kira-kira berjumlah 30 buah dan juga beberapa majalah porno keluaran luar negri. Mau tidak mau aku terkagum-kagum dengan koleksinya. Temanku Agus yang dikenal sebagai "raja bokep" di sekolahku saja tidak mempunyai koleksi sebanyak ini. Setelah kuperhatikan semua vCD dan juga buku-buku pornonya bertema perbudakan kaum pria oleh wanita. Di cover-cover vCD terlihat gambar pria yang disiksa dengan sadis. Beberapa pernah kualami sendiri, namun banyak yang memperlihatkan penyiksaan yang lebih menyakitkan dari pada yang kualami selama ini.
Di salah satu cover vCD yang tampaknya keluaran Jepang aku melihat seorang pria yang di gantung terbalik kemudian disekelilingnya ada 5 wanita yang mencambukinya. Dapat kulihat expressi kesakitannya dan juga bekas-bekas pukulan yang sebelumnya mendarat di tubuhnya. Dalam hatiku berharap ibu Anna tidak tergoda untuk memperlakukan diriku seperti demikian. Dan entah kenapa ada keinginan dalam diriku untuk melihat-lihat yang lain, namun segera saja kuurungkan niatku ketika aku melihat sudah hampir jam setengah dua. Dengan segera aku mengunci laci itu dan meletakkan kuncinya pada tempat sebelumnya. Yah memang hari itu aku sedang beruntung, karena jika terlambat satu menit saja ibu Anna bisa memergokiku yang sedang menggeledah kamarnya.
Sesudah datang biasanya ibu Anna langsung masuk ke kamarnya, dan tanpa diperintah lagi aku mengikutinya masuk. Disana sudah menunggu tugas "kebersihan" lainnya. Ibu Anna dengan santai berbaring di ranjangnya sedangkan aku dengan perlahan melepaskan sepatu hak tingginya lalu mejilati kedua telapak kakinya dengan lidahku sampai bersih. Maksudku benar-benar bersih, ibu Anna tidak mau ada bagian yang terlewat sedikitpun, termasuk disela-sela jarinya. Setelah itu, dia akan memberiku isyarat untuk melepaskan rok yang dikenakannya, sedangkan untuk membuka celana dalam yang dikenakannya aku tidak diperbolehkan menggunakan tanganku, melainkan hanya menggunakan mulutku.
Pada awalnya aku kesulitan dengan tugas satu itu, baru sesudah kulakukan berulang kali aku mulai bisa melakukannya dengan mudah. Sesudah itu vaginanya yang lembab akibat keringat setelah bekerja mengajar seharian, kukecup dengan lembut berulang kali, sesuai dengan yang di ajarkannya padaku. Setelah beberapa kali mendapat petunjuknya, kini bisa dibilang ibu Anna sudah cukup puas dengan keahlianku, sehingga dia hanya berdiam diri saja memperhatikanku mengerjakan pekerjaan rutinku, atau biasanya dia dengan santai menonton film porno yang sebelumnya disetelnya. Sedangkan aku masih terus mencium dan menjilati vaginanya sampai ibu Anna menyuruhku berhenti. Pernah suatu kali aku melakukannya selama hampir satu jam. Akibatnya lidahku menjadi sakit dan kelu. Sedangkan rahangku hampir copot rasanya.
Suatu kali, tanpa terduga ibu Anna memperbolehkanku untuk memasukkan penisku ke vaginanya. Tentu saja aku kegirangan mendapat kesempatan ini. Selama aku mengerjakan pekerjaanku mengoral vaginanya tentu saja aku merasa terangsang, hanya saja biasanya setelah ibu Anna puas dengan pekerjaanku dia kemudian menggunakan vibrator (penis buatan) untuk memuaskan nafsunya yang sudah memuncak. Sedangkan diriku hanya dapat dengan iri melihat vibrator itu melaksanakan tugasnya. Sesudah selesai, barulah ibu Anna menyuruhku pulang. Baru di rumah aku menyalurkan nafsuku dengan mansturbasi. Karena itu kesempatan yang kali ini kudapat tidak akan kusia-siakan begitu saja. Sedangkan ibu Anna sudah siap dengan posisi menungging. Dengan hati-hati aku mencoba untuk memasukkan penisku yang tegang ke dalam vaginannya. Secara perlahan aku melihat penisku masuk ke dalam lubang vaginannya, yang sebelumnya sudah kujilati sampai basah sekali.
"Kontol kamu kecil" kata ibu Anna dengan nada mengejek.
Panas juga hatiku mendengar perkataannya. Memang ketika sedang berada di rumah, ibu Anna seperti orang yang berbeda dengan ibu Anna yang mengajar biologi di sekolah yang biasa berkata-kata dengan sopan dan santun. Disini dia adalah wanita berumur 30 tahun dengan dengan birahi yang tidak kunjung terpuaskan. Sesudah seluruh batang penisku terbenam dalam liang vaginanya barulah aku mencoba menggerakannya perlahan. Yang terjadi selanjutnya adalah ketika baru 3 kali aku memompa penisku di dalam vaginanya aku sudah tidak dapat menahannya lagi.
"Keluarin!" bentak ibu Anna dengan tiba-tiba setelah dia menyadari aku sudah hampir orgasme.
Bersamaan dengan keluarnya penisku, aku mengalami orgasme dahsyat. Spermaku menyembur mengenai tepat di lubang anusnya yang kemudian turun ke masuk ke lubang vaginanya dan menetes-netes ke sprei. Sedangkan aku dengan terengah-engah kenikmatan mengocok-ngocok batang penisku sehingga makin banyak menumpahkan sperma ke lubang anusnya. Melihat keadaanku, secara spontan ibu Anna tertawa terbahak-bahak.
"Baru kali ini saya ketemu cowok yang kontolnya nggak ada gunanya kayak punya kamu itu" katanya mengejekku.
Tentu saja ketika itu harga diriku sebagai lelaki terusik mendengar ejekannya. Dengan menggenggam batang penisku yang masih tegang aku mencoba memasukannya kembali ke lubang vaginanya.
Zlebb..
Dengan mudah batang penisku masuk ke dalam liang vaginanya yang masih basah.
"Apa-apaan kamu! Keluarin kontol kamu itu" tiba-tiba ibu Anna membentakku dengan keras.
Dengan tergesa-gesa aku menarik batang penisku yang baru saja terbenam dalam liang vaginanya. Dan tanpa bisa kutahan kembali aku mengalami ejakulasi. Dengan tubuh gemetar menahan nikmat, aku mengocok penisku dengan cepat sehingga banyak sperma yang tumpah dan jatuh di telapak kakinya. Sementara ibu Anna menatapku dengan pandangan jijik, seakan-akan aku ini adalah gundukan sampah yang menyerupai manusia.
"Heh kontol! Kamu harus membersihkan ini semua" bentaknya.
"Maaf bu" jawabku pelan dengan menundukan kepala karena malu. Aku segera beranjak turun dari ranjang untuk mengambil tissue.
"Pakai mulut" kata ibu Anna dengan dingin.
Tentu saja aku mau protes dengan perintahnya itu. Yang pertama, itu adalah spermaku dan tentunya aku tidak mau menjilati spermaku sendiri dan yang kedua adalah setelah dua kali ejakulasi tadi aku kini sudah tidak mempunyai nafsu lagi. Tapi ketika kulihat tatapan marah di matanya segera saja hatiku menjadi ciut. Dengan perasaan menyesal aku memandang ke genangan sperma di lubang anus ibu Anna. Belum pernah aku menjilati lubang anus ibu Anna sebelumnya, kini mau tidak mau aku harus melakukannya.
"Cepat!" bentak ibu Anna, "Dan jangan berhenti sebelum disuruh" sambungnya lagi.
Dengan harga diri yang hancur terinjak-injak aku mulai menjilati daerah sekitar lubang anusnya dengan perlahan.
"Heh kontol! Bersihin yang benar," bentaknya sambil melotot padaku.
Kupejamkan mataku dan setelah mengumpulkan kekuatanku aku mulai menjilati sperma yang tergenang. Dengan segera aku mencium bau khas sperma dan juga rasa asin dari spermaku yang tadi baru kutumpahkan di lubang anusnya.
"Lebih cepet!" kembali ibu Anna memberikan perintah.
Hampir menangis rasanya aku mendapat penghinaan seperti ini. Mau tak mau aku mempercepat gerakan lidahku. Kutempelkan lidahku di lubang anusnya, kemudian kuseret lidahku di permukaan lubang anusnya sehingga sperma di lubang anusnya sudah terangkat semua oleh lidahku, ini kulakukan agar aku tidak berlama-lama dengan pekerjaan yang menyiksaku ini. Namun kerena ibu Anna belum mengatakan apapun maka aku tidak berani menghentikan pekerjaanku. Mau tidak mau aku terus menerus menjilati lubang anusnya, sehingga lubang anusnya yang tadinya basah karena spermaku kini malah menjadi tergenang oleh air liurku.
Pada awalnya aku menyangka akan mencium bau tidak sedap dari lubang anusnya itu, namun setelah beberapa saat aku menyadari bahwa aku tidak mencium dan merasakan apa-apa disana. Selang beberapa lama setelah aku melakukannya aku mulai merasa menikmatinya. Sementara aku masih dengan bersemangat menjilati lubang anusnya, ibu Anna mulai merintih-rintih keenakan.
"Ternyata lidah kamu lebih berguna dari pada kontol kecil kamu itu" katanya padaku dengan seenaknya.
Setelah beberapa saat kemudian, ibu Anna memerintahkanku untuk menciumi lubang anusnya. Sesudah beberapa kali kulakukan barulah dia menyuruhku berhenti. Kemudian menyusul vaginanya yang 'kubersihkan' dan terakhir telapak kakinya. Barulah sesudah itu aku diperbolehkan pulang.
Bersambung . . . . . .
Setiap harinya kecuali hari rabu dimana ibu Anna mengajar praktikum biologi, aku diharuskan datang ke rumahnya, tidak boleh lewat dari jam satu siang. Jam pulang sekolah adalah jam 12:30, namun karena jarak rumah ibu Anna yang tidak terlalu jauh (10 menit perjalanan dengan kendaraan umum) maka itu aku masih sempat untuk makan siang dahulu di kantin. Walaupun tak urung seorang teman dekatku mulai mencurigai kegiatanku. Karena memang tidak biasanya aku selalu bergegas pergi setelah pulang sekolah. Biasanya aku menghabiskan waktu di sekolahan dengan teman-temanku untuk sekedar ngobrol sambil makan roti bakar atau juga bermain basket sampai sore.
Dengan sebuah kebohongan yang diikuti kebohongan lainnya aku untuk sementara dapat meloloskan diri dari kecurigaannya. Di rumah ibu Anna sudah banyak pekerjaan yang menantiku. Sesudah mencuci piring-piring kotor, kemudian aku mencuci pakaian-pakaiannya dengan mesin cuci, sesudah itu baru aku terakhir menyapu dan mengepel lantai. Pada awalnya pekerjaan itu menghabiskan waktu selama satu jam, kini setelah terbiasa, aku dapat mengerjakannya dalam waktu 30 menit. Ibu Anna sendiri biasanya datang pada jam sekitar jam 01:30-02:00 siang.
Ibu Anna pernah memberikan larangan masuk ke kamarnya jika dia belum datang, namun suatu hari aku pernah memberanikan diri untuk masuk ke kamarnya untuk mencari foto-foto diriku yang kuperkirakan disembunyikannya di suatu tempat di kamarnya. Dengan cepat aku memeriksa dengan seksama kamar itu mencari dimana kira-kira foto-foto itu disembunyikan. Akhirnya aku menemukan satu laci lemarinya yang terkunci. Sesudah mencari beberapa saat, akhirnya aku temukan kuncinya di bawah tumpukan buku.
Namun ketika kubuka laci itu yang kutemukan adalah kumpulan vCD porno yang semuanya kira-kira berjumlah 30 buah dan juga beberapa majalah porno keluaran luar negri. Mau tidak mau aku terkagum-kagum dengan koleksinya. Temanku Agus yang dikenal sebagai "raja bokep" di sekolahku saja tidak mempunyai koleksi sebanyak ini. Setelah kuperhatikan semua vCD dan juga buku-buku pornonya bertema perbudakan kaum pria oleh wanita. Di cover-cover vCD terlihat gambar pria yang disiksa dengan sadis. Beberapa pernah kualami sendiri, namun banyak yang memperlihatkan penyiksaan yang lebih menyakitkan dari pada yang kualami selama ini.
Di salah satu cover vCD yang tampaknya keluaran Jepang aku melihat seorang pria yang di gantung terbalik kemudian disekelilingnya ada 5 wanita yang mencambukinya. Dapat kulihat expressi kesakitannya dan juga bekas-bekas pukulan yang sebelumnya mendarat di tubuhnya. Dalam hatiku berharap ibu Anna tidak tergoda untuk memperlakukan diriku seperti demikian. Dan entah kenapa ada keinginan dalam diriku untuk melihat-lihat yang lain, namun segera saja kuurungkan niatku ketika aku melihat sudah hampir jam setengah dua. Dengan segera aku mengunci laci itu dan meletakkan kuncinya pada tempat sebelumnya. Yah memang hari itu aku sedang beruntung, karena jika terlambat satu menit saja ibu Anna bisa memergokiku yang sedang menggeledah kamarnya.
Sesudah datang biasanya ibu Anna langsung masuk ke kamarnya, dan tanpa diperintah lagi aku mengikutinya masuk. Disana sudah menunggu tugas "kebersihan" lainnya. Ibu Anna dengan santai berbaring di ranjangnya sedangkan aku dengan perlahan melepaskan sepatu hak tingginya lalu mejilati kedua telapak kakinya dengan lidahku sampai bersih. Maksudku benar-benar bersih, ibu Anna tidak mau ada bagian yang terlewat sedikitpun, termasuk disela-sela jarinya. Setelah itu, dia akan memberiku isyarat untuk melepaskan rok yang dikenakannya, sedangkan untuk membuka celana dalam yang dikenakannya aku tidak diperbolehkan menggunakan tanganku, melainkan hanya menggunakan mulutku.
Pada awalnya aku kesulitan dengan tugas satu itu, baru sesudah kulakukan berulang kali aku mulai bisa melakukannya dengan mudah. Sesudah itu vaginanya yang lembab akibat keringat setelah bekerja mengajar seharian, kukecup dengan lembut berulang kali, sesuai dengan yang di ajarkannya padaku. Setelah beberapa kali mendapat petunjuknya, kini bisa dibilang ibu Anna sudah cukup puas dengan keahlianku, sehingga dia hanya berdiam diri saja memperhatikanku mengerjakan pekerjaan rutinku, atau biasanya dia dengan santai menonton film porno yang sebelumnya disetelnya. Sedangkan aku masih terus mencium dan menjilati vaginanya sampai ibu Anna menyuruhku berhenti. Pernah suatu kali aku melakukannya selama hampir satu jam. Akibatnya lidahku menjadi sakit dan kelu. Sedangkan rahangku hampir copot rasanya.
Suatu kali, tanpa terduga ibu Anna memperbolehkanku untuk memasukkan penisku ke vaginanya. Tentu saja aku kegirangan mendapat kesempatan ini. Selama aku mengerjakan pekerjaanku mengoral vaginanya tentu saja aku merasa terangsang, hanya saja biasanya setelah ibu Anna puas dengan pekerjaanku dia kemudian menggunakan vibrator (penis buatan) untuk memuaskan nafsunya yang sudah memuncak. Sedangkan diriku hanya dapat dengan iri melihat vibrator itu melaksanakan tugasnya. Sesudah selesai, barulah ibu Anna menyuruhku pulang. Baru di rumah aku menyalurkan nafsuku dengan mansturbasi. Karena itu kesempatan yang kali ini kudapat tidak akan kusia-siakan begitu saja. Sedangkan ibu Anna sudah siap dengan posisi menungging. Dengan hati-hati aku mencoba untuk memasukkan penisku yang tegang ke dalam vaginannya. Secara perlahan aku melihat penisku masuk ke dalam lubang vaginannya, yang sebelumnya sudah kujilati sampai basah sekali.
"Kontol kamu kecil" kata ibu Anna dengan nada mengejek.
Panas juga hatiku mendengar perkataannya. Memang ketika sedang berada di rumah, ibu Anna seperti orang yang berbeda dengan ibu Anna yang mengajar biologi di sekolah yang biasa berkata-kata dengan sopan dan santun. Disini dia adalah wanita berumur 30 tahun dengan dengan birahi yang tidak kunjung terpuaskan. Sesudah seluruh batang penisku terbenam dalam liang vaginanya barulah aku mencoba menggerakannya perlahan. Yang terjadi selanjutnya adalah ketika baru 3 kali aku memompa penisku di dalam vaginanya aku sudah tidak dapat menahannya lagi.
"Keluarin!" bentak ibu Anna dengan tiba-tiba setelah dia menyadari aku sudah hampir orgasme.
Bersamaan dengan keluarnya penisku, aku mengalami orgasme dahsyat. Spermaku menyembur mengenai tepat di lubang anusnya yang kemudian turun ke masuk ke lubang vaginanya dan menetes-netes ke sprei. Sedangkan aku dengan terengah-engah kenikmatan mengocok-ngocok batang penisku sehingga makin banyak menumpahkan sperma ke lubang anusnya. Melihat keadaanku, secara spontan ibu Anna tertawa terbahak-bahak.
"Baru kali ini saya ketemu cowok yang kontolnya nggak ada gunanya kayak punya kamu itu" katanya mengejekku.
Tentu saja ketika itu harga diriku sebagai lelaki terusik mendengar ejekannya. Dengan menggenggam batang penisku yang masih tegang aku mencoba memasukannya kembali ke lubang vaginanya.
Zlebb..
Dengan mudah batang penisku masuk ke dalam liang vaginanya yang masih basah.
"Apa-apaan kamu! Keluarin kontol kamu itu" tiba-tiba ibu Anna membentakku dengan keras.
Dengan tergesa-gesa aku menarik batang penisku yang baru saja terbenam dalam liang vaginanya. Dan tanpa bisa kutahan kembali aku mengalami ejakulasi. Dengan tubuh gemetar menahan nikmat, aku mengocok penisku dengan cepat sehingga banyak sperma yang tumpah dan jatuh di telapak kakinya. Sementara ibu Anna menatapku dengan pandangan jijik, seakan-akan aku ini adalah gundukan sampah yang menyerupai manusia.
"Heh kontol! Kamu harus membersihkan ini semua" bentaknya.
"Maaf bu" jawabku pelan dengan menundukan kepala karena malu. Aku segera beranjak turun dari ranjang untuk mengambil tissue.
"Pakai mulut" kata ibu Anna dengan dingin.
Tentu saja aku mau protes dengan perintahnya itu. Yang pertama, itu adalah spermaku dan tentunya aku tidak mau menjilati spermaku sendiri dan yang kedua adalah setelah dua kali ejakulasi tadi aku kini sudah tidak mempunyai nafsu lagi. Tapi ketika kulihat tatapan marah di matanya segera saja hatiku menjadi ciut. Dengan perasaan menyesal aku memandang ke genangan sperma di lubang anus ibu Anna. Belum pernah aku menjilati lubang anus ibu Anna sebelumnya, kini mau tidak mau aku harus melakukannya.
"Cepat!" bentak ibu Anna, "Dan jangan berhenti sebelum disuruh" sambungnya lagi.
Dengan harga diri yang hancur terinjak-injak aku mulai menjilati daerah sekitar lubang anusnya dengan perlahan.
"Heh kontol! Bersihin yang benar," bentaknya sambil melotot padaku.
Kupejamkan mataku dan setelah mengumpulkan kekuatanku aku mulai menjilati sperma yang tergenang. Dengan segera aku mencium bau khas sperma dan juga rasa asin dari spermaku yang tadi baru kutumpahkan di lubang anusnya.
"Lebih cepet!" kembali ibu Anna memberikan perintah.
Hampir menangis rasanya aku mendapat penghinaan seperti ini. Mau tak mau aku mempercepat gerakan lidahku. Kutempelkan lidahku di lubang anusnya, kemudian kuseret lidahku di permukaan lubang anusnya sehingga sperma di lubang anusnya sudah terangkat semua oleh lidahku, ini kulakukan agar aku tidak berlama-lama dengan pekerjaan yang menyiksaku ini. Namun kerena ibu Anna belum mengatakan apapun maka aku tidak berani menghentikan pekerjaanku. Mau tidak mau aku terus menerus menjilati lubang anusnya, sehingga lubang anusnya yang tadinya basah karena spermaku kini malah menjadi tergenang oleh air liurku.
Pada awalnya aku menyangka akan mencium bau tidak sedap dari lubang anusnya itu, namun setelah beberapa saat aku menyadari bahwa aku tidak mencium dan merasakan apa-apa disana. Selang beberapa lama setelah aku melakukannya aku mulai merasa menikmatinya. Sementara aku masih dengan bersemangat menjilati lubang anusnya, ibu Anna mulai merintih-rintih keenakan.
"Ternyata lidah kamu lebih berguna dari pada kontol kecil kamu itu" katanya padaku dengan seenaknya.
Setelah beberapa saat kemudian, ibu Anna memerintahkanku untuk menciumi lubang anusnya. Sesudah beberapa kali kulakukan barulah dia menyuruhku berhenti. Kemudian menyusul vaginanya yang 'kubersihkan' dan terakhir telapak kakinya. Barulah sesudah itu aku diperbolehkan pulang.
Bersambung . . . . . .
Me and My Teacher - 1
Namaku Indra. Sudah hampir sebulan bulan ini aku menjadi budak seks ibu Anna, Ibu guru biologi di sekolahku. Dengan bermodalkan foto-foto diriku (baca "My Teacher"), dia membuatku menuruti semua perintahnya.
Setiap harinya kecuali hari rabu dimana ibu Anna mengajar praktikum biologi, aku diharuskan datang ke rumahnya, tidak boleh lewat dari jam satu siang. Jam pulang sekolah adalah jam 12:30, namun karena jarak rumah ibu Anna yang tidak terlalu jauh (10 menit perjalanan dengan kendaraan umum) maka itu aku masih sempat untuk makan siang dahulu di kantin. Walaupun tak urung seorang teman dekatku mulai mencurigai kegiatanku. Karena memang tidak biasanya aku selalu bergegas pergi setelah pulang sekolah. Biasanya aku menghabiskan waktu di sekolahan dengan teman-temanku untuk sekedar ngobrol sambil makan roti bakar atau juga bermain basket sampai sore.
Dengan sebuah kebohongan yang diikuti kebohongan lainnya aku untuk sementara dapat meloloskan diri dari kecurigaannya. Di rumah ibu Anna sudah banyak pekerjaan yang menantiku. Sesudah mencuci piring-piring kotor, kemudian aku mencuci pakaian-pakaiannya dengan mesin cuci, sesudah itu baru aku terakhir menyapu dan mengepel lantai. Pada awalnya pekerjaan itu menghabiskan waktu selama satu jam, kini setelah terbiasa, aku dapat mengerjakannya dalam waktu 30 menit. Ibu Anna sendiri biasanya datang pada jam sekitar jam 01:30-02:00 siang.
Ibu Anna pernah memberikan larangan masuk ke kamarnya jika dia belum datang, namun suatu hari aku pernah memberanikan diri untuk masuk ke kamarnya untuk mencari foto-foto diriku yang kuperkirakan disembunyikannya di suatu tempat di kamarnya. Dengan cepat aku memeriksa dengan seksama kamar itu mencari dimana kira-kira foto-foto itu disembunyikan. Akhirnya aku menemukan satu laci lemarinya yang terkunci. Sesudah mencari beberapa saat, akhirnya aku temukan kuncinya di bawah tumpukan buku.
Namun ketika kubuka laci itu yang kutemukan adalah kumpulan vCD porno yang semuanya kira-kira berjumlah 30 buah dan juga beberapa majalah porno keluaran luar negri. Mau tidak mau aku terkagum-kagum dengan koleksinya. Temanku Agus yang dikenal sebagai "raja bokep" di sekolahku saja tidak mempunyai koleksi sebanyak ini. Setelah kuperhatikan semua vCD dan juga buku-buku pornonya bertema perbudakan kaum pria oleh wanita. Di cover-cover vCD terlihat gambar pria yang disiksa dengan sadis. Beberapa pernah kualami sendiri, namun banyak yang memperlihatkan penyiksaan yang lebih menyakitkan dari pada yang kualami selama ini.
Di salah satu cover vCD yang tampaknya keluaran Jepang aku melihat seorang pria yang di gantung terbalik kemudian disekelilingnya ada 5 wanita yang mencambukinya. Dapat kulihat expressi kesakitannya dan juga bekas-bekas pukulan yang sebelumnya mendarat di tubuhnya. Dalam hatiku berharap ibu Anna tidak tergoda untuk memperlakukan diriku seperti demikian. Dan entah kenapa ada keinginan dalam diriku untuk melihat-lihat yang lain, namun segera saja kuurungkan niatku ketika aku melihat sudah hampir jam setengah dua. Dengan segera aku mengunci laci itu dan meletakkan kuncinya pada tempat sebelumnya. Yah memang hari itu aku sedang beruntung, karena jika terlambat satu menit saja ibu Anna bisa memergokiku yang sedang menggeledah kamarnya.
Sesudah datang biasanya ibu Anna langsung masuk ke kamarnya, dan tanpa diperintah lagi aku mengikutinya masuk. Disana sudah menunggu tugas "kebersihan" lainnya. Ibu Anna dengan santai berbaring di ranjangnya sedangkan aku dengan perlahan melepaskan sepatu hak tingginya lalu mejilati kedua telapak kakinya dengan lidahku sampai bersih. Maksudku benar-benar bersih, ibu Anna tidak mau ada bagian yang terlewat sedikitpun, termasuk disela-sela jarinya. Setelah itu, dia akan memberiku isyarat untuk melepaskan rok yang dikenakannya, sedangkan untuk membuka celana dalam yang dikenakannya aku tidak diperbolehkan menggunakan tanganku, melainkan hanya menggunakan mulutku.
Pada awalnya aku kesulitan dengan tugas satu itu, baru sesudah kulakukan berulang kali aku mulai bisa melakukannya dengan mudah. Sesudah itu vaginanya yang lembab akibat keringat setelah bekerja mengajar seharian, kukecup dengan lembut berulang kali, sesuai dengan yang di ajarkannya padaku. Setelah beberapa kali mendapat petunjuknya, kini bisa dibilang ibu Anna sudah cukup puas dengan keahlianku, sehingga dia hanya berdiam diri saja memperhatikanku mengerjakan pekerjaan rutinku, atau biasanya dia dengan santai menonton film porno yang sebelumnya disetelnya. Sedangkan aku masih terus mencium dan menjilati vaginanya sampai ibu Anna menyuruhku berhenti. Pernah suatu kali aku melakukannya selama hampir satu jam. Akibatnya lidahku menjadi sakit dan kelu. Sedangkan rahangku hampir copot rasanya.
Suatu kali, tanpa terduga ibu Anna memperbolehkanku untuk memasukkan penisku ke vaginanya. Tentu saja aku kegirangan mendapat kesempatan ini. Selama aku mengerjakan pekerjaanku mengoral vaginanya tentu saja aku merasa terangsang, hanya saja biasanya setelah ibu Anna puas dengan pekerjaanku dia kemudian menggunakan vibrator (penis buatan) untuk memuaskan nafsunya yang sudah memuncak. Sedangkan diriku hanya dapat dengan iri melihat vibrator itu melaksanakan tugasnya. Sesudah selesai, barulah ibu Anna menyuruhku pulang. Baru di rumah aku menyalurkan nafsuku dengan mansturbasi. Karena itu kesempatan yang kali ini kudapat tidak akan kusia-siakan begitu saja. Sedangkan ibu Anna sudah siap dengan posisi menungging. Dengan hati-hati aku mencoba untuk memasukkan penisku yang tegang ke dalam vaginannya. Secara perlahan aku melihat penisku masuk ke dalam lubang vaginannya, yang sebelumnya sudah kujilati sampai basah sekali.
"Kontol kamu kecil" kata ibu Anna dengan nada mengejek.
Panas juga hatiku mendengar perkataannya. Memang ketika sedang berada di rumah, ibu Anna seperti orang yang berbeda dengan ibu Anna yang mengajar biologi di sekolah yang biasa berkata-kata dengan sopan dan santun. Disini dia adalah wanita berumur 30 tahun dengan dengan birahi yang tidak kunjung terpuaskan. Sesudah seluruh batang penisku terbenam dalam liang vaginanya barulah aku mencoba menggerakannya perlahan. Yang terjadi selanjutnya adalah ketika baru 3 kali aku memompa penisku di dalam vaginanya aku sudah tidak dapat menahannya lagi.
"Keluarin!" bentak ibu Anna dengan tiba-tiba setelah dia menyadari aku sudah hampir orgasme.
Bersamaan dengan keluarnya penisku, aku mengalami orgasme dahsyat. Spermaku menyembur mengenai tepat di lubang anusnya yang kemudian turun ke masuk ke lubang vaginanya dan menetes-netes ke sprei. Sedangkan aku dengan terengah-engah kenikmatan mengocok-ngocok batang penisku sehingga makin banyak menumpahkan sperma ke lubang anusnya. Melihat keadaanku, secara spontan ibu Anna tertawa terbahak-bahak.
"Baru kali ini saya ketemu cowok yang kontolnya nggak ada gunanya kayak punya kamu itu" katanya mengejekku.
Tentu saja ketika itu harga diriku sebagai lelaki terusik mendengar ejekannya. Dengan menggenggam batang penisku yang masih tegang aku mencoba memasukannya kembali ke lubang vaginanya.
Zlebb..
Dengan mudah batang penisku masuk ke dalam liang vaginanya yang masih basah.
"Apa-apaan kamu! Keluarin kontol kamu itu" tiba-tiba ibu Anna membentakku dengan keras.
Dengan tergesa-gesa aku menarik batang penisku yang baru saja terbenam dalam liang vaginanya. Dan tanpa bisa kutahan kembali aku mengalami ejakulasi. Dengan tubuh gemetar menahan nikmat, aku mengocok penisku dengan cepat sehingga banyak sperma yang tumpah dan jatuh di telapak kakinya. Sementara ibu Anna menatapku dengan pandangan jijik, seakan-akan aku ini adalah gundukan sampah yang menyerupai manusia.
"Heh kontol! Kamu harus membersihkan ini semua" bentaknya.
"Maaf bu" jawabku pelan dengan menundukan kepala karena malu. Aku segera beranjak turun dari ranjang untuk mengambil tissue.
"Pakai mulut" kata ibu Anna dengan dingin.
Tentu saja aku mau protes dengan perintahnya itu. Yang pertama, itu adalah spermaku dan tentunya aku tidak mau menjilati spermaku sendiri dan yang kedua adalah setelah dua kali ejakulasi tadi aku kini sudah tidak mempunyai nafsu lagi. Tapi ketika kulihat tatapan marah di matanya segera saja hatiku menjadi ciut. Dengan perasaan menyesal aku memandang ke genangan sperma di lubang anus ibu Anna. Belum pernah aku menjilati lubang anus ibu Anna sebelumnya, kini mau tidak mau aku harus melakukannya.
"Cepat!" bentak ibu Anna, "Dan jangan berhenti sebelum disuruh" sambungnya lagi.
Dengan harga diri yang hancur terinjak-injak aku mulai menjilati daerah sekitar lubang anusnya dengan perlahan.
"Heh kontol! Bersihin yang benar," bentaknya sambil melotot padaku.
Kupejamkan mataku dan setelah mengumpulkan kekuatanku aku mulai menjilati sperma yang tergenang. Dengan segera aku mencium bau khas sperma dan juga rasa asin dari spermaku yang tadi baru kutumpahkan di lubang anusnya.
"Lebih cepet!" kembali ibu Anna memberikan perintah.
Hampir menangis rasanya aku mendapat penghinaan seperti ini. Mau tak mau aku mempercepat gerakan lidahku. Kutempelkan lidahku di lubang anusnya, kemudian kuseret lidahku di permukaan lubang anusnya sehingga sperma di lubang anusnya sudah terangkat semua oleh lidahku, ini kulakukan agar aku tidak berlama-lama dengan pekerjaan yang menyiksaku ini. Namun kerena ibu Anna belum mengatakan apapun maka aku tidak berani menghentikan pekerjaanku. Mau tidak mau aku terus menerus menjilati lubang anusnya, sehingga lubang anusnya yang tadinya basah karena spermaku kini malah menjadi tergenang oleh air liurku.
Pada awalnya aku menyangka akan mencium bau tidak sedap dari lubang anusnya itu, namun setelah beberapa saat aku menyadari bahwa aku tidak mencium dan merasakan apa-apa disana. Selang beberapa lama setelah aku melakukannya aku mulai merasa menikmatinya. Sementara aku masih dengan bersemangat menjilati lubang anusnya, ibu Anna mulai merintih-rintih keenakan.
"Ternyata lidah kamu lebih berguna dari pada kontol kecil kamu itu" katanya padaku dengan seenaknya.
Setelah beberapa saat kemudian, ibu Anna memerintahkanku untuk menciumi lubang anusnya. Sesudah beberapa kali kulakukan barulah dia menyuruhku berhenti. Kemudian menyusul vaginanya yang 'kubersihkan' dan terakhir telapak kakinya. Barulah sesudah itu aku diperbolehkan pulang.
Bersambung . . . . . .
Setiap harinya kecuali hari rabu dimana ibu Anna mengajar praktikum biologi, aku diharuskan datang ke rumahnya, tidak boleh lewat dari jam satu siang. Jam pulang sekolah adalah jam 12:30, namun karena jarak rumah ibu Anna yang tidak terlalu jauh (10 menit perjalanan dengan kendaraan umum) maka itu aku masih sempat untuk makan siang dahulu di kantin. Walaupun tak urung seorang teman dekatku mulai mencurigai kegiatanku. Karena memang tidak biasanya aku selalu bergegas pergi setelah pulang sekolah. Biasanya aku menghabiskan waktu di sekolahan dengan teman-temanku untuk sekedar ngobrol sambil makan roti bakar atau juga bermain basket sampai sore.
Dengan sebuah kebohongan yang diikuti kebohongan lainnya aku untuk sementara dapat meloloskan diri dari kecurigaannya. Di rumah ibu Anna sudah banyak pekerjaan yang menantiku. Sesudah mencuci piring-piring kotor, kemudian aku mencuci pakaian-pakaiannya dengan mesin cuci, sesudah itu baru aku terakhir menyapu dan mengepel lantai. Pada awalnya pekerjaan itu menghabiskan waktu selama satu jam, kini setelah terbiasa, aku dapat mengerjakannya dalam waktu 30 menit. Ibu Anna sendiri biasanya datang pada jam sekitar jam 01:30-02:00 siang.
Ibu Anna pernah memberikan larangan masuk ke kamarnya jika dia belum datang, namun suatu hari aku pernah memberanikan diri untuk masuk ke kamarnya untuk mencari foto-foto diriku yang kuperkirakan disembunyikannya di suatu tempat di kamarnya. Dengan cepat aku memeriksa dengan seksama kamar itu mencari dimana kira-kira foto-foto itu disembunyikan. Akhirnya aku menemukan satu laci lemarinya yang terkunci. Sesudah mencari beberapa saat, akhirnya aku temukan kuncinya di bawah tumpukan buku.
Namun ketika kubuka laci itu yang kutemukan adalah kumpulan vCD porno yang semuanya kira-kira berjumlah 30 buah dan juga beberapa majalah porno keluaran luar negri. Mau tidak mau aku terkagum-kagum dengan koleksinya. Temanku Agus yang dikenal sebagai "raja bokep" di sekolahku saja tidak mempunyai koleksi sebanyak ini. Setelah kuperhatikan semua vCD dan juga buku-buku pornonya bertema perbudakan kaum pria oleh wanita. Di cover-cover vCD terlihat gambar pria yang disiksa dengan sadis. Beberapa pernah kualami sendiri, namun banyak yang memperlihatkan penyiksaan yang lebih menyakitkan dari pada yang kualami selama ini.
Di salah satu cover vCD yang tampaknya keluaran Jepang aku melihat seorang pria yang di gantung terbalik kemudian disekelilingnya ada 5 wanita yang mencambukinya. Dapat kulihat expressi kesakitannya dan juga bekas-bekas pukulan yang sebelumnya mendarat di tubuhnya. Dalam hatiku berharap ibu Anna tidak tergoda untuk memperlakukan diriku seperti demikian. Dan entah kenapa ada keinginan dalam diriku untuk melihat-lihat yang lain, namun segera saja kuurungkan niatku ketika aku melihat sudah hampir jam setengah dua. Dengan segera aku mengunci laci itu dan meletakkan kuncinya pada tempat sebelumnya. Yah memang hari itu aku sedang beruntung, karena jika terlambat satu menit saja ibu Anna bisa memergokiku yang sedang menggeledah kamarnya.
Sesudah datang biasanya ibu Anna langsung masuk ke kamarnya, dan tanpa diperintah lagi aku mengikutinya masuk. Disana sudah menunggu tugas "kebersihan" lainnya. Ibu Anna dengan santai berbaring di ranjangnya sedangkan aku dengan perlahan melepaskan sepatu hak tingginya lalu mejilati kedua telapak kakinya dengan lidahku sampai bersih. Maksudku benar-benar bersih, ibu Anna tidak mau ada bagian yang terlewat sedikitpun, termasuk disela-sela jarinya. Setelah itu, dia akan memberiku isyarat untuk melepaskan rok yang dikenakannya, sedangkan untuk membuka celana dalam yang dikenakannya aku tidak diperbolehkan menggunakan tanganku, melainkan hanya menggunakan mulutku.
Pada awalnya aku kesulitan dengan tugas satu itu, baru sesudah kulakukan berulang kali aku mulai bisa melakukannya dengan mudah. Sesudah itu vaginanya yang lembab akibat keringat setelah bekerja mengajar seharian, kukecup dengan lembut berulang kali, sesuai dengan yang di ajarkannya padaku. Setelah beberapa kali mendapat petunjuknya, kini bisa dibilang ibu Anna sudah cukup puas dengan keahlianku, sehingga dia hanya berdiam diri saja memperhatikanku mengerjakan pekerjaan rutinku, atau biasanya dia dengan santai menonton film porno yang sebelumnya disetelnya. Sedangkan aku masih terus mencium dan menjilati vaginanya sampai ibu Anna menyuruhku berhenti. Pernah suatu kali aku melakukannya selama hampir satu jam. Akibatnya lidahku menjadi sakit dan kelu. Sedangkan rahangku hampir copot rasanya.
Suatu kali, tanpa terduga ibu Anna memperbolehkanku untuk memasukkan penisku ke vaginanya. Tentu saja aku kegirangan mendapat kesempatan ini. Selama aku mengerjakan pekerjaanku mengoral vaginanya tentu saja aku merasa terangsang, hanya saja biasanya setelah ibu Anna puas dengan pekerjaanku dia kemudian menggunakan vibrator (penis buatan) untuk memuaskan nafsunya yang sudah memuncak. Sedangkan diriku hanya dapat dengan iri melihat vibrator itu melaksanakan tugasnya. Sesudah selesai, barulah ibu Anna menyuruhku pulang. Baru di rumah aku menyalurkan nafsuku dengan mansturbasi. Karena itu kesempatan yang kali ini kudapat tidak akan kusia-siakan begitu saja. Sedangkan ibu Anna sudah siap dengan posisi menungging. Dengan hati-hati aku mencoba untuk memasukkan penisku yang tegang ke dalam vaginannya. Secara perlahan aku melihat penisku masuk ke dalam lubang vaginannya, yang sebelumnya sudah kujilati sampai basah sekali.
"Kontol kamu kecil" kata ibu Anna dengan nada mengejek.
Panas juga hatiku mendengar perkataannya. Memang ketika sedang berada di rumah, ibu Anna seperti orang yang berbeda dengan ibu Anna yang mengajar biologi di sekolah yang biasa berkata-kata dengan sopan dan santun. Disini dia adalah wanita berumur 30 tahun dengan dengan birahi yang tidak kunjung terpuaskan. Sesudah seluruh batang penisku terbenam dalam liang vaginanya barulah aku mencoba menggerakannya perlahan. Yang terjadi selanjutnya adalah ketika baru 3 kali aku memompa penisku di dalam vaginanya aku sudah tidak dapat menahannya lagi.
"Keluarin!" bentak ibu Anna dengan tiba-tiba setelah dia menyadari aku sudah hampir orgasme.
Bersamaan dengan keluarnya penisku, aku mengalami orgasme dahsyat. Spermaku menyembur mengenai tepat di lubang anusnya yang kemudian turun ke masuk ke lubang vaginanya dan menetes-netes ke sprei. Sedangkan aku dengan terengah-engah kenikmatan mengocok-ngocok batang penisku sehingga makin banyak menumpahkan sperma ke lubang anusnya. Melihat keadaanku, secara spontan ibu Anna tertawa terbahak-bahak.
"Baru kali ini saya ketemu cowok yang kontolnya nggak ada gunanya kayak punya kamu itu" katanya mengejekku.
Tentu saja ketika itu harga diriku sebagai lelaki terusik mendengar ejekannya. Dengan menggenggam batang penisku yang masih tegang aku mencoba memasukannya kembali ke lubang vaginanya.
Zlebb..
Dengan mudah batang penisku masuk ke dalam liang vaginanya yang masih basah.
"Apa-apaan kamu! Keluarin kontol kamu itu" tiba-tiba ibu Anna membentakku dengan keras.
Dengan tergesa-gesa aku menarik batang penisku yang baru saja terbenam dalam liang vaginanya. Dan tanpa bisa kutahan kembali aku mengalami ejakulasi. Dengan tubuh gemetar menahan nikmat, aku mengocok penisku dengan cepat sehingga banyak sperma yang tumpah dan jatuh di telapak kakinya. Sementara ibu Anna menatapku dengan pandangan jijik, seakan-akan aku ini adalah gundukan sampah yang menyerupai manusia.
"Heh kontol! Kamu harus membersihkan ini semua" bentaknya.
"Maaf bu" jawabku pelan dengan menundukan kepala karena malu. Aku segera beranjak turun dari ranjang untuk mengambil tissue.
"Pakai mulut" kata ibu Anna dengan dingin.
Tentu saja aku mau protes dengan perintahnya itu. Yang pertama, itu adalah spermaku dan tentunya aku tidak mau menjilati spermaku sendiri dan yang kedua adalah setelah dua kali ejakulasi tadi aku kini sudah tidak mempunyai nafsu lagi. Tapi ketika kulihat tatapan marah di matanya segera saja hatiku menjadi ciut. Dengan perasaan menyesal aku memandang ke genangan sperma di lubang anus ibu Anna. Belum pernah aku menjilati lubang anus ibu Anna sebelumnya, kini mau tidak mau aku harus melakukannya.
"Cepat!" bentak ibu Anna, "Dan jangan berhenti sebelum disuruh" sambungnya lagi.
Dengan harga diri yang hancur terinjak-injak aku mulai menjilati daerah sekitar lubang anusnya dengan perlahan.
"Heh kontol! Bersihin yang benar," bentaknya sambil melotot padaku.
Kupejamkan mataku dan setelah mengumpulkan kekuatanku aku mulai menjilati sperma yang tergenang. Dengan segera aku mencium bau khas sperma dan juga rasa asin dari spermaku yang tadi baru kutumpahkan di lubang anusnya.
"Lebih cepet!" kembali ibu Anna memberikan perintah.
Hampir menangis rasanya aku mendapat penghinaan seperti ini. Mau tak mau aku mempercepat gerakan lidahku. Kutempelkan lidahku di lubang anusnya, kemudian kuseret lidahku di permukaan lubang anusnya sehingga sperma di lubang anusnya sudah terangkat semua oleh lidahku, ini kulakukan agar aku tidak berlama-lama dengan pekerjaan yang menyiksaku ini. Namun kerena ibu Anna belum mengatakan apapun maka aku tidak berani menghentikan pekerjaanku. Mau tidak mau aku terus menerus menjilati lubang anusnya, sehingga lubang anusnya yang tadinya basah karena spermaku kini malah menjadi tergenang oleh air liurku.
Pada awalnya aku menyangka akan mencium bau tidak sedap dari lubang anusnya itu, namun setelah beberapa saat aku menyadari bahwa aku tidak mencium dan merasakan apa-apa disana. Selang beberapa lama setelah aku melakukannya aku mulai merasa menikmatinya. Sementara aku masih dengan bersemangat menjilati lubang anusnya, ibu Anna mulai merintih-rintih keenakan.
"Ternyata lidah kamu lebih berguna dari pada kontol kecil kamu itu" katanya padaku dengan seenaknya.
Setelah beberapa saat kemudian, ibu Anna memerintahkanku untuk menciumi lubang anusnya. Sesudah beberapa kali kulakukan barulah dia menyuruhku berhenti. Kemudian menyusul vaginanya yang 'kubersihkan' dan terakhir telapak kakinya. Barulah sesudah itu aku diperbolehkan pulang.
Bersambung . . . . . .
Me and My Teacher - 2
Hari itu hari sabtu. Dengan gelisah aku berkali-kali melihat ke jam dinding, sudah jam 12 lewat 40 menit tapi Pak Rudi (Kepala Sekolah) masih dengan semangatnya menerangkan tentang rencana study lapangan selama tiga hari yang akan diadakan di luar kota bulan depan. Yang membuatku gelisah adalah entah kenapa hari itu tanpa sengaja aku meninggalkan kunci rumah ibu Anna yang dipercayakannya padaku. Rumahku bisa dibilang dekat dengan rumah ibu Anna, hanya membutuhkan waktu sekitar 20 menit untuk pulang ke rumahku dan kemudian langsung ke rumah ibu Anna. Yang membuatku khawatir adalah beberapa hari terakhir ini ibu Anna pulang lebih awal. Biasanya hampir jam 2 siang ibu Anna baru datang, namun kini jam satu lewat beberapa menit saja ia sudah datang. Bahkan pernah suatu ketika ibu Anna sudah menunggu di depan rumahnya pada saat aku datang, namun karena memang belum lewat jam 1 siang maka ibu Anna tidak menarik panjang hal itu.
Sementara itu belum ada tanda-tanda Pak Rudi akan selesai bicara sehingga membuatku semakin gerah saja. Selang beberapa menit kemudian aku sudah tidak tahan.
"Pak sudah siang nih," ujarku memberanikan diri.
Untung saja teman-teman kelasku yang lain ikut-ikutan memprotes sehingga dengan terpaksa Pak Rudi menyudahi pembicaraannya lalu membubarkan kelas. Langsung saja aku berlari secepatnya untuk segera pulang ke rumah mengambil kunci baru kemudian ke rumah ibu Anna. Dan benar saja kekhawatiranku, meskipun dengan sekuat tenaga aku berusaha, aku baru bisa sampai pada jam 1 lewat 10 menit. Dan ibu Anna sudah menyambut di depan pintu rumahnya dengan pandangan yang mau membunuhku ketika melihatku datang.
"Kamu tahu apa kesalahan kamu?" kata ibu Anna kepadaku ketika kami sudah berada di dalam rumahnya.
"Tahu bu" jawabku.
"Bagus, berarti kamu juga tahu apa hukuman kamu?" lanjutnya lagi.
Aku tertegun sejenak mendengar pertanyaanya. Bisa-bisanya aku tidak ingat dengan ucapanya waktu itu. Aku mencoba berpikir mengingat-ingat apa yang waktu itu pernah ibu Anna katakan padaku tentang hukuman apa yang diberikan jika aku datang telat. Semakin lama aku berpikir semakin aku tidak bisa ingat apa-apa, apalagi aku mejadi semakin gugup melihat gerak-gerik ibu Anna yang tampaknya akan marah besar.
"Tahu tidak!?" bentak ibu Anna di depan wajahku.
"Maaf bu" jawabku pasrah.
"Dasar otak kontol" makinya padaku semaunya.
Entah mengapa setelah mendengar makiannya yang pedas, aku langsung teringat dengan perkataanya waktu itu. Ketika itu ibu Anna memberikan surat ancamannya yang disertai dengan foto-foto diriku, siangnya ibu Anna menemuiku dan memberikan kunci rumahnya padaku disertai dengan perintah-perintah dan peringatannya jika aku sampai telat aku akan dihukum seperti pada waktu aku pertama kali datang kerumahnya (baca "My Teacher").
Namun kini sesudah aku mengetahuinya, aku malah tidak berani mengatakannya, karena aku tahu ibu Anna sekarang ini sedang marah besar, dan menurut pendapatku pada saat ini ibu Anna lebih suka aku diam tidak menyela makian-makiannya pada diriku.
"Bagaimana sekarang?" tanyanya padaku setelah puas menyemburkan cacian padaku selama hampir semenit lamanya.
"Ampun Bu saya pantas dihukum" jawabku terpaksa.
"Sekarang kamu pulang dan minta ijin sama orang tua kamu untuk menginap di rumah teman kamu malam ini" katanya padaku setelah terdiam sesaat.
Walaupun aku tahu apa yang akan terjadi padaku, namun tetap saja aku tidak berani protes, bahkan untuk menatap matanya saja aku tidak berani.
"Baik bu" jawabku lirih.
"Kamu harus kembali kesini dalam sejam" katanya padaku, "Awas kamu bisa dihukum lebih parah kalau lalai lagi" sambungnya.
Setelah itu, dengan tidak membuang waktu aku segera beranjak untuk pergi pulang. Sesampainya dirumah aku segera berganti pakaian dan tidak lupa membawa satu setel pakaian yang kumasukan ke dalam tas yang biasanya kugunakan untuk bermain bola. Untung saja ibuku tidak terlalu susah memberikan ijin padaku untuk pergi menginap hari itu. Dengan segera aku bergegas untuk langsung pergi. Walaupun sebenarnya aku tahu pada waktu itu aku masih sempat untuk makan siang dahulu sebelum kembali ke rumah ibu Anna, Namun kali itu aku tidak berani ambil resiko untuk ayal-ayalan. Dalam waktu setengah jam, aku sudah kembali ke rumah ibu Anna. Disana aku melihat ibu Anna sudah menungguku.
"Apa itu?" tanya ibu Anna sambil melihat ke tas yang kubawa.
"Baju bu" jawabku jujur.
"Kamu tidak perlu baju, taruh disana" katanya dengan dingin sambil menunjuk ke sofa.
Dengan segera aku melaksanakan perintahnya. Agak kecut juga hatiku mendengar perkataannya, aku yakin tidak lama lagi ibu Anna akan menyuruhku membuka pakaian yang kini kukenakan.
"Mulai sekarang kamu dilarang berbicara apapun juga, kecuali atas seijin saya, mengerti?" katanya padaku dengan dingin. Aku mengangguk mengiyakan.
"Bagus, sekarang ikut ibu" perintahnya lagi padaku.
Aku mengikuti langkahnya dari belakang. Ibu Anna belum mengganti pakaiannya, masih sama seperti yang biasa dia kenakan jika mengajar. Setelan jas dan rok formal berwarna hitam serta sepatu hak tinggi, sedangkan aku kini mengenakan kaos santai dan celana 3/4. Di tangannya, ibu Anna membawa sebuah benda yang tidak terlalu kuperhatikan, namun sepertinya aku dapat memastikan bahwa itu akan dipergunakan padaku.
Aku mengikuti langkahnya menuju ke bagian belakang rumah. Benar saja perkiraanku, ibu Anna membawaku ke ruang tempat menjemur pakaiannya.
"Buka semua pakaian kamu!" katanya padaku setelah kami berada disana.
Dengan cepat aku meloloskan semua pakaianku. Meskipun di sana adalah ruang yang terbuka pada bagian atasnya, namun tidak memungkinkan bagi orang di luar untuk dapat melihat kegiatan kami didalam, dikarenakan tembok disekeliling yang tingginya bersambung dengan tingat dua bangunan itu. Aku tidak mengerti kenapa sampai sekarang aku masih saja tidak terbiasa berada dalam keadaan bugil dihadapan ibu Anna, meskipun hampir setiap hari aku mengalaminya selama sebulan belakangan ini. Dan entah kenapa setiap aku berada dalam keadaan seperti itu, penisku langsung mulai menengang ketika ibu Anna menatapku dengan perasaan jijik, tidak terkecuali saat ini.
"Saya lihat kamu sudah tidak sabar" katanya padaku sambil tangannya mengocok pelan penisku yang sudah tegang.
"Benar begitu hah?" tanyanya padaku sambil masih terus mengocok penisku.
"I.. Iya bu" jawabku.
"Diam!!" bentaknya sambil tangannya yang tadi digunakannya untuk mengocok penisku menampar pipi kiriku dengan keras.
Tamparannya lebih menyakiti harga diriku di banding kulitku.
"Kamu akan dihukum oleh karena itu" katanya ibu Anna kemudian.
Selanjutnya ibu Anna memasangkan sejenis kalung yang terbuat dari kulit (collar) yang tersambung dengan rantai, di leherku, kemudian ujung rantainya di kaitkan ke tiang besi yang terdapat di tengah-tengah ruangan itu. Panjang rantainya sendiri sedikit kurang dari 2 meter. Setelah ibu Anna selesai memasangnya, ibu Anna kemudian mengambil sebuah benda yang berwarna hitam yang tadi dibawanya. Benda itu teryata sebuah cambuk yang panjang talinya sekitar 1,5 meter.
"Ctarr".
Tanpa diduga-duga ibu Anna melecutkan cambuk itu. Secara refleks aku melompat kaget, namun sesudahnya aku sadar bahwa ibu Anna hanya memukul udara.
"Lari!" perintah ibu Anna.
Dengan segera aku mulai berlari. Ruang itu luasnya hanya 4x4 meter, sehingga tidak memberikan banyak ruang bagiku untuk berlari, di tambah dengan ikatan di leherku maka aku hanya berlari berputar-putar di sekitar tiang itu.
Ctarr.. kali ini benar-benar sebuah cambukan mendarat tepat di pantat kananku.
"Auu!" jeritku sambil melompat kesakitan.
"Jangan bicara!" bentaknya padaku sambil mendaratkan sebuah pukulan lagi di punggungku. Kugigit bibirku untuk menahan sakitnya.
"Lebih cepat!" sambungnya memberi perintah. Mendengar perintahnya aku langsung berlari secepat-cepatnya mengitari tiang itu.
Aku sudah terbiasa dengan olah raga sepakbola, karena itu bisa dibilang staminaku sedikit diatas orang-orang yang lain. Setelah sepuluh menit barulah aku mulai merasa kehabisan tenaga. Sebenarnya bisa dibilang keadaanku pada saat itu benar-benar konyol, dibawah terik matahari, aku berlari sprint berputar-putar disekitar tiang dengan keadaan bugil. Sedangkan ibu Anna tidak segan-segan mendaratkan cambuknya di tubuhku jika aku mulai memperlambat gerakanku. Sudah beberapa cambukan yang mendarat di tubuhku, diantaranya tiga di punggung, dua di pantatku dan sekali mengenai tanganku. Setiap pukulannya yang mendarat di tubuhku memberiku semangat untuk kembali mempercepat lariku. Dan boleh percaya boleh tidak pukulan cambuk yang mendarat di tubuhku memberiku tenaga lebih dari yang diberikan minuman energi merek apapun juga. Dengan peluh yang sudah mengucur dari seluruh tubuhku aku masih terus berlari hingga akhirnya aku hampir mencapai batas ketahanan tubuhku.
"Stop" kata ibu Anna tiba-tiba.
Mendengar perkataanya langsung saja aku berhenti dan langsung jatuh berlutut dengan nafas teputus-putus. Aku sangat yakin jika diteruskan beberapa putaran lagi aku pasti akan pingsan. Karena pada saat itu aku sudah merasakan intensitas cahaya dilingkungan itu bertambah besar, suatu gejala ketika tubuh sudah mencapai batas ketahanan.
Selang beberapa saat aku mulai dapat mengatur nafasku. Baru setelah itu aku mulai dapat merasakan perih sesungguhnya akibat cambukkan yang tadi mengenaiku. Dengan perlahan aku mencoba untuk meraba bagian-bagian tubuhku yang perih. Garis-garis merah bekas pukulan terlihat jelas di paha dan tanganku. Sedangkan wajah ibu Anna menunjukkan ekspresi kepuasan melihat penderitaanku. Setelah membiarkanku untuk istirahat sejenak, kemudian ibu Anna memulai permainan lainnya.
Setelah melepaskan rantai dari tiang besi itu, ibu Anna kemudian menyentaknya, memberi isyarat padaku untuk mengikutinya. Dengan patuh akupun kemudian merangkak mengikuti langkahnya. Ibu Anna sudah pernah memberi perintah jika aku mengenakan collar maka aku tidak diperbolehkan berjalan berdiri, melainkan merangkak seperti anjing.
Ibu Anna ternyata akan membawaku ke lantai dua. Aku tidak pernah mengetahui ada apa di sana, karena ibu Anna tidak pernah membiarkan pintu yang terdapat di ujung tangga tak terkunci. Dengan tangan kiri memegang rantai yang terhubung dengan collar di leherku, ibu Anna membuka pintu itu dengan tangan kanannya. Aku sebelumnya sempat menduga bahwa lantai dua itu dipergunakan sebagai gudang, namun dugaanku meleset sedikit.
Bersambung . . . . .
Sementara itu belum ada tanda-tanda Pak Rudi akan selesai bicara sehingga membuatku semakin gerah saja. Selang beberapa menit kemudian aku sudah tidak tahan.
"Pak sudah siang nih," ujarku memberanikan diri.
Untung saja teman-teman kelasku yang lain ikut-ikutan memprotes sehingga dengan terpaksa Pak Rudi menyudahi pembicaraannya lalu membubarkan kelas. Langsung saja aku berlari secepatnya untuk segera pulang ke rumah mengambil kunci baru kemudian ke rumah ibu Anna. Dan benar saja kekhawatiranku, meskipun dengan sekuat tenaga aku berusaha, aku baru bisa sampai pada jam 1 lewat 10 menit. Dan ibu Anna sudah menyambut di depan pintu rumahnya dengan pandangan yang mau membunuhku ketika melihatku datang.
"Kamu tahu apa kesalahan kamu?" kata ibu Anna kepadaku ketika kami sudah berada di dalam rumahnya.
"Tahu bu" jawabku.
"Bagus, berarti kamu juga tahu apa hukuman kamu?" lanjutnya lagi.
Aku tertegun sejenak mendengar pertanyaanya. Bisa-bisanya aku tidak ingat dengan ucapanya waktu itu. Aku mencoba berpikir mengingat-ingat apa yang waktu itu pernah ibu Anna katakan padaku tentang hukuman apa yang diberikan jika aku datang telat. Semakin lama aku berpikir semakin aku tidak bisa ingat apa-apa, apalagi aku mejadi semakin gugup melihat gerak-gerik ibu Anna yang tampaknya akan marah besar.
"Tahu tidak!?" bentak ibu Anna di depan wajahku.
"Maaf bu" jawabku pasrah.
"Dasar otak kontol" makinya padaku semaunya.
Entah mengapa setelah mendengar makiannya yang pedas, aku langsung teringat dengan perkataanya waktu itu. Ketika itu ibu Anna memberikan surat ancamannya yang disertai dengan foto-foto diriku, siangnya ibu Anna menemuiku dan memberikan kunci rumahnya padaku disertai dengan perintah-perintah dan peringatannya jika aku sampai telat aku akan dihukum seperti pada waktu aku pertama kali datang kerumahnya (baca "My Teacher").
Namun kini sesudah aku mengetahuinya, aku malah tidak berani mengatakannya, karena aku tahu ibu Anna sekarang ini sedang marah besar, dan menurut pendapatku pada saat ini ibu Anna lebih suka aku diam tidak menyela makian-makiannya pada diriku.
"Bagaimana sekarang?" tanyanya padaku setelah puas menyemburkan cacian padaku selama hampir semenit lamanya.
"Ampun Bu saya pantas dihukum" jawabku terpaksa.
"Sekarang kamu pulang dan minta ijin sama orang tua kamu untuk menginap di rumah teman kamu malam ini" katanya padaku setelah terdiam sesaat.
Walaupun aku tahu apa yang akan terjadi padaku, namun tetap saja aku tidak berani protes, bahkan untuk menatap matanya saja aku tidak berani.
"Baik bu" jawabku lirih.
"Kamu harus kembali kesini dalam sejam" katanya padaku, "Awas kamu bisa dihukum lebih parah kalau lalai lagi" sambungnya.
Setelah itu, dengan tidak membuang waktu aku segera beranjak untuk pergi pulang. Sesampainya dirumah aku segera berganti pakaian dan tidak lupa membawa satu setel pakaian yang kumasukan ke dalam tas yang biasanya kugunakan untuk bermain bola. Untung saja ibuku tidak terlalu susah memberikan ijin padaku untuk pergi menginap hari itu. Dengan segera aku bergegas untuk langsung pergi. Walaupun sebenarnya aku tahu pada waktu itu aku masih sempat untuk makan siang dahulu sebelum kembali ke rumah ibu Anna, Namun kali itu aku tidak berani ambil resiko untuk ayal-ayalan. Dalam waktu setengah jam, aku sudah kembali ke rumah ibu Anna. Disana aku melihat ibu Anna sudah menungguku.
"Apa itu?" tanya ibu Anna sambil melihat ke tas yang kubawa.
"Baju bu" jawabku jujur.
"Kamu tidak perlu baju, taruh disana" katanya dengan dingin sambil menunjuk ke sofa.
Dengan segera aku melaksanakan perintahnya. Agak kecut juga hatiku mendengar perkataannya, aku yakin tidak lama lagi ibu Anna akan menyuruhku membuka pakaian yang kini kukenakan.
"Mulai sekarang kamu dilarang berbicara apapun juga, kecuali atas seijin saya, mengerti?" katanya padaku dengan dingin. Aku mengangguk mengiyakan.
"Bagus, sekarang ikut ibu" perintahnya lagi padaku.
Aku mengikuti langkahnya dari belakang. Ibu Anna belum mengganti pakaiannya, masih sama seperti yang biasa dia kenakan jika mengajar. Setelan jas dan rok formal berwarna hitam serta sepatu hak tinggi, sedangkan aku kini mengenakan kaos santai dan celana 3/4. Di tangannya, ibu Anna membawa sebuah benda yang tidak terlalu kuperhatikan, namun sepertinya aku dapat memastikan bahwa itu akan dipergunakan padaku.
Aku mengikuti langkahnya menuju ke bagian belakang rumah. Benar saja perkiraanku, ibu Anna membawaku ke ruang tempat menjemur pakaiannya.
"Buka semua pakaian kamu!" katanya padaku setelah kami berada disana.
Dengan cepat aku meloloskan semua pakaianku. Meskipun di sana adalah ruang yang terbuka pada bagian atasnya, namun tidak memungkinkan bagi orang di luar untuk dapat melihat kegiatan kami didalam, dikarenakan tembok disekeliling yang tingginya bersambung dengan tingat dua bangunan itu. Aku tidak mengerti kenapa sampai sekarang aku masih saja tidak terbiasa berada dalam keadaan bugil dihadapan ibu Anna, meskipun hampir setiap hari aku mengalaminya selama sebulan belakangan ini. Dan entah kenapa setiap aku berada dalam keadaan seperti itu, penisku langsung mulai menengang ketika ibu Anna menatapku dengan perasaan jijik, tidak terkecuali saat ini.
"Saya lihat kamu sudah tidak sabar" katanya padaku sambil tangannya mengocok pelan penisku yang sudah tegang.
"Benar begitu hah?" tanyanya padaku sambil masih terus mengocok penisku.
"I.. Iya bu" jawabku.
"Diam!!" bentaknya sambil tangannya yang tadi digunakannya untuk mengocok penisku menampar pipi kiriku dengan keras.
Tamparannya lebih menyakiti harga diriku di banding kulitku.
"Kamu akan dihukum oleh karena itu" katanya ibu Anna kemudian.
Selanjutnya ibu Anna memasangkan sejenis kalung yang terbuat dari kulit (collar) yang tersambung dengan rantai, di leherku, kemudian ujung rantainya di kaitkan ke tiang besi yang terdapat di tengah-tengah ruangan itu. Panjang rantainya sendiri sedikit kurang dari 2 meter. Setelah ibu Anna selesai memasangnya, ibu Anna kemudian mengambil sebuah benda yang berwarna hitam yang tadi dibawanya. Benda itu teryata sebuah cambuk yang panjang talinya sekitar 1,5 meter.
"Ctarr".
Tanpa diduga-duga ibu Anna melecutkan cambuk itu. Secara refleks aku melompat kaget, namun sesudahnya aku sadar bahwa ibu Anna hanya memukul udara.
"Lari!" perintah ibu Anna.
Dengan segera aku mulai berlari. Ruang itu luasnya hanya 4x4 meter, sehingga tidak memberikan banyak ruang bagiku untuk berlari, di tambah dengan ikatan di leherku maka aku hanya berlari berputar-putar di sekitar tiang itu.
Ctarr.. kali ini benar-benar sebuah cambukan mendarat tepat di pantat kananku.
"Auu!" jeritku sambil melompat kesakitan.
"Jangan bicara!" bentaknya padaku sambil mendaratkan sebuah pukulan lagi di punggungku. Kugigit bibirku untuk menahan sakitnya.
"Lebih cepat!" sambungnya memberi perintah. Mendengar perintahnya aku langsung berlari secepat-cepatnya mengitari tiang itu.
Aku sudah terbiasa dengan olah raga sepakbola, karena itu bisa dibilang staminaku sedikit diatas orang-orang yang lain. Setelah sepuluh menit barulah aku mulai merasa kehabisan tenaga. Sebenarnya bisa dibilang keadaanku pada saat itu benar-benar konyol, dibawah terik matahari, aku berlari sprint berputar-putar disekitar tiang dengan keadaan bugil. Sedangkan ibu Anna tidak segan-segan mendaratkan cambuknya di tubuhku jika aku mulai memperlambat gerakanku. Sudah beberapa cambukan yang mendarat di tubuhku, diantaranya tiga di punggung, dua di pantatku dan sekali mengenai tanganku. Setiap pukulannya yang mendarat di tubuhku memberiku semangat untuk kembali mempercepat lariku. Dan boleh percaya boleh tidak pukulan cambuk yang mendarat di tubuhku memberiku tenaga lebih dari yang diberikan minuman energi merek apapun juga. Dengan peluh yang sudah mengucur dari seluruh tubuhku aku masih terus berlari hingga akhirnya aku hampir mencapai batas ketahanan tubuhku.
"Stop" kata ibu Anna tiba-tiba.
Mendengar perkataanya langsung saja aku berhenti dan langsung jatuh berlutut dengan nafas teputus-putus. Aku sangat yakin jika diteruskan beberapa putaran lagi aku pasti akan pingsan. Karena pada saat itu aku sudah merasakan intensitas cahaya dilingkungan itu bertambah besar, suatu gejala ketika tubuh sudah mencapai batas ketahanan.
Selang beberapa saat aku mulai dapat mengatur nafasku. Baru setelah itu aku mulai dapat merasakan perih sesungguhnya akibat cambukkan yang tadi mengenaiku. Dengan perlahan aku mencoba untuk meraba bagian-bagian tubuhku yang perih. Garis-garis merah bekas pukulan terlihat jelas di paha dan tanganku. Sedangkan wajah ibu Anna menunjukkan ekspresi kepuasan melihat penderitaanku. Setelah membiarkanku untuk istirahat sejenak, kemudian ibu Anna memulai permainan lainnya.
Setelah melepaskan rantai dari tiang besi itu, ibu Anna kemudian menyentaknya, memberi isyarat padaku untuk mengikutinya. Dengan patuh akupun kemudian merangkak mengikuti langkahnya. Ibu Anna sudah pernah memberi perintah jika aku mengenakan collar maka aku tidak diperbolehkan berjalan berdiri, melainkan merangkak seperti anjing.
Ibu Anna ternyata akan membawaku ke lantai dua. Aku tidak pernah mengetahui ada apa di sana, karena ibu Anna tidak pernah membiarkan pintu yang terdapat di ujung tangga tak terkunci. Dengan tangan kiri memegang rantai yang terhubung dengan collar di leherku, ibu Anna membuka pintu itu dengan tangan kanannya. Aku sebelumnya sempat menduga bahwa lantai dua itu dipergunakan sebagai gudang, namun dugaanku meleset sedikit.
Bersambung . . . . .
Me and My Teacher - 3
Ruangan itu besarnya sekitar 5X10 meter, seluruhnya tertutup karpet tebal berwarna biru dan di ruangan itu terdapat beberapa cermin persegi yang berukuran besar sedangkan temboknya bercat hitam. Kesan pertamaku setelah memasuki ruangan ini adalah panas dan pengap, entah apa penyebabnya. Bisa dibilang tidak terdapat apa-apa diruangan itu, hanya beberapa alat yang tidak kuketahui kegunaannya yang terletak di salah satu sudut ruangan itu.
Sementara aku masih memperhatikan ruangan itu, secara tiba-tiba ibu Anna duduk di punggungku, seperti layaknya menunggang kuda. Merasakan ada beban di punggungku, secara tidak sadar aku menengok kebelakang, dan kulihat ibu Anna hanya tinggal mengenakan BH dan celana dalam berwarna hitam. Aku sudah cukup sering melihat ibu Anna dalam keadaan bugil, sehingga aku merasa biasa saja melihatnya dalam keadaan demikian.
"Plak!"
Tahu-tahu ibu Anna memukul keras pantatku dengan menggunakan telapak tangannya.
"Jalan!" katanya dingin.
Dengan terpaksa akupun menuruti perintahnya. Dengan tubuh ibu Anna di atas pundakku, aku mulai dengan perlahan merangkak. Baru beberapa langkah saja aku sudah merasa sakit-sakit di lutut, pinggul dan punggungku, untung saja lantainya di lapisi karpet, jika tidak pastinya lututku sudah lecet-lecet. Bisa dibilang saat itu keadaanku sudah tidak mempunyai tenaga setelah sebelumnya di siksanya, namun ibu Anna tidak mau tahu dengan keadaanku.
Sudah beberapa kali pantatku kena pukulannya yang kali ini tampaknya menggunakan sepatu hak tingginya yang entah kapan dia melepasnya. Sebenarnya pada saat itu aku lebih memilih ibu Anna memukuli pantatku dari pada terus merangkak, tapi tentu saja aku takut sewaktu-waktu amarahnya bisa meledak jika aku tidak menurutinya. Sesudah dua kali memutari ruangan itu aku sudah benar-benar tidak sanggup. Secara tiba-tiba tubuhku ambruk tak dapat menahan beban di punggungku. Sedangkan ibu Anna dengan cekatan segera berdiri sesudah sebelumnya ikut terjatuh bersamaku.
Dengan marah ibu Anna menyuruhku untuk bangun sambil kakinya menendang pahaku, sedangkan tubuhku terus saja tergolek seperti mayat. Jangankan untuk kembali bangun, untuk menggerakkan tanganku saja rasanya sulit, dan bernafas saja sepertinya sudah menggunakan semua tenagaku yang tersisa. Sedang ibu Anna yang masih penasaran, kemudian mulai menggunakan cambuknya untuk memukuliku. Tubuhku yang terkena pukulannya berkelojotan seperti cacing, namun tetap saja aku tidak mampu untuk berdiri. Setelah meneruskan beberapa kali, ibu Anna kemudian menyerah juga, ia kemudian meniggalkanku sendirian di ruang itu. Setelah ibu Anna pergi dari sana langsung saja aku tertidur atau pingsan, aku tidak tahu.
Selang beberapa waktu kemudian aku terbangun. Keadaanku sekarang tidak terlalu berbeda dengan waktu sebelum tertidur tadi, aku masih telungkup di karpet, hanya saja kali ini tanganku dan kakiku terikat dengan kuat. Siapa lagi kalau bukan ibu Anna yang melakukannya. Secara perlahan perih-perih di tubuhku mulai terasa kembali. Keringat masih terus keluar dengan deras dari tubuhku akibat suhu ruangan yang panas, sedangkan mulut dan tenggorokanku terasa kering sekali. Belum pernah aku merasa sehaus itu. Selang setengah jam kemudian barulah aku mendengar suara seseorang yang menaiki tangga, lalu kemudian membuka pintu yang terkunci.
Ibu Anna melangkah mendekatiku dengan santai. Pada saat itu ia sudah tidak mengenakan pakaian sama sekali. Dengan jelas aku melihat tubuhnya yang juga di banjiri keringat seperti diriku sekarang ini.
"Bagaimana keadaan kamu?" tanyanya padaku setelah dia berada disampingku.
"Saya.. Haus.. Bu" kataku padanya terbata-bata sambil memandang lemah ibu Anna disebelahku.
Dia tidak menjawabnya, melainkan dengan santai dia meletakkan kaki kanannya di atas kepalaku. Melihat responnya aku tidak berani mengulangi permintaanku lagi.
"Seberapa haus?" tanyanya tiba-tiba padaku.
"Sangat haus bu" kataku memelas.
"Apa yang kamu mau?" tanyanya lagi padaku.
"Minum.. S.. Saya mau minum" jawabku lagi.
"Mau minum apa?" kembali ibu Anna memberikan pertanyaan yang menjengkelkan.
"Apa saja.. Terserah" jawabku dengan lemas, karena aku merasa pada saat ibu Anna tidak akan mengabulkan permintaanku.
"Apa saja boleh?" tanyanya lagi padaku.
"Ya Bu apa aja" jawabku dengan cepat seakan mendapat harapan baru.
"Baik kamu yang minta" kata ibu Anna kemudian.
Setelah ibu Anna berkata demikian, ia lalu membalik tubuhku, lalu berdiri tepat di atas wajahku. Dapat kulihat pemandangan yang pada saat biasa kuanggap sebagai salah satu pemandangan terindah di dunia ini, tapi tidak sekarang, yang kupikirkan saat ini hanyalah air. Secara perlahan ibu Anna berjongkok dan memposisikan vaginanya tepat di atas mulutku. Dalam sedetik kemudian aku sudah tahu apa yang mau di lakukannya. Dengan tangan kirinya, ibu Anna menekan pipiku sehingga membuat mulutku membuka paksa.
Setelah menunggu beberapa detik, akhirnya ibu Anna mulai menyemburkan air kencingnya yang berwarna kuning kental itu tepat ke mulutku yang terbuka lebar. Walaupun sebelumnya aku sudah pernah mendapat perlakuan serupa (kembali baca "my teacher), namun pada saat itu kuanggap hal itu adalah hal yang tidak menyenangkan bagiku. Secara wajar aku mencoba menggerakkan kepalaku menolak hal itu, namun tidak bisa karena di tahan oleh tangan kiri ibu Anna. Mungkin pada keadaan biasa aku masih bisa mencoba untuk meronta, tapi tidak sekarang pada saat hampir semua tenagaku habis tersedot karena perlakuannya padaku tadi.
Setelah air kencing mulai menggenangi mulutku, aku dapat merasakan rasa asin di lidahku dan bau pesing yang menusuk di hidungku. Sampai pada saat itu aku masih berusaha untuk tidak menelannya, namun mungkin karena aku sudah sangat kehausan, tanpa sadar aku menelan juga air kencing yang menggenangi mulutku. Tiba-tiba saja aku merasakan bahwa rasanya tidak seburuk yang kuperkirakan, asin dan sedikit pahit, cukup enak buatku yang sudah sangat kehausan. Dengan cepat aku kembali meneguk cairan itu, kemudian diikuti tergukan-tegukan lainnya, rasa jijik sudah tidak kuhiraukan lagi, malah kemudian dengan rakus aku terus menelan air kencing yang masih terus menerus di tumpahkan dari vagina ibu Anna.
Secara sekilas aku dapat melihat wajah ibu Anna yang tersenyum melihat kelakuanku itu. Air kencing yang tadinya menggenangi mulutku sekarang sudah kering kutelan, sedangkan ibu Anna masih terus mengeluarkan "minumannya", seakan tidak ada habisnya. Tangan kirinya sudah tidak di gunakan untuk menekan pipiku, pada saat itu aku sudah membuka mulutku lebar-lebar dengan senang hati menerima pemberiannya. Kini kedua tangannya membuka kedua bibir vaginannya dengan lebar untuk memudahkan jalan semburan air kencingnya.
Selang beberapa detik kemudian semburannya mulai melemah dan akhirnya benar-benar berhenti.
"Bersihin" kata ibu Anna padaku sambil tangannya masih membuka lebar kedua belah bibir vaginanya.
Dengan patuh aku segera melakukan perintahnya, sambil sedikit mengangkat kepalaku, kujilati bagian dalam vagina serta klitorisnya dengan bersemangat, seolah-olah tenagaku kembali setelah meminum air kencingnya.
"Ok stop" kata ibu Anna selang beberapa saat kemudian, dan dengan segera akupun menghentikan pekerjaanku.
"Enak ya?" tanya ibu Anna kemudian padaku sambil tetap berjongkok di atas wajahku.
"Iya bu.. Kalau boleh saya mau minta lagi" jawabku tanpa malu-malu, karena di samping masih merasa haus, ternyata aku juga mulai menikmatinya.
"Kalau begitu kamu harus memohon" katanya lagi padaku.
"Saya mohon bu.. Saya sangat suka air kencing ibu" sahutku dengan cepat, seakan-akan kata-kata itu meluncur begitu saja dari kepalaku.
"Bagus, karena kamu yang minta, mulai sekarang dirumah ini, cuma itu minuman kamu" katanya.
Dan aku benar-benar sudah gila karena justru merasa senang mendengar perkataanya itu. Setelah berkata demikian, ibu Anna kemudian meludah tepat ke mulutku yang terbuka. Dengan senang hati aku kemudian menelannya.
"Sekarang kamu istirahat, permainan baru akan dimulai nanti malam" katanya padaku sambil berlalu meninggalkanku setelah sebelumnya membuka ikatan pada tangan dan kakiku.
Agak terkejut juga aku mendengar perkataannya, apa yang sudah kualami ini hanya sekedar pemanasan saja? Pikirku dalam hati. Tak lama kemudian aku mendengar suara pintu yang dikunci dari luar. Aku tidak tahu jam berapa sekarang ini, namun mendengar perkataannya aku merasa saat ini sekitar jam 4 sampai jam 5 sore. Dengan perut kembung aku kemudian kembali tertidur. Aku terbangun setelah ada seseorang yang menendang testisku dengan perlahan.
"Mau tidur sampai kapan hah!" bentaknya garang.
Meskipun agak mendongkol dengan caranya membangunkanku, mau tidak mau aku membuka mataku dan beranjak berdiri. Belum pernah kulihat ibu Anna menggunakan pakaian seperti itu sebelumnya. Ia mengenakan BH berwarna hitam yang tampaknya terbuat dari kulit serupa dengan celana dalamnya yang sangat mini. Di tangannya ia menggenggam cambuk yang tadi siang sudah dipergunakannya, sedang rambutnya diikat kencang kebelakang menambah "kegarangannya". Yang paling menonjol adalah pada bagian depan celana dalamnya terdapat penis buatan yang sepertinya terbuat dari bahan plastik. Meskipun agak geli aku melihat hal itu, namun aku hanya terdiam saja menunduk, menunggu perkataannya.
Dengan memberi isyarat, ibu Anna menyuruhku mengikutinya. Ia membawaku ke salah satu sudut ruangan dimana terdapat benda yang terbuat dari kayu berbentuk huruf "X" yang pada saat itu tidak kuketahui apa gunanya. Dengan tidak mengucapkan sepatah kata, ibu Anna mengikatkan kedua tangan dan kakiku ke tali yang terdapat dimasing-masing ujung benda itu sehingga tubuhku juga membentuk huruf "X", terikat di benda itu.
Setelah itu, tanpa ba bi Bu lagi ibu Anna mendaratkan sebuah pukulan dari cambuknya yang mengenai punggungku. Aku menjerit keras dengan spontan begitu merasakan perih pada punggungku.
"Silahkan kamu teriak, ruang ini kedap suara" kata ibu Anna sambil tak henti-hentinya mendaratkan cambuknya di tubuhku.
Aku tidak berani menoleh, karena salah-salah wajahku yang terkena cambukannya, maka dari itu sebisanya saja aku meronta-ronta, namun karena kedua tangan dan kakiku terikat kuat sepertinya usahaku hanya sia-sia belaka, malahan mungkin itu membuatnya semakin gusar saja. Sesudah itu aku kemudian memutuskan untuk mencoba cara lain.
"Auu sakit bu! ampunn.. Jangan siksa saya lagi.. Aaahh" jeritku memohon padanya disela-sela erangan kesakitan terkena pukulannya.
Namun seakan tidak mendengar, ibu Anna masih tetap saja melakukan kegiatannya. Baru setelah kira-kira 5 atau 6 kali lagi cambuk itu mengoyak kulitku baru dia menghentikannya.
"Itu hukuman atas kesalahan kamu tadi, seharusnya kamu cuma menerima 10 pukulan, tapi karena kamu tadi bicara jadi di tambah 5 pukulan" kata ibu Anna dengan sedikit terengah-engah akibat pekerjaannya. Sedangkan diriku sudah hampir pingsan menahan sakit. Rasanya seluruh darah di tubuhku berkumpul di kepala dan telingaku tak henti-hentinya berdengung.
"Mulai sekarang jika kamu membantah perintah, kamu langsung dapat 20 pukulan mengerti?" lanjutnya lagi yang diikuti anggukan lemah kepalaku untuk mengiyakan.
"Kamu harus mengerti kalau kamu itu adalah budak saya, dan kamu tidak perlu membantah perlakuan saya pada kamu" ibu Anna berkata sambil membuka ikatan pada kaki dan tanganku.
Dengan isyarat tangan, ibu Anna memerintahkanku untuk mengikutinya. Dengan berjalan perlahan, aku mengikuti langkahnya di belakang. Setelah menuruni tangga, ibu Anna membawaku ke meja makan., disana sudah tersedia sepiring nasi lengkap dengan sayurnya. Aku yang memang sudah sangat lapar menjadi tambah lapar saja melihat makanan di depanku.
"Waktu kamu 5 menit" kata ibu Anna lalu begitu saja meninggalkanku.
Aku tidak membuang kesempatan itu, dengan segera aku mulai melahap makanan itu, yang terasa enak sekali karena sudah sedemikian laparnya diriku. Tak sampai 5 menit makanan itu sudah ludas kumakan, dalam hatiku aku menyesal dengan perkataanku sebelumnya, kini ibu Anna benar-benar membuktikan perkataanya, aku sama sekali tidak diberikan air minum. Tak lama kemudian ibu Anna datang.
Bersambung . . . . . .
Sementara aku masih memperhatikan ruangan itu, secara tiba-tiba ibu Anna duduk di punggungku, seperti layaknya menunggang kuda. Merasakan ada beban di punggungku, secara tidak sadar aku menengok kebelakang, dan kulihat ibu Anna hanya tinggal mengenakan BH dan celana dalam berwarna hitam. Aku sudah cukup sering melihat ibu Anna dalam keadaan bugil, sehingga aku merasa biasa saja melihatnya dalam keadaan demikian.
"Plak!"
Tahu-tahu ibu Anna memukul keras pantatku dengan menggunakan telapak tangannya.
"Jalan!" katanya dingin.
Dengan terpaksa akupun menuruti perintahnya. Dengan tubuh ibu Anna di atas pundakku, aku mulai dengan perlahan merangkak. Baru beberapa langkah saja aku sudah merasa sakit-sakit di lutut, pinggul dan punggungku, untung saja lantainya di lapisi karpet, jika tidak pastinya lututku sudah lecet-lecet. Bisa dibilang saat itu keadaanku sudah tidak mempunyai tenaga setelah sebelumnya di siksanya, namun ibu Anna tidak mau tahu dengan keadaanku.
Sudah beberapa kali pantatku kena pukulannya yang kali ini tampaknya menggunakan sepatu hak tingginya yang entah kapan dia melepasnya. Sebenarnya pada saat itu aku lebih memilih ibu Anna memukuli pantatku dari pada terus merangkak, tapi tentu saja aku takut sewaktu-waktu amarahnya bisa meledak jika aku tidak menurutinya. Sesudah dua kali memutari ruangan itu aku sudah benar-benar tidak sanggup. Secara tiba-tiba tubuhku ambruk tak dapat menahan beban di punggungku. Sedangkan ibu Anna dengan cekatan segera berdiri sesudah sebelumnya ikut terjatuh bersamaku.
Dengan marah ibu Anna menyuruhku untuk bangun sambil kakinya menendang pahaku, sedangkan tubuhku terus saja tergolek seperti mayat. Jangankan untuk kembali bangun, untuk menggerakkan tanganku saja rasanya sulit, dan bernafas saja sepertinya sudah menggunakan semua tenagaku yang tersisa. Sedang ibu Anna yang masih penasaran, kemudian mulai menggunakan cambuknya untuk memukuliku. Tubuhku yang terkena pukulannya berkelojotan seperti cacing, namun tetap saja aku tidak mampu untuk berdiri. Setelah meneruskan beberapa kali, ibu Anna kemudian menyerah juga, ia kemudian meniggalkanku sendirian di ruang itu. Setelah ibu Anna pergi dari sana langsung saja aku tertidur atau pingsan, aku tidak tahu.
Selang beberapa waktu kemudian aku terbangun. Keadaanku sekarang tidak terlalu berbeda dengan waktu sebelum tertidur tadi, aku masih telungkup di karpet, hanya saja kali ini tanganku dan kakiku terikat dengan kuat. Siapa lagi kalau bukan ibu Anna yang melakukannya. Secara perlahan perih-perih di tubuhku mulai terasa kembali. Keringat masih terus keluar dengan deras dari tubuhku akibat suhu ruangan yang panas, sedangkan mulut dan tenggorokanku terasa kering sekali. Belum pernah aku merasa sehaus itu. Selang setengah jam kemudian barulah aku mendengar suara seseorang yang menaiki tangga, lalu kemudian membuka pintu yang terkunci.
Ibu Anna melangkah mendekatiku dengan santai. Pada saat itu ia sudah tidak mengenakan pakaian sama sekali. Dengan jelas aku melihat tubuhnya yang juga di banjiri keringat seperti diriku sekarang ini.
"Bagaimana keadaan kamu?" tanyanya padaku setelah dia berada disampingku.
"Saya.. Haus.. Bu" kataku padanya terbata-bata sambil memandang lemah ibu Anna disebelahku.
Dia tidak menjawabnya, melainkan dengan santai dia meletakkan kaki kanannya di atas kepalaku. Melihat responnya aku tidak berani mengulangi permintaanku lagi.
"Seberapa haus?" tanyanya tiba-tiba padaku.
"Sangat haus bu" kataku memelas.
"Apa yang kamu mau?" tanyanya lagi padaku.
"Minum.. S.. Saya mau minum" jawabku lagi.
"Mau minum apa?" kembali ibu Anna memberikan pertanyaan yang menjengkelkan.
"Apa saja.. Terserah" jawabku dengan lemas, karena aku merasa pada saat ibu Anna tidak akan mengabulkan permintaanku.
"Apa saja boleh?" tanyanya lagi padaku.
"Ya Bu apa aja" jawabku dengan cepat seakan mendapat harapan baru.
"Baik kamu yang minta" kata ibu Anna kemudian.
Setelah ibu Anna berkata demikian, ia lalu membalik tubuhku, lalu berdiri tepat di atas wajahku. Dapat kulihat pemandangan yang pada saat biasa kuanggap sebagai salah satu pemandangan terindah di dunia ini, tapi tidak sekarang, yang kupikirkan saat ini hanyalah air. Secara perlahan ibu Anna berjongkok dan memposisikan vaginanya tepat di atas mulutku. Dalam sedetik kemudian aku sudah tahu apa yang mau di lakukannya. Dengan tangan kirinya, ibu Anna menekan pipiku sehingga membuat mulutku membuka paksa.
Setelah menunggu beberapa detik, akhirnya ibu Anna mulai menyemburkan air kencingnya yang berwarna kuning kental itu tepat ke mulutku yang terbuka lebar. Walaupun sebelumnya aku sudah pernah mendapat perlakuan serupa (kembali baca "my teacher), namun pada saat itu kuanggap hal itu adalah hal yang tidak menyenangkan bagiku. Secara wajar aku mencoba menggerakkan kepalaku menolak hal itu, namun tidak bisa karena di tahan oleh tangan kiri ibu Anna. Mungkin pada keadaan biasa aku masih bisa mencoba untuk meronta, tapi tidak sekarang pada saat hampir semua tenagaku habis tersedot karena perlakuannya padaku tadi.
Setelah air kencing mulai menggenangi mulutku, aku dapat merasakan rasa asin di lidahku dan bau pesing yang menusuk di hidungku. Sampai pada saat itu aku masih berusaha untuk tidak menelannya, namun mungkin karena aku sudah sangat kehausan, tanpa sadar aku menelan juga air kencing yang menggenangi mulutku. Tiba-tiba saja aku merasakan bahwa rasanya tidak seburuk yang kuperkirakan, asin dan sedikit pahit, cukup enak buatku yang sudah sangat kehausan. Dengan cepat aku kembali meneguk cairan itu, kemudian diikuti tergukan-tegukan lainnya, rasa jijik sudah tidak kuhiraukan lagi, malah kemudian dengan rakus aku terus menelan air kencing yang masih terus menerus di tumpahkan dari vagina ibu Anna.
Secara sekilas aku dapat melihat wajah ibu Anna yang tersenyum melihat kelakuanku itu. Air kencing yang tadinya menggenangi mulutku sekarang sudah kering kutelan, sedangkan ibu Anna masih terus mengeluarkan "minumannya", seakan tidak ada habisnya. Tangan kirinya sudah tidak di gunakan untuk menekan pipiku, pada saat itu aku sudah membuka mulutku lebar-lebar dengan senang hati menerima pemberiannya. Kini kedua tangannya membuka kedua bibir vaginannya dengan lebar untuk memudahkan jalan semburan air kencingnya.
Selang beberapa detik kemudian semburannya mulai melemah dan akhirnya benar-benar berhenti.
"Bersihin" kata ibu Anna padaku sambil tangannya masih membuka lebar kedua belah bibir vaginanya.
Dengan patuh aku segera melakukan perintahnya, sambil sedikit mengangkat kepalaku, kujilati bagian dalam vagina serta klitorisnya dengan bersemangat, seolah-olah tenagaku kembali setelah meminum air kencingnya.
"Ok stop" kata ibu Anna selang beberapa saat kemudian, dan dengan segera akupun menghentikan pekerjaanku.
"Enak ya?" tanya ibu Anna kemudian padaku sambil tetap berjongkok di atas wajahku.
"Iya bu.. Kalau boleh saya mau minta lagi" jawabku tanpa malu-malu, karena di samping masih merasa haus, ternyata aku juga mulai menikmatinya.
"Kalau begitu kamu harus memohon" katanya lagi padaku.
"Saya mohon bu.. Saya sangat suka air kencing ibu" sahutku dengan cepat, seakan-akan kata-kata itu meluncur begitu saja dari kepalaku.
"Bagus, karena kamu yang minta, mulai sekarang dirumah ini, cuma itu minuman kamu" katanya.
Dan aku benar-benar sudah gila karena justru merasa senang mendengar perkataanya itu. Setelah berkata demikian, ibu Anna kemudian meludah tepat ke mulutku yang terbuka. Dengan senang hati aku kemudian menelannya.
"Sekarang kamu istirahat, permainan baru akan dimulai nanti malam" katanya padaku sambil berlalu meninggalkanku setelah sebelumnya membuka ikatan pada tangan dan kakiku.
Agak terkejut juga aku mendengar perkataannya, apa yang sudah kualami ini hanya sekedar pemanasan saja? Pikirku dalam hati. Tak lama kemudian aku mendengar suara pintu yang dikunci dari luar. Aku tidak tahu jam berapa sekarang ini, namun mendengar perkataannya aku merasa saat ini sekitar jam 4 sampai jam 5 sore. Dengan perut kembung aku kemudian kembali tertidur. Aku terbangun setelah ada seseorang yang menendang testisku dengan perlahan.
"Mau tidur sampai kapan hah!" bentaknya garang.
Meskipun agak mendongkol dengan caranya membangunkanku, mau tidak mau aku membuka mataku dan beranjak berdiri. Belum pernah kulihat ibu Anna menggunakan pakaian seperti itu sebelumnya. Ia mengenakan BH berwarna hitam yang tampaknya terbuat dari kulit serupa dengan celana dalamnya yang sangat mini. Di tangannya ia menggenggam cambuk yang tadi siang sudah dipergunakannya, sedang rambutnya diikat kencang kebelakang menambah "kegarangannya". Yang paling menonjol adalah pada bagian depan celana dalamnya terdapat penis buatan yang sepertinya terbuat dari bahan plastik. Meskipun agak geli aku melihat hal itu, namun aku hanya terdiam saja menunduk, menunggu perkataannya.
Dengan memberi isyarat, ibu Anna menyuruhku mengikutinya. Ia membawaku ke salah satu sudut ruangan dimana terdapat benda yang terbuat dari kayu berbentuk huruf "X" yang pada saat itu tidak kuketahui apa gunanya. Dengan tidak mengucapkan sepatah kata, ibu Anna mengikatkan kedua tangan dan kakiku ke tali yang terdapat dimasing-masing ujung benda itu sehingga tubuhku juga membentuk huruf "X", terikat di benda itu.
Setelah itu, tanpa ba bi Bu lagi ibu Anna mendaratkan sebuah pukulan dari cambuknya yang mengenai punggungku. Aku menjerit keras dengan spontan begitu merasakan perih pada punggungku.
"Silahkan kamu teriak, ruang ini kedap suara" kata ibu Anna sambil tak henti-hentinya mendaratkan cambuknya di tubuhku.
Aku tidak berani menoleh, karena salah-salah wajahku yang terkena cambukannya, maka dari itu sebisanya saja aku meronta-ronta, namun karena kedua tangan dan kakiku terikat kuat sepertinya usahaku hanya sia-sia belaka, malahan mungkin itu membuatnya semakin gusar saja. Sesudah itu aku kemudian memutuskan untuk mencoba cara lain.
"Auu sakit bu! ampunn.. Jangan siksa saya lagi.. Aaahh" jeritku memohon padanya disela-sela erangan kesakitan terkena pukulannya.
Namun seakan tidak mendengar, ibu Anna masih tetap saja melakukan kegiatannya. Baru setelah kira-kira 5 atau 6 kali lagi cambuk itu mengoyak kulitku baru dia menghentikannya.
"Itu hukuman atas kesalahan kamu tadi, seharusnya kamu cuma menerima 10 pukulan, tapi karena kamu tadi bicara jadi di tambah 5 pukulan" kata ibu Anna dengan sedikit terengah-engah akibat pekerjaannya. Sedangkan diriku sudah hampir pingsan menahan sakit. Rasanya seluruh darah di tubuhku berkumpul di kepala dan telingaku tak henti-hentinya berdengung.
"Mulai sekarang jika kamu membantah perintah, kamu langsung dapat 20 pukulan mengerti?" lanjutnya lagi yang diikuti anggukan lemah kepalaku untuk mengiyakan.
"Kamu harus mengerti kalau kamu itu adalah budak saya, dan kamu tidak perlu membantah perlakuan saya pada kamu" ibu Anna berkata sambil membuka ikatan pada kaki dan tanganku.
Dengan isyarat tangan, ibu Anna memerintahkanku untuk mengikutinya. Dengan berjalan perlahan, aku mengikuti langkahnya di belakang. Setelah menuruni tangga, ibu Anna membawaku ke meja makan., disana sudah tersedia sepiring nasi lengkap dengan sayurnya. Aku yang memang sudah sangat lapar menjadi tambah lapar saja melihat makanan di depanku.
"Waktu kamu 5 menit" kata ibu Anna lalu begitu saja meninggalkanku.
Aku tidak membuang kesempatan itu, dengan segera aku mulai melahap makanan itu, yang terasa enak sekali karena sudah sedemikian laparnya diriku. Tak sampai 5 menit makanan itu sudah ludas kumakan, dalam hatiku aku menyesal dengan perkataanku sebelumnya, kini ibu Anna benar-benar membuktikan perkataanya, aku sama sekali tidak diberikan air minum. Tak lama kemudian ibu Anna datang.
Bersambung . . . . . .
Me and My Teacher - 2
Hari itu hari sabtu. Dengan gelisah aku berkali-kali melihat ke jam dinding, sudah jam 12 lewat 40 menit tapi Pak Rudi (Kepala Sekolah) masih dengan semangatnya menerangkan tentang rencana study lapangan selama tiga hari yang akan diadakan di luar kota bulan depan. Yang membuatku gelisah adalah entah kenapa hari itu tanpa sengaja aku meninggalkan kunci rumah ibu Anna yang dipercayakannya padaku. Rumahku bisa dibilang dekat dengan rumah ibu Anna, hanya membutuhkan waktu sekitar 20 menit untuk pulang ke rumahku dan kemudian langsung ke rumah ibu Anna. Yang membuatku khawatir adalah beberapa hari terakhir ini ibu Anna pulang lebih awal. Biasanya hampir jam 2 siang ibu Anna baru datang, namun kini jam satu lewat beberapa menit saja ia sudah datang. Bahkan pernah suatu ketika ibu Anna sudah menunggu di depan rumahnya pada saat aku datang, namun karena memang belum lewat jam 1 siang maka ibu Anna tidak menarik panjang hal itu.
Sementara itu belum ada tanda-tanda Pak Rudi akan selesai bicara sehingga membuatku semakin gerah saja. Selang beberapa menit kemudian aku sudah tidak tahan.
"Pak sudah siang nih," ujarku memberanikan diri.
Untung saja teman-teman kelasku yang lain ikut-ikutan memprotes sehingga dengan terpaksa Pak Rudi menyudahi pembicaraannya lalu membubarkan kelas. Langsung saja aku berlari secepatnya untuk segera pulang ke rumah mengambil kunci baru kemudian ke rumah ibu Anna. Dan benar saja kekhawatiranku, meskipun dengan sekuat tenaga aku berusaha, aku baru bisa sampai pada jam 1 lewat 10 menit. Dan ibu Anna sudah menyambut di depan pintu rumahnya dengan pandangan yang mau membunuhku ketika melihatku datang.
"Kamu tahu apa kesalahan kamu?" kata ibu Anna kepadaku ketika kami sudah berada di dalam rumahnya.
"Tahu bu" jawabku.
"Bagus, berarti kamu juga tahu apa hukuman kamu?" lanjutnya lagi.
Aku tertegun sejenak mendengar pertanyaanya. Bisa-bisanya aku tidak ingat dengan ucapanya waktu itu. Aku mencoba berpikir mengingat-ingat apa yang waktu itu pernah ibu Anna katakan padaku tentang hukuman apa yang diberikan jika aku datang telat. Semakin lama aku berpikir semakin aku tidak bisa ingat apa-apa, apalagi aku mejadi semakin gugup melihat gerak-gerik ibu Anna yang tampaknya akan marah besar.
"Tahu tidak!?" bentak ibu Anna di depan wajahku.
"Maaf bu" jawabku pasrah.
"Dasar otak kontol" makinya padaku semaunya.
Entah mengapa setelah mendengar makiannya yang pedas, aku langsung teringat dengan perkataanya waktu itu. Ketika itu ibu Anna memberikan surat ancamannya yang disertai dengan foto-foto diriku, siangnya ibu Anna menemuiku dan memberikan kunci rumahnya padaku disertai dengan perintah-perintah dan peringatannya jika aku sampai telat aku akan dihukum seperti pada waktu aku pertama kali datang kerumahnya (baca "My Teacher").
Namun kini sesudah aku mengetahuinya, aku malah tidak berani mengatakannya, karena aku tahu ibu Anna sekarang ini sedang marah besar, dan menurut pendapatku pada saat ini ibu Anna lebih suka aku diam tidak menyela makian-makiannya pada diriku.
"Bagaimana sekarang?" tanyanya padaku setelah puas menyemburkan cacian padaku selama hampir semenit lamanya.
"Ampun Bu saya pantas dihukum" jawabku terpaksa.
"Sekarang kamu pulang dan minta ijin sama orang tua kamu untuk menginap di rumah teman kamu malam ini" katanya padaku setelah terdiam sesaat.
Walaupun aku tahu apa yang akan terjadi padaku, namun tetap saja aku tidak berani protes, bahkan untuk menatap matanya saja aku tidak berani.
"Baik bu" jawabku lirih.
"Kamu harus kembali kesini dalam sejam" katanya padaku, "Awas kamu bisa dihukum lebih parah kalau lalai lagi" sambungnya.
Setelah itu, dengan tidak membuang waktu aku segera beranjak untuk pergi pulang. Sesampainya dirumah aku segera berganti pakaian dan tidak lupa membawa satu setel pakaian yang kumasukan ke dalam tas yang biasanya kugunakan untuk bermain bola. Untung saja ibuku tidak terlalu susah memberikan ijin padaku untuk pergi menginap hari itu. Dengan segera aku bergegas untuk langsung pergi. Walaupun sebenarnya aku tahu pada waktu itu aku masih sempat untuk makan siang dahulu sebelum kembali ke rumah ibu Anna, Namun kali itu aku tidak berani ambil resiko untuk ayal-ayalan. Dalam waktu setengah jam, aku sudah kembali ke rumah ibu Anna. Disana aku melihat ibu Anna sudah menungguku.
"Apa itu?" tanya ibu Anna sambil melihat ke tas yang kubawa.
"Baju bu" jawabku jujur.
"Kamu tidak perlu baju, taruh disana" katanya dengan dingin sambil menunjuk ke sofa.
Dengan segera aku melaksanakan perintahnya. Agak kecut juga hatiku mendengar perkataannya, aku yakin tidak lama lagi ibu Anna akan menyuruhku membuka pakaian yang kini kukenakan.
"Mulai sekarang kamu dilarang berbicara apapun juga, kecuali atas seijin saya, mengerti?" katanya padaku dengan dingin. Aku mengangguk mengiyakan.
"Bagus, sekarang ikut ibu" perintahnya lagi padaku.
Aku mengikuti langkahnya dari belakang. Ibu Anna belum mengganti pakaiannya, masih sama seperti yang biasa dia kenakan jika mengajar. Setelan jas dan rok formal berwarna hitam serta sepatu hak tinggi, sedangkan aku kini mengenakan kaos santai dan celana 3/4. Di tangannya, ibu Anna membawa sebuah benda yang tidak terlalu kuperhatikan, namun sepertinya aku dapat memastikan bahwa itu akan dipergunakan padaku.
Aku mengikuti langkahnya menuju ke bagian belakang rumah. Benar saja perkiraanku, ibu Anna membawaku ke ruang tempat menjemur pakaiannya.
"Buka semua pakaian kamu!" katanya padaku setelah kami berada disana.
Dengan cepat aku meloloskan semua pakaianku. Meskipun di sana adalah ruang yang terbuka pada bagian atasnya, namun tidak memungkinkan bagi orang di luar untuk dapat melihat kegiatan kami didalam, dikarenakan tembok disekeliling yang tingginya bersambung dengan tingat dua bangunan itu. Aku tidak mengerti kenapa sampai sekarang aku masih saja tidak terbiasa berada dalam keadaan bugil dihadapan ibu Anna, meskipun hampir setiap hari aku mengalaminya selama sebulan belakangan ini. Dan entah kenapa setiap aku berada dalam keadaan seperti itu, penisku langsung mulai menengang ketika ibu Anna menatapku dengan perasaan jijik, tidak terkecuali saat ini.
"Saya lihat kamu sudah tidak sabar" katanya padaku sambil tangannya mengocok pelan penisku yang sudah tegang.
"Benar begitu hah?" tanyanya padaku sambil masih terus mengocok penisku.
"I.. Iya bu" jawabku.
"Diam!!" bentaknya sambil tangannya yang tadi digunakannya untuk mengocok penisku menampar pipi kiriku dengan keras.
Tamparannya lebih menyakiti harga diriku di banding kulitku.
"Kamu akan dihukum oleh karena itu" katanya ibu Anna kemudian.
Selanjutnya ibu Anna memasangkan sejenis kalung yang terbuat dari kulit (collar) yang tersambung dengan rantai, di leherku, kemudian ujung rantainya di kaitkan ke tiang besi yang terdapat di tengah-tengah ruangan itu. Panjang rantainya sendiri sedikit kurang dari 2 meter. Setelah ibu Anna selesai memasangnya, ibu Anna kemudian mengambil sebuah benda yang berwarna hitam yang tadi dibawanya. Benda itu teryata sebuah cambuk yang panjang talinya sekitar 1,5 meter.
"Ctarr".
Tanpa diduga-duga ibu Anna melecutkan cambuk itu. Secara refleks aku melompat kaget, namun sesudahnya aku sadar bahwa ibu Anna hanya memukul udara.
"Lari!" perintah ibu Anna.
Dengan segera aku mulai berlari. Ruang itu luasnya hanya 4x4 meter, sehingga tidak memberikan banyak ruang bagiku untuk berlari, di tambah dengan ikatan di leherku maka aku hanya berlari berputar-putar di sekitar tiang itu.
Ctarr.. kali ini benar-benar sebuah cambukan mendarat tepat di pantat kananku.
"Auu!" jeritku sambil melompat kesakitan.
"Jangan bicara!" bentaknya padaku sambil mendaratkan sebuah pukulan lagi di punggungku. Kugigit bibirku untuk menahan sakitnya.
"Lebih cepat!" sambungnya memberi perintah. Mendengar perintahnya aku langsung berlari secepat-cepatnya mengitari tiang itu.
Aku sudah terbiasa dengan olah raga sepakbola, karena itu bisa dibilang staminaku sedikit diatas orang-orang yang lain. Setelah sepuluh menit barulah aku mulai merasa kehabisan tenaga. Sebenarnya bisa dibilang keadaanku pada saat itu benar-benar konyol, dibawah terik matahari, aku berlari sprint berputar-putar disekitar tiang dengan keadaan bugil. Sedangkan ibu Anna tidak segan-segan mendaratkan cambuknya di tubuhku jika aku mulai memperlambat gerakanku. Sudah beberapa cambukan yang mendarat di tubuhku, diantaranya tiga di punggung, dua di pantatku dan sekali mengenai tanganku. Setiap pukulannya yang mendarat di tubuhku memberiku semangat untuk kembali mempercepat lariku. Dan boleh percaya boleh tidak pukulan cambuk yang mendarat di tubuhku memberiku tenaga lebih dari yang diberikan minuman energi merek apapun juga. Dengan peluh yang sudah mengucur dari seluruh tubuhku aku masih terus berlari hingga akhirnya aku hampir mencapai batas ketahanan tubuhku.
"Stop" kata ibu Anna tiba-tiba.
Mendengar perkataanya langsung saja aku berhenti dan langsung jatuh berlutut dengan nafas teputus-putus. Aku sangat yakin jika diteruskan beberapa putaran lagi aku pasti akan pingsan. Karena pada saat itu aku sudah merasakan intensitas cahaya dilingkungan itu bertambah besar, suatu gejala ketika tubuh sudah mencapai batas ketahanan.
Selang beberapa saat aku mulai dapat mengatur nafasku. Baru setelah itu aku mulai dapat merasakan perih sesungguhnya akibat cambukkan yang tadi mengenaiku. Dengan perlahan aku mencoba untuk meraba bagian-bagian tubuhku yang perih. Garis-garis merah bekas pukulan terlihat jelas di paha dan tanganku. Sedangkan wajah ibu Anna menunjukkan ekspresi kepuasan melihat penderitaanku. Setelah membiarkanku untuk istirahat sejenak, kemudian ibu Anna memulai permainan lainnya.
Setelah melepaskan rantai dari tiang besi itu, ibu Anna kemudian menyentaknya, memberi isyarat padaku untuk mengikutinya. Dengan patuh akupun kemudian merangkak mengikuti langkahnya. Ibu Anna sudah pernah memberi perintah jika aku mengenakan collar maka aku tidak diperbolehkan berjalan berdiri, melainkan merangkak seperti anjing.
Ibu Anna ternyata akan membawaku ke lantai dua. Aku tidak pernah mengetahui ada apa di sana, karena ibu Anna tidak pernah membiarkan pintu yang terdapat di ujung tangga tak terkunci. Dengan tangan kiri memegang rantai yang terhubung dengan collar di leherku, ibu Anna membuka pintu itu dengan tangan kanannya. Aku sebelumnya sempat menduga bahwa lantai dua itu dipergunakan sebagai gudang, namun dugaanku meleset sedikit.
Bersambung . . . . .
Sementara itu belum ada tanda-tanda Pak Rudi akan selesai bicara sehingga membuatku semakin gerah saja. Selang beberapa menit kemudian aku sudah tidak tahan.
"Pak sudah siang nih," ujarku memberanikan diri.
Untung saja teman-teman kelasku yang lain ikut-ikutan memprotes sehingga dengan terpaksa Pak Rudi menyudahi pembicaraannya lalu membubarkan kelas. Langsung saja aku berlari secepatnya untuk segera pulang ke rumah mengambil kunci baru kemudian ke rumah ibu Anna. Dan benar saja kekhawatiranku, meskipun dengan sekuat tenaga aku berusaha, aku baru bisa sampai pada jam 1 lewat 10 menit. Dan ibu Anna sudah menyambut di depan pintu rumahnya dengan pandangan yang mau membunuhku ketika melihatku datang.
"Kamu tahu apa kesalahan kamu?" kata ibu Anna kepadaku ketika kami sudah berada di dalam rumahnya.
"Tahu bu" jawabku.
"Bagus, berarti kamu juga tahu apa hukuman kamu?" lanjutnya lagi.
Aku tertegun sejenak mendengar pertanyaanya. Bisa-bisanya aku tidak ingat dengan ucapanya waktu itu. Aku mencoba berpikir mengingat-ingat apa yang waktu itu pernah ibu Anna katakan padaku tentang hukuman apa yang diberikan jika aku datang telat. Semakin lama aku berpikir semakin aku tidak bisa ingat apa-apa, apalagi aku mejadi semakin gugup melihat gerak-gerik ibu Anna yang tampaknya akan marah besar.
"Tahu tidak!?" bentak ibu Anna di depan wajahku.
"Maaf bu" jawabku pasrah.
"Dasar otak kontol" makinya padaku semaunya.
Entah mengapa setelah mendengar makiannya yang pedas, aku langsung teringat dengan perkataanya waktu itu. Ketika itu ibu Anna memberikan surat ancamannya yang disertai dengan foto-foto diriku, siangnya ibu Anna menemuiku dan memberikan kunci rumahnya padaku disertai dengan perintah-perintah dan peringatannya jika aku sampai telat aku akan dihukum seperti pada waktu aku pertama kali datang kerumahnya (baca "My Teacher").
Namun kini sesudah aku mengetahuinya, aku malah tidak berani mengatakannya, karena aku tahu ibu Anna sekarang ini sedang marah besar, dan menurut pendapatku pada saat ini ibu Anna lebih suka aku diam tidak menyela makian-makiannya pada diriku.
"Bagaimana sekarang?" tanyanya padaku setelah puas menyemburkan cacian padaku selama hampir semenit lamanya.
"Ampun Bu saya pantas dihukum" jawabku terpaksa.
"Sekarang kamu pulang dan minta ijin sama orang tua kamu untuk menginap di rumah teman kamu malam ini" katanya padaku setelah terdiam sesaat.
Walaupun aku tahu apa yang akan terjadi padaku, namun tetap saja aku tidak berani protes, bahkan untuk menatap matanya saja aku tidak berani.
"Baik bu" jawabku lirih.
"Kamu harus kembali kesini dalam sejam" katanya padaku, "Awas kamu bisa dihukum lebih parah kalau lalai lagi" sambungnya.
Setelah itu, dengan tidak membuang waktu aku segera beranjak untuk pergi pulang. Sesampainya dirumah aku segera berganti pakaian dan tidak lupa membawa satu setel pakaian yang kumasukan ke dalam tas yang biasanya kugunakan untuk bermain bola. Untung saja ibuku tidak terlalu susah memberikan ijin padaku untuk pergi menginap hari itu. Dengan segera aku bergegas untuk langsung pergi. Walaupun sebenarnya aku tahu pada waktu itu aku masih sempat untuk makan siang dahulu sebelum kembali ke rumah ibu Anna, Namun kali itu aku tidak berani ambil resiko untuk ayal-ayalan. Dalam waktu setengah jam, aku sudah kembali ke rumah ibu Anna. Disana aku melihat ibu Anna sudah menungguku.
"Apa itu?" tanya ibu Anna sambil melihat ke tas yang kubawa.
"Baju bu" jawabku jujur.
"Kamu tidak perlu baju, taruh disana" katanya dengan dingin sambil menunjuk ke sofa.
Dengan segera aku melaksanakan perintahnya. Agak kecut juga hatiku mendengar perkataannya, aku yakin tidak lama lagi ibu Anna akan menyuruhku membuka pakaian yang kini kukenakan.
"Mulai sekarang kamu dilarang berbicara apapun juga, kecuali atas seijin saya, mengerti?" katanya padaku dengan dingin. Aku mengangguk mengiyakan.
"Bagus, sekarang ikut ibu" perintahnya lagi padaku.
Aku mengikuti langkahnya dari belakang. Ibu Anna belum mengganti pakaiannya, masih sama seperti yang biasa dia kenakan jika mengajar. Setelan jas dan rok formal berwarna hitam serta sepatu hak tinggi, sedangkan aku kini mengenakan kaos santai dan celana 3/4. Di tangannya, ibu Anna membawa sebuah benda yang tidak terlalu kuperhatikan, namun sepertinya aku dapat memastikan bahwa itu akan dipergunakan padaku.
Aku mengikuti langkahnya menuju ke bagian belakang rumah. Benar saja perkiraanku, ibu Anna membawaku ke ruang tempat menjemur pakaiannya.
"Buka semua pakaian kamu!" katanya padaku setelah kami berada disana.
Dengan cepat aku meloloskan semua pakaianku. Meskipun di sana adalah ruang yang terbuka pada bagian atasnya, namun tidak memungkinkan bagi orang di luar untuk dapat melihat kegiatan kami didalam, dikarenakan tembok disekeliling yang tingginya bersambung dengan tingat dua bangunan itu. Aku tidak mengerti kenapa sampai sekarang aku masih saja tidak terbiasa berada dalam keadaan bugil dihadapan ibu Anna, meskipun hampir setiap hari aku mengalaminya selama sebulan belakangan ini. Dan entah kenapa setiap aku berada dalam keadaan seperti itu, penisku langsung mulai menengang ketika ibu Anna menatapku dengan perasaan jijik, tidak terkecuali saat ini.
"Saya lihat kamu sudah tidak sabar" katanya padaku sambil tangannya mengocok pelan penisku yang sudah tegang.
"Benar begitu hah?" tanyanya padaku sambil masih terus mengocok penisku.
"I.. Iya bu" jawabku.
"Diam!!" bentaknya sambil tangannya yang tadi digunakannya untuk mengocok penisku menampar pipi kiriku dengan keras.
Tamparannya lebih menyakiti harga diriku di banding kulitku.
"Kamu akan dihukum oleh karena itu" katanya ibu Anna kemudian.
Selanjutnya ibu Anna memasangkan sejenis kalung yang terbuat dari kulit (collar) yang tersambung dengan rantai, di leherku, kemudian ujung rantainya di kaitkan ke tiang besi yang terdapat di tengah-tengah ruangan itu. Panjang rantainya sendiri sedikit kurang dari 2 meter. Setelah ibu Anna selesai memasangnya, ibu Anna kemudian mengambil sebuah benda yang berwarna hitam yang tadi dibawanya. Benda itu teryata sebuah cambuk yang panjang talinya sekitar 1,5 meter.
"Ctarr".
Tanpa diduga-duga ibu Anna melecutkan cambuk itu. Secara refleks aku melompat kaget, namun sesudahnya aku sadar bahwa ibu Anna hanya memukul udara.
"Lari!" perintah ibu Anna.
Dengan segera aku mulai berlari. Ruang itu luasnya hanya 4x4 meter, sehingga tidak memberikan banyak ruang bagiku untuk berlari, di tambah dengan ikatan di leherku maka aku hanya berlari berputar-putar di sekitar tiang itu.
Ctarr.. kali ini benar-benar sebuah cambukan mendarat tepat di pantat kananku.
"Auu!" jeritku sambil melompat kesakitan.
"Jangan bicara!" bentaknya padaku sambil mendaratkan sebuah pukulan lagi di punggungku. Kugigit bibirku untuk menahan sakitnya.
"Lebih cepat!" sambungnya memberi perintah. Mendengar perintahnya aku langsung berlari secepat-cepatnya mengitari tiang itu.
Aku sudah terbiasa dengan olah raga sepakbola, karena itu bisa dibilang staminaku sedikit diatas orang-orang yang lain. Setelah sepuluh menit barulah aku mulai merasa kehabisan tenaga. Sebenarnya bisa dibilang keadaanku pada saat itu benar-benar konyol, dibawah terik matahari, aku berlari sprint berputar-putar disekitar tiang dengan keadaan bugil. Sedangkan ibu Anna tidak segan-segan mendaratkan cambuknya di tubuhku jika aku mulai memperlambat gerakanku. Sudah beberapa cambukan yang mendarat di tubuhku, diantaranya tiga di punggung, dua di pantatku dan sekali mengenai tanganku. Setiap pukulannya yang mendarat di tubuhku memberiku semangat untuk kembali mempercepat lariku. Dan boleh percaya boleh tidak pukulan cambuk yang mendarat di tubuhku memberiku tenaga lebih dari yang diberikan minuman energi merek apapun juga. Dengan peluh yang sudah mengucur dari seluruh tubuhku aku masih terus berlari hingga akhirnya aku hampir mencapai batas ketahanan tubuhku.
"Stop" kata ibu Anna tiba-tiba.
Mendengar perkataanya langsung saja aku berhenti dan langsung jatuh berlutut dengan nafas teputus-putus. Aku sangat yakin jika diteruskan beberapa putaran lagi aku pasti akan pingsan. Karena pada saat itu aku sudah merasakan intensitas cahaya dilingkungan itu bertambah besar, suatu gejala ketika tubuh sudah mencapai batas ketahanan.
Selang beberapa saat aku mulai dapat mengatur nafasku. Baru setelah itu aku mulai dapat merasakan perih sesungguhnya akibat cambukkan yang tadi mengenaiku. Dengan perlahan aku mencoba untuk meraba bagian-bagian tubuhku yang perih. Garis-garis merah bekas pukulan terlihat jelas di paha dan tanganku. Sedangkan wajah ibu Anna menunjukkan ekspresi kepuasan melihat penderitaanku. Setelah membiarkanku untuk istirahat sejenak, kemudian ibu Anna memulai permainan lainnya.
Setelah melepaskan rantai dari tiang besi itu, ibu Anna kemudian menyentaknya, memberi isyarat padaku untuk mengikutinya. Dengan patuh akupun kemudian merangkak mengikuti langkahnya. Ibu Anna sudah pernah memberi perintah jika aku mengenakan collar maka aku tidak diperbolehkan berjalan berdiri, melainkan merangkak seperti anjing.
Ibu Anna ternyata akan membawaku ke lantai dua. Aku tidak pernah mengetahui ada apa di sana, karena ibu Anna tidak pernah membiarkan pintu yang terdapat di ujung tangga tak terkunci. Dengan tangan kiri memegang rantai yang terhubung dengan collar di leherku, ibu Anna membuka pintu itu dengan tangan kanannya. Aku sebelumnya sempat menduga bahwa lantai dua itu dipergunakan sebagai gudang, namun dugaanku meleset sedikit.
Bersambung . . . . .
Me and My Teacher - 3
Ruangan itu besarnya sekitar 5X10 meter, seluruhnya tertutup karpet tebal berwarna biru dan di ruangan itu terdapat beberapa cermin persegi yang berukuran besar sedangkan temboknya bercat hitam. Kesan pertamaku setelah memasuki ruangan ini adalah panas dan pengap, entah apa penyebabnya. Bisa dibilang tidak terdapat apa-apa diruangan itu, hanya beberapa alat yang tidak kuketahui kegunaannya yang terletak di salah satu sudut ruangan itu.
Sementara aku masih memperhatikan ruangan itu, secara tiba-tiba ibu Anna duduk di punggungku, seperti layaknya menunggang kuda. Merasakan ada beban di punggungku, secara tidak sadar aku menengok kebelakang, dan kulihat ibu Anna hanya tinggal mengenakan BH dan celana dalam berwarna hitam. Aku sudah cukup sering melihat ibu Anna dalam keadaan bugil, sehingga aku merasa biasa saja melihatnya dalam keadaan demikian.
"Plak!"
Tahu-tahu ibu Anna memukul keras pantatku dengan menggunakan telapak tangannya.
"Jalan!" katanya dingin.
Dengan terpaksa akupun menuruti perintahnya. Dengan tubuh ibu Anna di atas pundakku, aku mulai dengan perlahan merangkak. Baru beberapa langkah saja aku sudah merasa sakit-sakit di lutut, pinggul dan punggungku, untung saja lantainya di lapisi karpet, jika tidak pastinya lututku sudah lecet-lecet. Bisa dibilang saat itu keadaanku sudah tidak mempunyai tenaga setelah sebelumnya di siksanya, namun ibu Anna tidak mau tahu dengan keadaanku.
Sudah beberapa kali pantatku kena pukulannya yang kali ini tampaknya menggunakan sepatu hak tingginya yang entah kapan dia melepasnya. Sebenarnya pada saat itu aku lebih memilih ibu Anna memukuli pantatku dari pada terus merangkak, tapi tentu saja aku takut sewaktu-waktu amarahnya bisa meledak jika aku tidak menurutinya. Sesudah dua kali memutari ruangan itu aku sudah benar-benar tidak sanggup. Secara tiba-tiba tubuhku ambruk tak dapat menahan beban di punggungku. Sedangkan ibu Anna dengan cekatan segera berdiri sesudah sebelumnya ikut terjatuh bersamaku.
Dengan marah ibu Anna menyuruhku untuk bangun sambil kakinya menendang pahaku, sedangkan tubuhku terus saja tergolek seperti mayat. Jangankan untuk kembali bangun, untuk menggerakkan tanganku saja rasanya sulit, dan bernafas saja sepertinya sudah menggunakan semua tenagaku yang tersisa. Sedang ibu Anna yang masih penasaran, kemudian mulai menggunakan cambuknya untuk memukuliku. Tubuhku yang terkena pukulannya berkelojotan seperti cacing, namun tetap saja aku tidak mampu untuk berdiri. Setelah meneruskan beberapa kali, ibu Anna kemudian menyerah juga, ia kemudian meniggalkanku sendirian di ruang itu. Setelah ibu Anna pergi dari sana langsung saja aku tertidur atau pingsan, aku tidak tahu.
Selang beberapa waktu kemudian aku terbangun. Keadaanku sekarang tidak terlalu berbeda dengan waktu sebelum tertidur tadi, aku masih telungkup di karpet, hanya saja kali ini tanganku dan kakiku terikat dengan kuat. Siapa lagi kalau bukan ibu Anna yang melakukannya. Secara perlahan perih-perih di tubuhku mulai terasa kembali. Keringat masih terus keluar dengan deras dari tubuhku akibat suhu ruangan yang panas, sedangkan mulut dan tenggorokanku terasa kering sekali. Belum pernah aku merasa sehaus itu. Selang setengah jam kemudian barulah aku mendengar suara seseorang yang menaiki tangga, lalu kemudian membuka pintu yang terkunci.
Ibu Anna melangkah mendekatiku dengan santai. Pada saat itu ia sudah tidak mengenakan pakaian sama sekali. Dengan jelas aku melihat tubuhnya yang juga di banjiri keringat seperti diriku sekarang ini.
"Bagaimana keadaan kamu?" tanyanya padaku setelah dia berada disampingku.
"Saya.. Haus.. Bu" kataku padanya terbata-bata sambil memandang lemah ibu Anna disebelahku.
Dia tidak menjawabnya, melainkan dengan santai dia meletakkan kaki kanannya di atas kepalaku. Melihat responnya aku tidak berani mengulangi permintaanku lagi.
"Seberapa haus?" tanyanya tiba-tiba padaku.
"Sangat haus bu" kataku memelas.
"Apa yang kamu mau?" tanyanya lagi padaku.
"Minum.. S.. Saya mau minum" jawabku lagi.
"Mau minum apa?" kembali ibu Anna memberikan pertanyaan yang menjengkelkan.
"Apa saja.. Terserah" jawabku dengan lemas, karena aku merasa pada saat ibu Anna tidak akan mengabulkan permintaanku.
"Apa saja boleh?" tanyanya lagi padaku.
"Ya Bu apa aja" jawabku dengan cepat seakan mendapat harapan baru.
"Baik kamu yang minta" kata ibu Anna kemudian.
Setelah ibu Anna berkata demikian, ia lalu membalik tubuhku, lalu berdiri tepat di atas wajahku. Dapat kulihat pemandangan yang pada saat biasa kuanggap sebagai salah satu pemandangan terindah di dunia ini, tapi tidak sekarang, yang kupikirkan saat ini hanyalah air. Secara perlahan ibu Anna berjongkok dan memposisikan vaginanya tepat di atas mulutku. Dalam sedetik kemudian aku sudah tahu apa yang mau di lakukannya. Dengan tangan kirinya, ibu Anna menekan pipiku sehingga membuat mulutku membuka paksa.
Setelah menunggu beberapa detik, akhirnya ibu Anna mulai menyemburkan air kencingnya yang berwarna kuning kental itu tepat ke mulutku yang terbuka lebar. Walaupun sebelumnya aku sudah pernah mendapat perlakuan serupa (kembali baca "my teacher), namun pada saat itu kuanggap hal itu adalah hal yang tidak menyenangkan bagiku. Secara wajar aku mencoba menggerakkan kepalaku menolak hal itu, namun tidak bisa karena di tahan oleh tangan kiri ibu Anna. Mungkin pada keadaan biasa aku masih bisa mencoba untuk meronta, tapi tidak sekarang pada saat hampir semua tenagaku habis tersedot karena perlakuannya padaku tadi.
Setelah air kencing mulai menggenangi mulutku, aku dapat merasakan rasa asin di lidahku dan bau pesing yang menusuk di hidungku. Sampai pada saat itu aku masih berusaha untuk tidak menelannya, namun mungkin karena aku sudah sangat kehausan, tanpa sadar aku menelan juga air kencing yang menggenangi mulutku. Tiba-tiba saja aku merasakan bahwa rasanya tidak seburuk yang kuperkirakan, asin dan sedikit pahit, cukup enak buatku yang sudah sangat kehausan. Dengan cepat aku kembali meneguk cairan itu, kemudian diikuti tergukan-tegukan lainnya, rasa jijik sudah tidak kuhiraukan lagi, malah kemudian dengan rakus aku terus menelan air kencing yang masih terus menerus di tumpahkan dari vagina ibu Anna.
Secara sekilas aku dapat melihat wajah ibu Anna yang tersenyum melihat kelakuanku itu. Air kencing yang tadinya menggenangi mulutku sekarang sudah kering kutelan, sedangkan ibu Anna masih terus mengeluarkan "minumannya", seakan tidak ada habisnya. Tangan kirinya sudah tidak di gunakan untuk menekan pipiku, pada saat itu aku sudah membuka mulutku lebar-lebar dengan senang hati menerima pemberiannya. Kini kedua tangannya membuka kedua bibir vaginannya dengan lebar untuk memudahkan jalan semburan air kencingnya.
Selang beberapa detik kemudian semburannya mulai melemah dan akhirnya benar-benar berhenti.
"Bersihin" kata ibu Anna padaku sambil tangannya masih membuka lebar kedua belah bibir vaginanya.
Dengan patuh aku segera melakukan perintahnya, sambil sedikit mengangkat kepalaku, kujilati bagian dalam vagina serta klitorisnya dengan bersemangat, seolah-olah tenagaku kembali setelah meminum air kencingnya.
"Ok stop" kata ibu Anna selang beberapa saat kemudian, dan dengan segera akupun menghentikan pekerjaanku.
"Enak ya?" tanya ibu Anna kemudian padaku sambil tetap berjongkok di atas wajahku.
"Iya bu.. Kalau boleh saya mau minta lagi" jawabku tanpa malu-malu, karena di samping masih merasa haus, ternyata aku juga mulai menikmatinya.
"Kalau begitu kamu harus memohon" katanya lagi padaku.
"Saya mohon bu.. Saya sangat suka air kencing ibu" sahutku dengan cepat, seakan-akan kata-kata itu meluncur begitu saja dari kepalaku.
"Bagus, karena kamu yang minta, mulai sekarang dirumah ini, cuma itu minuman kamu" katanya.
Dan aku benar-benar sudah gila karena justru merasa senang mendengar perkataanya itu. Setelah berkata demikian, ibu Anna kemudian meludah tepat ke mulutku yang terbuka. Dengan senang hati aku kemudian menelannya.
"Sekarang kamu istirahat, permainan baru akan dimulai nanti malam" katanya padaku sambil berlalu meninggalkanku setelah sebelumnya membuka ikatan pada tangan dan kakiku.
Agak terkejut juga aku mendengar perkataannya, apa yang sudah kualami ini hanya sekedar pemanasan saja? Pikirku dalam hati. Tak lama kemudian aku mendengar suara pintu yang dikunci dari luar. Aku tidak tahu jam berapa sekarang ini, namun mendengar perkataannya aku merasa saat ini sekitar jam 4 sampai jam 5 sore. Dengan perut kembung aku kemudian kembali tertidur. Aku terbangun setelah ada seseorang yang menendang testisku dengan perlahan.
"Mau tidur sampai kapan hah!" bentaknya garang.
Meskipun agak mendongkol dengan caranya membangunkanku, mau tidak mau aku membuka mataku dan beranjak berdiri. Belum pernah kulihat ibu Anna menggunakan pakaian seperti itu sebelumnya. Ia mengenakan BH berwarna hitam yang tampaknya terbuat dari kulit serupa dengan celana dalamnya yang sangat mini. Di tangannya ia menggenggam cambuk yang tadi siang sudah dipergunakannya, sedang rambutnya diikat kencang kebelakang menambah "kegarangannya". Yang paling menonjol adalah pada bagian depan celana dalamnya terdapat penis buatan yang sepertinya terbuat dari bahan plastik. Meskipun agak geli aku melihat hal itu, namun aku hanya terdiam saja menunduk, menunggu perkataannya.
Dengan memberi isyarat, ibu Anna menyuruhku mengikutinya. Ia membawaku ke salah satu sudut ruangan dimana terdapat benda yang terbuat dari kayu berbentuk huruf "X" yang pada saat itu tidak kuketahui apa gunanya. Dengan tidak mengucapkan sepatah kata, ibu Anna mengikatkan kedua tangan dan kakiku ke tali yang terdapat dimasing-masing ujung benda itu sehingga tubuhku juga membentuk huruf "X", terikat di benda itu.
Setelah itu, tanpa ba bi Bu lagi ibu Anna mendaratkan sebuah pukulan dari cambuknya yang mengenai punggungku. Aku menjerit keras dengan spontan begitu merasakan perih pada punggungku.
"Silahkan kamu teriak, ruang ini kedap suara" kata ibu Anna sambil tak henti-hentinya mendaratkan cambuknya di tubuhku.
Aku tidak berani menoleh, karena salah-salah wajahku yang terkena cambukannya, maka dari itu sebisanya saja aku meronta-ronta, namun karena kedua tangan dan kakiku terikat kuat sepertinya usahaku hanya sia-sia belaka, malahan mungkin itu membuatnya semakin gusar saja. Sesudah itu aku kemudian memutuskan untuk mencoba cara lain.
"Auu sakit bu! ampunn.. Jangan siksa saya lagi.. Aaahh" jeritku memohon padanya disela-sela erangan kesakitan terkena pukulannya.
Namun seakan tidak mendengar, ibu Anna masih tetap saja melakukan kegiatannya. Baru setelah kira-kira 5 atau 6 kali lagi cambuk itu mengoyak kulitku baru dia menghentikannya.
"Itu hukuman atas kesalahan kamu tadi, seharusnya kamu cuma menerima 10 pukulan, tapi karena kamu tadi bicara jadi di tambah 5 pukulan" kata ibu Anna dengan sedikit terengah-engah akibat pekerjaannya. Sedangkan diriku sudah hampir pingsan menahan sakit. Rasanya seluruh darah di tubuhku berkumpul di kepala dan telingaku tak henti-hentinya berdengung.
"Mulai sekarang jika kamu membantah perintah, kamu langsung dapat 20 pukulan mengerti?" lanjutnya lagi yang diikuti anggukan lemah kepalaku untuk mengiyakan.
"Kamu harus mengerti kalau kamu itu adalah budak saya, dan kamu tidak perlu membantah perlakuan saya pada kamu" ibu Anna berkata sambil membuka ikatan pada kaki dan tanganku.
Dengan isyarat tangan, ibu Anna memerintahkanku untuk mengikutinya. Dengan berjalan perlahan, aku mengikuti langkahnya di belakang. Setelah menuruni tangga, ibu Anna membawaku ke meja makan., disana sudah tersedia sepiring nasi lengkap dengan sayurnya. Aku yang memang sudah sangat lapar menjadi tambah lapar saja melihat makanan di depanku.
"Waktu kamu 5 menit" kata ibu Anna lalu begitu saja meninggalkanku.
Aku tidak membuang kesempatan itu, dengan segera aku mulai melahap makanan itu, yang terasa enak sekali karena sudah sedemikian laparnya diriku. Tak sampai 5 menit makanan itu sudah ludas kumakan, dalam hatiku aku menyesal dengan perkataanku sebelumnya, kini ibu Anna benar-benar membuktikan perkataanya, aku sama sekali tidak diberikan air minum. Tak lama kemudian ibu Anna datang.
Bersambung . . . . . .
Sementara aku masih memperhatikan ruangan itu, secara tiba-tiba ibu Anna duduk di punggungku, seperti layaknya menunggang kuda. Merasakan ada beban di punggungku, secara tidak sadar aku menengok kebelakang, dan kulihat ibu Anna hanya tinggal mengenakan BH dan celana dalam berwarna hitam. Aku sudah cukup sering melihat ibu Anna dalam keadaan bugil, sehingga aku merasa biasa saja melihatnya dalam keadaan demikian.
"Plak!"
Tahu-tahu ibu Anna memukul keras pantatku dengan menggunakan telapak tangannya.
"Jalan!" katanya dingin.
Dengan terpaksa akupun menuruti perintahnya. Dengan tubuh ibu Anna di atas pundakku, aku mulai dengan perlahan merangkak. Baru beberapa langkah saja aku sudah merasa sakit-sakit di lutut, pinggul dan punggungku, untung saja lantainya di lapisi karpet, jika tidak pastinya lututku sudah lecet-lecet. Bisa dibilang saat itu keadaanku sudah tidak mempunyai tenaga setelah sebelumnya di siksanya, namun ibu Anna tidak mau tahu dengan keadaanku.
Sudah beberapa kali pantatku kena pukulannya yang kali ini tampaknya menggunakan sepatu hak tingginya yang entah kapan dia melepasnya. Sebenarnya pada saat itu aku lebih memilih ibu Anna memukuli pantatku dari pada terus merangkak, tapi tentu saja aku takut sewaktu-waktu amarahnya bisa meledak jika aku tidak menurutinya. Sesudah dua kali memutari ruangan itu aku sudah benar-benar tidak sanggup. Secara tiba-tiba tubuhku ambruk tak dapat menahan beban di punggungku. Sedangkan ibu Anna dengan cekatan segera berdiri sesudah sebelumnya ikut terjatuh bersamaku.
Dengan marah ibu Anna menyuruhku untuk bangun sambil kakinya menendang pahaku, sedangkan tubuhku terus saja tergolek seperti mayat. Jangankan untuk kembali bangun, untuk menggerakkan tanganku saja rasanya sulit, dan bernafas saja sepertinya sudah menggunakan semua tenagaku yang tersisa. Sedang ibu Anna yang masih penasaran, kemudian mulai menggunakan cambuknya untuk memukuliku. Tubuhku yang terkena pukulannya berkelojotan seperti cacing, namun tetap saja aku tidak mampu untuk berdiri. Setelah meneruskan beberapa kali, ibu Anna kemudian menyerah juga, ia kemudian meniggalkanku sendirian di ruang itu. Setelah ibu Anna pergi dari sana langsung saja aku tertidur atau pingsan, aku tidak tahu.
Selang beberapa waktu kemudian aku terbangun. Keadaanku sekarang tidak terlalu berbeda dengan waktu sebelum tertidur tadi, aku masih telungkup di karpet, hanya saja kali ini tanganku dan kakiku terikat dengan kuat. Siapa lagi kalau bukan ibu Anna yang melakukannya. Secara perlahan perih-perih di tubuhku mulai terasa kembali. Keringat masih terus keluar dengan deras dari tubuhku akibat suhu ruangan yang panas, sedangkan mulut dan tenggorokanku terasa kering sekali. Belum pernah aku merasa sehaus itu. Selang setengah jam kemudian barulah aku mendengar suara seseorang yang menaiki tangga, lalu kemudian membuka pintu yang terkunci.
Ibu Anna melangkah mendekatiku dengan santai. Pada saat itu ia sudah tidak mengenakan pakaian sama sekali. Dengan jelas aku melihat tubuhnya yang juga di banjiri keringat seperti diriku sekarang ini.
"Bagaimana keadaan kamu?" tanyanya padaku setelah dia berada disampingku.
"Saya.. Haus.. Bu" kataku padanya terbata-bata sambil memandang lemah ibu Anna disebelahku.
Dia tidak menjawabnya, melainkan dengan santai dia meletakkan kaki kanannya di atas kepalaku. Melihat responnya aku tidak berani mengulangi permintaanku lagi.
"Seberapa haus?" tanyanya tiba-tiba padaku.
"Sangat haus bu" kataku memelas.
"Apa yang kamu mau?" tanyanya lagi padaku.
"Minum.. S.. Saya mau minum" jawabku lagi.
"Mau minum apa?" kembali ibu Anna memberikan pertanyaan yang menjengkelkan.
"Apa saja.. Terserah" jawabku dengan lemas, karena aku merasa pada saat ibu Anna tidak akan mengabulkan permintaanku.
"Apa saja boleh?" tanyanya lagi padaku.
"Ya Bu apa aja" jawabku dengan cepat seakan mendapat harapan baru.
"Baik kamu yang minta" kata ibu Anna kemudian.
Setelah ibu Anna berkata demikian, ia lalu membalik tubuhku, lalu berdiri tepat di atas wajahku. Dapat kulihat pemandangan yang pada saat biasa kuanggap sebagai salah satu pemandangan terindah di dunia ini, tapi tidak sekarang, yang kupikirkan saat ini hanyalah air. Secara perlahan ibu Anna berjongkok dan memposisikan vaginanya tepat di atas mulutku. Dalam sedetik kemudian aku sudah tahu apa yang mau di lakukannya. Dengan tangan kirinya, ibu Anna menekan pipiku sehingga membuat mulutku membuka paksa.
Setelah menunggu beberapa detik, akhirnya ibu Anna mulai menyemburkan air kencingnya yang berwarna kuning kental itu tepat ke mulutku yang terbuka lebar. Walaupun sebelumnya aku sudah pernah mendapat perlakuan serupa (kembali baca "my teacher), namun pada saat itu kuanggap hal itu adalah hal yang tidak menyenangkan bagiku. Secara wajar aku mencoba menggerakkan kepalaku menolak hal itu, namun tidak bisa karena di tahan oleh tangan kiri ibu Anna. Mungkin pada keadaan biasa aku masih bisa mencoba untuk meronta, tapi tidak sekarang pada saat hampir semua tenagaku habis tersedot karena perlakuannya padaku tadi.
Setelah air kencing mulai menggenangi mulutku, aku dapat merasakan rasa asin di lidahku dan bau pesing yang menusuk di hidungku. Sampai pada saat itu aku masih berusaha untuk tidak menelannya, namun mungkin karena aku sudah sangat kehausan, tanpa sadar aku menelan juga air kencing yang menggenangi mulutku. Tiba-tiba saja aku merasakan bahwa rasanya tidak seburuk yang kuperkirakan, asin dan sedikit pahit, cukup enak buatku yang sudah sangat kehausan. Dengan cepat aku kembali meneguk cairan itu, kemudian diikuti tergukan-tegukan lainnya, rasa jijik sudah tidak kuhiraukan lagi, malah kemudian dengan rakus aku terus menelan air kencing yang masih terus menerus di tumpahkan dari vagina ibu Anna.
Secara sekilas aku dapat melihat wajah ibu Anna yang tersenyum melihat kelakuanku itu. Air kencing yang tadinya menggenangi mulutku sekarang sudah kering kutelan, sedangkan ibu Anna masih terus mengeluarkan "minumannya", seakan tidak ada habisnya. Tangan kirinya sudah tidak di gunakan untuk menekan pipiku, pada saat itu aku sudah membuka mulutku lebar-lebar dengan senang hati menerima pemberiannya. Kini kedua tangannya membuka kedua bibir vaginannya dengan lebar untuk memudahkan jalan semburan air kencingnya.
Selang beberapa detik kemudian semburannya mulai melemah dan akhirnya benar-benar berhenti.
"Bersihin" kata ibu Anna padaku sambil tangannya masih membuka lebar kedua belah bibir vaginanya.
Dengan patuh aku segera melakukan perintahnya, sambil sedikit mengangkat kepalaku, kujilati bagian dalam vagina serta klitorisnya dengan bersemangat, seolah-olah tenagaku kembali setelah meminum air kencingnya.
"Ok stop" kata ibu Anna selang beberapa saat kemudian, dan dengan segera akupun menghentikan pekerjaanku.
"Enak ya?" tanya ibu Anna kemudian padaku sambil tetap berjongkok di atas wajahku.
"Iya bu.. Kalau boleh saya mau minta lagi" jawabku tanpa malu-malu, karena di samping masih merasa haus, ternyata aku juga mulai menikmatinya.
"Kalau begitu kamu harus memohon" katanya lagi padaku.
"Saya mohon bu.. Saya sangat suka air kencing ibu" sahutku dengan cepat, seakan-akan kata-kata itu meluncur begitu saja dari kepalaku.
"Bagus, karena kamu yang minta, mulai sekarang dirumah ini, cuma itu minuman kamu" katanya.
Dan aku benar-benar sudah gila karena justru merasa senang mendengar perkataanya itu. Setelah berkata demikian, ibu Anna kemudian meludah tepat ke mulutku yang terbuka. Dengan senang hati aku kemudian menelannya.
"Sekarang kamu istirahat, permainan baru akan dimulai nanti malam" katanya padaku sambil berlalu meninggalkanku setelah sebelumnya membuka ikatan pada tangan dan kakiku.
Agak terkejut juga aku mendengar perkataannya, apa yang sudah kualami ini hanya sekedar pemanasan saja? Pikirku dalam hati. Tak lama kemudian aku mendengar suara pintu yang dikunci dari luar. Aku tidak tahu jam berapa sekarang ini, namun mendengar perkataannya aku merasa saat ini sekitar jam 4 sampai jam 5 sore. Dengan perut kembung aku kemudian kembali tertidur. Aku terbangun setelah ada seseorang yang menendang testisku dengan perlahan.
"Mau tidur sampai kapan hah!" bentaknya garang.
Meskipun agak mendongkol dengan caranya membangunkanku, mau tidak mau aku membuka mataku dan beranjak berdiri. Belum pernah kulihat ibu Anna menggunakan pakaian seperti itu sebelumnya. Ia mengenakan BH berwarna hitam yang tampaknya terbuat dari kulit serupa dengan celana dalamnya yang sangat mini. Di tangannya ia menggenggam cambuk yang tadi siang sudah dipergunakannya, sedang rambutnya diikat kencang kebelakang menambah "kegarangannya". Yang paling menonjol adalah pada bagian depan celana dalamnya terdapat penis buatan yang sepertinya terbuat dari bahan plastik. Meskipun agak geli aku melihat hal itu, namun aku hanya terdiam saja menunduk, menunggu perkataannya.
Dengan memberi isyarat, ibu Anna menyuruhku mengikutinya. Ia membawaku ke salah satu sudut ruangan dimana terdapat benda yang terbuat dari kayu berbentuk huruf "X" yang pada saat itu tidak kuketahui apa gunanya. Dengan tidak mengucapkan sepatah kata, ibu Anna mengikatkan kedua tangan dan kakiku ke tali yang terdapat dimasing-masing ujung benda itu sehingga tubuhku juga membentuk huruf "X", terikat di benda itu.
Setelah itu, tanpa ba bi Bu lagi ibu Anna mendaratkan sebuah pukulan dari cambuknya yang mengenai punggungku. Aku menjerit keras dengan spontan begitu merasakan perih pada punggungku.
"Silahkan kamu teriak, ruang ini kedap suara" kata ibu Anna sambil tak henti-hentinya mendaratkan cambuknya di tubuhku.
Aku tidak berani menoleh, karena salah-salah wajahku yang terkena cambukannya, maka dari itu sebisanya saja aku meronta-ronta, namun karena kedua tangan dan kakiku terikat kuat sepertinya usahaku hanya sia-sia belaka, malahan mungkin itu membuatnya semakin gusar saja. Sesudah itu aku kemudian memutuskan untuk mencoba cara lain.
"Auu sakit bu! ampunn.. Jangan siksa saya lagi.. Aaahh" jeritku memohon padanya disela-sela erangan kesakitan terkena pukulannya.
Namun seakan tidak mendengar, ibu Anna masih tetap saja melakukan kegiatannya. Baru setelah kira-kira 5 atau 6 kali lagi cambuk itu mengoyak kulitku baru dia menghentikannya.
"Itu hukuman atas kesalahan kamu tadi, seharusnya kamu cuma menerima 10 pukulan, tapi karena kamu tadi bicara jadi di tambah 5 pukulan" kata ibu Anna dengan sedikit terengah-engah akibat pekerjaannya. Sedangkan diriku sudah hampir pingsan menahan sakit. Rasanya seluruh darah di tubuhku berkumpul di kepala dan telingaku tak henti-hentinya berdengung.
"Mulai sekarang jika kamu membantah perintah, kamu langsung dapat 20 pukulan mengerti?" lanjutnya lagi yang diikuti anggukan lemah kepalaku untuk mengiyakan.
"Kamu harus mengerti kalau kamu itu adalah budak saya, dan kamu tidak perlu membantah perlakuan saya pada kamu" ibu Anna berkata sambil membuka ikatan pada kaki dan tanganku.
Dengan isyarat tangan, ibu Anna memerintahkanku untuk mengikutinya. Dengan berjalan perlahan, aku mengikuti langkahnya di belakang. Setelah menuruni tangga, ibu Anna membawaku ke meja makan., disana sudah tersedia sepiring nasi lengkap dengan sayurnya. Aku yang memang sudah sangat lapar menjadi tambah lapar saja melihat makanan di depanku.
"Waktu kamu 5 menit" kata ibu Anna lalu begitu saja meninggalkanku.
Aku tidak membuang kesempatan itu, dengan segera aku mulai melahap makanan itu, yang terasa enak sekali karena sudah sedemikian laparnya diriku. Tak sampai 5 menit makanan itu sudah ludas kumakan, dalam hatiku aku menyesal dengan perkataanku sebelumnya, kini ibu Anna benar-benar membuktikan perkataanya, aku sama sekali tidak diberikan air minum. Tak lama kemudian ibu Anna datang.
Bersambung . . . . . .
Me and My Teacher - 3
Ruangan itu besarnya sekitar 5X10 meter, seluruhnya tertutup karpet tebal berwarna biru dan di ruangan itu terdapat beberapa cermin persegi yang berukuran besar sedangkan temboknya bercat hitam. Kesan pertamaku setelah memasuki ruangan ini adalah panas dan pengap, entah apa penyebabnya. Bisa dibilang tidak terdapat apa-apa diruangan itu, hanya beberapa alat yang tidak kuketahui kegunaannya yang terletak di salah satu sudut ruangan itu.
Sementara aku masih memperhatikan ruangan itu, secara tiba-tiba ibu Anna duduk di punggungku, seperti layaknya menunggang kuda. Merasakan ada beban di punggungku, secara tidak sadar aku menengok kebelakang, dan kulihat ibu Anna hanya tinggal mengenakan BH dan celana dalam berwarna hitam. Aku sudah cukup sering melihat ibu Anna dalam keadaan bugil, sehingga aku merasa biasa saja melihatnya dalam keadaan demikian.
"Plak!"
Tahu-tahu ibu Anna memukul keras pantatku dengan menggunakan telapak tangannya.
"Jalan!" katanya dingin.
Dengan terpaksa akupun menuruti perintahnya. Dengan tubuh ibu Anna di atas pundakku, aku mulai dengan perlahan merangkak. Baru beberapa langkah saja aku sudah merasa sakit-sakit di lutut, pinggul dan punggungku, untung saja lantainya di lapisi karpet, jika tidak pastinya lututku sudah lecet-lecet. Bisa dibilang saat itu keadaanku sudah tidak mempunyai tenaga setelah sebelumnya di siksanya, namun ibu Anna tidak mau tahu dengan keadaanku.
Sudah beberapa kali pantatku kena pukulannya yang kali ini tampaknya menggunakan sepatu hak tingginya yang entah kapan dia melepasnya. Sebenarnya pada saat itu aku lebih memilih ibu Anna memukuli pantatku dari pada terus merangkak, tapi tentu saja aku takut sewaktu-waktu amarahnya bisa meledak jika aku tidak menurutinya. Sesudah dua kali memutari ruangan itu aku sudah benar-benar tidak sanggup. Secara tiba-tiba tubuhku ambruk tak dapat menahan beban di punggungku. Sedangkan ibu Anna dengan cekatan segera berdiri sesudah sebelumnya ikut terjatuh bersamaku.
Dengan marah ibu Anna menyuruhku untuk bangun sambil kakinya menendang pahaku, sedangkan tubuhku terus saja tergolek seperti mayat. Jangankan untuk kembali bangun, untuk menggerakkan tanganku saja rasanya sulit, dan bernafas saja sepertinya sudah menggunakan semua tenagaku yang tersisa. Sedang ibu Anna yang masih penasaran, kemudian mulai menggunakan cambuknya untuk memukuliku. Tubuhku yang terkena pukulannya berkelojotan seperti cacing, namun tetap saja aku tidak mampu untuk berdiri. Setelah meneruskan beberapa kali, ibu Anna kemudian menyerah juga, ia kemudian meniggalkanku sendirian di ruang itu. Setelah ibu Anna pergi dari sana langsung saja aku tertidur atau pingsan, aku tidak tahu.
Selang beberapa waktu kemudian aku terbangun. Keadaanku sekarang tidak terlalu berbeda dengan waktu sebelum tertidur tadi, aku masih telungkup di karpet, hanya saja kali ini tanganku dan kakiku terikat dengan kuat. Siapa lagi kalau bukan ibu Anna yang melakukannya. Secara perlahan perih-perih di tubuhku mulai terasa kembali. Keringat masih terus keluar dengan deras dari tubuhku akibat suhu ruangan yang panas, sedangkan mulut dan tenggorokanku terasa kering sekali. Belum pernah aku merasa sehaus itu. Selang setengah jam kemudian barulah aku mendengar suara seseorang yang menaiki tangga, lalu kemudian membuka pintu yang terkunci.
Ibu Anna melangkah mendekatiku dengan santai. Pada saat itu ia sudah tidak mengenakan pakaian sama sekali. Dengan jelas aku melihat tubuhnya yang juga di banjiri keringat seperti diriku sekarang ini.
"Bagaimana keadaan kamu?" tanyanya padaku setelah dia berada disampingku.
"Saya.. Haus.. Bu" kataku padanya terbata-bata sambil memandang lemah ibu Anna disebelahku.
Dia tidak menjawabnya, melainkan dengan santai dia meletakkan kaki kanannya di atas kepalaku. Melihat responnya aku tidak berani mengulangi permintaanku lagi.
"Seberapa haus?" tanyanya tiba-tiba padaku.
"Sangat haus bu" kataku memelas.
"Apa yang kamu mau?" tanyanya lagi padaku.
"Minum.. S.. Saya mau minum" jawabku lagi.
"Mau minum apa?" kembali ibu Anna memberikan pertanyaan yang menjengkelkan.
"Apa saja.. Terserah" jawabku dengan lemas, karena aku merasa pada saat ibu Anna tidak akan mengabulkan permintaanku.
"Apa saja boleh?" tanyanya lagi padaku.
"Ya Bu apa aja" jawabku dengan cepat seakan mendapat harapan baru.
"Baik kamu yang minta" kata ibu Anna kemudian.
Setelah ibu Anna berkata demikian, ia lalu membalik tubuhku, lalu berdiri tepat di atas wajahku. Dapat kulihat pemandangan yang pada saat biasa kuanggap sebagai salah satu pemandangan terindah di dunia ini, tapi tidak sekarang, yang kupikirkan saat ini hanyalah air. Secara perlahan ibu Anna berjongkok dan memposisikan vaginanya tepat di atas mulutku. Dalam sedetik kemudian aku sudah tahu apa yang mau di lakukannya. Dengan tangan kirinya, ibu Anna menekan pipiku sehingga membuat mulutku membuka paksa.
Setelah menunggu beberapa detik, akhirnya ibu Anna mulai menyemburkan air kencingnya yang berwarna kuning kental itu tepat ke mulutku yang terbuka lebar. Walaupun sebelumnya aku sudah pernah mendapat perlakuan serupa (kembali baca "my teacher), namun pada saat itu kuanggap hal itu adalah hal yang tidak menyenangkan bagiku. Secara wajar aku mencoba menggerakkan kepalaku menolak hal itu, namun tidak bisa karena di tahan oleh tangan kiri ibu Anna. Mungkin pada keadaan biasa aku masih bisa mencoba untuk meronta, tapi tidak sekarang pada saat hampir semua tenagaku habis tersedot karena perlakuannya padaku tadi.
Setelah air kencing mulai menggenangi mulutku, aku dapat merasakan rasa asin di lidahku dan bau pesing yang menusuk di hidungku. Sampai pada saat itu aku masih berusaha untuk tidak menelannya, namun mungkin karena aku sudah sangat kehausan, tanpa sadar aku menelan juga air kencing yang menggenangi mulutku. Tiba-tiba saja aku merasakan bahwa rasanya tidak seburuk yang kuperkirakan, asin dan sedikit pahit, cukup enak buatku yang sudah sangat kehausan. Dengan cepat aku kembali meneguk cairan itu, kemudian diikuti tergukan-tegukan lainnya, rasa jijik sudah tidak kuhiraukan lagi, malah kemudian dengan rakus aku terus menelan air kencing yang masih terus menerus di tumpahkan dari vagina ibu Anna.
Secara sekilas aku dapat melihat wajah ibu Anna yang tersenyum melihat kelakuanku itu. Air kencing yang tadinya menggenangi mulutku sekarang sudah kering kutelan, sedangkan ibu Anna masih terus mengeluarkan "minumannya", seakan tidak ada habisnya. Tangan kirinya sudah tidak di gunakan untuk menekan pipiku, pada saat itu aku sudah membuka mulutku lebar-lebar dengan senang hati menerima pemberiannya. Kini kedua tangannya membuka kedua bibir vaginannya dengan lebar untuk memudahkan jalan semburan air kencingnya.
Selang beberapa detik kemudian semburannya mulai melemah dan akhirnya benar-benar berhenti.
"Bersihin" kata ibu Anna padaku sambil tangannya masih membuka lebar kedua belah bibir vaginanya.
Dengan patuh aku segera melakukan perintahnya, sambil sedikit mengangkat kepalaku, kujilati bagian dalam vagina serta klitorisnya dengan bersemangat, seolah-olah tenagaku kembali setelah meminum air kencingnya.
"Ok stop" kata ibu Anna selang beberapa saat kemudian, dan dengan segera akupun menghentikan pekerjaanku.
"Enak ya?" tanya ibu Anna kemudian padaku sambil tetap berjongkok di atas wajahku.
"Iya bu.. Kalau boleh saya mau minta lagi" jawabku tanpa malu-malu, karena di samping masih merasa haus, ternyata aku juga mulai menikmatinya.
"Kalau begitu kamu harus memohon" katanya lagi padaku.
"Saya mohon bu.. Saya sangat suka air kencing ibu" sahutku dengan cepat, seakan-akan kata-kata itu meluncur begitu saja dari kepalaku.
"Bagus, karena kamu yang minta, mulai sekarang dirumah ini, cuma itu minuman kamu" katanya.
Dan aku benar-benar sudah gila karena justru merasa senang mendengar perkataanya itu. Setelah berkata demikian, ibu Anna kemudian meludah tepat ke mulutku yang terbuka. Dengan senang hati aku kemudian menelannya.
"Sekarang kamu istirahat, permainan baru akan dimulai nanti malam" katanya padaku sambil berlalu meninggalkanku setelah sebelumnya membuka ikatan pada tangan dan kakiku.
Agak terkejut juga aku mendengar perkataannya, apa yang sudah kualami ini hanya sekedar pemanasan saja? Pikirku dalam hati. Tak lama kemudian aku mendengar suara pintu yang dikunci dari luar. Aku tidak tahu jam berapa sekarang ini, namun mendengar perkataannya aku merasa saat ini sekitar jam 4 sampai jam 5 sore. Dengan perut kembung aku kemudian kembali tertidur. Aku terbangun setelah ada seseorang yang menendang testisku dengan perlahan.
"Mau tidur sampai kapan hah!" bentaknya garang.
Meskipun agak mendongkol dengan caranya membangunkanku, mau tidak mau aku membuka mataku dan beranjak berdiri. Belum pernah kulihat ibu Anna menggunakan pakaian seperti itu sebelumnya. Ia mengenakan BH berwarna hitam yang tampaknya terbuat dari kulit serupa dengan celana dalamnya yang sangat mini. Di tangannya ia menggenggam cambuk yang tadi siang sudah dipergunakannya, sedang rambutnya diikat kencang kebelakang menambah "kegarangannya". Yang paling menonjol adalah pada bagian depan celana dalamnya terdapat penis buatan yang sepertinya terbuat dari bahan plastik. Meskipun agak geli aku melihat hal itu, namun aku hanya terdiam saja menunduk, menunggu perkataannya.
Dengan memberi isyarat, ibu Anna menyuruhku mengikutinya. Ia membawaku ke salah satu sudut ruangan dimana terdapat benda yang terbuat dari kayu berbentuk huruf "X" yang pada saat itu tidak kuketahui apa gunanya. Dengan tidak mengucapkan sepatah kata, ibu Anna mengikatkan kedua tangan dan kakiku ke tali yang terdapat dimasing-masing ujung benda itu sehingga tubuhku juga membentuk huruf "X", terikat di benda itu.
Setelah itu, tanpa ba bi Bu lagi ibu Anna mendaratkan sebuah pukulan dari cambuknya yang mengenai punggungku. Aku menjerit keras dengan spontan begitu merasakan perih pada punggungku.
"Silahkan kamu teriak, ruang ini kedap suara" kata ibu Anna sambil tak henti-hentinya mendaratkan cambuknya di tubuhku.
Aku tidak berani menoleh, karena salah-salah wajahku yang terkena cambukannya, maka dari itu sebisanya saja aku meronta-ronta, namun karena kedua tangan dan kakiku terikat kuat sepertinya usahaku hanya sia-sia belaka, malahan mungkin itu membuatnya semakin gusar saja. Sesudah itu aku kemudian memutuskan untuk mencoba cara lain.
"Auu sakit bu! ampunn.. Jangan siksa saya lagi.. Aaahh" jeritku memohon padanya disela-sela erangan kesakitan terkena pukulannya.
Namun seakan tidak mendengar, ibu Anna masih tetap saja melakukan kegiatannya. Baru setelah kira-kira 5 atau 6 kali lagi cambuk itu mengoyak kulitku baru dia menghentikannya.
"Itu hukuman atas kesalahan kamu tadi, seharusnya kamu cuma menerima 10 pukulan, tapi karena kamu tadi bicara jadi di tambah 5 pukulan" kata ibu Anna dengan sedikit terengah-engah akibat pekerjaannya. Sedangkan diriku sudah hampir pingsan menahan sakit. Rasanya seluruh darah di tubuhku berkumpul di kepala dan telingaku tak henti-hentinya berdengung.
"Mulai sekarang jika kamu membantah perintah, kamu langsung dapat 20 pukulan mengerti?" lanjutnya lagi yang diikuti anggukan lemah kepalaku untuk mengiyakan.
"Kamu harus mengerti kalau kamu itu adalah budak saya, dan kamu tidak perlu membantah perlakuan saya pada kamu" ibu Anna berkata sambil membuka ikatan pada kaki dan tanganku.
Dengan isyarat tangan, ibu Anna memerintahkanku untuk mengikutinya. Dengan berjalan perlahan, aku mengikuti langkahnya di belakang. Setelah menuruni tangga, ibu Anna membawaku ke meja makan., disana sudah tersedia sepiring nasi lengkap dengan sayurnya. Aku yang memang sudah sangat lapar menjadi tambah lapar saja melihat makanan di depanku.
"Waktu kamu 5 menit" kata ibu Anna lalu begitu saja meninggalkanku.
Aku tidak membuang kesempatan itu, dengan segera aku mulai melahap makanan itu, yang terasa enak sekali karena sudah sedemikian laparnya diriku. Tak sampai 5 menit makanan itu sudah ludas kumakan, dalam hatiku aku menyesal dengan perkataanku sebelumnya, kini ibu Anna benar-benar membuktikan perkataanya, aku sama sekali tidak diberikan air minum. Tak lama kemudian ibu Anna datang.
Bersambung . . . . . .
Sementara aku masih memperhatikan ruangan itu, secara tiba-tiba ibu Anna duduk di punggungku, seperti layaknya menunggang kuda. Merasakan ada beban di punggungku, secara tidak sadar aku menengok kebelakang, dan kulihat ibu Anna hanya tinggal mengenakan BH dan celana dalam berwarna hitam. Aku sudah cukup sering melihat ibu Anna dalam keadaan bugil, sehingga aku merasa biasa saja melihatnya dalam keadaan demikian.
"Plak!"
Tahu-tahu ibu Anna memukul keras pantatku dengan menggunakan telapak tangannya.
"Jalan!" katanya dingin.
Dengan terpaksa akupun menuruti perintahnya. Dengan tubuh ibu Anna di atas pundakku, aku mulai dengan perlahan merangkak. Baru beberapa langkah saja aku sudah merasa sakit-sakit di lutut, pinggul dan punggungku, untung saja lantainya di lapisi karpet, jika tidak pastinya lututku sudah lecet-lecet. Bisa dibilang saat itu keadaanku sudah tidak mempunyai tenaga setelah sebelumnya di siksanya, namun ibu Anna tidak mau tahu dengan keadaanku.
Sudah beberapa kali pantatku kena pukulannya yang kali ini tampaknya menggunakan sepatu hak tingginya yang entah kapan dia melepasnya. Sebenarnya pada saat itu aku lebih memilih ibu Anna memukuli pantatku dari pada terus merangkak, tapi tentu saja aku takut sewaktu-waktu amarahnya bisa meledak jika aku tidak menurutinya. Sesudah dua kali memutari ruangan itu aku sudah benar-benar tidak sanggup. Secara tiba-tiba tubuhku ambruk tak dapat menahan beban di punggungku. Sedangkan ibu Anna dengan cekatan segera berdiri sesudah sebelumnya ikut terjatuh bersamaku.
Dengan marah ibu Anna menyuruhku untuk bangun sambil kakinya menendang pahaku, sedangkan tubuhku terus saja tergolek seperti mayat. Jangankan untuk kembali bangun, untuk menggerakkan tanganku saja rasanya sulit, dan bernafas saja sepertinya sudah menggunakan semua tenagaku yang tersisa. Sedang ibu Anna yang masih penasaran, kemudian mulai menggunakan cambuknya untuk memukuliku. Tubuhku yang terkena pukulannya berkelojotan seperti cacing, namun tetap saja aku tidak mampu untuk berdiri. Setelah meneruskan beberapa kali, ibu Anna kemudian menyerah juga, ia kemudian meniggalkanku sendirian di ruang itu. Setelah ibu Anna pergi dari sana langsung saja aku tertidur atau pingsan, aku tidak tahu.
Selang beberapa waktu kemudian aku terbangun. Keadaanku sekarang tidak terlalu berbeda dengan waktu sebelum tertidur tadi, aku masih telungkup di karpet, hanya saja kali ini tanganku dan kakiku terikat dengan kuat. Siapa lagi kalau bukan ibu Anna yang melakukannya. Secara perlahan perih-perih di tubuhku mulai terasa kembali. Keringat masih terus keluar dengan deras dari tubuhku akibat suhu ruangan yang panas, sedangkan mulut dan tenggorokanku terasa kering sekali. Belum pernah aku merasa sehaus itu. Selang setengah jam kemudian barulah aku mendengar suara seseorang yang menaiki tangga, lalu kemudian membuka pintu yang terkunci.
Ibu Anna melangkah mendekatiku dengan santai. Pada saat itu ia sudah tidak mengenakan pakaian sama sekali. Dengan jelas aku melihat tubuhnya yang juga di banjiri keringat seperti diriku sekarang ini.
"Bagaimana keadaan kamu?" tanyanya padaku setelah dia berada disampingku.
"Saya.. Haus.. Bu" kataku padanya terbata-bata sambil memandang lemah ibu Anna disebelahku.
Dia tidak menjawabnya, melainkan dengan santai dia meletakkan kaki kanannya di atas kepalaku. Melihat responnya aku tidak berani mengulangi permintaanku lagi.
"Seberapa haus?" tanyanya tiba-tiba padaku.
"Sangat haus bu" kataku memelas.
"Apa yang kamu mau?" tanyanya lagi padaku.
"Minum.. S.. Saya mau minum" jawabku lagi.
"Mau minum apa?" kembali ibu Anna memberikan pertanyaan yang menjengkelkan.
"Apa saja.. Terserah" jawabku dengan lemas, karena aku merasa pada saat ibu Anna tidak akan mengabulkan permintaanku.
"Apa saja boleh?" tanyanya lagi padaku.
"Ya Bu apa aja" jawabku dengan cepat seakan mendapat harapan baru.
"Baik kamu yang minta" kata ibu Anna kemudian.
Setelah ibu Anna berkata demikian, ia lalu membalik tubuhku, lalu berdiri tepat di atas wajahku. Dapat kulihat pemandangan yang pada saat biasa kuanggap sebagai salah satu pemandangan terindah di dunia ini, tapi tidak sekarang, yang kupikirkan saat ini hanyalah air. Secara perlahan ibu Anna berjongkok dan memposisikan vaginanya tepat di atas mulutku. Dalam sedetik kemudian aku sudah tahu apa yang mau di lakukannya. Dengan tangan kirinya, ibu Anna menekan pipiku sehingga membuat mulutku membuka paksa.
Setelah menunggu beberapa detik, akhirnya ibu Anna mulai menyemburkan air kencingnya yang berwarna kuning kental itu tepat ke mulutku yang terbuka lebar. Walaupun sebelumnya aku sudah pernah mendapat perlakuan serupa (kembali baca "my teacher), namun pada saat itu kuanggap hal itu adalah hal yang tidak menyenangkan bagiku. Secara wajar aku mencoba menggerakkan kepalaku menolak hal itu, namun tidak bisa karena di tahan oleh tangan kiri ibu Anna. Mungkin pada keadaan biasa aku masih bisa mencoba untuk meronta, tapi tidak sekarang pada saat hampir semua tenagaku habis tersedot karena perlakuannya padaku tadi.
Setelah air kencing mulai menggenangi mulutku, aku dapat merasakan rasa asin di lidahku dan bau pesing yang menusuk di hidungku. Sampai pada saat itu aku masih berusaha untuk tidak menelannya, namun mungkin karena aku sudah sangat kehausan, tanpa sadar aku menelan juga air kencing yang menggenangi mulutku. Tiba-tiba saja aku merasakan bahwa rasanya tidak seburuk yang kuperkirakan, asin dan sedikit pahit, cukup enak buatku yang sudah sangat kehausan. Dengan cepat aku kembali meneguk cairan itu, kemudian diikuti tergukan-tegukan lainnya, rasa jijik sudah tidak kuhiraukan lagi, malah kemudian dengan rakus aku terus menelan air kencing yang masih terus menerus di tumpahkan dari vagina ibu Anna.
Secara sekilas aku dapat melihat wajah ibu Anna yang tersenyum melihat kelakuanku itu. Air kencing yang tadinya menggenangi mulutku sekarang sudah kering kutelan, sedangkan ibu Anna masih terus mengeluarkan "minumannya", seakan tidak ada habisnya. Tangan kirinya sudah tidak di gunakan untuk menekan pipiku, pada saat itu aku sudah membuka mulutku lebar-lebar dengan senang hati menerima pemberiannya. Kini kedua tangannya membuka kedua bibir vaginannya dengan lebar untuk memudahkan jalan semburan air kencingnya.
Selang beberapa detik kemudian semburannya mulai melemah dan akhirnya benar-benar berhenti.
"Bersihin" kata ibu Anna padaku sambil tangannya masih membuka lebar kedua belah bibir vaginanya.
Dengan patuh aku segera melakukan perintahnya, sambil sedikit mengangkat kepalaku, kujilati bagian dalam vagina serta klitorisnya dengan bersemangat, seolah-olah tenagaku kembali setelah meminum air kencingnya.
"Ok stop" kata ibu Anna selang beberapa saat kemudian, dan dengan segera akupun menghentikan pekerjaanku.
"Enak ya?" tanya ibu Anna kemudian padaku sambil tetap berjongkok di atas wajahku.
"Iya bu.. Kalau boleh saya mau minta lagi" jawabku tanpa malu-malu, karena di samping masih merasa haus, ternyata aku juga mulai menikmatinya.
"Kalau begitu kamu harus memohon" katanya lagi padaku.
"Saya mohon bu.. Saya sangat suka air kencing ibu" sahutku dengan cepat, seakan-akan kata-kata itu meluncur begitu saja dari kepalaku.
"Bagus, karena kamu yang minta, mulai sekarang dirumah ini, cuma itu minuman kamu" katanya.
Dan aku benar-benar sudah gila karena justru merasa senang mendengar perkataanya itu. Setelah berkata demikian, ibu Anna kemudian meludah tepat ke mulutku yang terbuka. Dengan senang hati aku kemudian menelannya.
"Sekarang kamu istirahat, permainan baru akan dimulai nanti malam" katanya padaku sambil berlalu meninggalkanku setelah sebelumnya membuka ikatan pada tangan dan kakiku.
Agak terkejut juga aku mendengar perkataannya, apa yang sudah kualami ini hanya sekedar pemanasan saja? Pikirku dalam hati. Tak lama kemudian aku mendengar suara pintu yang dikunci dari luar. Aku tidak tahu jam berapa sekarang ini, namun mendengar perkataannya aku merasa saat ini sekitar jam 4 sampai jam 5 sore. Dengan perut kembung aku kemudian kembali tertidur. Aku terbangun setelah ada seseorang yang menendang testisku dengan perlahan.
"Mau tidur sampai kapan hah!" bentaknya garang.
Meskipun agak mendongkol dengan caranya membangunkanku, mau tidak mau aku membuka mataku dan beranjak berdiri. Belum pernah kulihat ibu Anna menggunakan pakaian seperti itu sebelumnya. Ia mengenakan BH berwarna hitam yang tampaknya terbuat dari kulit serupa dengan celana dalamnya yang sangat mini. Di tangannya ia menggenggam cambuk yang tadi siang sudah dipergunakannya, sedang rambutnya diikat kencang kebelakang menambah "kegarangannya". Yang paling menonjol adalah pada bagian depan celana dalamnya terdapat penis buatan yang sepertinya terbuat dari bahan plastik. Meskipun agak geli aku melihat hal itu, namun aku hanya terdiam saja menunduk, menunggu perkataannya.
Dengan memberi isyarat, ibu Anna menyuruhku mengikutinya. Ia membawaku ke salah satu sudut ruangan dimana terdapat benda yang terbuat dari kayu berbentuk huruf "X" yang pada saat itu tidak kuketahui apa gunanya. Dengan tidak mengucapkan sepatah kata, ibu Anna mengikatkan kedua tangan dan kakiku ke tali yang terdapat dimasing-masing ujung benda itu sehingga tubuhku juga membentuk huruf "X", terikat di benda itu.
Setelah itu, tanpa ba bi Bu lagi ibu Anna mendaratkan sebuah pukulan dari cambuknya yang mengenai punggungku. Aku menjerit keras dengan spontan begitu merasakan perih pada punggungku.
"Silahkan kamu teriak, ruang ini kedap suara" kata ibu Anna sambil tak henti-hentinya mendaratkan cambuknya di tubuhku.
Aku tidak berani menoleh, karena salah-salah wajahku yang terkena cambukannya, maka dari itu sebisanya saja aku meronta-ronta, namun karena kedua tangan dan kakiku terikat kuat sepertinya usahaku hanya sia-sia belaka, malahan mungkin itu membuatnya semakin gusar saja. Sesudah itu aku kemudian memutuskan untuk mencoba cara lain.
"Auu sakit bu! ampunn.. Jangan siksa saya lagi.. Aaahh" jeritku memohon padanya disela-sela erangan kesakitan terkena pukulannya.
Namun seakan tidak mendengar, ibu Anna masih tetap saja melakukan kegiatannya. Baru setelah kira-kira 5 atau 6 kali lagi cambuk itu mengoyak kulitku baru dia menghentikannya.
"Itu hukuman atas kesalahan kamu tadi, seharusnya kamu cuma menerima 10 pukulan, tapi karena kamu tadi bicara jadi di tambah 5 pukulan" kata ibu Anna dengan sedikit terengah-engah akibat pekerjaannya. Sedangkan diriku sudah hampir pingsan menahan sakit. Rasanya seluruh darah di tubuhku berkumpul di kepala dan telingaku tak henti-hentinya berdengung.
"Mulai sekarang jika kamu membantah perintah, kamu langsung dapat 20 pukulan mengerti?" lanjutnya lagi yang diikuti anggukan lemah kepalaku untuk mengiyakan.
"Kamu harus mengerti kalau kamu itu adalah budak saya, dan kamu tidak perlu membantah perlakuan saya pada kamu" ibu Anna berkata sambil membuka ikatan pada kaki dan tanganku.
Dengan isyarat tangan, ibu Anna memerintahkanku untuk mengikutinya. Dengan berjalan perlahan, aku mengikuti langkahnya di belakang. Setelah menuruni tangga, ibu Anna membawaku ke meja makan., disana sudah tersedia sepiring nasi lengkap dengan sayurnya. Aku yang memang sudah sangat lapar menjadi tambah lapar saja melihat makanan di depanku.
"Waktu kamu 5 menit" kata ibu Anna lalu begitu saja meninggalkanku.
Aku tidak membuang kesempatan itu, dengan segera aku mulai melahap makanan itu, yang terasa enak sekali karena sudah sedemikian laparnya diriku. Tak sampai 5 menit makanan itu sudah ludas kumakan, dalam hatiku aku menyesal dengan perkataanku sebelumnya, kini ibu Anna benar-benar membuktikan perkataanya, aku sama sekali tidak diberikan air minum. Tak lama kemudian ibu Anna datang.
Bersambung . . . . . .