SPG yg sombong Euy

Vera
Cerita ini muncul karena ulah SPG sombong yang menjaga pameran
otomotif di salah satu plaza di kotaku. Pada waktu itu aku dan
teman-temanku (berempat) sedang jalan-jalan ke plaza itu, lalu kami
melihat ada pameran mobil di sana. Iseng-iseng aku dan teman-teman
melihat mobil-mobil yang memang keren-keren itu, meskipun penampilan
kami memang sangat jauh dengan pengunjung-pengunjung lainnya yang
rapi-rapi. Sekalian cuci mata juga, soalnya para SPG-nya
cantik-cantik dan putih-putih serta mulus-mulus, mereka memakai rok
mini yang benar-benar serasi dengan tubuh mereka yang langsing dan
tinggi, kaki mereka yang jenjang sangat indah dipandang dari ujung
kaki sampai ke paha yang terbalut rok mini ketat warna merah. Wajah
mereka yang rata-rata Indo seperti bintang sinetron sangat
menyenangkan untuk dipandang, memang sangat cocok untuk mendampingi
mobil-mobil mewah yang sedang dipamerkan.
Sambil melihat, kupegang-pegang saja mobil yang di pamerkan dan
kucoba membuka dan metutup salah satu pintunya. Tiba-Tiba…, “Mas,
tolong kalau mau lihat ya dilihat saja, jangan dipegang-pegang, nanti harus dibersihkan lagi,” aku menoleh ke arah teguran itu berasal, ternyata teguran tersebut berasal dari salah seorang SPG yang cantik, meskipun aku tersinggung, aku sempat tertegun melihat paras dan body cewek SPG yang satu ini. Wajah SPG yang ini seperti campuran Indo Belanda, kebarat-kebaratan seperti itulah.

Masih setengah sadar, SPG itu ngomong lagi, “Tolong minggir dulu ya.. ini ada pembeli yang mau lihat”. Aku menoleh ke sekitar, “Mana pembelinya..” pikirku, yang ada masih lihat-lihat mobil di sebelah, kali ini aku serasa benar-benar dilecehkan oleh SPG itu, dalam pikiranku, “Sombong sekali cewek satu ini… padahal kan dia juga sebagai penjaga, belum tentu bisa beli mobil itu juga.” Sambil berpikir begitu, tak terasa aku bertatap pandang dengan cewek SPG itu, yang lebih mengesalkan wajahnya seakan-akan melihatku sebagai
makhluk yang tidak sepantasnya berdiri di situ. Kulihat juga senyumnya yang benar-benar menyebalkan, seolah-olah menantang dan sudah menang.

Seraya tersenyum aku minggir juga. “Ayo, cabut!” aku mengomando teman-temanku dengan nada yang masih kesal karena pelecehan tadi. Aku langsung mengarahkan mereka ke tempat parkir dengan tidak menyembunyikan wajah yang kesal. Mobil Espass kami pun meluncur. Sepanjang perjalanan, kami terdiam, teman-temanku tahu aku masih kesal, jadi mereka agak malas ngomong. Setelah beberapa saat Aguk yang memegang kemudi memecah kesunyian,

“Kenapa lu? masih kesal sama SPG itu?” tanyanya kepadaku. Belum sempat aku menimpali, Bimo buka suara, “Lu nggak remas aja pantatnya, biar tau rasa dia.” Tawa mereka berderai, tapi aku masih diam, melihat gelagatku yang tidak bisa diajak bercanda, teman-temanku ikutan diam.

Tiba-Tiba Dodot mengeluarkan ide bagus, “Eh.. gimana kalo kita culik aja tuh cewek!” Hatiku yang kesal ini bagaikan mendapat siraman air yang menyegarkan, “Betul juga,” pikirku, “Biar ntar dia rasain gimana akibatnya kalau melecehkan aku” Aku tersenyum menyeringai ke arah Dodot, dan kami langsung memutar mobil ke arah plaza itu lagi.

Jam sudah menunjukkan pukul setengah sepuluh malam, mulai terlihat karyawan-karyawan dari plaza tersebut keluar untuk pulang. Kami dengan sabar menunggu di depan plaza itu sambil mengawasi orang-orang
yang keluar.

“Gimana kalau keluar dari samping pertokoan?” tanya Bimo. “Ah.. ya berarti nasibnya beruntung,” jawabku cepat. “Itu! itu!” Dodot setengah berteriak menunjuk ke suatu arah. Mata kita semua langsung menjelajah ke arah yang ditunjuk Dodot. “Bagus!” pikirku ketika melihat si SPG berjalan keluar plaza untuk mencari kendaraan. Dia bersama seorang temannya yang kelihatannya SPG juga, sudah mengenakan sehelai kain untuk menutupi roknya yang mini, mereka berjalan menelusuri trotoar, rupanya rute angkutannya bukan di jalan ini. Kami segera membuntutinya pelan-pelan sampai mereka
berhenti di perempatan yang sudah dikuasai oleh banyak angkutan kota.

Mereka langsung masuk ke salah satu bemo yang ada, begitu bemo tersebut berangkat, kami pun langsung mengikutinya. Sampai di sebuah jalan, yang untungnya sepi sehingga sangat mendukung operasi kami ini, si SPG turun. Tidak sedikit pun dia menaruh curiga bahwa sebuah mobil telah mengikuti angkutannya sejak tadi. Setelah bemo tersebut meninggalkannya cukup jauh, kami mulai mendekati SPG itu yang kelihatannya masih harus berjalan kaki untuk mencapai rumahnya. Tanpa buang-buang waktu Aguk mensejajarkan mobil kami di
samping SPG itu dan Dodot langsung membuka pintu samping Espass. Kulihat SPG tersebut terkejut melihat ada mobil yang sangat dekat dengan dirinya, dan tanpa disadari tangan Dodot sudah merenggut
tangan dan menarik tubuhnya ke dalam mobil. “Srreeekkk…,” pintu samping ditutup, mobil kami langsung melaju tanpa bekas, sementara si SPG masih kebingungan dan akan berteriak, tetapi dengan sigap Bimo
langsung menutup mulutnya sehingga yang terdengar hanya gumaman. Si SPG mencoba meronta, namun sebuah pukulan ditengkuknya yang diluncurkan oleh Dodot membuatnya langsung pingsan.

Aku menoleh ke belakang, Bimo dan Dodot tersenyum memandangku seolah-olah ingin menyatakan bahwa operasi penculikan sudah berhasil. Kulihat kain yang menutupi rok mininya tersingkap, dan meskipun di
dalam mobil gelap, aku masih dapat melihat pahanya yang mulus. Dodot pun tak tahan langsung memijat dan meraba paha yang mulus itu. Mobil kami langsung meluncur ke rumah Aguk yang memang kosong dan biasa
sebagai tempat kami berkumpul. Setelah sampai dan memarkir mobil di garasi, kami menggendong SPG
yang masih pingsan itu ke dalam kamar. Di sana kami mengikatnya pada kursi kayu yang ada. Aku duduk di ranjang menghadap SPG yang masih lunglai itu yang terikat di kursi kayu. Teman-temanku kelihatannya
memang menghadiahkan SPG itu ke padaku untuk diperlakukan apa saja. “Dot… ambilin air.” Dodot keluar kamar dan tak lama masuk dengan segelas air yang disodorkan kepadaku. Aku berdiri dan menyiramkan
pelan-pelan ke wajah SPG itu. Ketika sadar, SPG itu terlihat sangat terkejut melihatku di depannya,

“Kamu…” katanya seraya menggerakkan tubuhnya, dan dia sadar kalau tubuhnya terikat erat di sebuah kursi.

Kali ini aku yang tersenyum, senyum kemenangan. “Mau apa kamu?” masih dengan sombong SPG itu bertanya setengah menghardik kepadaku. “Kalau kamu macam-macam, aku akan teriak,” lanjutnya lagi.

Aku hanya tersenyum, “Silahkan saja teriak, nggak bakal terdengar kok,” kataku sambil menyalakan tape si Aguk, kebetulan lagunya dari band Metallica, Unforgiven, kusetel agak keras, meskipun aku yakin bahwa
kamar Aguk letaknya terisolir, jadi tidak mungkin teriakannya didengar orang lain.

Ketakutan mulai terlihat di wajah SPG itu, wajahnya yang cantik sudah mulai terlihat memelas memohon iba. Namun kebencian di hatiku masih belum padam, aku ingin memberinya pelajaran!.

“Siapa namamu?” tanyaku dengan nada datar.
“Vera,” jawabnya.
“Ampun Mas, maafkan aku, aku disuruh boss untuk bersikap begitu,” katanya seolah membela diri.

Tidak peduli dengan pembelaan dirinya, langsung kusibakkan kain yang menutupi roknya, lalu dengan kasar kutarik roknya hingga ke pangkal paha.

Vera menatapku ketakutan, “Jangan, jangan Mas…” ucapnya memelas seakan tahu hal yang lebih buruk akan menimpa dirinya. Lagi dengan kasar kutarik bajunya sehingga kursi yang didudukinya bergeser dan kancing bajunya hampir lepas semua. Terlihat oleh kami bulatan payudara yang masih tertutup BH berwarna putih. Tak tahan melihat itu

Aguk dan Dodot yang berdiri di sampingnya langsung meremas-meremas payudara itu. Vera sangat ketakutan, ditengah ketakutannya dia berusaha meronta, namun hal itu semakin meningkatkan nafsu kita.
Jari-jariku langsung meraba secara liar daerah liang kewanitaannya yang masih tertutup CD, mengelus dan berputar-putar dengan lincah dan sekali-sekali mencoba menusuk.

“Tidakkk.. tidakkk..” Vera berkata lirih seolah ingin menolak takdir.
“Breetttt… breettt…” kubuka dengan paksa seluruh baju Vera sehingga yang terlihat hanya BH dan CD-nya saja.

“Naikkan ke atas meja,” kataku, serta merta ketiga temanku langsung bekerja sama memegangi Vera dan mengikatnya di atas meja. Vera meronta-ronta sekuat tenaga namun tentu saja usahanya tidak mampu melawan tiga tenaga cowok. Sekarang dia sudah terlentang di atas meja dengan tangan terikat di sudut-sudut meja, kedua kakinya agak menjulur ke bawah karena mejanya tidak cukup panjang, namun kami mengikatnya secara terpisah pada dua kaki meja. Kami sendiri posisinya sekarang di samping tubuhnya. Lalu dengan sekali tarik kulepas BH-nya dan menonjollah dua bagian payudaranya yang cukup padat berisi. Sekarang kami melihat sebuah tubuh yang putih mulus dan langsing dengan tonjolan payudara yang bergoyang-goyang karena Vera masih berusaha meronta. Karena meronta, terlihat CD-nya yang agak transparan semakin mengetat memperlihatkan lekuk-lekuk liang kewanitaannya.

“It’s showtime!” teriakku yang disambut oleh kegembiraan teman-temanku dan wajah ketakutan Vera. Aku langsung mengambil beberapa karet gelang, lalu kulingkarkan di payudara Vera sampai terlihat mengeras dan merah. “Aduhhh…” erang Vera, masih kutambah penderitaannya dengan menjepitkan jepitan yang biasa digunakan Aguk untuk alat elektronik, bentuknya bergerigi dan terbuat dari logam tipis yang di-chrome, kujepitkan di kedua puting susunya.

“Aduhhh.. ahhh.. aduuhhh” Vera mengerang kesakitan.

Aguk lalu memberiku sebuah alat seperti pecut, yang terbuat dari beberapa tali tampar kecil sekitar 5 buah yang salah satu ujung-ujungnya dijadikan satu pada  sebuah pegangan dari rotan. Entah untuk apa alat ini biasanya digunakan Aguk, pikirku, tapi peduli apa, yang penting sekarang benda ini ada gunanya.

“Jangan.. ampunnn Mas…” pinta Vera, melihat aku mengibas-ngibaskan pecut itu. Aku tersenyum sadis, lalu tanganku kuangkat dan sebuah pecutan kuarahkan ke payudaranya. “Ctasss…” Tubuh Vera
menggelinjang, dan buah dadanya langsung bergoyang ke kanan ke kiri menahan sakit.

“Aduhhh…” teriaknya sambil menitikkan air mata.

Beberapa garis merah terlihat di kedua buah dadanya, di sekitar puting.

“Lagi?” tanyaku kepada Vera, yang tentu saja dijawab dengan gelengan kepala, “Ampunnn.. ampunnn tolonggg…” rintihan bercampur tangis Vera menjadi satu. Tanpa rasa iba pecut kuayun lagi, kali ini sasarannya adalah pahanya. “Mmmpphhh…” Vera menggigit bibir bawahnya menahan sakit. Sekali lagi kuayun pecut itu, sekarang ke arah pusar, garis-garis merah segera menghiasi tubuh Vera. Entah aku sangat menikmatinya sehingga tak terasa sudah beberapa ayunan pecut mengarah ke tubuh Vera. Tubuhnya terlihat bergetar, menggelinjang menahan sakit dan perih. Wajahnya yang basah oleh air mata dan keringat sudah benar-benar menunjukkan penderitaan. Tapi aku masih belum puas. Kulihat teman-temanku, ketiganya tersenyum seakan
memberikan dukungan kepadaku untuk terus menyalurkan hasratku. Kudekati telinga Vera, dia yang sudah ketakutan padaku, dia berusaha menjauhkan kepalanya, mungkin dikiranya aku mau menggigit telinganya.
Kubisikkan sesuatu di telinga Vera, “Vera, gimana kalau kita ganti alatnya, sekarang pakai ikat pinggang saja ya,” bisikku sambil menyeringai sadis. Vera menunjukkan ekspresi terkejut setengah tidak percaya bahwa dia akan menerima siksaan yang lebih hebat.

“Ampun… lepaskan saya…” ibanya meskipun tahu aku tidak akan melepaskannya.

Kubuka ikat pinggangku yang terbuat dari kulit, kulilitkan sebagian pada telapak tanganku, Vera melirikku dengan ketakutan yang amat sangat, nafasnya tersenggal-senggal meskipun dia sudah berusaha sekuat tenaga untuk mengaturnya. Mungkin dengan mengatur napas dia berharap sabetan ikat pinggangku tidak akan terlalu sakit. Kuangkat tinggi tanganku dan kuayunkan dengan keras, Vera memejamkan matanya, saat ikat pinggangku mendarat di pahanya terdengar meja yang ditiduri Vera agak berderit karena tubuh Vera secara spontan bergetar keras menahan sakit.

“Ahhh.. ampun.. ampun.. hahhh.. hahhh..” Vera berkata tersendat-sendat. Kali ini bukan hanya garis merah yang tampak, tetapi semacam jalur merah tercetak di paha Vera.

“Ceplasss… Ceplassss…” sabetan ikat pinggangku semakin liar menghujani tubuh Vera. Vera sudah tidak bisa berkata apa-apa lagi, dia hanya menggeleng ke kiri ke kanan menahan penderitaan yang kuberikan. Puas dari samping,

“Bagaimana kalau pukulan yang mengarah langsung ke liang kewanitaannya?” pikirku. Lalu aku mulai menyobek CD-nya dan minta kepada dua temanku untuk melepaskan ikatan kaki Vera dan mengikatnya kembali pada posisi menekuk ke atas dan mengangkang, sehingga liang kewanitaannya terbuka lebar. Vera berusaha meronta dan menutup liang kewanitaannya dengan kakinya, namun ikatan kami cukup erat sehingga kedua kakinya tidak bisa mengatup. Persis menghadap liang kewanitaannya, aku mengelus-elusnya sambil tersenyum sinis. Vera mengangkat kepalanya dan menatapku dengan pandangan nanar.

Aku mulai menjauh, ikat pinggang mulai kuputar-putar, lalu…, “Ceplasss…” ikat pinggang itu mendarat dengan tepat di bibir liang kewanitaan Vera. Kali ini Vera meronta-ronta dengan sangat dan cukup lama, tampaknya dia sangat kesakitan, kepalanya ditengadahkan ke atas sembari mengguncang-guncangkan pantatnya di atas meja. Aku berjalan ke sampingnya,

“Lagi?” tanyaku seolah tak menghiraukan penderitaannya. Vera tidak mengatakan apa-apa, kelihatannya dia sudah pasrah. Aku tersenyum penuh kemenangan, kusentuh bibir liang kewanitaannya yang tentunya masih pedih, Vera menggelinjang, tak peduli kugesek-gesekan jariku di liang senggamanya, tubuh Vera terus menggelinjang.

“Sakittt.. sakittt..” gumamnya lirih.

Seolah tak peduli, kembali aku mengambil dua jepitan, dan kujepit di kedua bibir liang kewanitaan yang memerah itu. Vera menatapku dengan pandangan tak percaya akan kesadisanku.

“Oke,” kataku, “Tidak ada lagi pukulan…”, Vera diam saja tanpa ekspresi, “…tapi sekarang
waktunya bermain lilin,” lanjutku sambil menyunggingkan senyum. Kali ini Vera menolehkan wajahnya yang layu, berkeringat dan basah karena air matanya. Bisa kubaca dalam pikirannya, “Oh.. apa lagi yang akan diperbuatnya pada tubuhku.. malangnya nasibku…”

Memang di kamar Aguk ada beberapa lilin untuk jaga-jaga jika lampu mati, ada yang kecil dan ada juga yang besar supaya awet. Kuambil Zippo-ku, kunyalakan satu lilin yang kecil. Lidah api menari berputar-putar melelehkan batang lilin yang menahannya. Menembus lidah api itu, kulihat pandangan Vera yang berharap aku hanya bercanda. Kujawab dengan pandangan juga yang menyatakan bahwa aku serius. Segera lilin yang kupegang kumiringkan di atas payudara Vera.

Kulihat ekspresi Vera yang memandang lekat batang lilin yang terkena nyala api, pandangannya seolah berharap agar lilin tersebut tidak meleleh atau apinya tiba-tiba mati. Tapi tentu saja itu tidak terjadi, yang terjadi adalah tetesan pertama jatuh dan menetes di atas puting susu Vera sebelah kanan.

“Hhhh…” Vera mendesah, punggungnya terlihat bergerak ke atas menahan panas lilin yang meleleh. Tetesan demi tetesan bergerak jatuh, dan Vera terlihat semakin kesakitan karena tetesan tersebut jatuh di tempat bekas pecut dan sabetan ikat pinggangku tadi. Tiba-tiba teman-temanku ikut bergabung, mereka semua memegang lilin bahkan tidak hanya satu tapi tiga atau empat sekaligus. Mereka dengan gembira meneteskan ke bagian-bagian sensitif Vera, seperti buah dada, pusar, sekitar liang kewanitaan dan paha. Kali ini Vera seperti ular kepanasan, dia meliuk-liukkan tubuhnya menahan panas tetesan lilin. Seperti biasa, setelah puas pada bagian tubuh Vera, aku pun mengambil sebuah lilin dengan diameter yang besar dan menyalakannya. Setelah menunggu agak lama supaya lelehan lilin cukup banyak di atas lilin itu, aku kembali mengelus-elus liang kewanitaan Vera.
Vera langsung berkata, “Tidakkk.. jangan.. jangan Mas…”, aku pun tersenyum penuh nafsu mendengar nada yang memelas itu. Tapi tetap saja lilin yang besar itu kumiringkan di atas liang kewanitaan Vera, Vera berusaha
mengelak dengan menggeser pantatnya, “Pintar juga dia,” pikirku, tapi karena lelehan lilin ini masih banyak, dengan leluasa aku “menaburkan” tetesan-tetesannya ke liang kewanitaannya. Tak ayal bagaikan lahar panas tetesan tersebut mengalir ke liang kewanitaan Vera dan mungkin ke dalamnya.

“Errrggghhh…” gumam Vera, dia langsung menggoyang-goyangkan pantatnya dan menengadahkan kepalanya menahan panas dan sakit, dengan mulutnya yang menggigit rapat dan matanya terpejam erat.

Kemudian kucoba untuk memasukkan sebuah lilin kecil ke anusnya, sulit sekali karena anusnya begitu rapat, aku memasukkan jariku terlebih dahulu dan menggesek-geseknya agar anusnya membesar. “Aduh.. aduh..” ucap Vera, tapi aku tidak peduli, setelah anusnya membesar mulai kutancapkan sebuah lilin di anusnya. Dan ide cemerlangku muncul lagi, kunyalakan lilin yang menancap itu dan setelah cukup lama, kutiup apinya dan kubalik, jadi yang menancap adalah bagian yang barusan menyala. “Jesss…” bunyi panas lilin bercampur dengan cairan yang keluar dari anus Vera. Tentu saja Vera menggeliat kesakitan, pantatnya dibentur-benturkannya ke meja seakan ingin melepaskan lilin yang menancap di anusnya. Aku tersenyum senang sambil
kumasuk-keluarkan lilin tadi di anus Vera.

Karena sudah puas menyiksa Vera, aku kasih kesempatan kepada teman-temanku untuk menyetubuhinya. Teman-temanku begitu gembira, mereka langsung beraksi, sementara aku melihat pertunjukkan ini dengan kepuasan total. Mereka melepas ikatan Vera yang sudah tidak berdaya itu, lalu tubuhnya dibalik dan pantatnya ditarik ke atas sehingga dalam posisi menungging. Aku melihat Vera diam saja, mungkin dia sudah capai dan pasrah serta tidak punya harapan hidup lagi. Wajahnya yang cantik terlihat sangat lesu dan seolah-olah siap diperlakukan apa saja. Dodot dengan tubuhnya yang besar mulai membuka celana dan melakukan penetrasi, langsung sodomi. Vera membelalak tak menyangka bahwa ada benda sebesar itu yang harus masuk ke anusnya. Belum selesai dia “menikmati” penderitaan karena ulah Dodot, Aguk langsung menyelinap ke bawah tubuh Vera dan berusaha memasukkan batang kemaluannya ke liang kewanitaan Vera.

Vera melolong kesakitan karena anus dan liang kewanitaannya yang sudah lecet dan perih terkena sabetan ikat pinggang dan tetesan lilin, masih harus bergesekan dengan batang kemaluan teman-temanku. Tubuhnya terguncang ke depan berulang-ulang setiap kali Dodot dan Aguk menghunjamkan batang kemaluannya. Payudaranya berguncang keras persis di atas wajah Aguk yang dengan penuh nafsu meremas sekuatnya.
Masih tersiksa dengan keadaan begitu, Bimo mengeluarkan kepunyaannya dan minta dikaraoke oleh Vera. Rintihan Vera menjadi tersendat-sendat karena tersedak dan batuk, Bimo bukannya kasihan malahan dia semakin terangsang sehingga dia menghunjamkan batang kemaluannya ke mulut dan tenggorokan Vera berulang-ulang.

Aku tersenyum saja melihat kelakuan teman-temanku yang brutal, lalu kudekati Vera sambil berkata, “Vera.. punggungmu masih mulus lho.. aku cambuk ya…” Karena tidak mungkin menggunakan pecut dan ikat
pinggang sebab bisa mengenai Aguk yang berada di bawah tubuh Vera, maka aku menggunakan rotan yang tadi sebagai pegangan untuk pecut, rotan ini ujungnya memecah sehingga sangat cocok untuk menimbulkan
rasa sakit. Segera kuraih rotan itu dan kupukulkan berulang-ulang ke punggung Vera. Tubuh Vera terlihat menggelinjang dan menggeliat seiring dengan hujaman-hujaman yang diberikan oleh Dodot, Aguk dan Bimo serta siksaan cambukan rotan dariku. Dodot yang melihat punggung Vera terkena pukulan rotanku sangat terangsang dan segera memuntahkan maninya ke liang dubur Vera, lalu dia pun mencabut batang
kemaluannya. Karena pantatnya kosong, atau tidak ada orang, aku pun dengan leluasa memukul pantatnya dengan rotan. Kulihat Vera sangat menderita, pantat yang baru saja dimasuki paksa oleh Dodot masih
harus menerima siksaan rotanku.

Giliran Bimo yang ejakulasi, maninya langsung menyemprot ke tenggorokan Vera, membuatnya menjadi sulit bernafas dan seperti mau muntah. Melihat begitu semakin keras kupukulkan rotan ke pantatnya, bahkan ke belahan pantatnya.

Tiba-tiba Vera lunglai, kelihatannya dia tak tahan lagi menerima siksaan kami, dia pingsan. Aguk yang belum
selesai masih terus melakukan aksinya, sehingga tubuh Vera yang pingsan itu terguncang-guncang ke sana ke mari, akhirnya Aguk pun mencapai puncaknya dan menyemprotkan air maninya di dalam liang kewanitaan Vera yang masih pingsan. Aku sendiri sudah merasa puas dengan balas dendamku ini. Kami berempat tertawa dan puas. Kami lalu membawa tubuh Vera untuk di”buang”, sebetulnya kami ingin menyimpannya untuk kenikmatan sehari-hari tetapi terlalu beresiko.

Akhirnya tubuh Vera kami lempar di depan plaza tempat dia bekerja. Aku tersenyum puas karena sudah memberi pelajaran kepada SPG yang sombong itu, tapi dalam hati aku merasa ketagihan untuk menyiksa SPG yang lain, kusampaikan ini ke teman-temanku dan mereka semuanya setuju untuk suatu waktu menculik dan menyiksa SPG yang lain.