Cerita ini ditulis dimaksudkan sebagai hiburan bagi mereka yang sudah dewasa baik dari segi umur maupun pikiran dan berpandangan terbuka. Di dalamnya termuat kisah erotis yang menceritakan detail hubungan seksual yang bersifat konsensual dan non – konsensual (normal ataupun paksaan). Jika anda termasuk dalam golongan minor yang masih berusia di bawah umur dan atau tersinggung serta tidak menyukai hal – hal yang berkenaan dengan hal tersebut di atas, tolong JANGAN DIBACA. Masih banyak cerita yang ditulis penulis lain yang mungkin memenuhi selera dan usia anda.
Cerita ini adalah karya fiksi. Semua karakter dan peristiwa yang termuat di dalamnya bukanlah tokoh dan peristiwa nyata dan lahir dari fantasi belaka. Kemiripan akan nama dan perilaku ataupun kejadian yang terdapat dalam cerita ini murni ketidaksengajaan dan hanya kebetulan saja. Penulis tidak menganjurkan dan/atau mendukung aktivitas seperti yang diceritakan. Kalau anda mengalami kesulitan membedakan kenyataan dan khayalan silahkan hubungi dokter dan jangan membaca cerita saya lagi sampai sembuh.
Cerita ini diperbolehkan disebarluaskan secara gratis namun tidak boleh digunakan untuk kepentingan komersil tanpa menghubungi penulis dan teamnya terlebih dahulu, kita yang bikin loe yang dapet duit, enak aja. Bagi mereka yang ingin menyebarluaskan cerita ini secara gratis, diharapkan untuk tetap mencantumkan disclaimer ini. Kita udah capek – capek bikin, tolong hormati dikit ya.
Copyright (c) 2008 Pujangga Binal & Friends.
Special Script & Credits : kgA, fkspg, mrcm, cole, eqoedicep.
(Thank you all for your support & permission!)
pujanggabinal.wordpress.com
*********************************
BAGIAN SEPULUH (PART 10 OF 12)
NAMANYA LIDYA
Oleh Pujangga Binal & Friends
Lidya |
“Apa?” Lidya Safitri terbelalak kaget. Bola matanya yang indah menatap suaminya yang saat itu tengah membaca koran di ruang tamu. Kalau saja Lidya tidak mampu menguasai emosinya, kopi yang ia bawakan untuk Andi akan tumpah.
“Apa kenapa, sayang?” Andi balik melihat ke arah istrinya yang sedang berdiri kaku dengan heran.
“K – K – Kamu barusan bilang apa……..??”
“Sudah panjang lebar cerita ternyata masih harus diulang, makanya kalau ada orang ngomong itu didengerin,” keluh Andi, “tadi aku bilang, aku sudah menemukan rumah kontrakan yang bagus. Tempatnya tidak jauh dari sini, fasilitas lumayan, harganya juga murah. Aku sudah ajak Bapak ke sana, katanya sih cocok.”
Lidya mengangguk, bukan kabar ini yang membuatnya kaget. Kabar ini justru membuatnya senang sekali. Adalah kalimat – kalimat selanjutnya yang hampir membuat jantungnya berhenti berdetak.
“Dalam waktu dekat Bapak mau pindah ke sana.” Lanjut Andi, “Tapi… kata Bapak sebelum dia menempati rumah kontrakan yang baru, dia pengen balik sebentar ke desa. Berpamitan, ziarah atau apalah…” Andi membalik halaman koran yang ia baca sambil terus menerangkan hal yang sebenarnya baru saja ia sampaikan pada Lidya, “…berhubung aku harus mengurus kontrakan baru Bapak ditambah kerjaan yang belum selesai di kantor, maka kamu yang nganterin Bapak ke desa.”
Inilah yang membuat Lidya terkejut setengah mati.
“T – t – tapi, mas… kenapa Bapak tidak pulang sendiri saja?”
“Ah, kamu ini!” Andi menatap Lidya dengan tatapan mata galak. Pria itu paling benci kalau Lidya tidak mau berkumpul atau menyatu dengan keluarganya. “Bapak kan sudah tua, kasihan dong harus pergi jauh seorang diri walaupun hanya untuk sebentar. Biar bagaimana juga dia itu bapakku! Masa gitu aja kamu nggak mau? Kalau saja aku ada waktu, aku yang akan mengantarkannya ke desa! Aku tidak akan minta bantuanmu!”
“Bukan begitu. Bapak kan masih kuat, Mas. Aku pikir…” Lidya terus mencari celah untuk menghindar, si cantik itu meletakkan kopi Andi di meja tanpa sedikitpun menatap matanya. Dia tidak berani bertatapan mata langsung dengan suaminya, ia takut Andi akan mencurigainya. Lidya tidak ingin suaminya tahu ayahnya sendiri hampir tiap hari menidurinya. Lidya melanjutkan kalimatnya, ia mencoba mencari alasan yang tidak akan menyinggung perasaan Andi. “Aku juga tidak yakin beliau mau aku temani pulang ke desa…”
Andi mengeluarkan nafas panjang. “Aku kemarin sudah ngobrol sama Bapak. Tadinya dia memang menolak ditemani siapa – siapa, dia bilang tidak mau merepotkan. Tapi setelah aku bujuk lama – lama luluh juga. Bapak akhirnya setuju kamu antar.”
Lidya membalikkan tubuh untuk menyembunyikan wajahnya yang pucat pasi. Tubuhnya bergetar ketakutan dan keringatnya mulai menetes. Andi memang tidak tahu kalau Pak Hasan yang terhormat telah memperlakukan istrinya dengan tidak senonoh. Bayangkan apa yang akan dilakukan lelaki tua cabul itu jika Andi memberikan peluang bagi Pak Hasan untuk berdua saja dengannya?? Bagaimana ini? Apa yang harus ia lakukan? Bagaimana menolaknya?
“Kapan Bapak mau berangkat, Mas? Berapa lama di sana?” tanya Lidya dengan penuh harap. Tidak ada gunanya melawan Andi kalau sedang seperti ini.
“Berangkat besok lusa, naik bis. Mungkin sekitar empat hari, kalian menginap di rumah sahabat Bapak di desa, namanya Pak Raka. Kebetulan yang punya rumah malah baru pergi ke kota. Keluarganya juga kenal dengan aku kok, keluarga Pak Raka sudah seperti keluarga kita sendiri, dulu waktu kecil aku sering tidur di rumah Pak Raka……” jawab Andi sambil terus membaca korannya tanpa melirik sedikitpun ke arah Lidya.
Lidya memejamkan mata dan berusaha menahan geram. Sial.
###
Sudah hampir setengah jam Lidya menunggu, ia melirik ke arah jam tangan cantik yang melingkar di pergelangan tangan kirinya. Bis belum juga datang, padahal hari sudah semakin larut. Jika mereka berangkat terlalu malam, mereka baru akan sampai di desa esok siang. Perjalanan cukup jauh dan wanita cantik itu tidak begitu suka berduaan saja dengan mertuanya untuk waktu yang cukup lama. Bus malam yang akan membawa mereka pulang ke desa sudah dibeli tiketnya dan sudah dijadwalkan akan berangkat dari tempat ini… setengah jam yang lalu.
Seorang lelaki botak bertubuh gemuk berjalan pelan mendekati Lidya. Ia duduk di samping wanita cantik itu sambil menikmati cemilan kacang yang sudah hampir habis. Mulutnya terus berkomat – kamit mengunyah kacang.
“Bis itu pasti datang, Nduk. Sabar saja.” Kata pria yang baru datang dengan tenang. “Penjual tiketnya bilang jalan macet, jadi busnya terlambat masuk terminal.”
Lidya menggerutu. Walaupun tidak menyukai keterlambatan, dia justru berharap bis yang mereka naiki tidak kunjung datang hingga tahun depan. Si manis itu beringsut menjauh dari posisi duduk yang berdekatan dengan si pria gemuk yang sangat ia benci hidup mati. Pria gemuk itu tentunya adalah ayah mertuanya yang bernama Hasan. Lidya cukup kesal karena Andi tidak bisa menemani mereka, paling tidak sampai bisnya datang. Andi malah hanya mengantar sampai pintu terminal dan buru – buru berangkat ke kantor. Suaminya itu tidak tahu, dia tengah mengumpankan anak ayam ke kandang buaya.
Pak Hasan bukan orang bodoh, ia sadar Lidya berusaha menghindarinya. Pria tua mesum itu melirik ke arah menantunya yang mempesona. Sungguh pemandangan indah yang tiada duanya, rambut panjang yang indah, tubuh tinggi dengan kaki jenjang, kulit putih mulus bagai pualam, lekukan tubuh menggiurkan, wajah cantik rupawan dan buah dada yang sempurna. Seorang bidadari yang turun dari khayangan.
Pria tua itu tersenyum bangga, semua keindahan itu… kini jadi miliknya.
…paling tidak untuk empat hari ke depan.
Pak Hasan terkekeh kalau mengingat anaknya yang bodoh. Mudah sekali Andi ditipu. Pak Hasan berpura – pura tidak mau diantar Lidya pulang ke kampung, padahal dalam hati ia ingin sekali membawa menantunya yang molek itu dan menidurinya setiap hari di sana. Hawa di desa agak dingin dan berangin, pasti enak kalau tidur kelon dengan Lidya. Dengan sedikit tipu daya, bukan dia yang merengek ingin membawa Lidya, malah Andi yang memaksa dia mengajak si cantik itu. Ini mungkin yang dinamakan pucuk dicinta ulam tiba. Pak Hasan pun berhasil mengajak Lidya menemaninya ke kampung.
Sambil menghabiskan kacangnya, Pak Hasan mengamati kanan kiri. Beberapa orang di terminal sepertinya tidak tahan untuk tidak melirik ke arah Lidya. Hampir semua laki – laki yang ada di sana tidak mampu menjauhkan mata dari pesona menantunya, tidak tua tidak muda. Bahkan ada beberapa orang laki – laki yang berjalan bersama pasangannya melirik diam – diam ke arah si cantik itu. Geli juga Pak Hasan melihat ekspresi benci seorang wanita melihat pasangannya ngiler melihat Lidya.
Dilihat dari cara berpakaiannya kali ini sebenarnya Lidya tidak terlalu menampilkan kemolekan tubuhnya, hanya saja karena dia memang terlampau menarik, orang dengan mudah terpesona. Saat ini Lidya mengenakan baju putih kancing depan berlengan panjang yang ditekuk hingga tiga perempat. Baju itu agak ketat sehingga memperlihatkan lekuk tubuhnya namun tidak terlalu seksi. Seperti biasa, Lidya melepas satu kancing teratas karena rasanya sesak dan memperlihatkan sedikit saja belahan dada sentosa. Ia mengenakan rok pendek selutut dengan warna abu – abu tua yang membalut pahanya yang mulus dan memperjelas keindahan kakinya yang jenjang.
Menyadari banyak laki – laki melirik ke arahnya Lidya memilih diam dan mengenakan kacamata hitamnya, ia berpura – pura memperhatikan bis yang datang dan pergi dan tidak menghiraukan mereka. Toh tidak ada gunanya ditanggapi.
Lama kelamaan si cantik itu melamun, benaknya melayang tak tentu arah. Lidya menyesalkan kehidupan yang telah dikacaukan oleh ayah mertuanya yang mesum dan cabul. Ia sudah mengkhianati suaminya dengan menyerahkan barangnya yang berharga pada Pak Hasan. Belum lagi ketidakjelasan kakak – kakaknya yang juga entah bagaimana nasibnya…
Sampai sejauh ini ia sudah…
Terbangun dari lamunan, Lidya baru menyadari kalau tangan gemuk Pak Hasan telah melingkar di pundaknya dan beberapa kali memencet buah dadanya. Dengan risih Lidya menggoyangkan badan untuk melepaskan kaitan lengan sang ayah mertua.
“Apaan sih Bapak?!” Kata Lidya ketus, ia memasang muka masam, “ini tempat umum. Jangan macam – macam.”
Pak Hasan mencibir. “Dulu kamu pernah seperti ini di mal dan pasar, bahkan saat itu keadaan lebih parah. Apa bedanya dengan terminal? Sama – sama tempat umum kan?”
“Pokoknya aku nggak mau seperti dulu lagi… aku ini…”
“Jangan banyak omong!!” tiba – tiba saja Pak Hasan menghardik dengan galak.
Lidya tercekat kaget, dia tidak mengira Pak Hasan akan membentaknya. Satu hal yang ia takutkan pada saat ini adalah mengundang perhatian orang sekitar. Melihat emosi Pak Hasan meledak, Lidya mengalah karena melihat beberapa orang melirik ke arah mereka. Dengan terpaksa ia membiarkan tubuhnya yang indah digerayangi sang mertua.
Dengan berani pria tua itu melingkarkan tangannya di pinggang ramping Lidya. Orang – orang yang melihat akan menganggap kedua orang ini sebagai pasangan karena mesra sekali. Rabaan tangan Pak Hasan melaju tanpa henti di tubuh Lidya, menggerayangi dan menikmati setiap lekuk tubuhnya yang indah. Membuat iri mereka yang melihatnya, bagaimana mungkin seorang pria botak, gemuk dan jelek seperti Pak Hasan bisa menaklukan wanita seindah Lidya sungguh di luar daya khayal mereka.
Untunglah penderitaan Lidya tak berlangsung lama karena bus yang mereka tunggu – tunggu akhirnya datang juga.
Pak Hasan mendengus kesal melihat bus memasuki terminal, menganggu orang seneng aja, baru seru malah masuk. Tapi beberapa saat kemudian pria tua itu terkekeh sambil menepuk pantat Lidya dan berjalan mendahului menantunya ke tempat bus parkir.
Lidya kembali menggerutu.
###
Lidya dan Pak Hasan menempuh perjalanan yang cukup panjang. Berangkat di sore hari dengan menggunakan bus malam antar kota, mereka baru sampai di tujuan besok siang. Karena bus penuh dan mereka berdua sedikit terlambat memesan tiket, Lidya dan Pak Hasan mendapatkan tempat duduk di belakang, dekat dengan toilet dan sejajar dengan pintu belakang. Lidya jelas kurang suka posisi duduknya ini sedangkan Pak Hasan menganggapnya keberuntungan karena tidak akan ada gangguan selama perjalanan. Posisi tempat duduk adalah 2 – 1, dua kursi di kiri dan 1 kursi di kanan. Pak Hasan dan Lidya duduk berdampingan, pria tua itu memilih duduk di dekat jendela.
Lidya yang tidak biasa menempuh perjalanan jauh menggunakan bus malam merasa tidak nyaman dengan jalan yang bergelombang tidak rata. Sayangnya hanya dia sendiri yang sepertinya tidak merasa nyaman, penumpang lain tidur dengan nyenyak sepanjang perjalanan. Keadaan di dalam bis sendiri sudah sangat gelap sejak lampu – lampu dimatikan. Pak Hasan sudah tertidur sejak tadi, dengkurannya yang keras cukup mengganggu Lidya. Kepala mertuanya itu disampirkan sengaja di bahu kanan Lidya, ia tidur dengan enak sementara menantunya tak sedikitpun sanggup memejamkan mata.
Untunglah kelelahan yang menghinggap perempuan jelita itu akhirnya membuatnya terlelap. Rasa capek yang amat sangat membuat Lidya bisa tertidur nyenyak.
Beberapa jam perjalanan berlalu, Pak Hasanlah yang terbangun terlebih dahulu, ia melirik jam tangan dan menengok pemandangan di luar. Perjalanan masih jauh dan keadaan di luar terlalu gelap untuk dinikmati. Pak Hasan mengangkat bahu dan tertawa kecil, kalau pemandangan di luar tidak terlihat, sebaiknya menikmati saja pemandangan indah yang ada di dalam.
Pak Hasan menengok ke arah Lidya dan mengagumi kulit sang menantu, begitu halus dan mulus, putih laksana pualam, bahkan di kala gelap seperti ini, putihnya kulit Lidya seperti menyala. Bagian atas pakaian Lidya memperlihatkan sedikit balon buah dadanya yang lumayan montok. Menggiurkan sekali, pikir Pak Hasan. Pikiran kotornya mulai menggelora. Posisi kursi yang ada di belakang membuatnya bebas melakukan apapun karena tidak ada orang lain duduk di samping kursi mereka, lagipula hampir semua orang tidur. Pak Hasan menarik selimut kecil yang ia pakai turun ke bagian selangkangan dan dengan pelan membuka kancing celananya sendiri. Pak Hasan mengeluarkan kemaluannya sambil menyeringai lebar.
Setelah mengeluarkan penisnya yang mulai mengeras, tangan kanan Pak Hasan dengan nakal menjelajah ke bagian dada perempuan cantik yang terlelap disampingnya, meremas pelan dan membelai buah dadanya yang menggiurkan sementara tangan kirinya mulai membetot penisnya sendiri. Dengan berani pria tua melepas beberapa kancing baju Lidya agar ia bisa lebih leluasa menikmati buah dada sang menantu. Tangan keriput Pak Hasan makin tak terhalangi setelah dua kancing atas baju Lidya dilepas. Ia kini menyelipkan tangan ke bawah beha Lidya, meremas payudara montoknya dan memainkan puting yang makin lama makin menegak dengan sesuka hati.
Pak Hasan menyukai buah dada Lidya yang menurutnya berukuran sempurna, tidak terlalu besar dan tidak terlalu kecil. Remasan pada payudara Lidya pas dengan tangkup jemarinya. Kenyalnya balon buah dada sang menantu makin membuat Pak Hasan tak tahan, beberapa kali ia mengenduskan hidung di buah dada Lidya, menikmati baunya yang harum. Ia tak puas berhenti di payudara Lidya, Pak Hasan meraba bagian lain seperti pantat bulat dan paha mulus sang menantu yang hanya terlindungi oleh rok mininya.
Dengan gerakan selembut yang ia bisa, jari – jari keriput Pak Hasan meraba paha Lidya, menaikkan roknya sedikit demi sedikit sampai akhirnya ia mampu melihat lamat – lamat celana dalam sang menantu dalam kegelapan. Gundukan berbelah yang ada di selangkangan Lidya membuat Pak Hasan meneguk ludah, ia menarik bagian bawah celana dalam Lidya ke samping, membuka akses utama menuju liang kewanitaan sang menantu dan mulai memijat lembut bibir vagina sembari mencoba mencari kelentitnya.
Apa yang dilakukan Pak Hasan tentu membuat Lidya terbangun, masih dengan mata yang setengah terpejam, si cantik itu berbisik pelan. “Bapak? Apa yang..?”
Pak Hasan tidak menjawab, ia menengadah, menaikkan kepala dan mengenduskan hidung di pipi sang menantu. Pak Hasan mencium pipi dan leher Lidya dengan lembut sambil berbisik, “sudah, kamu diam saja…..”
Gerakan jemari nakal Pak Hasan yang menjelajah di selangkangannya membuat Lidya tersadar, mana ada orang yang tidak bangun kalau dirangsang seperti ini. “Esssst….,” desahan pelan keluar dari mulut mungil Lidya. Ia tidak menyukai sedikitpun apa yang dilakukan Pak Hasan, tapi ini… ini… enak sekali.., “…ja… jangan… essstt…” tolak Lidya. Ia menggelengkan kepala dan mendesah manja, entah keenakan atau menolak.
Lidya mencoba mendorong tangan Pak Hasan namun gerakannya seperti setengah hati, hal yang justru membuat Pak Hasan meningkatkan serangannya dan membuat si cantik itu merem melek. Tak perlu waktu lama bagi pria tua itu untuk bisa mengeluarkan cairan pelumas yang segera meleleh keluar dan membasahi belahan liang cinta Lidya. Cairan itu juga mulai membasahi jemari Pak Hasan yang berkuasa penuh di memek menantunya. Lidya menggelengkan kepala dan terus menolak, “…jangan… jangan di sini… jangan…”
Ketika menggelengkan kepala untuk mencoba menolak, mata Lidya tertumbuk pada gundukan yang makin lama makin membesar di selimut yang menutup selangkangan mertuanya. Lidya semakin tidak percaya, jangan – jangan mertuanya yang gila itu sudah membuka celana? Tidak mungkin selimut itu menggunduk sebesar itu jika kemaluannya masih ada di dalam celana. Sudah pasti kemaluannya sudah ada di luar. Gila, mereka sedang berada di bus! Ada dua orang yang saat ini duduk di depan mereka!
“Saatnya mengulum sekarang, Nduk.” bisik Pak Hasan.
Mata indah si cantik itu melotot! Lidya menggelengkan kepala semakin keras, ia tidak mau! Jelas ia tidak mau! Ini gila! Mereka sedang dalam bus… dalam bus… yang gelap dan sepi… dalam bus yang hampir seluruh penumpangnya tertidur. Lidya mencoba melihat sekitarnya dalam kegelapan, orang yang berada di kursi – kursi terdekat telah tidur.
“Hgghh!!!” Lidya tercekat ketika ia merasakan sentakan di selangkangannya.
“Cepat kulum penisku!!” bisikan galak mengagetkan Lidya, hardikan itu semakin mengena karena pada saat yang bersamaan Pak Hasan menyentil klitorisnya. Pria tua cabul itu telah berhasil menemukan titik kelemahan Lidya. Tubuh wanita jelita itu menggelinjang tanpa henti, kalau ia tidak segera mengulum penis sang mertua bisa – bisa ia berteriak – teriak seperti orang gila karena Pak Hasan terus menerus merangsang kelentitnya.
Dengan takut – takut Lidya melihat ke kursi sekitar sebelum membungkukkan tubuhnya dan menarik selimut mertuanya. Penis tua Pak Hasan langsung menyambut dengan tegak wanita cantik itu, Lidya bersyukur saat itu gelap sehingga dia tidak harus menyaksikan penis keriput milik pria tua cabul yang sudah sering memperkosanya. Dengan jemarinya yang lentik Lidya meraih kemaluan Pak Hasan.
“Naaah… begitu.” Pak Hasan menarik nafas penuh kepuasan.
Lidya menurunkan kepala untuk mencapai kemaluan mertuanya. Pria tua itu mulai merasakan lidah yang lembut memutari kemaluannya. Pak Hasan terkekeh keenakan. Susah sekali menahan lenguhan jika Lidya menyepongnya seenak ini. Lidah sang menantu naik turun di batang kemaluan Pak Hasan, merasakan setiap cm kulit kemaluan yang telah keriput, menjilati urat yang menegang pada benda kebanggaan Pak Hasan. Tidak perlu waktu lama bagi penis Pak Hasan untuk menegak seperti tiang bendera dan sekeras kayu.
Namun ketika Lidya tidak juga segera memasukkan penisnya ke dalam mulut, Pak Hasan mulai gusar. Melepaskan tangan kanan dari selangkangan sang menantu, Pak Hasan meraih bagian belakang kepala Lidya, menjambak rambutnya pelan dan menggiring bibirnya ke penis keriput yang telah menunggu.
Lidya benci sekali disuruh melakukan hal ini tanpa kesempatan untuk menolak. Karena dia tidak ingin ada keributan terjadi di dalam bus, si cantik itu menurut saja apa kehendak Pak Hasan. Pria tua itu terus saja mendorong kepala Lidya ke bawah, melesakkan penisnya ke dalam mulut sang menantu sedikit demi sedikit. Lidya tak mampu mengangkat kepalanya karena ditahan oleh Pak Hasan, itu sebabnya dia membiarkan ayah mertuanya memasukkan kepala penisnya ke dalam mulut.
Makin lama makin dalam penis itu melesak masuk. Pak Hasan bisa merasakan gerakan tubuh Lidya yang meronta, mulut si cantik itu megap – megap mencari udara, ia mencoba mencari nafas karena mulutnya penuh dijejali penis. Merasa kasihan, Pak Hasan memberikan kesempatan pada Lidya untuk menarik nafas selama beberapa saat. Lidya megap – megap ketika kepalanya diangkat ke atas dan berusaha menarik nafas panjang. Tapi Pak Hasan belum puas, ia membiarkan Lidya menarik nafas sebelum akhirnya melesakkan lagi penisnya dalam – dalam.
Tapi mungkin Pak Hasan memasukkan penisnya terlalu dalam. Ketika sodokan kepala penis Pak Hasan menyentuh dinding terdalam kerongkongan Lidya, si cantik itu tersedak! Pak Hasan menjambak rambut Lidya dan untuk kedua kalinya ia melepaskan penisnya dari dalam mulut sang menantu. Lidya memekik lirih ketika penis Pak Hasan lepas dari bibirnya.
“Hak…! Hak…!” Lidya terbatuk.
Bukannya berhenti setelah Lidya tersedak, Pak Hasan justru kembali mendorong kepala si jelita untuk melanjutkan sepongan pada kemaluannya. Lidya menatap Pak Hasan tak percaya, mertuanya ini sudah gila atau benar – benar tidak punya perasaan?!!
Untungnya untuk yang kali ini Pak Hasan lebih lembut, Lidya pun melanjutkan sepongannya dengan lebih pelan, ia mencoba menikmati kemaluan keriput yang sebelumnya membuatnya merasa jijik. Pak Hasan membantu menantunya menyepong dengan kecepatan tetap, lidah Lidya bergerak lincah menjilat batang dan ujung gundul penis sang mertua sebelum akhirnya menelan batang kemaluan Pak Hasan.
“Harghhh!!” Pak Hasan mencoba menahan kenikmatan yang diberikan oleh Lidya.
Setelah beberapa saat lamanya mulut, lidah dan bibir Lidya bekerja tanpa henti, Pak Hasan akhirnya bergetar… ia sudah tak kuat lagi! Sekali mengejang, penisnya melontarkan semprotan demi semprotan cairan kental ke dalam mulut sang menantu. Karena tidak bisa bernafas, Lidya terpaksa menelan cairan cinta sang mertua. Ia memejamkan mata mencoba menahan diri agar tidak muntah.
Pak Hasan menarik penisnya dari mulut Lidya dan melepaskan rambutnya. Si cantik itu mengangkat kepalanya dan merasa lega. Akhirnya selesai juga… eh?!!
Lidya yang mengira penderitaannya sudah berakhir ternyata salah besar. Jari nakal pria tua yang juga mertuanya sendiri itu kini bergerak lincah memainkan bibir vaginanya! Lidya memejamkan mata mencoba menahan rangsangan luar biasa. Tangan Lidya mencoba mendorong tangan Pak Hasan tanpa hasil. Pria tua itu masih terlampau kuat.
Pak Hasan puas sekali melihat tubuh menantunya bergetar hebat mencoba menahan kenikmatan yang terus menerus ia terima. Lidya berusaha menahan teriakannya dengan memejamkan mata dan menutup mulut dengan tangannya. Ia menggelengkan kepala karena tak kuat bertahan. Ia harus berteriak… ia ingin berteriak… ia tak tahan lagi!!!
Lidya menarik bajunya ke atas dan menggigitnya.
Akhirnya Lidya mengejang beberapa kali. Matanya melotot dan ia berteriak tertahan sambil menggigit baju untuk mengurangi suara. Cairan cinta meleleh dari dalam vaginanya. Lidya menggigil sebelum akhirnya lemas. Pak Hasan tertawa dalam hati melihat Lidya berusaha bertahan mati – matian agar tidak mengeluarkan suara. Untuk terakhir kalinya tubuh Lidya mengejang hebat dan akhirnya lemas.
Lidya menatap benci ayah mertuanya, dia membalikkan badan dan merapikan pakaiannya.
Pak Hasan mengancingkan celananya dan menepuk kepala Lidya.
“Gitu dong, Nduk.”
###
HARI PERTAMA
Lidya mengejapkan mata, sinar matahari yang sudah menembus masuk ke dalam bus menerangi wajah para penumpang yang mulai terbangun dari tidur. Tubuh Lidya terasa pegal, ia merenggangkan tangan untuk menghilangkan penat. Karena masih mengantuk, Lidya menguap. Hm, perjalanan masih jauh nggak ya? …hm… Rasanya ada yang aneh, ada yang salah. Tapi apa ya? Entah kenapa, Lidya merasa ada sesuatu janggal. Ketika akhirnya benar – benar sadar dari kantuknya, barulah Lidya tahu apa sesuatu yang salah itu, ia membuka selimut kecil yang sedang bertengger didadanya. Tangan kanan Pak Hasan masih berada di dalam behanya! Jadi semalaman pria tua itu terus saja memainkan payudara dan putingnya setelah Lidya tertidur??!! Dasar terkutuk!
Dengan sengit Lidya melepas tangan Pak Hasan dan merapikan bajunya.
“Kasar sekali kamu.” Maki Pak Hasan.
“Ini sudah pagi, aku tidak ingin ada orang yang melihat…”
Pak Hasan menguap, ia terkekeh dalam hati.
“Kita sudah hampir sampai.” Kata Pak Hasan sambil melihat jam tangannya.
Lidya mencoba mencari cara untuk menjauhkan jari jemari Pak Hasan dari buah dadanya. Ia pun berusaha mengalihkan perhatian ayah mertuanya dengan menunjuk pemandangan di luar sambil merapikan pakaiannya yang semalaman terbuka, “Desa Bapak… kenapa namanya Desa Kapukrandu?”
Pak Hasan mengeluarkan nafas panjang. “Seperti yang kamu lihat, Nduk.” Kata Pak Hasan kemudian, dia membuka tirai jendela agar Lidya bisa melihat pemandangan di jendela samping, “di sekitar sini tanah kering, namun justru di tempat kering seperti ini pohon kapuk randu tumbuh subur. Nama pohon itulah yang yang jadi asal muasal nama desa.”
Desa Pak Hasan bernama Desa Kapukrandu, dinamakan demikian karena di sepanjang perjalanan menuju desa, pohon – pohon besar kapuk randu berjajar di sisi jalan membentang hingga jauh. Karena ditumbuhi oleh banyak pohon kapuk randu, selain bertani dan berternak, usaha kebun kapas pun menjadi penghasilan utama masyarakat desa. Desa Kapukrandu sendiri adalah tempat yang asri dan hijau, berbeda dengan tempat ini. Tanah di Desa Kapukrandu subur dan hawanya sejuk karena dikelilingi oleh perbukitan yang menghijau.
“Pohon kapuk randu?” tanya Lidya kembali sambil memperhatikan sepanjang jalan yang dilalui oleh bus, pohon – pohon besar berdiri tegak menyambut mereka di sepanjang jalan. Pohon – pohon besar yang menaungi daerahnya bagaikan payung raksasa dengan dahan – dahan yang menjorok ke langit.
“Biasa disebut juga Kapas Jawa. Tinggi pohon yang besar bisa mencapai 65 bahkan 70 meter, begitu besarnya, hingga garis tengahnya kadang mencapai dua meter.” Lanjut Pak Hasan menjelaskan. “dulu sekali aku sering memotong kayunya.”
Ketika angin bertiup, sebagian serat biji Kapuk Randu lepas dari cangkangnya, terbang berputar mengikuti arah angin. Ribuan serat yang lepas menghujani jalanan bagaikan salju yang tiba – tiba muncul di pagi yang cerah. Bis kecil yang melintasi jalan pun melaju seperti disambut hujan kapas oleh para penghuni hutan kapuk randu.
“Di sini anginnya kencang, begitu juga Desa Kapukrandu. Kalau di kampung hawanya lebih sejuk karena tempatnya berada di lembah perbukitan yang mengitari.” Kata Pak Hasan sambil memperhatikan dahan – dahan pohon yang bergoyang dan serat kapuk yang berterbangan kesana kemari.
Ketika melirik ke arah menantunya yang kagum melihat pemandangan menuju desa yang indah, Pak Hasan justru mengagumi kecantikannya yang natural. Lidya memiliki hidung mancung yang seperti seluncur dan pipi putih mulus menggemaskan. Alis matanya runcing alami bertengger di atas sepasang mata bulat yang tajam dan indah.
Pak Hasan menekuk lehernya sedikit untuk mendekatkan kepalanya ke arah kepala Lidya.
“Jadi berapa lama lag…”
Dengan satu gerakan pelan Pak Hasan mencium bibir mungil Lidya yang kaget. Mata si cantik itu terbelalak karena ciuman mertuanya begitu tiba – tiba. Lidya tak sempat mengelak dan menolak, lagipula gerakan sedikit apapun akan mengakibatkan kecurigaan tak penting dari kernet atau penumpang lain. Satu – satunya yang bisa dilakukannya adalah pasrah.
Pasrahnya Lidya membuat Pak Hasan leluasa mengulum bibir merah menantunya. Bibir mungil si manis itu sangat menggemaskan, sisa lipstik yang tadi sempat disapu lembut masih sedikit terasa. Tak mau berhenti begitu saja, Pak Hasan mengeluarkan lidahnya untuk merajai bibir Lidya. Lidah itu bergerak liar bagai seekor ular menggeliat di atas bibir sang menantu, menjilat dan menusuk ke dalam. Lidah Pak Hasan berusaha menemui pasangannya, lidah Lidya yang masih bersembunyi di lorong mulut.
Tak perlu waktu lama bagi lidah Pak Hasan untuk menemukan lidah Lidya, keduanya langsung bertaut dan menarik pasangannya, berpagut bagai saling merindu. Lidya tidak menduga dia akan menerima saja dicumbu seperti ini.
Pagutan Pak Hasan baru lepas ketika seorang penumpang berjalan ke belakang menuju kamar kecil. Pria tua itu menggerutu sementara Lidya menarik nafas dan bersyukur. Seperti apa kira – kira nasib empat harinya di Desa Kapukrandu?
Empat hari di Desa Kapukrandu. Dimulai hari ini.
###
Desa Kapukrandu yang berada di pelosok tentunya tidak dilewati oleh bus malam. Pak Hasan dan Lidya harus turun di pinggir jalan, tepatnya di sebuah pertigaan dimana terdapat jalan kecil menuju desa. Karena jaraknya masih jauh, keduanya harus memilih menggunakan ojek atau angkutan pedesaan yang biasa disebut angkudes. Saat itu kebetulan tidak ada ojek yang berada di pangkalannya, hingga Pak Hasan dan Lidya harus menanti angkudes.
Perjalanan menggunakan angkudes tidak membutuhkan waktu lama. Sekitar seperempat jam Lidya dan Pak Hasan telah sampai di tempat tujuan yaitu rumah Pak Raka, salah seorang sahabat Pak Hasan yang pada saat yang sama kebetulan pergi ke kota sekeluarga. Selama empat hari mereka akan tinggal di rumah sahabat Pak Hasan ini.
Rumah yang akan ditinggali adalah sebuah rumah sederhana namun rapi, dengan empat kamar tidur, kamar mandi dalam dan air dari sumur pompa. Bu Raka berbaik hati membelikan satu tabung gas ukuran kecil seandainya Lidya atau Pak Hasan ingin memasak. Tetangga terdekat berjarak beberapa meter saja, seorang diantaranya menyambut kedatangan Pak Hasan dan Lidya dengan gembira.
“Mbak Mirah. Sudah berapa lama ya kita tidak ketemu.” Kata Pak Hasan sambil bersalaman dengan tetangga yang menyambut. Orangnya gemuk, berwajah ramah dan suka sekali tertawa. Hanya dengan sekali lihat saja Lidya tahu wanita ini adalah orang yang baik dan sederhana, ia mengenakan daster besar dan memakai selendang, sepertinya memiliki seorang anak yang masih balita karena ia membawa piring plastik berisi bubur.
“Iya nih, Pak Hasan sudah lama sekali pergi ke kota. Di sana betah ya, Pak? Eh, ini siapa, Pak?” tanya Mbak Mirah sambil menunjuk Lidya.
“Ini mantuku. Istrinya Andi, namanya Lidya.”
“Ya ampun, istrinya Mas Andi to… walah walah cantiknya… kok bisa – bisanya Mas Andi menikah dengan orang secantik ini ya? Saya Mirah, Mbak. Tetangga Pak Raka – yang rumahnya kalian pinjam ini. Kebetulan beliau menitipkan kunci rumah sama saya. Mbak Lidya ini bintang sinetron atau apa ya? Kok cantik banget?”
Lidya tersenyum ramah menyambut salam perkenalan itu. “Saya bukan bintang sinetron mbak.”
“Lho? Bukan bintang sinetron? Wah, sayang cantiknya lho, Mbak… maaf ya, Mbak. Aku kira bintang sinetron atau film atau iklan gitu. Coba saja mendaftar ke sinetron mbak. Pasti diterima jadi bintangnya….”
Lidya baru sadar kalau Mbak Mirah ini tentunya seorang ibu rumah tangga yang hiburan terbaiknya adalah tayangan sinetron stripping yang disiarkan tiap malam oleh tv swasta. Lidya membalas ucapan Mbak Mirah dengan tertawa kecil.
“Kuncinya, Mbak?” tanya Pak Hasan sopan.
“Oh iya, bentar, Pak. Saya ambilkan dulu di dalam rumah… bentar ya. Tunggu saja di teras. Saya susul kesana.” Usai mengatakan itu, Mbak Mirah lari ke rumahnya.
Pak Hasan dan Lidya duduk di teras rumah Pak Raka.
“Jadi bagaimana pendapatmu tentang desa ini?” tanya Pak Hasan sambil duduk di kursi yang ada di teras. Ia mengeluarkan nafas panjang, lega sudah sampai di tempat tujuan.
Lidya mengerutkan kening, tumben – tumbenan pria tua cabul ini bertanya seperti itu. “Memangnya bapak peduli dengan pendapatku?”
“Tidak.” Pak Hasan mengangkat bahu. “Aku tidak peduli. Yang penting aku akan menidurimu setiap malam selama kita ada di desa ini.”
Lidya mendengus kesal. Dasar bajingan.
###
HARI KEDUA
Malam telah larut dan desa sudah sepi. Tapi di sebuah pos siskamling di ujung sawah, suara tawa cekakakan memecah kesunyian. Tawa yang berasal dari empat orang yang duduk bersila di dalam pos siskamling dan asyik bermain gaple. Pos siskamling ini terletak tak jauh dari rumah Pak Raka, rumah tempat Pak Hasan dan Lidya sementara tinggal.
Pos siskamling itu berada di ujung terluar sawah yang membentang beberapa hektar, agak terpisah dari jalan kampung. Posisinya yang pas berada di mulut jalan setapak menuju hutan kapuk randu menjadi salah satu alasan dibangunnya pos di tempat itu. Atau setidaknya itulah alasan mahasiswa KKN yang membangunnya. Kini pos itu sudah jarang digunakan untuk ronda karena di desa sudah dibangun pos yang baru dan letaknya yang terlalu jauh.
Pak Hasan membanting kartu dominonya. “Payah nih Ecep ngocoknya! Masa dari tadi aku dapatnya balak enam melulu?”
Ecep, Edi dan Eko tertawa hampir bersamaan. Keempat orang ini adalah kawan lama, walaupun tiga orang kawan Pak Hasan usianya jauh lebih muda darinya. Malam ini Pak Hasan sengaja menyempatkan diri untuk bermain gaple bersama dengan ketiga sahabatnya untuk mengenang masa lalu.
…sekaligus berharap dapat meraup uang.
Ya, keempatnya memang dikenal hobi judi domino atau gaple. Sejak awal permainan, Pak Hasan sudah menderita kekalahan. Ia bahkan harus merelakan uang saku dari Andi lepas dari tangannya. Agak bahaya juga seandainya ia tidak bisa memenangkan kembali uang itu, karena uang saku dari Andi rencananya akan dipakai untuk membayar hutang pada Koh Liem besok. Koh Liem adalah tengkulak dan tuan tanah yang cukup disegani di Desa Kapukrandu dan ketiga orang yang saat ini bersama Pak Hasan dikenal sebagai anakbuahnya.
“Ngomong – ngomong, Pak… siapa cewek yang Pak Hasan ajak itu?” tanya Eko. “Cantiknya gila, bodynya juga mantap. Tadi pagi aku lihat dia jalan – jalan ke pasar pojok. Segerrr beneerrrr… Boleh nih kalau dia dibagi – bagi?”
Kata – kata Eko itu langsung disambut gelak tawa dua temannya yang lain. Pak Hasan hanya tertawa kecil.
“Heh, jangan ngawur. Dia itu istrinya Andi. Dia itu menantuku.”
“Wah hebat punya menantu sebahenol itu. Bisa juga Andi milih cewek. Tapi… Andi kan nggak ada, Pak? Kalau bisa sih tetap dibagi – bagi.” Balas Eko yang kembali disambut gelak tawa Edi dan Ecep. Eko memang tidak bisa melepaskan pandangan sejak pertama kali berjumpa dengan Lidya. Kecantikannya yang natural dan tubuhnya yang indah membuat Eko panas dingin.
“Hm… mungkin itu bisa diatur?” Pak Hasan terkekeh, sebuah rencana menyeruak memasuki ruang pikirannya yang kotor. “Coba aku pulang dulu, aku tanyakan ke dia.”
Pak Hasan langsung meninggalkan ketiga kawannya dan bergegas pulang ke rumah. Entah nasib buruk apa yang selalu menggelayuti Lidya, kebetulan si cantik itu sedang menyapu teras rumah. Rambutnya yang panjang diikat kucir kuda, pakaian yang dikenakan hanyalah daster tipis sederhana, namun karena pada dasarnya ia memiliki pesona, kecantikan Lidya menerawang sampai jauh. Seakan – akan ada cahaya keemasan keluar dari tubuhnya yang indah. Pak Hasan yang sudah beberapa kali menyetubuhi menantunya itu masih tidak percaya ia bisa meniduri wanita seindah ini.
“Nduk.” Panggil Pak Hasan menghampiri Lidya.
“Ya.” Balasan keluar dari mulut yang terbuka tipis tanpa semangat.
“Berhubung ada kamu di sini, aku mau minta bantuan, Nduk.” Kata Pak Hasan sambil menatap mata menantunya dengan tajam. Ia menarik bagian atas lengan Lidya dan memegangnya erat – erat supaya Lidya menanggapinya dengan serius.
“Ba – bantuan apa?” Lidya menatap mata mertuanya dengan takut – takut. Begitu eratnya pegangan Pak Hasan pada lengannya sampai – sampai sapu yang sedang ia pegang terpaksa ia jatuhkan ke lantai.
“Yah, kamu kan tahu aku baru saja darimana? Teman – teman lamaku itu mengambil cukup banyak uang yang diberikan Andi. Kita harus memenangkannya kembali, uang itu aku butuhkan untuk membayar hutang besok. Aku mau kamu datang dan membantu…”
Lidya tahu Pak Hasan pergi bermain kartu di pos kamling, tapi ia tidak tahu apa yang dimaksud mertuanya itu. “Mengambil cukup banyak uang??? Maksud Bapak??”
“Judi.”
Lidya menepuk dahinya dengan kesal. “Judi?!! Bapak memakai uang Andi untuk judi?!! Astaga…!!”
“Makanya bantu aku memenangkannya.”
“Tidak mau! Aku tidak mau membantu Bapak kalau untuk alasan seperti itu… aku tidak mau berjudi!”
“Aku tidak menyuruhmu berjudi. Aku menyuruhmu membantuku mengambil kembali uang Andi yang mereka ambil. Itu sama sekali tidak ada hubungannya dengan judi.”
“Maksudnya…?”
“Aku ingin kamu mengalihkan perhatian ketiga temanku itu.”
Lidya mengernyit heran, “Memang bagaimana caranya?”
“Kamu diam saja kalau mereka menggerayangimu, kalau perlu kau rayu mereka supaya mau menyentuh tubuhmu. Dengan begitu perhatian mereka teralih dari permainan ke kamu.”
Kata – kata itu bagaikan guntur yang membelah lautan di batin Lidya. Merayu teman – teman judi mertuanya! Dia pikir dia ini siapa? Pelacur yang bisa dipesan dan dibagikan kapan saja? Siapa pula Pak Hasan pikir dirinya itu? Germo yang menawarkan pelacur? Lidya menggerutu kesal. Dia ini menantunya!
“Aku tidak mau melakukannya! Gila!” tolak Lidya tegas.
Pak Hasan menggaruk kepalanya, “kenapa?”
“Jelas jawabannya tidak! Sadar dong, Pak. Aku ini menantumu sendiri, masih menikah dengan Andi, anakmu! Sekarang Bapak ingin aku merayu orang – orang yang tidak aku kenal demi uang judi? Aku tidak sudi! Apa yang pernah aku lakukan di mal dan pasar dulu sudah keterlaluan, aku tidak ingin melakukannya lagi.”
“Betul sekali. Tapi coba pikirkan ini baik – baik… jika Andi tahu apa yang terjadi pada dirimu, pada hubungan kita berdua, pernikahanmu yang sempurna akan hancur berantakan. Siap menerima resiko itu? Aku sih tidak ada masalah…”
Kata – kata Pak Hasan menohok Lidya. Wajah si cantik itupun berubah seratus delapanpuluh derajat.
“Kumohon, Pak… jangan lakukan ini… kalau Mas Andi sampai tahu…” rengek Lidya. Wajah pasrah dan kalah sang menantu membuat Pak Hasan makin berani menekan sang menantu. Si cantik itu jelas tidak ingin semua yang telah dilakukannya diketahui oleh Andi dan itu selalu menjadi kartu as bagi Pak Hasan.
“Sebenarnya sih semua terserah padamu, Nduk. Kalau kamu membantuku mendapatkan uangku kembali serta mendapatkan keuntungan tambahan, maka semua akan baik – baik saja. Teman – temanku itu juga bisa dipastikan tidak akan memberitahu Andi. Tapi kalau kamu tidak mau, ya terpaksa kita beritahu saja Andi apa yang sebenarnya terjadi. Begitu saja kok repot.”
“Kumohon, Pak….” Lidya masih terus merengek. “Aku mau melakukan apa saja asal jangan yang seperti itu…”
Terus menerus ditolak Lidya membuat Pak Hasan menunjukkan wajah yang sangat masam. Pria itu mendengus kesal dan dengan geram melempar gelas yang ia ambil dari atas meja teras, menumpahkan sisa kopi yang tadi sore dibuatkan oleh Lidya dan berjalan kembali ke arah pos siskamling meninggalkan Lidya yang berdiri dalam kegamangan. Pria tua itu sempat melihat Lidya menghapus tetes air mata dari pipinya. Melempar gelas itu hanya tipuannya saja supaya terlihat marah, ia bisa melihat Lidya ketakutan melihatnya mengamuk. Masalah mengganti gelas punya Bu Raka sih masalah gampang.
Lidya memunguti pecahan gelas yang tadi dilempar Pak Hasan dengan hati – hati, si cantik itu menimbang – nimbang sebentar apa yang harus dilakukan. Ia menggeram marah dan dengan langkah jengkel berjalan menuju pos siskamling setelah mengunci pintu rumah. Tak ada jalan lain, dia harus menurut pada mertuanya. Pos ronda tempat Pak Hasan dan teman – temannya bermain judi berbentuk balai – balai dengan empat kaki penyangga dan tiga sisi tertutup dinding kayu hingga langit – langit. Bagian depannya terbuka tiga perempat dengan separuh dinding bagian atas terbuka.
Kawan – kawan judi Pak Hasan adalah begundal dan preman desa, mereka dikenal dengan nama Eko Tompel – si gondrong kurus berhidung pesek yang memiliki tompel besar berambut di pipi, Edi Gagap – yang gundul dan bertubuh besar namun kurang lancar bicara, serta Ecep Sumbing – si penderita bibir sumbing yang tidak pantas dikasihani.
Ketiga orang kawan lama Pak Hasan ini membuat Lidya bergidik, ketiganya sangat lusuh dan kotor karena jarang mandi. Bau ketiganya juga membuat menantu Pak Hasan itu ingin muntah. Ketika melihat sosok wanita jelita itu datang, ketiga orang itu langsung mengamati Lidya dari atas ke bawah seperti hendak menelannya hidup – hidup. Desa Kapukrandu tentu tidak kehabisan stok warga yang cantik, tapi karena Lidya adalah wanita yang luar biasa mempesona maka penampilannya membuat Edi, Eko dan Ecep menahan nafas. Tubuhnya yang indah dan wajahnya yang cantik menjadi perhatian warga sejak kedatangannya bersama Pak Hasan di desa ini.
“Bapak – bapak sekalian, kenalkan ini menantu saya, namanya Lidya.” Kata Pak Hasan sambil tersenyum bangga. Dia mengedipkan mata pada Eko, Ecep dan Edi penuh arti. Karena sudah lama bergaul dengan Pak Hasan maka ketiganya langsung mengerti apa maksud Pak Hasan. Lidya melihat kedipan Pak Hasan pada tiga temannya, tapi dia tidak tahu apa artinya. Tanpa ia sadari, sesungguhnya Lidya telah jatuh ke perangkap maut yang sudah bertahun – tahun dipraktekkan oleh keempat orang ini pada gadis – gadis desa atau istri warga kampung yang terlalu lugu.
“Wah, ca – ca – ca – cantiknya menantu Pak Hasan! Sungguh beruntung Andi mendapatkan istri semacam ini… kalau yang seperti ini, a – a – a – aku juga mau!” kata Edi Gagap. Walaupun gagap, apa yang diucapkan Edi kadang keluar tanpa ia pikir dulu.
“Nyantik…” sambung Ecep. Karena sumbing, dia jarang bicara. Lidya biasanya merasa kasihan pada penderita bibir sumbing, tapi Ecep bukan orang seperti itu, tubuhnya yang hitam kekar nyaris penuh oleh tatto dengan bentuk tidak jelas karena gambarnya tumpang tindih. Lidahnya yang panjang menjilat – jilat bibirnya sendiri ketika melihat sosok Lidya yang seksi. Pandangan mata Ecep tajam menghujam mata Lidya yang ketakutan.
“Afa liat – liat?!!!” bentak Ecep.
“Ti – tidak… aku tidak… aku tidak…” Lidya mundur teratur mendengar bentakan Ecep, ia tidak ingin dianggap menghina bibirnya yang sumbing hingga membuat orang menyeramkan itu tersinggung. Tapi belum sempat Lidya kabur, tangannya sudah dipegang oleh Eko.
“Sini… sini, Nduk… jangan takut. Kenalkan namaku Eko. Kalau di desa sini sering dipanggil Eko Tompel. Dua temanku ini Edi Gagap sama Ecep Sumbing.” Tanpa rasa malu Eko menarik tangan Lidya, dengan berani dia bahkan mendudukkan Lidya sangat dekat dengannya. Tubuh mereka seakan tidak ada jarak, Lidya duduk tepat di tepat di depan Eko yang bersila. Dengan berani Eko memeluk tubuh Lidya yang kebingungan dari belakang.
“Ja – jangan kurang ajar…!” bentak Lidya takut – takut. Ia menundukkan kepala karena tidak berani beradu pandang dengan Pak Hasan yang melotot di hadapannya.
“Kurang ajar kenapa? Kamu mau pilih duduk sama siapa? Ecep? Atau Edi? Boleh saja…”
Lidya menggeleng, dari ketiga orang teman Pak Hasan, sepertinya Eko yang paling normal.
“Ini, coba kamu aja yang pegang kartu aku…” kata Eko sambil mendekatkan kepalanya ke samping kepala Lidya. Uuh, begitu baunya tubuh Eko sampai – sampai Lidya enggan menarik nafas karena akan langsung tercium bau tidak sedap, apalagi mereka terlalu berdekatan. Nafas orang yang jarang sikat gigi bukan nafas yang pantas dipamerkan batin Lidya, apalagi nafas Eko juga berbau alkohol bercampur rokok. Rambut Eko yang keriting gondrong sepertinya juga tidak terurus, membuatnya semakin tidak sedap dipandang apalagi dibau.
Posisi Lidya terus ditarik oleh Eko hingga kini duduk tepat di depannya. Si cantik itu awalnya bersimpuh namun kini terpaksa duduk bersila dengan kaki Eko mengapit paha kanan dan kirinya. Si tompel itupun dengan santai memeluk tubuh Lidya dari belakang dan menyuruhnya memegang kartu. Ketika Lidya menolak, kedua tangannya dipegang erat oleh Eko hingga tak bisa digerakkan. Begitu dekatnya tubuh mereka sehingga Lidya bisa merasakan ada tonjolan yang makin lama makin besar di selangkangan Eko. Tonjolan itu menyentuh sisi kanan pantatnya membuat Lidya bergelinjang jijik.
Lidya mencoba mencari bantuan, namun Pak Hasan sepertinya tidak peduli apa yang dilakukan oleh Eko Tompel pada menantunya. Setelah Lidya tidak bisa melakukan protes lagi, keempat pria yang ada di pos kamling itu melanjutkan permainan kartu domino mereka. Laki – laki buruk rupa yang ada di belakang Lidya makin berani, ia menempelkan dadanya ke punggung si cantik. Tangan Eko juga mulai nakal sesekali mengelus – elus paha mulus Lidya. Si cantik itu mengutuk dirinya sendiri karena memutuskan memakai daster malam ini. Dengan berani Eko mengendus harum rambut panjang Lidya sementara tangannya bergerilya di pahanya.
“Kucirnya aku lepas saja, ya?” tanya Eko.
Lidya mengangguk.
“Kamu lebih cantik jika rambutnya digerai.” Kata Eko sambil melepas kucir rambut Lidya.
Tubuh Lidya mulai bergetar karena takut. Pak Hasan sepertinya sudah tidak mempedulikan dirinya lagi, ia tidak ambil pusing apa yang dilakukan oleh Eko padanya. Namun berkat kehadiran Lidya, pria tua itu berhasil memenangkan satu putaran karena Eko sudah tidak bisa berkonsentrasi. Eko Tompel sendiri bagaikan raja karena dibiarkan bebas mengerjai tubuh Lidya. Ketika si pesek itu mengenduskan hidungnya yang rata ke tengkuk Lidya, tubuh si seksi itu langsung bergetar hebat. Makin berani, Eko mencium leher Lidya sementara tangannya makin naik menyusur paha sambil mengangkat dasternya sedikit demi sedikit.
“Jangan…..” bisik Lidya pada Eko. “Jangan, aku…”
Tapi kucing mana yang akan berhenti jika sudah mendapat suguhan ikan? Bibir Eko melaju tanpa henti di leher dan bahu Lidya. walaupun menolak, tidak bisa dipungkiri kalau dijadikan mainan seperti ini membuat Lidya lama kelamaan sedikit terangsang terutama pada saat Eko menggunakan gigi untuk melepas tali daster menuruni bahunya yang mulus. Lidya menggelengkan kepala seakan jika ia melakukan hal itu ia sanggup menghapus nikmat yang diberikan pria buruk rupa di belakangnya. Eko menggunakan gigi karena tangannya masih sibuk menghajar paha Lidya. Si cantik itu memejamkan mata ketika ia merasakan selangkangan Eko mulai bergerak maju menumbuk pantatnya berulang.
Pak Hasan, Edi dan Ecep menahan tawa geli ketika melihat Lidya mulai gelisah antara keenakan, takut dan malu. Tanpa bisa ditahan, Lidya menggerakkan pantatnya ke belakang secara reflek. Eko tambah bersemangat, ia mengangkat bagian bawah daster si cantik itu sedikit demi sedikit, semakin lama semakin naik dan makin menunjukkan celana dalam yang dikenakannya. Kini Edi dan Ecep bisa melihat jelas underwear berwarna merah jambu yang dikenakan menantu Pak Hasan yang seksi. Mata keduanya tidak bisa lepas dari belahan yang nampak di bagian bawah celana dalam itu.
Pak Hasan mengedipkan mata pada Eko yang langsung dibalas dengan anggukan kepala. Lidya yang memejamkan mata tak bisa melihat kode dari Pak Hasan kepada Eko itu.
Tanpa menunggu lama Eko mengelus bagian terbawah dari celana dalam Lidya. Menyentuhnya pelan dan menggeseknya dengan lembut.
“Oooooohhhhh….. essstttt…..” Lidya mendesis penuh nikmat ketika Eko menyentuh kemaluannya yang masih tertutup celana dalam. Ia tidak bisa bertahan dan menjatuhkan kartu – kartu Eko yang sebelumnya ia pegang.
Melihat Lidya sepertinya sudah jatuh ke dalam jebakan nafsu, Edi dan Ecep melepas kartu mereka dan maju dengan air liur menetes ke arah Lidya. Keduanya tak ingin ketinggalan menikmati tubuh seksi Lidya, Ecep yang meyukai perut yang rata dan ramping meraba dan mengelus perut Lidya. Sementara Edi lebih berani lagi, si gagap itu sudah tak tahan melihat ranumnya bibir Lidya dan memutuskan untuk menciumnya. Bibir manis Lidya dikulum oleh bibir tebal Edi Gagap. Bau mulut yang jarang sikat gigi begitu busuk terasa di mulut Lidya. Jika si cantik itu merasa jijik, sebaliknya Edi gembira sekali bisa merasakan bibir ranum milik istri Andi, bibir milik seorang wanita yang seharusnya tidak bisa dijamah sama sekali.
Lidya yang merasa jijik diserang oleh tiga orang secara bersamaan menolak bibir Edi. “Aku tidak mau! Jang…”
Belum selesai Lidya mengucapkan kata – kata, Edi menarik kepalanya dan kembali menciumnya. Kali ini rangsangan dari semua arah membuat Lidya tak kuat bertahan, dengan tidak mempedulikan bau yang ia cium, Lidya membalas ciuman Edi. Si gagap itu bahagia sekali.
Tangan Ecep pun tak kalah nakal, melihat Edi berhasil mendapatkan bibir Lidya, Ecep menyerang payudaranya. Tangan Ecep menggerayangi buah dada Lidya yang masih berada di balik daster. “Euuuuuhhhh…” Serangan Ecep membuat Lidya melenguh keenakan di sela – sela ciuman Edi.
Melihat Edi telah mencium bibir Lidya dan Ecep menggerayangi payudara si cantik itu, Eko Tompel segera memasukkan jemarinya ke balik celana dalam Lidya untuk menyentuh kemaluannya. Bibir vagina Lidya sudah basah oleh cairan pelumas yang keluar karena rangsangan bertubi ketiga preman membuat Eko makin girang. Dengan lancar Eko melesakkan jari tengahnya ke dalam memek Lidya.
“Huaagghhh!!! Uuuhhh!! Hiikkkghhh!!!” Lidya mengembik mencoba menolak semua yang menyerangnya, ia tidak bisa bergerak karena tiga orang teman Pak Hasan menghajarnya tanpa henti, membuat tiga bagian tubuh utamanya merasa keenakan. Sementara jari Eko bergerak lincah menusuk – nusuk vaginanya, pantat Lidya digerakkan maju mundur dengan gerakan seirama.
Tiba – tiba saja…..
“Hei, hei, hei… kalian mau ngapain? Itu menantuku.”
Suara itu menggelegar menghentikan semua gerakan yang dilakukan oleh Edi, Eko dan Ecep. Lidya terengah – engah di tengah mereka, bajunya sudah acak – acakan, sebagian besar terbuka dan memperlihatkan tubuhnya yang putih mulus. Pak Hasan yang duduk tenang di depan mereka tersenyum jumawa sambil mengocok kartu domino yang ia pegang.
“Walaupun aku tahu menantuku itu seksi dan kalian sangat ingin bisa memasukkan kontol ke memeknya, tapi maaf… aku tidak bisa menyerahkan dia pada kalian.” kata Pak Hasan.
“Yaaa, kok gitu sih, Pak?” Eko melepas cengkramannya pada Lidya dengan kecewa.
“Nyanggung amat niyh, Pak.” Sambung Ecep.
“Pa – padahal tadi i – i – ini kan su – su – sudah hampir…” Edi terduduk menahan kesal.
“Jangan sedih gitu dong, jangan khawatir. Kita kan kawan lama? Aku punya tawaran lain untuk kalian bertiga.” Pak Hasan mengeluarkan rokok dari kantongnya dan menyalakannya. “Begini lho, Lidya ini kan menantuku sendiri, aku tidak bisa membiarkan Andi sedih melihat istrinya dijadiin lonthe sama orang – orang kampung sini. Jadi kalian tidak boleh menyentuhnya…”
Edi, Eko dan Ecep mengeluh bersamaan, nafsu mereka hilang dalam sekejap.
“Hahaha, sudah aku bilang jangan sedih begitu, aku ada pengecualiannya untuk kalian. Supaya seru, kita bikin permainan. Bagaimana?” Pak Hasan terbahak sambil menarik Lidya dari kepungan ketiga kawannya. Untuk pertama kalinya malam ini, Lidya merasa lega sudah diselamatkan, tapi… permainan apa yang dimaksud Pak Hasan, ya?
“Kita lanjutkan permainan domino ini. Orang yang memenangkannya akan aku ijinkan menyentuh Lidya, hanya saja tidak boleh melakukan dikenthu. Kalau aku yang menang, permainan dibatalkan.” Pak Hasan menyeringai penuh kemenangan. “Tapi ada syaratnya, kalau kalian mau menerima tantanganku ini, kalian harus membayarnya dengan semua uang yang kalian bawa malam ini. Anggap saja untuk biaya administrasi…” Pak Hasan tertawa terbahak – bahak.
Lidya menggemeretakkan giginya dengan kesal. Ternyata belum selesai.
Edi, Eko dan Ecep saling berpandangan. Mereka mengangkat bahu dan berbisik – bisik kecil, lalu ketiganya mengangguk dan tertawa bersama. Mereka mengosongkan isi kantong dan memberikannya pada Pak Hasan.
“Dasyar merytua gila.” Geleng Ecep sembari tertawa.
“Si – si – sial, padahal ma – ma – malam ini aku bawa uang banyak.” Sambung Edi yang langsung menguras isi dompetnya.
“Tidak masalah! Kita kan temen lama, Pak. Atur aja dah.” Kata Eko yang langsung melemparkan dompetnya ke depan Pak Hasan. “Ambil berapapun Pak Hasan mau. Tapi kita juga butuh jaminan nih. Bagaimana kalau Pak Hasan minta menantunya yang cantik ini untuk membuka baju?”
“Bisa…. bisa…” Pak Hasan lalu menatap Lidya dengan galak. “Buka.”
Lidya menggeleng ketakutan. Tadinya ia merasa sudah diselamatkan, sekarang? Ia merasa seperti binatang tak berdaya yang sedang diumpankan kepada para pemburu.
“Aku bilang buka!” hardik Pak Hasan.
Lidya kembali menggeleng.
Mata Pak Hasan melotot melihat Lidya menolak membuka baju. Awalnya dia emosi karena Lidya melawan perintahnya, tapi kemudian dengan tenang Pak Hasan menyunggingkan senyum. “Aku akan memberikan pilihan, Nduk. Mana yang akan kau pilih? Buka baju sendiri atau aku minta mereka bertiga ini merobek – robek dastermu dan kamu akan pulang ke rumah tanpa sehelai benangpun?”
Lidya menundukkan kepala. Lagi – lagi dia tidak bisa membantah.
Dengan perasaan kalah, Lidya membuka dasternya. Ketika daster itu luruh ke tanah, Edi, Eko dan Ecep bertepuk tangan kegirangan. Tubuh Lidya kini hanya tinggal dibalut oleh pakaian dalam berwarna merah jambu. Melihat tatapan galak Pak Hasan, Lidya melanjutkan aksinya membuka baju. Dalam hati Lidya, ada sedikit perasaan ingin berbuat nakal di hadapan mertua dan ketiga temannya. Lihat saja Edi, Eko dan Ecep, seperti anak kecil yang berlomba untuk melihat mainan baru.
Lidya akhirnya melepas kait behanya dan menurunkan celana dalamnya.
Edi, Eko dan Ecep berteriak – teriak senang karena pada akhirnya bisa menyaksikan tubuh seksi Lidya tanpa balutan seutas benang pun. Ini benar – benar kecantikan yang sempurna karena dengan atau tanpa pakaian, Lidya sangat mempesona. Si cantik itu menundukkan kepala karena malu, wajahnya memerah.
Setelah Lidya telanjang, permainan dimulai kembali, kali ini Edi, Eko dan Ecep bermain dengan sungguh – sungguh. Tidak ada yang ingin melewatkan tubuh Lidya yang seksi itu walaupun hanya bisa menyentuh tanpa melakukan eksekusi. Sekali dua kali mereka yang bermain melirik ke arah tubuh Lidya.
Lidya yang lemas duduk di pojok pos siskamling. Memperhatikan empat orang pria sedang bermain domino untuk memperebutkan dirinya. Tidak pernah ia bayangkan selama hidup bahwa pada suatu ketika ia akan melayani tiga orang lelaki dari desa terpencil.
“Dingin?” bisik Pak Hasan lembut di tengah – tengah permainan.
Lidya mengangguk, ia memang tengah menggigil. “Di… dingin…”
“Coba pakai ini.” Pak Hasan melepas jaketnya yang tebal dan memberikannya pada Lidya. “Aku sudah pakai baju dobel.”
Terkejut juga Lidya menyaksikan mertuanya. Tumben sekali dia baik?
Sesaat kemudian Pak Hasan kembali asyik bermain, lupa pada Lidya yang kini mengenakan jaketnya. Untuk sesaat itu, Lidya merasakan kehangatan melebihi apa yang pernah ia rasakan. Sisi yang belum pernah ia lihat dari Pak Hasan. Untuk pertama kalinya, ia ingin memberikan semangat pada ayah mertuanya. Ia ingin Pak Hasan yang menang.
Tapi setelah beberapa putaran ternyata Eko Tompel yang memenangkan permainan.
Begitu menang Eko langsung melepas celananya. “Aku sudah tidak sabar lagi!” teriaknya penuh nafsu. Lidya langsung ketakutan melihat bentuk kemaluan Eko. Penis Eko sangat hitam dengan urat kemerahan melingkarinya, bentuknya agak bengkok dengan tonjolan – tonjolan di sekeliling batang yang besar. Rambut kemaluan Eko yang dibiarkan tumbuh tak teratur menambah kesan kotor pria itu.
Eko tidak mau berlama – lama, ia menarik Lidya yang ketakutan ke bagian tengah pos kamling. Lidya dibaringkan di tengah sementara Eko naik ke perut Lidya dan duduk di sana. Lidya berusaha meronta dan memukul dada Eko, namun pria bertompel itu lebih kuat darinya. Dengan mudah ia mengunci tubuh Lidya dan melepas jaket Pak Hasan yang melindungi bagian atas tubuh si molek.
“Tak ada memek, susupun jadi.” Kata Eko sambil menjilat lidah penuh nafsu melihat payudara Lidya.
“Tidak… aku tidak mau… aku tidak mau… aku tidak mauuuu…!!!” Lidya menjerit panik. Tapi Edi dan Ecep memeganginya dengan erat sehingga si cantik itu sama sekali tak mampu menggerakkan tubuh. Eko Tompel meletakkan penisnya di antara buah dada Lidya dan mulai bergerak maju mundur dengan teratur. Lidya menggelengkan kepala tak percaya, Eko tengah memperkosa buah dadanya! Penisnya kini digesekkan di dada Lidya, tepat di antara kedua payudaranya. Tangan Eko meremas susu Lidya dan mencoba mempertemukan kedua balon buah dada si cantik itu.
“Hghhh! Haghhhhh!! Hnghhh!!!” Lidya menghembuskan nafas setiap kali ujung gundul penis Eko bertumbuk dengan dagunya karena pada saat itulah beban tubuh Eko menekan dadanya. Ia meringis karena remasan tangan Eko menyakiti payudaranya. Air mata menetes perlahan dari pelupuk mata indahnya. Tidak hanya menyakitinya, tapi penisnya yang kotor itu membuat Lidya begitu jijik. Lidya meronta sejadi – jadinya tapi tanpa hasil, sementara Eko demikian bernafsu menungganginya.
Tiba – tiba saja…
“Haaaaaaaakkkkkhhh!!!” Mata Lidya melotot seakan ingin keluar dari lubangnya. Si molek itu menggeram karena merasakan sakit yang amat sangat di liang cintanya.
Tanpa aba – aba dan tanpa persiapan apapun, Pak Hasan tiba – tiba saja beringsut ke belakang Eko dan melesakkan penisnya ke dalam vagina Lidya dalam – dalam. Lidya yang kaget tentu saja langsung meronta – ronta sebisa mungkin. “Jangan Pak! Jangan!!! Jangaaaan!! Aku belum siap!!!”
Tapi kedua orang yang kini mengerjai Lidya tentu tidak ingin berhenti sampai mereka mendapatkan kepuasan puncak. Lidya menjerit – jerit sekuat tenaga, dia tidak peduli lagi jika ada orang yang akan datang. Dia justru sedang membutuhkan pertolongan! Lidya memejamkan matanya, rasa sakit di selangkangannya begitu ngilu, kasar sekali Pak Hasan menyetubuhinya. Gerakan maju mundurnya bukan gerakan yang lembut, tapi menyentak – nyentak dengan sangat cepat. Kaki Lidya dinaikkan ke pundak pak Hasan untuk mempermudah pria tua itu menghentakkan kemaluannya dalam – dalam dengan sekuat tenaga. Setiap sodokan membuat Lidya menggigil dan melenguh sakit.
Keringat deras membasahi tubuh ketiga anak manusia yang kini tengah bergulingan di pos ronda itu. Eko terus saja memangsa dan mengocok penisnya di antara buah dada Lidya. Rasa yang ditimbulkan antara gesekan penis bertonjolan dengan buah dada putih mulus membuat Eko dan Lidya sama – sama melayang. Setiap kali penis Pak Hasan menyentak masuk dan bertumbukan dengan dinding terdalamnya, saat itu pula ujung gundul penis Eko menyentuh dagu Lidya. Edi dan Ecep yang memegang tangan Lidya mengutuk ketidakmampuan mereka mengalahkan Eko dalam bermain domino, lihat betapa binalnya wanita kota ini.
“Gimana rasanya, Pak?” tanya Eko penasaran. “Gimana rasanya?”
“Sempit banget, Ko! Sempit!!! Enakk!!” jawab Pak Hasan sambil tertawa.
“Tantangan terakhir, Pak! Ayo semprotkan di dalam! Hamili dia!!! Hamili menantumu sendiri!!” kini giliran Eko yang tertawa terbahak – bahak.
“Siapa takut?!!!” Pak Hasan membalas.
Lidya menggeleng ketakutan, tidak! Itu yang dia tidak inginkan! “Jangan Pak! Jangan di dalam, keluarin di luar saja… aku tidak mau, Pak! Aku mohon!!! Aku mohon, Pak!!”
“Te – terus… kalau dia punya anak nanti, ma – ma – manggil Pak Hasan apa dong? Ba – ba – Bapak atau Kakek?” tanya Edi Gagap disusul tawa teman – temannya.
“Ayolah, Nduk. Kamu suka kan? Aku yakin anak kita akan jadi anak yang berbakti pada orangtua dan kakeknya.”
“Tidaaaaaak!!!” jerit Lidya, dia sudah menjerit sekeras mungkin, kenapa tidak ada orang menolongnya? Kenapa seandainya ada orang mendengar mereka membiarkan saja dia digumuli empat orang ini? Lidya meronta – ronta tanpa daya karena eratnya jepitan Eko pada perut dan payudaranya. Sesungguhnya orang – orang desa sudah terbiasa mendengar teriakan wanita di tengah malam datang dari pos siskamling. Itu karena Edi, Eko dan Ecep sudah terbiasa menyewa lonthe untuk mereka nikmati di sana. Jadi mereka tidak heran kalau malam itu ada teriakan dari pos kamling.
“Auuuuuhhhh!!!” Eko sudah mencapai orgasmenya, Lidya memejamkan mata dan menutup mulutnya. Penis Eko muncrat – muncrat tanpa halangan, membasahi bagian atas dada Lidya dan dagunya. Si cantik itu berusaha menahan mulutnya terkatup agar ia tidak sampai menelan sperma Eko. Tapi agak susah membersihkan bibirnya yang sudah belepotan sperma seperti ini. Belum selesai Lidya membersihkan bibir dan mendorong tubuh Eko menjauh, sentakan keras menghantam dinding terdalam liang cintanya.
“Haaaaaaghhh!!!” Lidya menahan sakit yang luar biasa. Tapi ia tidak bisa melawan Pak Hasan lagipula tidak ada gunanya, Pak Hasan tidak akan peduli. Pria tua itu menyemprotkan cairan cintanya begitu mencapai puncak kepuasan. “Hggghhhhh!! Sempit banget memekmu, Nduk!”
Lidya menjerit ketika dia merasakan semprotan cairan kental dari ujung gundul kemaluan Pak Hasan membanjiri liang cintanya. Rupanya Pak Hasan telah mencapai puncak!
“Bagaimana kalau akhirnya kamu membuatkan aku seorang cucu, Nduk?” tanya Pak Hasan sambil terus menyemburkan spermanya ke dalam liang cinta Lidya. Bagaikan mulut yang kehausan, vagina Lidya menyedot semua sperma yang disemprotkan oleh Pak Hasan. Lidya menggelengkan kepala lemas karena tak percaya, tidak hanya baru saja disetubuhi ayah mertuanya di depan tiga kawanan berandal desa yang seharusnya bertugas menjadi penjaga kampung, tapi bajingan tua itu juga berniat menghamilinya. Membayangkan dirinya dihamiliki ayah mertuanya sendiri di hadapan banyak saksi membuat Lidya ingin muntah.
Plop! Pak Hasan menarik penisnya dari dalam memek Lidya sambil meninggalkan bunyi lepasan yang nyaring. Tubuh Pak Hasan ambruk karena lemas, menimpa tubuh Lidya yang masih terlentang.
Dengan susah payah si cantik itu mencoba menyingkirkan tubuh Pak Hasan agar dia bisa berdiri tegak dan menutup ketelanjangannya. Ia membenahi tali behanya, lalu mengenakan roknya kembali. Vaginanya yang sedari tadi terus menerus diserang masih terasa perih, tapi Lidya sudah tidak tahan ingin meninggalkan tempat terkutuk ini. Dia bahkan tidak mampu berdiri, berjalanpun sempoyongan.
“Menantu yang hebat, Pak,” kata Eko sembari mengenakan kembali kaos dan jaketnya. “Lain kali kalau main kartu lagi, selalu ajak dia juga ya, Pak.”
Semua yang disana tertawa kecuali Lidya.
Malu sekali rasanya Lidya. Malu sekali. Wajahnya memerah tak tertahan. Walaupun semburat merah itu menambah manis wajahnya yang cantik, tapi tidak ingin dia mempersembahkan keindahan apapun kepada orang – orang ini. Tubuhnya seharusnya hanya menjadi milik Mas Andi, suaminya! Ingin rasanya Lidya cepat – cepat lari dan pergi dari tempat ini. ‘Menantu yang hebat’, menantu! Bukankah seorang menantu itu seharusnya dianggap sebagai anak sendiri? Bukan budak seks yang setiap saat disetubuhi? Untunglah malam kali ini begitu gelap sehingga baik Pak Hasan, Edi, Eko maupun Ecep tidak melihat merah wajah Lidya yang malu sekaligus marah. Setelah akhirnya nafasnya kembali normal dan rasa nyeri di selangkangan dan dadanya mulai menghilang, dengan buru – buru Lidya pergi meninggalkan pos ronda dan lari pulang ke rumah, meninggalkan Pak Hasan yang berjalan mengikutinya dengan santai sambil mengepulkan asap rokok.
Untuk pertama kali dan terakhir, ketiga orang yang duduk bersama dan meronda malam itu menyunggingkan senyum penuh kepuasan. Mereka tidak akan pernah melupakan saat – saat terindah dalam hidup mereka ini. Saat – saat rahasia yang hanya mereka bertiga, Pak Hasan dan Lidya yang tahu.
Semuanya akan baik – baik saja, jika mereka diam.
Ketiga orang itu berbaring di pos ronda dan memejamkan mata mereka, berharap kejadian yang baru saja mereka alami akan berulang di kemudian hari. Oh, betapa inginnya mereka memiliki Lidya yang mempesona. Sungguh beruntung Pak Hasan, memilik menantu jelita seperti Lidya.
Edi Gagap, Ecep Sumbing dan Eko Tompel tidur dengan senyum mengembang.
###
HARI KETIGA
Hari ini hampir seharian Lidya menghabiskan waktu di kebun. Dimulai dari menikmati indahnya pagi dengan sarapan gurameh bakar kiriman Mbak Mirah, lalu mengagumi angin yang bersemilir sambil makan rujak buah – buahan buatan sendiri di siang hari dan akhirnya mengobrol dan bercanda dengan Mbak Mirah dan saudara – saudaranya di sore hari. Anak Mbak Mirah yang masih balita lucu sekali. Bersama dengan orang – orang ini, Lidya ingin melupakan kejadian sial yang terjadi kepadanya. Suasana Desa Kapukrandu yang tenang, asri dan bersahabat membuat Lidya sedikit demi sedikit merasa tenang dan nyaman, begitu nyamannya sehingga seandainya diminta, Lidya akan betah tinggal di sana. Bahkan jika dia harus tinggal di rumah pinjaman bersama dengan mertuanya yang bejat dan hanya memikirkan seks.
Itu pagi sampai sorenya. Tapi malamnya?
Malam ini sepertinya Lidya harus menepati janji pada Pak Hasan, janji apa? Janji melayani sang mertua di tempat tidur. Lihat saja pandangan buas Pak Hasan di meja makan hari ini, seperti hendak menelannya hidup – hidup. Setelah kemarin malam diancam akan dibuka rahasianya pada Andi, bisakah wanita cantik itu menolak?
“Malam ini, kamu tidur di kamarku.” Kata orang tua cabul itu dengan dingin sambil mengunyah nasi.
“Tidak.” Tolak Lidya.
“Kenapa?” tanyanya galak.
“Rumah Mbah Mirah tidak jauh dari rumah ini, kamar mereka juga dekat dengan kamar Bapak. Kalau sampai keluarga mereka mendengar jeritan…” wajah Lidya memerah ketika ia menyadari apa yang ia katakan. Ia segera meralat kata – katanya. “….kalau sampai keluarga Mbak Mirah mendengar suara mencurigakan, kita bisa digrebek. Aku tidak mau Mas Andi malu. Lagipula tadi malam Bapak sudah… sudah dapat.”
“Malu? Kenapa harus malu? Setelah apa yang kita lakukan di bus, di pasar atau di mal? Atau saat main kartu kemarin? Apanya yang bikin malu?” Pak Hasan tertawa renyah. “Tidak akan terjadi apa – apa. Malam ini kamu tidur di kamarku.”
Lidya meneguk ludah. Tiba – tiba saja nasi sayur yang ia makan terasa hambar. Ia tahu tidak ada gunanya menolak. Dengan gerakan kepala pelan, si jelita itu mengangguk.
Pak Hasan tersenyum puas, “habiskan makananmu, Nduk. Aku tidak mau Andi melihat istrinya kurus sepulang dari desa. Untuk nanti malam, pakai kaos tipis dan rok mini yang sekarang kamu pakai itu dan jangan memakai beha saat kamu masuk kamarku nanti.”
Lidya mengeluarkan nafas panjang, sudahlah, ia sudah letih melawan… ia menyerah. Si jelita itu kembali mengangguk.
Malam datang sangat cepat hari itu, detik demi detik yang biasa datang lambat justru berpacu dengan hening malam. Lidya sempat beristirahat sebentar usai mencuci piring, ia tahu ia harus masuk ke kamar sang mertua dan melayaninya bermain cinta. Bukan hal yang paling menyenangkan hari ini, tapi ia tahu dirinya tidak bisa mengelak. Cepat atau lambat, Pak Hasan pasti akan menikmati ranum tubuhnya.
Dengan langkah malas Lidya bangun dari pembaringan tempatnya bermalas – malasan sepanjang hari dan berjalan menuju kamar Pak Hasan. Walaupun kamar mereka hanya dibatasi oleh ruang keluarga, namun Lidya merasa dirinya bagaikan seorang narapidana yang berjalan melalui lorong penjara menuju hukuman mati. Ketika mendengar langkah kaki Lidya, Pak Hasan bergegas untuk membukakan pintu. Pria tua itu hanya mengenakan kaos oblong putih tipis dan sarung yang melilit. Dengan gerak langkah ringan, Lidya duduk di pembaringan. Tanpa bicara, tanpa kata. Lidya hanya diam dan menunggu.
Pak Hasan duduk di samping menantunya, lalu dengan lembut ia mencium bibir mungil Lidya. Sapuan lembut bibir sang mertua membuat gairah Lidya perlahan – lahan naik. Ini dia, seorang pria yang bukan suaminya mencium bibirnya dengan bebas. Tapi anehnya, hampir – hampir Lidya berharap Andi bisa menciumnya seperti yang dilakukan oleh Pak Hasan, begitu dominan, kuat dan jantan. Si cantik itu tentu saja tidak mau menikmati permainan kasar Pak Hasan dengan membayangkan suaminya. Ia tidak ingin menikmati ini, tapi… ketika bibir dengan bau tak sedap itu menyapu bibirnya dan menjelajah semua sisi rongga mulut dan bibir penuhnya, pagutan bibir mertuanya membuat Lidya menyeberang kenikmatan yang sebelumnya tak pernah ia rasakan.
Tubuh gemuk Pak Hasan bertengger di atas tubuh Lidya yang ramping. Celananya sudah turun hingga lutut dan lidahnya yang cabul menjelajah mulut menantunya yang cantik sementara tangan nakalnya menjelajah seluruh lekuk tubuh Lidya. Tangan itu meremas – remas buah dada sang menantu yang kenyal dan sempurna yang masih ada di balik pakaian tipis. Bibirnya yang tebal terus saja menjajah bibir mungil Lidya, lidahnya menggeliat, memaksa sang menantu membuka mulut sedikit dan meneteskan air liur diantara bibir merah yang ranum.
“Haunnng…” Lidya mengerang sambil memejamkan mata keenakan ketika Pak Hasan menarik lidahnya yang nakal dan mulai menjilati sisi wajah dan dagu sang menantu sambil tak lupa sesekali mengecup bibir mungilnya yang menggemaskan.
Lidya memandang ke arah sang pencium dengan mata berkaca – kaca dan bibir yang menebal bahkan hampir luka karena ciuman kasar pria tua bejat yang kini sedang menciuminya penuh nafsu. Lidya berupaya mengangkat kepalanya, tapi bibir sang mertua yang bau itu mengejar bibirnya lagi, sekali lagi kepala Lidya terjerembab ke bawah.
“Ummmpphhhhh… glkkk… Ppaaakkk…” kepala Lidya bergerak tanpa henti karena kasarnya ciuman Pak Hasan. Bagaimana mungkin dia bisa menikmati ciuman buas seperti ini? Walaupun dalam hati menolak, tak urung Lidya merem melek juga dengan rangsangan hebat yang kini menderanya. Pak Hasan terus saja menumbuk bibir manis Lidya dengan bibirnya yang kasar dan mulutnya yang bau, belum lagi dengan air liur yang terus menetes dari mulut sang mertua membuat bibir Lidya benar – benar serasa dijajah. Lidya mengutuk dirinya sendiri yang tak bisa mengatur kuasa tubuhnya. Bukannya merasa jijik, Lidya malah semakin menikmati ciuman menuju puncak orgasme. Orgasme, hanya dengan berciuman dengan Pak Hasan. Lidya malu sekali.
Penis Pak Hasan keras seperti kayu, menyembul dari sarungnya. Lidya bisa merasakan hawa nafsu yang menghangat keluar tiap kali tubuhnya bergesekan dengan kemaluan sang mertua. Bahkan ketika penis yang masih ada di balik sarung itu disandarkan dengan santai di perutnya yang rata. Lidya masih merem melek menerima serangan ciuman bertubi. Si cantik itu hampir tidak bisa bergerak dan berkonsentrasi untuk melakukan apapun karena intensitas serangan terus – menerus meningkat.
Tangan kasar sang mertua bergerak lincah dengan cepat, menyadari menantunya yang jelita kini ada dalam kuasanya, tangannya segera melucuti celana dalam pink mungil milik Lidya. Si cantik bahkan tak sadar bahwa bagian bawah tubuhnya kini telah telanjang.
“Sudah waktunya.” Kata Pak Hasan setelah melepas pagutannya yang liar pada mulut Lidya. Ia berdiri dan melepas sarungnya yang kumal.
Lidya tak menjawab, tapi matanya gelisah penuh penantian. Antara ingin dan jijik. Bola matanya yang indah memandang tubuh mertua yang tidak ada bagusnya, perut gembul berbulu dengan kemaluan yang keras menggantung di bawah, air cinta pelumas membasahi ujung gundul penis dan perlahan menetes membasahi roknya yang berantakan. Setelah mencopot pakaiannya sendiri, Pak Hasan menarik lepas celana dalam sang menantu yang tadi masih tergantung di kaki.
Ketika sedang melamun, Lidya dikagetkan oleh Pak Hasan yang tiba – tiba memegang paha mulusnya.
“Siap?” tanya Pak Hasan sambil menyeringai. “Hari ini sepertinya kamu juga menikmati.”
Lidya memandang geram ke arah mertuanya yang cabul. Tapi apa mau dikata, nafsunya sudah terlanjur naik, lagipula tidak ada gunanya lagi melawan seorang pria bertubuh gemuk yang kini berada di atas tubuhnya yang telanjang. Lidya mengangguk pasrah tanpa suara. Dengan kasar Pak Hasan merenggangkan kaki Lidya, lalu menarik pinggulnya dan mendekatkan tubuh si cantik itu kepadanya. Tak perlu waktu lama bagi Pak Hasan untuk melesakkan penisnya masuk ke dalam vagina si jelita yang telah basah.
“Ini dia, Nduk. Ini dia…. ini dia….!!! Hggghhhhhhh!!!” Pak Hasan memejamkan mata penuh kenikmatan saat penisnya berusaha menembus masuk ke vagina sempit bidadari yang jelita itu.
“Aaaaaauuuuhhhhhhh……. essssstttttt!!!!!” Lidya mendesis penuh nikmat ketika pria tua yang kini berada di atas tubuhnya melesakkan kemaluan ke dalam liang cintanya.
“Sudah berkali – kali aku menyetubuhimu, Nduk… tapi tetep sempit rasanyaaaa…”
Rasa sakit bercampur nikmat membuat Lidya tak bisa menahan diri, kepalanya berpaling kesana kemari dan mulutnya menghembuskan nafas berulang untuk mencoba menenangkan batin.
Sambil duduk bersimpuh dan memegang pinggang ramping Lidya, Pak Hasan memutar – mutar kemaluannya dan mengaduk isi liang cinta sang menantu. Bagian atas tubuh Lidya masih beralaskan kasur, namun pantatnya kini terangkat ke atas. Pak Hasan mulai menumbuk dengan kecepatan teratur, melesakkan barangnya yang hitam ke dalam liang cinta yang seharusnya hanya boleh dimasuki penis anak kandungnya. Lidya tak tahan lagi, rasa nikmat bercampur sakit membuatnya tak kuat, ia menggunakan punggung tangan untuk menghapus air mata yang kadang leleh keluar tanpa ia inginkan.
Dengan satu gerakan cepat Pak Hasan menggerakkan seluruh tubuhnya ke depan, hampir – hampir meremukkan tubuh mungil menantunya yang jelita dan melesakkan dalam – dalam kemaluannya hingga berbenturan dengan dinding dalam vagina Lidya. Pak tua bejat itu memejamkan mata keenakan, “hggghhh!!!”
“Eesssst!!!” Lidya meringis kesakitan ketika mertuanya menjejalkan penisnya.
Namun Pak Hasan tidak berhenti begitu saja. Sekali lagi dengan satu gerakan cepat, Pak Hasan menggulingkan tubuhnya dan merubah posisi mereka, kini justru Lidya yang berada di atas, duduk dan menunggangi kontol mertuanya.
“A… apa yang… oooooohhhhh!!! Esssttt!!” Lidya tak sempat mengeluarkan protes atau kata apapun karena kemaluan sang mertua mulai bergerak naik turun menikam liang cintanya yang sudah basah.
Melihat Lidya bergerak naik turun dengan erotis sambil mengendarai penisnya menuju puncak kenikmatan, tak urung Pak Hasan naik kembali nafsunya. Ia meremas – remas buah dada sentosa milik Lidya.
“Aaaaaahhhhh!!” desah Lidya, tangannya yang lentik bertumpu pada perut gembul sang mertua. Harga dirinya lenyap ditelan nafsu maut, Pak Hasan tidak hanya telah menyetubuhinya, tapi entah bagaimana kini Lidya justru berada di atas dan mengatur gerakannya sendiri. Mertuanya yang cabul telah membalik posisi mereka tanpa ia sadari.
Lidya masih belum melepas rok mininya yang kini menutup bagian selangkangan mereka berdua. Ia benci sekali posisi ini karena berkesan dialah yang sedang menyetubuhi Pak Hasan dan bukan sebaliknya. Entah kenapa Lidya terus menggerakkan pinggulnya, makin lama makin cepat. Si cantik itu ingin cepat memperoleh kepuasannya, dia ingin cepat, lebih cepat, semakin cepat, lebih cepat lagi… naik turun, naik turun, terus, terus… terus! Terus!!!
Saat itulah tiba – tiba telepon genggam Lidya berdering, mengeluarkan ringtone lagu cinta salah satu band lokal. Lidya kaget mendengarnya dan kehilangan fokus dengan cepat, ia mencoba menarik diri dari atas tubuh Pak Hasan dan melepas penisnya dari dalam vagina.
Namun satu tangan gemuk menahan pinggangnya.
“Jangan berhenti.” Kata Pak Hasan tegas. Lidya yang kebingungan melanjutkan gerakannya sesuai perintah, naik turun untuk memberikan kenikmatan pada penis keras sang mertua. Namun matanya tak lepas dari telepon genggam yang ternyata tak sengaja ia bawa ke kamar ini. Konsentrasi si molek itu sudah buyar.
Karena posisinya yang berada di bawah dan tangannya bebas, Pak Hasan meraih telepon genggam yang ada di atas meja di samping kasur, entah kapan Lidya meletakkannya di sana. Ia harus memicingkan mata untuk bisa melihat nama orang yang menelpon wanita jelita yang kini tengah mengendarai penisnya dengan penuh nafsu. “Ini Andi.”
Wajah Lidya pucat pasi, ia menggelengkan kepala. Tidak! Ia tidak mau! Ia tidak mau menerima telepon suaminya sementara penis sang mertua tengah menancap di dalam vaginanya. Si cantik itu terus menerus menggelengkan kepala, ia hampir menangis ketika Pak Hasan tidak mempedulikan gelengan kepala menantunya yang pucat pasi dan memencet tombol penerima telepon.
Lidya langsung merebut telepon genggamnya dari tangan sang mertua. Keringat dingin mengalir deras membasahi dahinya. Pak Hasan hanya tertawa kecil tanpa suara.
“Ha… halo?” tergagap Lidya berusaha menyesuaikan suaranya senormal mungkin.
“Halo sayang.” Suara mesra Andi menyambut istrinya.
“Ha – halo, mas…” Lidya berusaha mengeluarkan suara lembut tanpa ekspresi, sangat sulit mengingat penis Pak Hasan terus berdenyut di dalam liang cintanya.
“Gimana kabarmu? Aku susah sekali mencari waktu untuk menelpon. Baru bisa menelpon sekarang, pekerjaan banyak banget.”
“A… aku baik, Mas. Iya… di sini sinyal juga sering susah… jadi tidak bisa sering telepon dan… tidak pasti ada sinyal…. henghhh…”
“Sayang? Kamu kenapa?” sentakan nafas Lidya mengagetkan Andi. “Kamu tidak apa – apa kan?”
“Ti… tidak apa – apa… a… aku tersandung saja. Iya, tersandung.” Walaupun Andi tidak akan melihatnya, Lidya menganggukkan kepala, mencoba membenarkan kebohongannya. Pak Hasan tergelak melihat kepanikan menantunya, Lidya melotot galak melihat mertuanya itu.
“Suaranya kok tidak seperti tersandung? Seperti menahan sesuatu… memangnya kamu jalan kemana?”
“Beneran, Mas. Aku tersandung. Aku sedang… aku sedang mau ke dapur.” Lidya melirik ke arah mertuanya yang hampir – hampir tidak bisa menahan ketawa, ingin rasanya ia membungkam mulut mertuanya itu saat ini dan menghapus senyuman menghina dari wajahnya. “Ta… tadi tersandung… ta… tapi tidak apa – apa.”
Melihat Lidya memfokuskan perhatian kepada telepon genggam, Pak Hasan mulai nakal, ia menggerakkan pinggulnya dan menggoyang penisnya untuk menyengsarakan sang menantu. Lidya melotot kepada mertuanya, namun rasa enak yang ia rasakan di selangkangan tak bisa ia pungkiri. Tubuh Lidya bergetar hebat, rangsangan luar biasa yang ia rasakan dari sodokan penis Pak Hasan ditambah suara Andi yang sedang ia dengar di telepon membuat si cantik itu gelagapan tak tahu harus berbuat apa. Rangsangan hebat itu pula yang kini justru membuatnya menaiki puncak kenikmatan. Cairan cinta meleleh deras di dalam liang kewanitaannya, membuat sodokan Pak Hasan kian mudah.
“Hgnghh! Hgnghh…!!! Hgnghhhh…!!!” Pak Hasan menekan penisnya dalam – dalam dan pada tiap tusukannya ia berusaha melesakkan semakin dalam.
“Suara apa itu, sayang?” tanya Andi, ia mendengar dengusan teratur di belakang suara Lidya yang bergetar.
“Su… suara apa maksud kamu, mas?” Lidya bertanya balik, ia benci sekali melihat senyuman geli di bibir sang mertua. Ingin rasanya ia menampar wajah penuh kemenangan itu. Lidya memejamkan mata, ingin menangis rasanya.
“Seperti ada yang terengah – engah?” kata Andi bingung.
“Ti… tidak ada siapa – siapa di sini…” Lidya membuka mata dan menggemeretakkan gigi, menahan diri agar tidak mengeluarkan lenguhan yang mencurigakan atau menjerit tiba – tiba. Susah sekali rasanya menahan teriakan karena vaginanya terus menerus digempur. “Mu – mungkin ada gangguan di operator…”
“Iya, mungkin saja. Kamu tidak apa – apa kan?”
“Ti… henghhh… tidak apa – apa…” Lidya memejamkan mata. Tangannya berusaha menjauhkan tubuh Pak Hasan untuk sementara waktu, susah sekali rasanya menerima telpon dari suaminya kalau memeknya terus saja dihajar oleh sodokan penis mertuanya sendiri seperti ini. “ti… tidak apa – apa, hgnnngghhh!!!!!”
“Kok menggeram gitu? Memangnya kamu sedang apa sekarang?” suara Andi mulai terdengar gelisah.
“Ti – tidak sedang apa – apa kok… beneran.. henghhh… a – akuu sedang memasak… ini sedang menumbuk… enghh… bum… bumbu……”
“Memasak? Jam segini?”
“I… iya… Bapak belum makan…”
“Oooh gitu… kenapa kok sampai jam segini belum makan?”
“Ta – tadi Bapak keluar, barusan pulang dan katanya… katanya… minta dibuatin makanan….” dia bukan pembohong yang baik, batin Lidya.
“Oh gitu.” Suara Andi terdengar gamang, “baiklah, sehari lagi kamu pulang kan? Hati – hati di jalan ya, SMS aku kalau kamu sudah mau pulang besok.”
“Iya mas…..”
“Bye sayang. Love you.”
“Bye.”
Terdengar suara telpon ditutup. Tak terasa beberapa titik air mata menetes dari bola mata yang indah yang kini berkaca – kaca. Lidya baru saja berbohong kepada suaminya. Ia berbohong kepada orang yang paling ia cintai. Ia tidak mungkin mengatakan bahwa saat ini tubuhnya yang indah sedang telanjang dan disetubuhi oleh Pak Hasan, ayah Andi sendiri!!!
Pak Hasan menyeringai puas.
“Kurang – ajar….!!!” Lidya mengumpat. Saat itu dia benci sekali laki – laki tua bejat yang kini tengah tertawa dengan penis tertancap dalam – dalam di lubang memeknya. Tapi umpatannya hilang ditelan gerakan maju mundurnya sendiri. Kemarahan yang dirasakan Lidya justru membuat nafsunya kian tak terkendali, ia bagaikan binatang yang tak bermoral dan menghamba pada nafsu. Tanpa dirasa, walaupun membenci mertuanya hingga ke ujung ubun – ubun, dia jugalah yang memberikan Lidya kenikmatan permainan cinta yang sesungguhnya.
Mereka tidak sedang bermain cinta, atau bahkan bergerak menekan satu sama lain. Pak Hasan hanya diam saja terbaring di atas kasur, penisnya yang menjijikkan bagi Lidya beraksi penuh kuasa di dalam liang cintanya. Selangkangan mereka masih bertaut ketika telepon genggam Lidya dilempar ke samping tempat tidur oleh si molek.
“Cium aku dulu, sayang…” Pak Hasan mengeluarkan seringai menjijikkan sambil meletakkan kedua tangannya di belakang kepala.
“Menjijik… keuuuuhhhhhhhhh!!! Aughhhh!!!” Lidya memejamkan mata ketika penis Pak Hasan membesar di dalam liangnya yang sempit.
Lidya mencondongkan tubuh ke depan, buah dadanya yang kenyal ia tekan ke dada sang mertua yang gemuk. Si cantik itu tidak percaya ia melakukan ini dengan kemauan sendiri tanpa diminta oleh Pak Hasan, sungguh gila. Tidak hanya ia membiarkan Pak Hasan menyetubuhinya tanpa perlawanan, kini ia malah bersedia memuaskan nafsu sang mertua yang bejat. Mertuanya yang arogan hanya terbaring di sana sementara Lidya mencium bibirnya dan menaikturunkan pinggulnya, sebisa mungkin ia melesakkan penis sang mertua dalam – dalam tiap kali diturunkan. Lidya membuka mulutnya, menanti lidah sang mertua menjelajah ke dalam mulutnya.
Pak Hasan menyapu bibirnya yang basah oleh liur Lidya yang bercampur dengan cairan lain dari mulut sang menantu. Lidya berusaha mengangkat bagian atas tubuhnya agar bisa bernafas sementara selangkangannya terus menerima sodokan dari bawah, ditusuk hingga ke dinding terujung. Penis gemuk yang menjelajah di liang terdalam kewanitaan Lidya berdenyut pelan seperti menikmati ditekan oleh dinding yang sempit.
Masih dengan mulut yang saling berpagut, Pak Hasan membalik tubuh Lidya dan membaringkan menantunya di atas kasur, memutar posisi mereka. Perut gemuknya ditekan hingga pipih di atas perut Lidya yang ramping. Pakaian si cantik itu sudah acak – acakan ketika Pak Hasan mulai memajumundurkan pinggang untuk menyetubuhi sang menantu. Menumbuk tubuh mungilnya di atas ranjang acak – acakan dan basah oleh keringat keduanya.
Kaki jenjang Lidya direntangkan lebar – lebar dan lututnya ditekuk. Wajahnya yang cantik acak – acakan oleh ulah Pak Hasan yang tak henti – hentinya mencium. Lidya berulang memejamkan mata merasakan batang kemaluan sang mertua keluar masuk di liangnya. Tubuh berat Pak Hasan membebani tubuh Lidya yang kecil dan ramping.
Pak Hasan melenguh keras, ia meremas payudara Lidya beberapa kali sebelum mengangkat bulat pantat si cantik itu dan menusukkan penisnya dalam – dalam. Makin lama makin cepat.
“A… aku tak kuat lagi…. haaaaarrrgghhhh!!!” teriak Pak Hasan yang akhirnya tak mampu bertahan dan menghamba menginginkan kepuasan.
Pria tua itu mengangkat kepalanya tinggi – tinggi ketika ujung gundul penisnya meledak di dalam kemaluan sempit sang menantu. Buah pelirnya bekerja dengan baik memberikan supply sperma yang berlebih dan membantunya memancarkan cairan kenikmatan di dalam liang kemaluan Lidya hingga penuh tanpa menghentikan gerakan maju mundur pinggulnya.
Lidya berteriak kencang sambil mencakar bahu sang mertua, si cantik itu rupanya juga mengalami orgasme yang telah ditunggu – tunggu. Ia mengejang sesaat dan kemudian terbanting lemas.
Saat kemudian ia sadar, Lidya hampir – hampir tak bisa bernafas karena tubuh gemuk Pak Hasan ambruk menimpanya. Lidya tak mampu menggerakkan tubuh karena terkunci pelukan sang mertua. Kakinya yang jenjang masih terbentang lebar, untuk memudahkan Pak Hasan melakukan penetrasi. Cairan cinta mereka yang beradu di dalam liang kemaluannya terasa berat dan kental, membuat ia merasa becek. Lama kelamaan Lidya megap – megap karena tak kuat lagi menahan beban.
“Kamu memang benar – benar kuda binal yang enak ditiduri, Nduk.” Kata Pak Hasan sambil berguling turun dari tubuh si cantik yang masih tersengal – sengal, perlahan – lahan orang tua bejat itu menarik keluar penisnya dari dalam kemaluan sang menantu. Lidya sempat tersentak kecil ketika penis itu keluar dengan menimbulkan bunyi plop yang nyaring.
Karena tidak mampu berpikir dengan jernih Lidya hanya bisa mendesah tanpa arti. Ia juga tak bisa melakukan apa – apa ketika lengan gemuk Pak Hasan memeluk tubuhnya erat. Si cantik itu terlalu lelah untuk mengeluarkan kata. Dia hanya ingin tidur dengan nyenyak malam ini.
###
HARI KEEMPAT
Sejuk semilir angin membawa damai di hati ketika hembusannya yang nakal sesekali mengibarkan helai demi helai rambut Lidya yang indah. Untaian udara dingin malam yang tertinggal dalam dekapan pagi tersebar di seluruh Desa Kapukrandu, menyatu dalam kabut yang hanyut, memberikan nuansa syahdu dalam kesederhanaan yang bersahaja menyambut pagi yang ceria.
Langkah kaki jenjang Lidya yang menyusur jalanan desa tidaklah sendiri di pagi yang dingin ini. Si cantik itu menyunggingkan senyum dan menganggukkan kepala berapa kali saat bertemu anak – anak desa berpakaian sekolah yang asyik bersenda gurau dan mengayuh sepeda mereka agar tidak terlambat masuk sekolah. Di pengkolan di ujung kampung, ibu – ibu penjaja dagangan sudah membuka lapak bahkan sebelum sang surya hadir menyambut pagi. Sayur mayur dan bumbu dapur digelar untuk menarik minat pembeli. Ramainya ibu – ibu bersenda gurau dan bertukar berita hanya bisa disaingi oleh teriakan penjual mainan anak – anak.
Lidya sengaja berjalan pelan. Si molek itu tidak ingin sedikitpun kehilangan momen indah di Desa Kapukrandu karena hari ini adalah hari terakhirnya di desa yang sejuk ini. Lidya teringat, beberapa hari yang lalu ia malas sekali pergi ke tempat ini karena takut dengan perlakuan Pak Hasan. Kekhawatirannya beralasan dan apa yang ditakutkan benar terjadi bahkan lebih parah lagi, ia melakukan hal – hal yang sebelumnya tidak ia sangka akan ia lakukan. Pak Hasan telah memperlakukannya dengan kasar, mencabuli dan memperkosanya.
Tapi……
Desa Kapukrandu yang sejuk ini telah memberikannya pelajaran berharga, untuk tidak menilai seseorang hanya dari sisi buruknya saja. Tiap orang memiliki dua sisi kehidupan yang saling mendukung walaupun dasarnya bertolak belakang. Bisa juga setiap orang membutuhkan keduanya karena pada dasarnya manusia tidak ada yang sempurna. Jika hendak mengagumi seseorang karena sisi baiknya, persiapkan hati saat mengetahui sisi buruknya. Seorang pejabat tinggi yang terlihat santun, sopan dan berwibawa ternyata koruptor yang doyan tidur dengan gadis yang jauh lebih muda dan bukan istrinya. Bandingkan dengan orang yang kasar, kotor dan tidak berpendidikan tinggi namun rela membantu dan berkorban demi orang lain tanpa memungut biaya.
Siapa sangka dibalik wajahnya yang menjijikkan dan selalu membuat Lidya bergidik ketakutan, Pak Hasan adalah orang yang sering dimintai bantuan bahkan pernah menjadi teladan bagi rakyat Desa Kapukrandu? Bagaimana tidak, mertuanya itu dulu pernah bertugas sebagai kepala desa!
Hari ini Pak Hasan pergi ke kelurahan untuk berpamitan dengan teman – temannya di sana. Setelah bercinta habis – habisan semalam, rasanya asyik juga kalau hari ini Lidya pergi mandi ke sungai. Pak Hasan bilang kalau ada satu tempat di mana Lidya bisa mandi tanpa perlu khawatir ada orang yang mengintipnya, tempat itu sepi, tak diketahui banyak orang dan airnya jernih. Sepertinya menyenangkan membasuh tubuhnya yang terasa kotor karena semalam dihujani cairan cinta Pak Hasan.
Untuk sampai ke tempat itu Lidya harus melalui jalan yang agak susah dan hanya bisa dicapai dengan jalan kaki, tidak – apa – apa batin si cantik itu, hitung – hitung olahraga pagi. Dari ujung jalan di dekat pengkolan penjaja sayuran, Lidya berjalan lurus ke arah sungai. Tidak banyak yang pergi ke sungai karena hampir sebagian besar masyarakat desa sibuk dengan pekerjaan pagi mereka. Setelah sampai di tepian sungai Lidya menyusurinya hingga masuk jauh ke dalam rerimbunan pepohonan. Di tempat ini pohon – pohon rindang berbaris tak rapi melindungi jalan setapak yang menurun, suasana yang masih asli dan asri, tak akan bisa ditemui di kota. Pantas saja Pak Hasan bilang kalau malam minggu anak – anak muda Desa Kapukrandu sering berpacaran di sini sementara pada malam hari para dukun mencari wangsit juga di tempat rimbun ini.
Berbeda dengan wilayah lain di luar Desa Kapukrandu yang cenderung gersang dan kering, tempat ini seperti hutan oase di tengah padang pasir dengan sungai yang mengalir dari sisi pegunungan hingga turun untuk memberikan sumber penghidupan bagi rakyat desa.
Karena jauh dari jalan utama, tempat itu jarang dilewati orang. Sejak menyusuri sungai Lidya tidak melihat siapa – siapa lagi. Bahaya juga kalau – kalau dia tersesat. Untung saja Pak Hasan mengatakan asal dia menyusuri sungai, Lidya tidak akan tersesat. Si cantik itu berusaha menghapal lokasi tempatnya berjalan, mencoba menghapal beberapa pohon yang bisa membantunya pulang nanti.
Dinginnya air, sejuknya angin, nyamannya suasana. Semua mendukung Lidya untuk menikmati pagi. Bahkan mungkin ia terlalu menikmati… ketidakhadiran Pak Hasan membuat Lidya bebas melakukan apa saja hari ini. Apalagi setelah dari kelurahan, mertuanya itu akan mengurus penyelesaian beberapa hutang dengan teman – temannya yang lain, kalau tidak salah namanya Koh Liem atau siapa. Hari yang bebas.
Akhirnya Lidya sampai di sebuah tempat yang seperti Pak Hasan bilang, tersembunyi dan aman baginya untuk mandi. Lidya berhenti sejenak sebelum melangkah.
Yakinkah dia tempat ini aman?
Lidya melihat ke arah sekitar, rimbunnya pepohonan tinggi membuat tempat ini seperti hutan yang terlindung dari cahaya sang surya. Peralihan udara dari dingin ke hangat disambut kabut tipis yang mulai menghilang dan semilir angin menyejukkan. Udara pagi ini juga sangat cerah, hampir tidak ada awan bergantung di langit dan burung – burung mulai berkicau ramai menyenandungkan lagu ceria menyambut mentari.
Benar apa kata Pak Hasan. Tempat ini memang cukup tersembunyi, pepohonan rindang menutupi sisi dengan dahan saling berkait dan tumbuh – tumbuhan berduri menghalangi pandangan siapapun dari arah seberang. Sebaliknya tempat ini juga cukup baik untuk memantau seandainya ada orang yang datang karena tempatnya agak lebih tinggi dari jalan setapak dan sungai yang mengalir ke desa. Air yang mengalir begitu jernih dan bening sehingga nampak segar sekali.
Jadi… amankah tempat ini? Mungkin tidak, tapi dia tidak lagi peduli.
Lidya melepas pakaian yang ia kenakan, mulai dari kaos, celana selutut hingga pakaian dalamnya. Melihat suasana, Ia cukup merasa aman untuk mandi telanjang. Lidya geli dengan keberaniannya, mungkin karena sudah pernah melakukan hal – hal aneh di mal dan pasar, Lidya menjadi sedikit berani membuka pakaian.
Sedikit demi sedikit Lidya mencelupkan ujung kakinya yang jenjang ke dalam air, merasakan lembutnya sapuan air dingin yang menyentak dan menyegarkan. Sambil memejamkan mata, si jelita itu masuk ke air. Mulai dari ujung jari kaki, lalu betis, lutut, paha, pinggul, perut dan akhirnya dada serta kepala. Seluruh tubuh Lidya kini sudah masuk ke dalam dinginnya air di pagi hari. Untuk sesaat ia menggigil kedinginan, namun sinar mentari yang akhirnya berhasil menembus payung alami di atas rindang pepohonan membuat tempat di mana Lidya berendam jadi terasa hangat.
Lidya tidak menyukai apa yang ia alami di Desa Kapukrandu karena memberikan kenangan yang tak menyenangkan baginya. Namun tempat ini bagaikan mutiara dalam tiram. Penyejuk jiwa dan pemberi keseimbangan batin. Mengherankan, di tempat gersang seperti Desa Kapukrandu ada juga wilayah hijau seperti ini, indah, asri dan asli. Sejenak Lidya terdiam, lalu tersenyum sendiri, ia akan meralat kata – katanya barusan, ia menyukai apa yang ia alami Desa Kapukrandu.
Lidya segera membasuh bagian – bagian tubuhnya, menikmati deburan air menumbuk tubuhnya yang telanjang. Segar sekali rasanya, ia merasa bersih, merasa tenang dan pada akhirnya, ia merasa nyaman.
Setelah sekian lama berada di dalam air, si cantik itu naik kembali ke darat, menyeka seluruh tubuhnya dengan handuk kecil yang sudah ia siapkan sejak tadi. Ia menyeka buah dadanya, yang masih memiliki bercak merah bekas cupang bibir Pak Hasan. Sebenarnya, seluruh tubuhnya masih memiliki bekas cupang.
Lidya membersihkan tubuhnya dengan hati – hati sekali, merasakan kesegaran angin berhembus di tubuhnya yang basah. Begitu enaknya hingga si cantik itu memejamkan mata. Hembusan angin begitu sejuk hingga benak Lidya melayang jauh dan jauh dan semakin jauh. Ia seperti memilliki sayap yang terkembang dan terbang naik ke awan.
Dalam khayalnya, Lidya membayangkan ada alunan suara yang memintanya untuk merenggangkan kaki. Bisikan gaib yang menghipnotisnya untuk menuruti kehendak jiwanya. Suara yang datang entah dari mana namun meminta Lidya untuk menurut apa kata hatinya. Ia merenggangkan kaki selebar – lebarnya. Telunjuk jari tangan kanannya menyentuh bibir dengan lembut, merasakan gesekan antara jari dan bibir, merasakan sentuhan ringan yang membuatnya merasa nyaman. Tanpa ia sadari, handuk kecilnya telah terjatuh…
Lidya membuka bibir dan memasukkan jari ke dalam ke dalam mulutnya, suara gaib yang menuntunnya kini memintanya mengulum jarinya sendiri. Bagaikan kesurupan, Lidya patuh dan menghisap jari jemarinya sendiri seperti permen. Tapi ia tak melakukannya lama – lama…
Dengan tangan bergetar Lidya menyentuh selangkangannya, mencoba mencari bibir memeknya yang mungil. Tanpa sadar, Lidya mulai mengusap bibir kemaluannya dengan dua jari tangan kirinya. Kepuasan… dia menginginkan kepuasan… saat ini juga… segera… cepat… semakin cepat… segera…. Tangan kanan yang jarinya sempat ia kulum kini meraih bulat buah dadanya yang kenyal. Jemarinya menarik puting susunya sendiri, memilin dan memijatnya, memohon kepuasan. Lidya mulai menghamba pada nafsunya sendiri tanpa disadari…
Perlahan – lahan Lidya berbaring di rerumputan yang ada di samping sungai, ia tidak peduli lagi tempat itu kotor atau tidak. Bidadari molek itu mengangkat kakinya dan merenggangkannya lebar – lebar. Matanya yang indah dipejamkan bersamaan dengan keluarnya lenguhan nafsu dari bibirnya yang mungil. Ia seperti sedang kerasukan, mencari kepuasan dengan menikmati tubuhnya sendiri.
Jari jemari jenjang turun ke bawah, masuk di antara selangkangan. Dengan jari telunjuk dan jari manisnya sendiri, Lidya membuka lebar – lebar pintu cinta kewanitaannya, pintu cinta yang telah basah. Sudut ibu jari digesekkan ke bagian atas bibir memek untuk mencari kunci kenikmatan dan ketika ia menemukannya, Lidya melenguh pelan. Jari tengah dimasukkan ke dalam vagina, diputar untuk menjelajah dinding kemaluannya sendiri. Desahan demi desahan manja keluar dari mulutnya yang dahaga oleh nafsu.
Jemari Lidya yang lentik basah oleh cairan cinta yang meleleh dari dalam liang kewanitaannya. Jari jemari itu bergerak lincah keluar masuk sementara remasan tangan pada buah dada menjadi sumber kenikmatan lain. Ia terus menerus meremas, memilin dan meraba bagian membusungnya yang indah.
“Eessssttt….. hmmmm….” desah Lidya keenakan. “Aku… tidak mau… seperti ini…” entah siapa yang diajak bicara oleh Lidya, karena saat itu dia seorang diri. Dalam bayangannya ia sedang bergumul dengan seseorang yang tak terlihat, yang mencoba menyetubuhinya, yang berkuasa dan memaksanya, yang terus menerus menjamahnya.
Kepalanya berdenyut seakan ada bunyi genderang bertalu – talu yang memekakkan telinga. Semua rasa takut dan malunya sudah hilang ditelan nafsu, ia kian merenggangkan kaki dan mendesah tanpa bisa bertahan.
Gerakan jemari Lidya makin lama makin cepat, makin buas, berubah dari gerakan lembut menjadi gerakan liar yang penuh tuntutan. Lidya tidak peduli lagi dimana saat ini dia berada. Seandainya ada orang datang, mereka pasti akan melihat aksi si jelita itu membuka lebar – lebar bibir memeknya yang basah.
Tiba – tiba terdengar bunyi dedaunan disibakkan oleh seekor hewan yang melintas.
Suara gemeresek dedaunan yang muncul seharusnya membuatnya tersadar, tapi Lidya sudah terbang terlampau tinggi terkungkung awan kenikmatan sampai – sampai ia enggan turun. Bunyi yang muncul justru membuatnya makin seperti orang kesurupan, ingin sesegera mungkin merasakan kenikmatan.
Tubuh wanita cantik itu melejit ke atas lalu terbanting ke bawah dengan cepat, demikian berulang – ulang. Bayangan dalam batin akan adanya orang yang saat itu datang dan menyaksikannya memainkan vaginanya sendiri membuat Lidya makin memuncaki tangga nafsu.
Makin naik… makin cepat… tambah naik… tambah lagi… terus…
Dan akhirnya…
“Hnnghhhhh!!!” geram Lidya mencoba melepas kepuasan yang tertahan. Mata wanita jelita itu dipejamkan rapat – rapat, tubuhnya mengejang. Ia merasakan cairan hangat lepas di dalam liang cintanya, seperti ratusan burung yang dilepas dari sangkar dan terbang ke awan bebas.
Lidya membuka matanya.
Tetes cairan kenikmatan kental meleleh melalui sela – sela jari jemari di selangkangannya.
Si cantik itu terengah – engah. Ia menyandarkan siku di atas rerumputan untuk menopang tubuhnya yang bermandikan keringat. Ia baru saja memberikan kenikmatan pada dirinya sendiri. Sesuatu yang sebelumnya tidak ia perkirakan akan ia lakukan di tempat seperti ini. yah, Paling tidak ia telah puas…
Puas?
Benarkah ia telah puas?
Lidya mencoba menyerap pertanyaan itu dan ia tahu jawaban yang muncul sedikit menyakitkan jiwanya.
Tidak. Ia tidak puas sama sekali.
Ya, ia tidak puas.
Kenapa?
Kenapa rasanya lain? Kenapa seperti ada kekosongan dalam hatinya?
Kenapa ia tidak bisa mendapatkan kepuasan sederhana itu?
Lidya jatuh terduduk. Tanpa bisa ia tahan, tetes demi tetes air mata meluncur. Harusnya tidak begini… harusnya tidak seperti ini. Harusnya semua selesai, harusnya semua perasaan itu tidak muncul. Harusnya ia bisa puas hanya dengan… hanya dengan… harusnya ia bisa puas… kenapa tubuhnya mengingkari apa yang ia inginkan, kenapa batinnya menjerit penuh dahaga nafsu yang menggelegak tak terbayar?
Apakah ketakutannya menjadi nyata?
Apakah benar sudah terjadi hal yang paling ia takutkan? Ia takut seandainya Pak Hasan gencar melatih nafsunya agar terus menerus terlampiaskan ia akan menjadi maniak pemuja seks. Ia takut ia tidak bisa lagi merasakan nikmat bermain cinta dengan suaminya, dia takut dia hanya bisa dipuaskan oleh Pak Hasan! Itu ketakutan utamanya! Dan kini… kini sepertinya itu benar – benar terjadi!
Ia bahkan tak mampu memuaskan dirinya sendiri… tak sama, rasanya tak sama…..
Cairan cintanya memang mengalir, tapi rasa itu tidak hadir. Kosong rasanya.
Lidya masih mengeluarkan air mata untuk beberapa saat lamanya. Ia membasuh wajah dan membilas air mata yang terus meleleh.
Dia tidak ingin pulang dengan mata sembab.
Ini hari terakhirnya di Desa Kapukrandu dan dalam hatinya Lidya tahu pasti, dia akan pulang kembali ke kota sambil membawa kekosongan dalam hati karena ada sesuatu yang hilang dan mungkin tidak akan kembali padanya…
Sampai saat ia menemukan kembali apa yang hilang itu, Lidya mungkin tidak akan pernah lagi merasakan kepuasan.
Lidya tahu apa yang sebenarnya hilang darinya, tapi ia ingin mengingkari perasaannya.
Ia tidak boleh membiarkan perasaan itu berlanjut.
Ia tidak boleh menghamba pada nafsu semata.
Ia tidak boleh… tidak bisa… tidak mau… tidak akan pernah!
…tapi…
Ah sudahlah, pokoknya, dia tidak ingin pulang dengan mata sembab.
###
SEMINGGU KEMUDIAN…
Seminggu telah berlalu sejak Lidya dan Pak Hasan pulang dari Desa Kapukrandu.
Tas berisi pakaian dan semua keperluan Pak Hasan sudah diletakkan di ruang tamu. Pria tua itupun sudah memesan taksi. Sekitar setengah jam lagi dia akan meninggalkan rumah Andi dan pergi menuju kontrakannya yang baru, jaraknya memang tidak jauh dari rumah ini, sekitar setengah jam perjalanan, namun segala sesuatunya pasti akan berubah.
Dengan santai Pak Hasan duduk di ruang tamu sambil menyeruput kopi susu yang dihidangkan sang menantu. Rokoknya yang masih mengepul ia letakkan di atas asbak.
Rencananya Pak Hasan akan pindah dan menempati rumah kotrakan baru mulai hari ini tapi karena Andi lagi – lagi ditugaskan keluar kota, Lidya yang akan melepas kepergian ayah mertuanya. Kadang Pak Hasan heran dengan anaknya itu…. dia sibuk sekali mencari uang dan tergila – gila dengan pekerjaan, bahkan sampai melupakan istrinya yang cantik dan seksi di rumah sendirian, seakan – akan tidak takut hal – hal buruk akan menimpa Lidya. Pak Hasan geleng – geleng kepala. Orang memang kadang tidak menyadari apa yang sesungguhnya telah ia miliki, sampai pada saat ia kehilangan.
Kepulan asap rokok menyeruak di ruang tamu rumah Andi, asap yang terbang mengendarai angin kecil dan kemudian lepas ke alam bebas melalui jendela berteralis yang dibuka lebar. Udara sejuk semilir berhembus sesekali ke dalam rumah, memberikan kenikmatan alami bagi Pak Hasan.
Langkah kaki ringan menghampiri sang lelaki tua. Harum wangi semerbak memenuhi ruangan, tanpa harus menengokpun Pak Hasan tahu siapa yang datang. Lidya duduk di kursi yang ada di hadapan Pak Hasan. Wajahnya yang cantik terlihat muram, kepalanya menunduk.
“Sudah saatnya kita bicara dari hati ke hati, Nduk.” Kata Pak Hasan sambil menebar senyum mesumnya yang khas.
Lidya terdiam tanpa ekspresi.
“Kamu pasti senang aku keluar dari rumah ini, kita tidak bisa bercinta lagi sesering biasanya. Aku akan sering berkunjung kalau kamu kangen… hmm…” tiba – tiba Pak Hasan menghentikan kallimatnya, untuk pertama kalinya di hadapan Lidya, pria tua itu gelisah. “Tidak. Tidak. Sudah cukup. Ya. Sudah cukup apa yang aku lakukan selama ini. Tapi… ah… tapi aku akan memberikanmu pilihan.”
Lidya masih terdiam.
“Aku rasa sudah cukup yang aku lakukan selama ini terhadapmu. Sejahat – jahatnya orang tua, aku ingin anakku juga bahagia. Aku ingin kamu membahagiakan Andi dan itu artinya aku harus melepaskanmu, urus anakku itu baik – baik. Walaupun tidak selamanya, tubuhmu terlalu indah untuk dilepaskan. Kalau aku butuh memekmu, ya kamu harus menyediakannya. Tapi untuk sementara waktu, biarlah Andi yang memenuhi nafsu liarmu…”
Lidya menatap mertuanya dengan tatapan tanpa ekspresi.
“Sebelum aku melangkahkan kaki keluar dari rumah ini, kamu harus memilih, Nduk.” Pria tua itu berdiri dengan tenang sambil meraih rokoknya. Ia menenteng tas yang sepertinya cukup berat. “Apapun permintaanmu, akan aku kabulkan. Jadi pilih dengan hatimu. Apapun yang kamu mau akan aku penuhi. Kali ini janji pasti aku tepati… termasuk jika kamu ingin bebas dariku.”
Lidya berdiri gamang dan menatap orang yang telah menghancurkan kesuciannya sebagai seorang istri setia itu dengan pandangan tak percaya. Lidya yang sudah sangat sering tidur dengan orang tua itu belum pernah melihat ekspresi wajah Pak Hasan yang sedemikian santai namun serius. Sosok lain Pak Hasan yang ini tidak pernah dilihat Lidya sebelumnya, mungkin pernah dulu.. sebelum dia berubah menjadi binatang pemerkosa yang menghancurkan statusnya sebagai istri setia dan menantu. Akankah dia bisa dipercaya untuk menepati janji?
“Aku ingin kamu memilih…” Pak Hasan melangkah menuju pintu.
Lidya masih tak bergeming, bola matanya yang tajam berkaca – kaca.
“…tetap menjadi budak seks… atau…”
“…atau?” desah suara Lidya pelan sekali, hampir berbisik. Seperti ada sesuatu yang mengganjal kerongkongan wanita molek itu.
“…bebas.”
Kata – kata yang diucapkan oleh Pak Hasan seperti tetes air di tengah padang pasir. Kata yang sudah lama sekali ia nantikan. Bebas. Betapa mahalnya harga kata – kata itu. Bebas. Lepas dari Pak Hasan, lepas dari eksibisionisme paksaan, lepas dari hubungan tak senonoh, lepas dari mertua cabul. Sejuk sekali di dalam hatinya mendengar kata – kata itu… ‘bebas’.
Tapi…
Tapi… apakah benar bebas adalah hal yang dia inginkan?
Keringat mulai menetes di dahi si cantik. Dia harus segera memutuskan. Dia harus bebas. Dia harus lepas dari pengaruh mertuanya yang cabul. Dia harus… harus…
“Jadi?” Pak Hasan mengulang pertanyaannya, “pilih menjadi budak atau bebas?”
Lidya tak menjawab, hatinya gamang. Si cantik itu bimbang dan bingung, walaupun ia sendiri masih tak tahu apa sebenarnya yang menyebabkannya kebingungan. Bisa dibilang Lidya bingung akan kebingungannya.
Bukankah sudah jelas pilihannya? Yaitu bebas? Lalu apa yang sebenarnya dia inginkan?
Apa suara yang bergejolak dalam hatinya?
Apa….?!
“Ini yang terakhir. Pilih… tetap jadi budak atau bebas?” kali ini Pak Hasan bertanya untuk yang terakhir kali, nada suaranya sudah terdengar lain. Ayah mertua Lidya itu sudah siap melangkah kaki keluar dari rumah. Tangannya telah membuka pintu dan menenteng tasnya keluar.
Lidya tahu dia harus menjawab pertanyaan itu sebelum Pak Hasan melangkahkan kaki keluar. Lidya tahu jawabannya, tapi lidahnya kelu dan bibirnya terkatup rapat. Jelas dia ingin bebas, dia tahu pasti dia ingin bebas, dia yakin sekali ingin bebas dari perangkap cabul Pak Hasan yang telah membuat dirinya kotor dan tak berharga. Tapi susah sekali bagi Lidya mengucapkan kata “bebas” itu. Ada yang menghalanginya, sesuatu yang berat dan nyeri sekaligus menghinggapi hatinya.
Dengan satu usaha terakhir, Lidya akhirnya mengucapkan apa yang benar – benar dia inginkan dalam hati sebelum Pak Hasan pergi.
“Aku memilih…” suara Lidya terdengar bergetar.
Pak Hasan terhenti dan menunggu.
“Budak…” Lidya mengucapkan sebisik kata dengan pelan dan gemetar.
Si cantik itupun luruh ke lantai dan menangis tersedu – sedu, Lidya menyadari konsekuensi pilihannya. Ia menyesali keputusan sekaligus mengutuk hatinya sendiri. Ia tak mengerti kenapa ia justru memilih hal yang terkutuk itu. Kenapa?
Senyum tersungging di bibir Pak Hasan.
“Telpon aku kalau Andi tugas keluar kota, Nduk. Aku akan datang.”
###
PENUTUP
Sumarto menatap bosan pesawat televisi yang menyala. Tangannya bergerak malas memindah channel menggunakan remote yang sudah mulai kehabisan baterai. Ia harus menepuknya beberapa kali sebelum channelnya berpindah. Ia sebenarnya sudah mengusulkan pada majikannya untuk membeli baterai remote baru, tapi sampai saat ini sang majikan enggan menanggapi, mungkin karena mereka memiliki pesawat televisi sendiri di dalam kamar sehingga malas membeli baterai baru untuk televisi ruang tengah yang memang hanya dipakai oleh Marto. Majikannya sudah beberapa hari ini bepergian ke luar kota, meninggalkan Marto sendiri di rumah. Walaupun milik orang yang lumayan berada, rumah ini tidak begitu besar, sehingga Marto tidak kerepotan mengurusnya tanpa teman.
Ketika channel diganti, sinetron demi sinetron mengisi layar televisi. Tidak satupun yang memuaskan Marto. Bagi pembantu rumah tangga seperti dia, menonton sinetron adalah hiburan utama, walaupun begitu ia sudah bosan menonton cerita sinetron yang begitu – begitu saja, sinetron – sinetron yang menjual cerita usang dan mengandalkan bintang – bintang muda berwajah indo. Ia heran kenapa pembantu sebelah mengidolakan acara semacam ini, hanya menjual mimpi dan wajah cantik penuh polesan. Sesungguhnya Marto hanya tertarik pada satu hal di layar televisi yaitu pertandingan sepakbola. Sayang tidak ada pertandingan bola hari ini. Yah, paling tidak dia bisa dipuaskan melihat wajah cantik pemain sinetron, dada – dada mereka yang membusung, pantat mereka yang bulat dan kaki mereka yang jenjang, sosok – sosok impian yang menggiurkan.
Omong – omong soal wajah cantik, Marto jadi teringat pada satu sosok menarik yang ia lihat beberapa minggu yang lalu. Wajah yang tampil sangat mempesona tanpa noda dan tanpa polesan bedak tebal seperti para bintang sinetron itu. Wajah yang bisa dibilang sempurna namun sayang statusnya adalah istri orang kaya yang tidak mungkin bisa ia sandingi. Marto menarik nafas panjang dan kembali menonton acara televisi yang menurutnya sangat tidak menarik dan membosankan.
Siapa wanita cantik yang sangat memukau Marto itu?
Sebenarnya dia sedang teringat pada Bu Lidya, istri Pak Andi yang tinggal di sebelah rumah. Wajahnya cantik, tubuhnya indah, perangainya halus dan sopan, benar – benar tipe istri setia yang pasti asyik sekali dikeloni di tempat tidur.
Dulu ketika keluarga Andi baru saja pindah, ia pernah mendengar bapak – bapak yang sedang ronda membicarakan kemolekan Lidya, mereka iri dan mengatakan kalau Andi sangat beruntung bisa menikahi wanita seseksi Lidya. Saat itu ia sedang mengantar gorengan yang dipesan sang majikan yang sedang ronda. Bahkan majikannya sendiri mengatakan kalau dia tidak keberatan kalau Andi mau tukar tambah dengan istrinya sekarang, ia bersedia membayar berapapun untuk mendapatkan Lidya. Dasar majikannya memang tidak tahu malu…
Tapi Marto tak sepenuhnya menyalahkan majikannya yang hidung belang, tidak ada lelaki yang tidak meneguk ludah kalau ditawari sesosok makhluk cantik seperti Lidya. Hanya dalam waktu singkat, Lidya sudah menjadi warga yang dikagumi dan terkenal, tentunya karena semua orang ingin dekat dengan wanita seseksi dan semolek dia. Kecantikannya membuat Lidya punya banyak kawan, Bapak – bapak ingin menikmati keindahan tubuhnya sedangkan ibu – ibu sangat menyukai sikapnya yang ramah dan manis. Pak Andi memang sangat beruntung, pikir Marto.
Pembantu berkulit gelap itu mengeluh, entah kenapa sejak tinggal di rumah ini dia belum pernah sekalipun memiliki pacar. Sejak putus dengan Narti yang pulang ke desa, Marto tak pernah dekat lagi dengan wanita. Dulu ia punya istri dan anak, tapi istrinya memilih untuk pergi tanpa pamit dengan seorang juragan bawang di kota lain. Sampai hari ini Marto tak pernah berjumpa lagi dengan istri dan anaknya.
Tiba – tiba, bel rumah berbunyi, Marto beranjak dari duduknya dengan satu desahan malas yang sangat panjang, hancur sudah lamunannya. Dengan dengusan kesal ia membuka pintu depan.
Betapa kagetnya Marto ketika ia tahu siapa tamu yang datang. Matanya terbelalak dan lidahnya kelu, dia tidak tahu harus berkata apa. Ini di luar dugaan dan ada di batas impian.
“Selamat malam, Pak.”
“Se – selamat malam, Bu Lid… eh… ma… maksud saya, Bu…. Bu Andi…”
Memang benar, Marto sama sekali tak mengira Lidya akan datang berkunjung malam itu, inikah yang dinamakan pucuk dicinta ulam tiba? Belum lama Marto membayangkan kemolekan tubuh sang tetangga, eh… dianya datang! Benar – benar panjang umur! Sampai terbata – bata dia menyambut kedatangan si makhluk seksi satu ini. Mimpi apa dia semalam?
Tapi senyum lebar Marto berubah lemas ketika tahu ternyata Lidya tidak datang sendiri. Dia datang dengan seorang laki – laki tua yang senyumnya aneh. Kalau tidak salah, orang ini adalah Pak Hasan… ayah Pak Andi, mertua Lidya!
“Kami tidak menganggu, kan?” tanya Lidya lembut.
“Ti… tidak! Tidak kok! Tapi rumah baru kosong ini, Bu! Pak Toni sama keluarga kebetulan baru pergi keluar kota.” Jawab Marto kikuk. “Mungkin seminggu lagi baru pulang. Ada acara nikahan.”
“Oh, tidak apa – apa.” Kata Pak Hasan, “yang kami cari bukan Pak Toni sekeluarga, kami mencari anda.”
Marto tambah kebingungan, jangan – jangan ia sudah melakukan hal yang menyinggung keluarga Pak Andi ini. Orang kecil seperti Marto memang selalu khawatir jika menyinggung ‘kaum majikan’, karena nasib mereka tentunya ada di tangan kaum majikan. Tubuhnya jadi merinding karena ia takut sekali seandainya berbuat salah di luar kemauannya. “Saya? Memangnya ada perlu apa ya, Pak? Perasaan saya tidak berbuat salah kan, Pak?”
“Ha ha ha, tidak kok, Pak Marto. Anda tidak melakukan kesalahan apa – apa. Kami hanya ingin berbincang – bincang sejenak. Kami tahu Pak Toni sekeluarga baru pergi, jadi kami sengaja datang malam ini karena kebetulan hari ini saya menginap di rumah anak saya, si Andi kan baru pergi keluar kota.” Jawab Pak Hasan sambil tertawa terbahak – bahak. Ia suka sekali melihat orang seperti Pak Marto ini kebingungan.
“Boleh kami masuk dulu?” tanya Lidya dengan lembut.
Suaranya bagai biduan surga menyenandungkan lagu yang indah, enak sekali didengar. Suara yang menyejukkan.
“Bo… boleh… si… silahkan…”
Lidya dan Pak Hasan masuk ke dalam rumah dan duduk di sofa di ruang tamu setelah dipersilahkan oleh Marto.
“Jadi, kira – kira apa yang mau dibicarakan ya, Pak?” tanya Marto dengan cemas. Dia tidak mau dipecat gara – gara kesalahan kecil yang ia sendiri tidak tahu apa yang telah ia perbuat… eh tunggu dulu… jangan – jangan ini gara – gara beberapa minggu yang lalu ia melihat Lidya menjemur pakaian hanya dengan mengenakan kemeja kedodoran yang membungkus tubuh seksinya. Jangan – jangan ia ketahuan mengintip???
Jantung Marto berdetak dan nafasnya naik turun ketakutan. Apa yang harus dilakukannya sekarang? Keringatnya menetes deras dan membasahi wajah yang pucat pasi.
“Kalau tidak salah beberapa minggu yang lalu… Pak Marto mengamati menantu saya ini sedang menjemur pakaian?” tanya Pak Hasan pelan.
Mati dia! Jantung Marto makin keras berdetak bersamaan dengan bertambah derasnya keringat yang mengaliri jidatnya. “Su… sungguh, Pak! Saya tidak sengaja! Saya benar – benar menyesal melihat ke atas saat itu! Saya benar – benar tidak sengaja! Saya minta maaf… Pak… Bu…. saya minta maaf… saya…”
“Menurut Pak Marto, menantu saya ini cantik tidak?”
Kaget juga Marto mendengar pertanyaan lanjutan dari sang pria tua gemuk yang senyumnya aneh ini. “Ca… cantik.”
“Seberapa cantik?”
“Se… seperti bidadari…” gagap Marto mencoba mengeluarkan kata. Walaupun akan terdengar aneh, namun Marto berucap jujur.
Wajah Lidya bersemu merah mendengar pujian dari pembantu sebelah rumahnya. Ia tersipu – sipu, menambah manis wajahnya yang menggemaskan.
“Kalau tubuhnya? Seksi tidak?”
Marto benar – benar tercengang, kok pertanyaannya aneh – aneh begini? “Se…seksi, Pak.”
“Seberapa seksi?”
“Sa… saya takut menjawab pertanyaan ini, Pak… saya takut kalau – kalau saya jadi kurang ajar. Sungguh, Pak. Saya mohon ampun kalau kemarin saya berbuat salah… bukan maksud saya untuk…..”
“Seberapa seksi menantu saya ini, Pak Marto?”
Marto gelagapan, ia benar – benar takut menjawab pertanyaan yang diajukan itu. Ia bagaikan seorang tahanan perang yang sedang dimintai keterangan oleh pihak lawan, salah menjawab, kepalanya akan dipenggal. Keringat pembantu rumah tangga yang sederhana itu menetes deras, pakaian yang ia kenakan basah kuyup oleh keringat. “Bu – bu Andi… se… seperti bintang film… tubuhnya sek… seksi sekali…”
Mendengar jawaban itu Pak Hasan tertawa terbahak – bahak dan bertepuk tangan sementara wajah Lidya yang manis kembali memerah.
“Luar biasa. Luar biasa.” Kata Pak Hasan, “karena Pak Marto telah menjawab pertanyaan kami dengan jujur, maka menantu saya ini akan memenuhi satu keinginan Pak Marto sebagai hadiahnya. Apapun keinginan itu! …termasuk jika Pak Marto ingin menyentuh… atau memeras, atau mencium bagian dari tubuh menantu saya…” kata Pak Hasan sambil mengedipkan mata.
Samber geledek!! Marto sampai melompat dari duduknya.
Sumarto adalah pria desa yang sederhana, apa yang baru saja dikatakan Pak Hasan membuatnya kaget setengah mati. Ia mengira apa yang pernah dilakukannya akan menyebabkannya dihukum, ia tidak menyangka Pak Hasan dan Bu Lidya justru memberikannya hadiah. Yang lebih mengagetkan adalah hadiah yang diberikan oleh mereka adalah… pelayanan dari Bu Lidya!!!
“A… apapun?”
“Apapun.” Tegas Pak Hasan.
“I… ini main – main kan?”
“Tidak.”
“Tidak bohong?”
“Tidak.”
Marto meneguk ludah. “Ka… Kalau begitu saya ingin… saya ingin…”
“Apapun. Kecuali yang ‘itu’.” Pak Hasan terkekeh, ia tahu dengan pasti apa yang diinginkan Marto bahkan sebelum ia mengucapkannya. Pembantu rumah sebelah itu tersipu – sipu malu karena ketahuan.
“Yang ‘itu’ tidak boleh, ya?”
“Sayangnya tidak boleh. Mau diapakan saja boleh, asal jangan ada ‘sesuatu masuk ke ‘sesuatu’.” Kata Pak Hasan. “Baiklah, apa keinginan Pak Marto?”
Marto mencoba mengamati Lidya dari jempol kaki hingga ke ujung rambut. Seorang bidadari yang sempurna. Apa yang akan kamu minta seandainya kamu bisa meminta seorang bidadari untuk mewujudkan impian terliarmu?
“Boleh apa saja?” Marto mengulang pertanyaannya.
“Apa saja.” Pak Hasan mengulang jawabannya.
“Ka… kalau begitu, sa… saya ingin Bu Andi menari di pangkuan saya…” Marto meneguk ludah dengan nafsu. “…tanpa mengenakan celana dalam.”
Mendengar permintaan itu, Lidya sedikit panik, si cantik itu tahu ia tidak bisa menolak permintaan Marto. Pak Hasan akan marah dan hal – hal yang buruk bisa terjadi. Satu – satunya harapan bagi si cantik itu adalah dengan menuruti kemauan pembantu sebelah rumah yang sederhana ini, lagipula Lidya sudah sangat sering menari di pangkuan mertuanya yang cabul.
Kebetulan Lidya mengenakan rok model mini flare yang hanya menutup hingga di atas lutut. Dia bisa dengan mudah melepas celana dalamnya karena bagian bawah rok berbentuk mekar. Dengan hati – hati sekali Lidya mengangkat bagian bawah roknya, mengait karet di pinggir celana dalam dan menarik turun satu – satunya pelindung kemaluannya itu. Lidya melakukan ini dengan pelan – pelan sekali.
Justru karena Lidya melakukannya dengan perlahan, apa yang dilakukan si cantik itu ibarat pertunjukan striptease, langsung di depan mata Marto! Pembantu sebelah rumah itu langsung meneguk ludah dan belingsatan melihat aksi Lidya. Ia bisa melihat dengan jelas paha mulus istri Pak Andi, benar – benar tiada duanya! Ini benar – benar pucuk dicinta ulam tiba! Dengan mata kepala sendiri Marto bisa menikmati celana dalam Lidya menelusuri kakinya yang jenjang dan seputih pualam lalu lepas di ujung kaki tanpa halangan.
“Berikan padanya…” bisik Pak Hasan pada Lidya yang tadinya hendak meletakkan celana dalam di lantai.
Dengan langkah yang bagi Marto luar biasa seksi, Lidya maju perlahan sambil membawa celana dalam mungil berwarna merah muda yang baru saja dilepas dari dekapan kemaluannya yang harum. Ia memberikannya kepada Marto yang menerimanya dengan tangan bergetar. Lidya membungkukkan badan sedikit agar ia bisa mencapai telinga Marto.
“Simpan baik – baik.” Bisik Lidya dengan suara bergetar. Siapa bilang ia juga tidak takut?
Marto menerimanya dan memasukkannya ke dalam kantong celana. Ia meneguk ludah.
Berada di dekat Lidya sudah membuat Marto belingsatan. Ia tak mampu mengendalikan nafsunya lagi, kemaluannya menegak dengan cepat. Pembantu rumah tangga itu bisa melihat kerling mata Lidya menyapu selangkangannya dan melirik ke arah tonjolan yang muncul di sana. Entah ia harus malu… atau malah…
Marto hanya duduk saja, terdiam tak tahu harus berbuat apa. Tiba – tiba saja hari menjadi semakin gelap baginya. Lidya duduk di sampingnya, bahkan gerakan si jelita duduk pun membuat Marto jadi semakin tidak karuan. Lidya menautkan satu kaki ke paha Marto dan mulai mengambil posisi untuk duduk di pangkuannya. Melihat keringat Marto makin deras, Lidya mulai kasihan, namun tatapan mata tajam Pak Hasan memerintahkannya untuk menggoda. Ia mengangkat perlahan roknya untuk memperlihatkan kakinya yang panjang dan seksi dan sedikit mempertontonkan bulat pantatnya yang ranum.
Perlahan – lahan Lidya naik ke pangkuan Marto.
Marto meneguk ludah, tangannya tak berani digerakkan, terkungkung walau tak terikat. Matanya menatap tak lepas belahan indah di selangkangan perempuan cantik yang kini duduk di pangkuannya. Lidya meletakkan kakinya ke lantai dan tangannya di lutut Marto, si cantik itu duduk membelakanginya. Bidadari jelita itu bisa merasakan gesekan antara belahan pantatnya dengan gundukan pada selangkangan Marto. Gundukan yang cukup keras, Lidya mulai membayangkan seberapa besar sebenarnya barang milik Marto karena gundukan itu terus saja membesar.
Lidya memejamkan mata setelah melirik Pak Hasan, senyum kejam yang tersungging di bibir sang mertua jelas merupakan perintah baginya untuk memuaskan sang pembantu rumah sebelah. Si cantik itu mulai menggerakkan pantatnya yang seksi dan menggesek gundukan kemaluan Marto, mencoba meletakkan gundukan itu di tengah belahan pantatnya, mempertemukan celana Marto dengan selangkangannya yang kini sudah telanjang.
Tubuh Marto bergetar, ia bisa merasakan bibir kemaluan Lidya menggesek celananya. Bibir kemaluan yang sepertinya sudah basah. Marto sudah tak mampu lagi bertahan… jika ini terus berlanjut… dia bisa… dia bisa keluar…
Melihat Marto sudah mulai tak tahan lagi, Lidya mengubah posisi. Dia berbalik ke belakang, berhadapan langsung dengan Marto. Tubuh mereka begitu dekat, hembusan nafas Lidya bisa dirasakan hangat menyentuh wajah Marto. Si cantik itu melepas kaos ketat yang membelit bagian atas tubuhnya, menyembulkan buah dada sentosa yang membusung di dalam bra. Mata Marto hampir copot melihat keindahan tubuh wanita jelita yang kini duduk di pangkuannya.
“Lepas behamu, Nduk.” Kata Pak Hasan, pria tua itu memilih menonton Lidya dan Marto di belakang. “Biar Pak Marto bisa melihat susumu…”
Malu sekali rasanya Lidya mendengar mertuanya mengatakan hal itu kepada orang yang tidak pantas melihat tubuhnya telanjang. Dengan jantung berdebar Lidya melepas kait belakang penyangga payudaranya.
Bagaimana dengan Marto? Tubuh pria sederhana itu bergetar hebat ketika ia secara langsung bisa menikmati buah dada wanita cantik yang menjadi pujaan semua orang ini. Balon payudara Lidya memiliki ukuran yang pas, tidak terlalu besar dan tidak terlalu kecil. Putingnya yang berwarna merah jambu gelap menjorok keluar seperti menunjuk ke arah dada Marto.
Marto tak kuat lagi, matanya terpejam dan iapun terpekik tertahan. Oh tidak! Tidak! Jangan! Jangaaaaan!!! Aaaahhh!!! Siaaaaal!!! Ia telah mencapai puncak!!! Dengan segenap kekuatan, Marto menembakkan air cintanya, sayang… masih di dalam celana. Habis bagaimana lagi? Dia sudah tidak kuat.
Ketika selesai, tubuh si pembantu itu melemas. Lidya bisa merasakan denyutan penis Marto yang menggesek selangkangannya. Penis yang tadinya kencang kini melemas selepas mengeluarkan cairan yang membasahi celananya sendiri. Lidya ikut kebingungan dan berulang kali menengok ke arah Pak Hasan.
Pak Hasan malah tertawa tergelak. Lidya masih duduk di pangkuan Marto dan payudaranya kini memantul – mantul di depan wajah pembantu sebelah rumah yang ketakutan setengah mati. Pria sederhana itu tak akan pernah mengira hal seperti ini akan terjadi dalam hidupnya. Pak Hasan baru saja menjadikan impian Marto menjadi kenyataan. Sayang Marto sudah… lemas.
Pria tua itu tersadar ketika Lidya memandangnya dengan pandangan takut. Pak Hasan tergelak lagi, ia mengatupkan jemari, membuat semacam lingkaran dengan menekuk ibu jari dan menemukan ujungnya dengan ujung telunjuk dan jari tengah. Pak Hasan menggerakkan tangannya itu naik turun. Lidya mengangguk mengerti.
Jemari Lidya meraba selangkangan Marto dengan gerakan pelan, tubuh si pembantu yang sudah lemas bergetar kembali. Untungnya penis pembantu itu belum sepenuhnya lemas, dengan rangsangan wanita semolek Lidya, gairah Marto pasti kembali naik.
Melalui gerakan pelan yang sepertinya sudah sangat terlatih, Lidya menurunkan celana Marto. Si cantik itu terpekik pelan melihat penis hitam besar menyentak keluar seperti seekor tikus meluncur lepas dari jebakan. Dengan jemari yang sama bergetarnya, Lidya meraih penis itu dan menggenggamnya. Marto merem melek merasakan barang berharganya digenggam oleh tangan halus seorang bidadari, ia tambah tak tahan ketika Lidya menaikturunkan tangannya untuk mengocok penis Marto.
Marto membalas dengan meremas buah dada Lidya, mencubit pentilnya yang menjulang dengan gemas dan menelusuri lekuk tubuh Lidya sebelum akhirnya meremas pantatnya yang bulat. Tidak berhenti di situ saja, tangan Marto makin berani dengan menyentuh paha Lidya dan mengelusnya. Telapak tangan yang kasar milik Marto meraba paha putih mulus Lidya, membuat si cantik itu bergetar menahan rasa. Walaupun tidak boleh memasukkan penisnya ke dalam memek Lidya, tapi bola yang ada di kantung kemaluan Marto sudah sejak tadi terantuk – antuk bibir liang cinta Lidya. Lidya yang keenakan menggesekkan kantung kemaluan Marto ke bibir memeknya seiring tangannya mengocok penis yang kembali mengeras.
Marto berbisik kepada Lidya, menyatakan betapa ia ingin memasukkan penis ke dalam memeknya, namun si cantik itu tersenyum dan menggeleng. Marto tahu ia tidak mungkin bisa menyetubuhi Lidya, tapi tak ada salahnya meminta ijin dan bertanya kan? Lidya yang merasa kasihan tahu kalau Marto sudah sangat terangsang, ia mengulum ujung telinga Marto dan meneruskan kocokannya agar lelaki sederhana itu bisa segera mengeluarkan cairan cintanya. Ia membiarkan Marto menjilati leher dan buah dadanya.
“Ouuughhhhh…. ssstttt….” desah Lidya manja ketika lidah Marto bergulat dengan puting susunya.
Mendengar desahan Lidya, Marto tak tahan lagi, ia berteriak kencang ketika kembali sampai di puncak kenikmatan… “Hraaaaghhhhh!!!!”
Cairan kental berwarna putih gading terlontar berulang dari kepala kemaluan Marto. Muncrat dari ujung gundulnya dan membasahi jemari lentik Lidya yang saat ini tersenyum, akhirnya selesai juga, ia bisa pulang dan…
“Bersihkan dong, Nduk.” Perintah Pak Hasan, “kasihan Pak Marto kalau barang – barangnya kotor.”
Lidya mengutuk mertuanya yang tidak punya perasaan. Dengan memejamkan mata Lidya pertama – tama membersihkan jemarinya dulu, ia jilat seluruh cairan cinta yang menempel di sana dan ditelannya dalam – dalam. Dengan hati – hati pula Lidya menjilati batang kemaluan Marto dan menelan seluruh pejuh yang tadi sempat keluar. Kasihan sekali pembantu itu sekarang, merem melek keenakan.
Pak Hasan terkekeh melihat menantunya menjilati penis milik pembantu tetangga dan menelan cairan cinta yang keluar dengan segenap perasaannya. Ini akan jadi pertunjukan yang lama dan menarik.
Pak Hasan membuka tutup botol air mineral yang sudah ia siapkan dan meminumnya. Pertunjukan yang lama dan menarik, ulang batinnya. Pak Hasan bertepuk tangan ketika Marto menggenggam pinggiran kursi tempatnya duduk dan mengejang akibat menahan rangsangan hebat yang ditimbulkan oleh sepongan Lidya.
Benar sekali. Rasanya malam ini akan jadi malam panjang.
Pak Hasan tertawa.
Ini pasti akan menyenangkan!
“Ayo, Nduk! Bikin punya Pak Marto berdiri lagi!”
Benar – benar malam yang panjang.
Beruntung sekali Pak Hasan punya menantu satu ini.
Menantu, yang namanya Lidya.
###
BAGIAN SEPULUH
TAMAT