Kisah ini adalah merupakan lanjutan rangkaian pengalamanku sebagaimana yang telah kuceritakan dalam Serigala Lapar, Trilogi 1: The Clan, yang mengungkapkan bahwa selama ditinggal suamiku tugas ke luar kota, ada temannya yang menjadikanku sebagai istri yang suka menyeleweng, dan penyelewenganku itu menjadi berantai. Dan kini aku sedang menghadapi teman-teman Mas Adit yang bak serigala lapar yang berusaha untuk bisa membawaku ke tempat tidur.
Semuanya ingin merasakan bercumbu denganku. Dari Rendi, kemudian beralih ke Burhan dan Wijaya, kemudian Basri petugas Satpam yang suka mengantar Mas Adit suamiku. Aku tak bisa mengelak, karena aku takut kalau di antara mereka ada yang kecewa dan kemudian melaporkanku pada suamiku. Tetapi kuakui bahwa semua hal yang berlangsung itu kulakukan dengan penuh kesadaran dan bahkan kunikmati.
Pada malam setelah Basri si Satpam yang terpaksa kuterima untuk menyetubuhiku di atas ranjang pengantinku, aku akhirnya jatuh tertidur pulas kelelahan. Pukul 9 pagi esoknya, terdengar tukang koran membangunkanku. Dia menagih rekening bulanan koranku. Dengan daster tidur, aku keluar menemuinya dan kusodorkan bayarannya. Kemudian aku mandi dengan air panas hingga kesegaranku pulih kembali.
Mas Adit akan pulang ke Jakarta 2 hari lagi. Mudah-mudahan aku sudah sepenuhnya segar dan tak ada sisa-sisa apapun yang bisa dibaca pada tubuhku atau mengundang kecurigaan akan penyelewenganku. Pukul 10.30 setelah sarapan pagi, aku menyempatkan diri menyiangi dan menyiram tanaman kembangku. Ini merupakan acara rutinku dalam rangka mengisi kegiatan di rumah. Sekitar pukul 12 siang, setelah mengurus tanaman, terasa perutku sangat lapar. Dari lemari es kuambil persediaan sirloin steak 200 gram di chiller. Dalam 20 menit aku sudah menghadapi seporsi besar steak lengkap dengan tumis buncis dan kentang goreng. Dengan penutup orange juice dan segelas besar air mineral, aku makan besar siang ini hingga kekenyangan. Kubaca koran pagi yang belum sempat kubuka lembaran-lembarannya.
Pukul 3 siang, tetanggaku, Bu Tommy mampir ke rumahku untuk meminjam alat pemotong bunga. Di halaman, kami mengobrol tentang berbagai tanaman yang kurawat hingga selalu nampak sehat dan berbunga indah. Pada pukul 4 sore terdengar dering teleponku. Bu Tommy pamit, kemudian aku masuk mengangkat telepon itu.
"Selamat sore, Bu Adit", kudengar suara bariton di ujung telepon.
"Masih ingat saya..,?"
Aku ingat, itu Pak Anggoro, boss di kantor suamiku. Ada apa ini? Pikiranku dipenuhi tanda tanya.
"Selamat sore Pak Anggoro, apa kabar?".
"Baik, Bu. To the point saja ya. Ada dua hal yang ingin saya sampaikan, Bu".
Aku langsung jadi deg-degan nih, ada apa. Tumben-tumbenan seorang boss besar seperti Pak Anggoro meneleponku, kok langsung berbicara serius seperti ini.
"Pertama, saya dapat laporan dari Pak Samin penjaga villa saya di Bogor".
Degg, rupanya rahasiaku petualanganku dengan teman-teman suamiku terbongkar. Matilah aku, pikirku.
"Kedua, saya barusan menelepon Pak Adit".
Wah, benar-benar celaka, kiamat, pikirku.
"Saya minta Pak Adit menyelesaikan tugasnya hingga mendapatkan Surat Ijin Prinsip dari Pak Bupati Kalimantan. Itu artinya Bu, Pak Adit baru bisa sampai Jakarta hari Rabu, 2 hari mundur dari rencananya yang harusnya Senin besok sudah pulang".
Aku mencoba mencari kaitannya antara hal pertama dengan hal yang kedua. Ah, aku mulai curiga. Aku membaca ada tanda-tanda yang tidak benar dari Pak Anggoro. Rupanya serigala-serigala kelaparan terus berkeliaran mencari mangsanya.
"O iya Pak. Ya bagaimana lagi, khan Mas Adit memang harus menyelesaikan tugasnya", aku berusaha menanggapinya dengan ringan dan tenang.
"Benar Bu, dan saya sudah merencanakannya, apabila Pak Adit berhasil menyelesaikan tugasnya, akan mendapatkan surprise dari perusahaan, kami sudah sepakat untuk mengangkatnya jadi Wakil Direktur. Itu artinya dia akan mendapat loncatan promosi 2 kali. Hal tersebut belum pernah kami berikan kepada karyawan lain sebelumnya. Tetapi tolong untuk hal ini menjadi rahasia kita dulu ya Bu, biar Pak Adit merasakan surprisenya itu".
"Ooo, baik, Pak. Terimakasih, Pak".
Wah, Pak Anggoro berusaha memamerkan kebaikan hatinya.
"Tt.., tte.., tapi.., B.., Bbu.., ini berkaitan dengan hal yang pertama tadi. Saya rasa kita perlu membicarakannya berdua, Bu".
"Maksud Bapak?", aku menempatkan diri seakan aku tidak tahu apa-apa dengan yang dimaksudkannya laporan Samin.
"Begini Bu Adit, Ibu sudah tahulah. Samin bilang bahwa selama 2 hari berturut-turut karyawan saya yang teman-teman Pak Adit datang bersama Ibu di villaku. Jadi.., yy.., ya.., inilah yang saya maksud dengan kita perlu membicarakan berdua, agar Pak Adit tidak tersendat promosinya di kantor".
"Saya sudah booking President Suite Grand Hyatt di jalan Thamrin, jam 5.30 sore ini. Bu Adit saya tunggu di Dome Coffee Shop. Jangan dilewatkan ya Bu. Saya tunggu lho", nadanya memerintah, seakan aku bawahannya dan dia bisa seenaknya memerintahku.
Aku masih bengong saat Pak Anggoro menutup teleponnya tanpa memberikan kesempatan padaku untuk berbicara. Dara serigala kelaparan bermental pemeras, umpatku dalam hati. Yang satu ini adalah serigala tua yang sangat kelaparan sehingga begitu mendengar kasusku saat berada di villanya di Bogor, dia merasa mendapat kesempatan. Dia pikir bisa seenaknya memilih dan menetapkanku sebagai mangsanya. Pak Anggoro itu adalah boss suamiku yang walaupun fisiknya masih gagah, sehat dan segar tetapi usianya telah gaek, mendekati 60 tahun.
Bagaimana lagi ini. Gara-gara Rendi, aku dibuatnya super sibuk selama beberapa hari ini. Tetapi kalau masalah ini sampai pada Pak Anggoro, terus terang sama sekali tak pernah kuperhitungkan sebelumnya. Dengan mendengar pembicaraannya di telepon tadi, kalau kuabaikan akan bisa mengancam posisi suamiku di kantor. Apa yang sesungguhnya telah terjadi? Dengan penuh tanda tanya, ragu, takut, khawatir, kesal karena orang-orang mendekatiku dengan cara memeras, akhirnya aku pergi mandi dan bersiap-siap memenuhi panggilan Pak Anggoro.
Di atas taksi yang menuju ke Grand Hyatt Hotel di Thamrin, aku mencoba membayangkan sosok Pak Anggoro. Menurut Mas Adit, walaupun lahir di Jawa dan Bapaknya orang kraton Solo, tetapi dia masih memiliki darah keturunan dari timur tengah. Memang dari profil wajahnya, cukup nampak garis-garis Semitnya. Kalau sedang berkumpul, Ibu-ibu para istri teman-teman Mas Adit sering berbisik-bisik bahwa Pak Anggoro mirip Omar Syarif, bintang film Mesir yang memang tampan. Dalam beberapa kali kesempatan mendampingi Mas Adit, kuperhatikan mata Pak Anggoro yang tak lepas-lepasnya memandangiku walaupun istrinya, Bu Retno yang terkenal cantik pula di masa mudanya, yang katanya juga masih keturunan raja Solo itu selalu berada di sampingnya. Aku sudah tahu dan terbiasa akan hal seseperti itu. Para lelaki memang selalu haus. Apa lagi kalau mendengar perkataan Rendi, menurut istri-istri teman sekantor Mas Adit, akulah yang paling cantik dan sensual. Bibirku mengingatkan para lelaki itu pada bibir Sarah Ashari. Demikian pula rambutku yang panjang yang lebih suka kulepas terurai.
Dengan kepalaku yang hanya setinggi dadanya, aku perkirakan tingginya mendekati 180 cm. Tetapi dengan badannya yang cukup gemuk, aku kira bobotnya tak kurang dari 75 kg, dengan tangan-tangannya berbulu lebat. Seperti lebatnya orang timur tengah pada umumnya. Kulitnya yang putih, membuat bulu-bulu itu nampak kontras tumbuh di atas kulitnya. Aku sering tergetar kalau melihat lelaki berbulu seperti itu. Aku tidak bisa membayangkan seperti apa bulu-bulu yang ada di bagian tubuh lainnya. Suaranya yang bariton, menambah wibawa kepemimpinannya selaku Direktur Utama perusahaan tempat Mas Adit bekerja. Dia juga nampak sangat matang, baik sebagai pimpinan, maupun sebagai pribadi. Pak Anggoro, orangnya nampak sangat "gentleman". Beberapa kali dia membukakan pintu mobilku saat aku sedang bertandang ke rumahnya dalam rangka kegiatan antar para istri karyawan perusahaannya, di mana Ibu Anggoro selaku ketuanya.
Sedikit banyak aku juga tahu, "booking" President Suite Grand Hyatt itu, setidaknya sekitar US$ 2.500 yang harus dia keluarkan dari koceknya. Itu artinya tidak kurang dari Rp. 20 juta semalam atau 4 bulan gaji Mas Adit yang penuh kerja keras itu. Dan pengeluaran sebesar itu hanya untuk bisa "ngeloni" aku, istri Mas Adit, bawahannya.
Ada juga terselip sedikit rasa tersanjung di hati kecilku dengan apa yang telah Pak Anggoro lakukan untukku itu.
Persis di depan pintu kaca besar di Dome Coffee Shop Grand Hyatt, Pak Anggoro menjemput dan membukakan pintu Dome untukku.
"Selamat sore, Bu", ucapannya yang bariton dan begitu "gentleman" itu sambil sedikit menundukkan kepalanya.
Dia telah "reserve" meja persis di depan kaca lebar yang menghadap ke patung Selamat Datang yang terkenal itu. Kepada pelayan dia memesan sesuatu. Dia tersenyum kepadaku.
"Bu Adit, jangan tanya pesanan saya ya. Ini sengaja tidak saya tawarkan pada Ibu. Ini surprise dari saya untuk Ibu karena Ibu sangat cantik malam ini, eh, sore ini", dan tanpa ragu, tangannya yang berbulu lebat itu meraih tanganku dan meremasnya. Ah.., Bapak ini PD-nya kelewatan, begitu bathinku.
"Dan maaf, saya telah merepotkan Bu Adit", lanjutnya berkaitan dengan pemerasan lewat telepon yang dia lakukan sore tadi padaku.
Dia perhatikan aku sepenuh mata dan hatinya. Dia juga perhatikan aku sepenuh laparnya seekor serigala lapar. Aku merasa seakan hendak dikunyah-kunyahnya. Seakan hendak dia telan bulat-bulat. Aku merasa dia seakan mendapatkan makanan yang terlezat dengan mendapatkanku sekarang ini. Kurasa air liurnya tak lagi tertahankan untuk mulai merobek-robek diriku. Aku berusaha tenang, walaupun sesungguhnyalah aku merasa "nervous", agak takut, agak gemetar. Tetapi, tidak tahu juga, hatiku sekaligus juga tergetar. Bahkan gigiku terasa gemerutuk saling beradu karena gemetarku.
Aku merasakan seperti ada birahi yang menjalar pada diriku. Birahi selaku perempuan yang harus menyerahkan diri dan menyerahkan tubuhnya ke meja altar untuk dijadikan korban nafsu dan mangsa serigala yang lapar. Tetapi anehnya, situasi yang harusnya menyeramkan itu justru menyimpang menjadi sensasi erotik yang membakar darahku. Dan sensasi erotik itu menimbulkan perasaan nikmat penuh birahi yang terasa mulai merambati libidoku. Kenikmatan birahi karena aku telah ditaklukkan, dikalahkan, ditawan, ditundukkan, diinjak-injak, diperbudak dan dimusnahkannya harga diriku. Penyelewenganku di villa Bogor itu telah membangunkan Pak Anggoro, serigala tua yang kelaparan ini.
Sepintas kuperhatikan dia. Nampak sangat segar dan penuh percaya diri. Yang pasti, kecukupan dan kesenangan duniawinya tak akan pernah kekurangan. Tubuhnya yang besar tetap nampak serasi, tidak terlampau gemuk dan sedap dipandang mata, khususnya oleh orang yang sedang dilanda birahi sebagai orang taklukan seperti aku sekarang ini. Gerakannya lincah, tanpa nampak adanya kendala usia pada tubuhnya. Dengan "trengginas" dia tarik kursi dan membimbingku untuk duduk. Senyumannya menebar keluar dari wajahnya yang memancarkan nuansa rasa tenteram dan terlindungi bagi siapapun yang dekat dengannya.
Kulitnya yang putih, dengan wajah sedikit mengingatkan wajah-wajah timur tengah seperti Omar Syarif itu, memancarkan kesan sebuah pribadi yang anggun dan penuh kharisma. Dengan brewok dan kumis yang selalu tercukur licin hingga menyisakan bayangan keunguan dari akar rambutnya pada dagu dan sekitar mulutnya, wajah Pak Anggoro nampak sangat jantan. Sangat macho. Alisnya yang tebal dan matanya yang nampak tajam seperti elang gurun terasa menusuk langsung ke jantungku. Kembali aku tergetar hingga gigiku bergemerutuk. Aku menggigil, tetapi bukan oleh dinginnya ruang AC Coffee Shop Dome ini. Sedikit botak di kepalanya justru menunjukkan daya tarik seksualnya. Para perempuan akan membayangkan alangkah indahnya apabila botak seperti itu berkesempatan bersandar pada buah dada mereka. Giginya yang putih dan sangat terawat nampak membuat gaya bicara maupun senyumannya menjadi simbol keramahan, kesantunan dan penuh sensualitas.
Sore ini beliau memakai kemeja lengan pendek dengan gambar bunga-bunga yang menunjukkan bahwa dia sangat santai, tak ada beban, tak ada masalah-masalah yang menggelayutinya. Tercium sedikit semburat parfum khusus untuk pria. Tidak dominan, sehingga bau keringat alaminya masih bisa tercium lewat hidungku.
"Bu Adit sungguh sangat cantik. Sangat mempesona", begitu dia mengawali pembicaraannya sesaat setelah membisikan pesanan rahasianya pada pelayan Dome.
Matanya tak pernah melepaskan pandangannya padaku, pada bagian-bagian tubuhku. Aku tersenyum dan hatiku membumbung ke langit penuh bunga-bunga. Diraihnya tanganku dan diremasnya dengan penuh keyakinan bahwa aku telah menyerah menjadi tawanannya. Aku tidak mampu lagi berkutik, dan siap menjadi budaknya untuk dikorbankan pada meja altar nafsu lapar birahinya.
Bersambung ...