Mulutku sengaja diam untuk menampung semua cairan kental yang tumpah ini. Pada kedutan yang ketujuh, mulutku sudah penuh. Aku menganga dan menunjukkannya pada Pak Anggoro. Dia meraih kepalaku, mengelus dan mencium sedikit bibirku. Dia menginginkanku menelan seluruh spermanya. Dan hal itu langsung kulakukan sekaligus untuk membasahi tenggorokanku yang selalu haus sperma ini.
Pak Anggoro langsung rubuh ke ranjang. Tangan-tangan dan pahanya terentang seluas ranjang King Size itu. Sepertinya aku sedang menyaksikan beruang putih yang kelelahan setelah menyetubuhi betinanya. Bulu-bulu dadanya itu, aku sedemikian terobsesinya, bahkan setelah orang ini menumpahkan demikian banyaknya lendir kontolnya ke mulutku.
Sementara Pak Anggoro masih tergolek, aku menyiapkan air panas untuk mandi. Kini jam menunjukkan pukul 10 malam. Kami telah berasyik masyuk tanpa jeda selama hampir 2 jam. Dan kepuasan orgasme yang telah kuraih, benar-benar karena pasanganku, Pak Anggoro yang sangat mengenal seninya bercinta. Dia sungguh menikmati setiap detail cinta yang kupersembahkan padanya. Entah itu berupa sentuhan, pijitan, kecupan, jilatan, sedotan dan gigitan yang telah kulakukan pada lembah dan bukit-bukit tubuhnya ataupun yang sebaliknya dia lakukan pada tubuhku.
Aku juga sangat kagum betapa semua ulahnya langsung mendongkrak saraf-saraf erotisku. Hanya dengan permainan jarinya pada klitoris serta dinding-dinding dalam vaginaku, Pak Anggoro telah melemparkanku ke langit kenikmatan yang sangat tinggi, hingga aku bisa meraih orgasmeku. Aku sangat puas. Aku jadi teringat Mas Adit. Kamu juga bisa Mas, pasti bisa kalau kamu tidak egois. Aku sudah membuktikan, bahwa kepuasan bukan semata-mata diperoleh karena ketampanan atau kecantikan, muda, besar ataupun panjangnya ukuran, tetapi lebih kepada wawasan, kecerdasan, sikap toleransi untuk tidak egois, selera dan kepekaan, daya imajinasi, kreatifitas dan kemauan yang serius. Aku ingin berterus terang Mas, kalau saja aku diberikan kesempatan, aku selalu siap menolongmu.
*****
Segarnya air panas. Aku membersihkan semua sisa-sisa persetubuhanku tadi. Lendir mani dalam vaginaku belum sepenuhnya bersih, walaupun Pak Anggoro sudah menyedotnya tadi. Dengan kimono lembut yang tersedia untuk sepasang tamu kamar mewah itu, aku keluar dari kamar mandi. Pak Anggoro sudah bangun, sedang duduk setengah telanjang di sofa. Lagi-lagi aku tetap tergetar menyaksikan bulu-bulu dadanya itu. Mungkin karena baru kali ini aku mendapatkan dan merasakan nikmat birahiku pada saat tersentuh bulu-bulu itu. Pak Anggoro bangkit untuk mandi setelah sebelumnya dia menelepon room service untuk menghidangkan makan malam yang menunya telah dia pesan bersamaan dengan kedatangannya sore tadi.
Aku mengeringkan rambutku. Beberapa saat setelah kami mandi dan sama-sama memakai kimono lembut hotel ini, terdengar bel pintu yang lembut. Pak Anggoro membukanya. Dia persilakan para pelayan menyiapkan perjamuan malam di ruang yang tersedia. Aku beranjak ke beranda menyaksikan lampu-lampu Jakarta. Aku tidak ingin bertemu dengan orang lain. Siapa tahu saja di antara mereka ada yang mengenalku. Sekitar 10 menit kemudian Pak Anggoro menjemput dan menggandengku menuju perjamuannya. Wah, kulihat kemewahan Resto Grand Hyatt pindah ke ruang kamar mewah Pak Anggoro. Dengan lampu ruang yang cahayanya difus (buram temaram), nampak lilin-lilin di meja perjamuan menjadi sedemikian romantisnya. Aku sepintas ingat kemewahan suasana makan di kapal Titanic yang tenggelam itu.
Dengan latar belakang desah nyanyian Julio Iglesias, penyanyi Latin yang seksi dan lembut pujaan jutaan wanita itu, suasana dalam ruangan ini menjadi sedemikian fantastik dan eksotik. Aku merasa Pak Anggoro sungguh-sungguh ingin memanjakanku. Aku merasa sangat tersanjung juga terharu. Sedemikian hebatnya dia menghargaiku. Entah benar atau tidak kesanku ini. Atau mungkin juga sekedar pernyataan kepuasannya pada kesediaanku untuk mengulum kontolnya tadi. Ah, tentu saja bukan. Bukankan makanan ini sudah dia pesan sejak awal kedatangannya tadi. Pak Anggoro menarikkan kursi untukku. Kusaksikan makanan serba laut yang mahal terhidang berlimpah di meja. Rasanya ini makanan yang cukup untuk orang se-RT. Demikian banyak dan beragam. Ini semua dimaksudkan untuk memicu dan memacu selera makan kami berdua.
Aku lihat ada lobster dalam "chinese cuisine" yang ditampilkan utuh dengan cangkangnya di atas dagingnya yang telah diiris-iris. Ada kakap yang diiris tipis-tipis untuk dicelupkan dalam saus yang spesial. Ada tumis sirip hiu yang dimasak dalam saus tomat dan arak china. Ada tim kerapu yang pasti masih segar karena berasal dari aquarium restoran hotel ini, dengan daun bawang, seledri dan arak China juga. Di samping kananku, yang juga sebelah kanan Pak Anggoro, kulihat sup kepiting Alaska dengan abalone dan jamur China. Ah, akau tidak tahu lagi dengan yang lain. Aku banyak tidak tahu masakan apa saja ini. Tetapi aromanya yang merebak memang langsung membuat perut kami jadi terasa sangat lapar.
Dibuka dengan minum teh cina yang pahit, Pak Anggoro di seberang meja sana mengajakku untuk mulai melahap hidangan perjamuan di meja. Di akhir perjamuan kulihat Pak Anggoro meraih sebuah botol berisi anggur, menuangnya satu sloki dan menenggaknya. Dia bilang itu adalah anggur tua asli yang dicampur ramuan sehat dari China. Untuk menghargai tawarannya, aku minum satu sloki. Kurasakan nikmat dan sangat segar. Terasa sedikit keras, tetapi lebih tepat jika disebut lembut. Badanku langsung merasa hangat.
Selesai makan yang berlangsung hampir 1,5 jam karena juga diisi obrolan santai sana sini hingga makanan benar-benar turun ke perut, kusampaikan pujian kepada Pak Anggoro akan selera pilihannya yang hebat pada jamuannya malam ini. Kusampaikan kagumku mengenai lilinnya, Julio Iglesias-nya, lobsternya, kepiting Alaskanya, tumis sirip hiunya, minuman anggur Chinanya dan sebagainya. Dia hanya tersenyum. Kedua tangannya meraih kedua bahuku yang kemudian bergeser turun menyusup masuk ke kimonoku, yang memang tanpa kancing kecuali tali pinggang yang kuikat kendor. Dia meraih dan merangkul pinggulku hingga membuatku langsung merinding oleh sentuhan bulu-bulu tangannya itu. Kemudian dengan pandangan yang penuh makna dan dalam, dia berbisik kepadaku.
"Bu Adit, semua ini tak ada artinya dibandingkan keindahan dan kenikmatan yang telah dan akan saya rengkuh kembali darimu. Rekah bibirmu, ranum payudaramu, puting-putingmu, wangi ketiakmu, lembut bokongmu, lembut lubang pantatmu, getas betismu, wangi pahamu, wangi selangkanganmu, legit memekmu, keras itilmu, gurih cairan birahimu. Bu Adit, sungguh-sungguh kenikmatan surgawi yang aku telah temukan di dunia. Saya, Bu Adit, akan terus menerus memendam hasrat birahi pada Ibu Adit sepanjang hayat saya. Akan selalu merindukan indah dan nikmatnya celah, lembah dan bukit-bukit yang Bu Adit miliki ini. Tak ada kata-kata yang sepadan untuk mengucapkan kenikmatan yang kurasakan selama 2 jam terakhir bersama Bu Adit ini".
Kemudian dia mencium dan melumat lidahku sambil tangannya meremas bokongku.
Wow, aku mabuk kepayang oleh romantisnya Pak tua ini. Nafasku seketika terasa sesak. Aku berada dalam keadaan antara tersipu, terharu dan tersanjung. Kalau toh ini semua semata sikap emosi romantisnya Pak Anggoro, bagaimanapun ia telah mengucapkannya secara langsung dan lugas kepadaku hingga pantaslah apabila membuatku yang saat ini bagai tawanannya bertekuk lutut padanya. Aku sungguh-sungguh sangat tersipu, sangat terharu dan sekaligus sangat tersanjung.
Selepas mencium dan melumat bibirku, tanganku beranjak menyusup ke celah kimononya. Aku memeluk tubuhnya. Kusandarkan kepalaku pada dadanya yang penuh bulu itu. Saat bibirku menyentuh puting susunya, secara refleks aku mencium kemudian mengulum dan menggigit kecil putingnya itu. Bulu-bulu tubuhnya yang lekat pada tubuhku semakin membuat mabuk kepayangku tak tertolong lagi. Aku menciumi dada Pak Anggoro sambil merintih lembut. Demikian pula Pak Anggoro mengeluarkan desahan beratnya sambil tangannya menyapu rambutku. Masih kudengar samar-samar rayuan Julio Iglesias tadi.
Pelan, sambil terus saling berpelukan dan melumat, kami beringsut menuju peraduan. Begitu melewati ambang pintu ruang makan, Pak Anggoro merengkuh punggung dan pahaku kemudian mengangkatnya, menggendongku. Dibawanya aku dan direbahkannya ke ranjang. Aku merasa, sekaranglah perjamuan besar yang sesungguhnya bagi Pak Anggoro. Akulah yang akan jadi santapan utama perjamuannya. Dan yang 2 jam pertama tadi hanyalah "apetizer" atau makanan pembuka bagi beliau untuk mengawali jamuan besarnya sekarang ini. Bagai kijang yang telah lumpuh oleh panah beracun cinta yang dilepaskan Pak Anggoro, aku sepenuhnya menjadi tawanan birahinya. Dan aku sendiri memasuki ambang kenikmatan penyerahan diri. Suatu bentuk kenikmatan nafsu birahi yang hadir karena ketidak mampuan untuk berkata "tidak" karena dengan penyerahan diri tersebut aku sedang menyongsong pucuk-pucuk birahiku yang penuh kenikmatan.
Tanpa ada yang dilepaskan dari tubuh-tubuh kami, aku dan Pak Anggoro kembali bercumbu. Ternyata dia tidak langsung menindihku sebagaimana yang kubayangkan sebelumnya. Aku diseretnya ke tepian ranjang hingga setengah kakiku terjuntai. Pak Anggoro bersimpuh di lantai meraih kakiku dan mulai mencium. Mulai dengan kaki kiriku, bibir dan lidah Pak Anggoro menyisiri telapak kaki, betis dan jari-jari kakiku. Lidahnya menari di antara celah-celah jari kakiku dan bibirnya mengulum. Gelinjang yang sangat dahsyat langsung menerpaku. Aku tak bisa menghindar untuk tidak menggeliat-geliat. Kegelian yang amat sangat menyerangku pada setiap jilatan dan sedotan bibir Pak Anggoro. Puas menggauli telapak, tumit dan jari kaki kiriku, ganti tangannya meraih kaki kananku. Dia melakukannya seperti yang sebelumnya dilakukannya pada kaki kiriku. Dan kembali aku menggeliat menahan kegelihan yang amat sangat. Aku juga mendesah dan merintih, meminta agar Pak Anggoro menghentikan manuver bibir dan lidahnya. Tapi tentu saja tidak bisa, kenikmatan yang demikian saja dipotong di tengah jalan. Justru desahan dan rintihan serta gelinjang kaki-kakiku memacu nafsu Pak Anggoro naik semakin menggila. Entah berapa kali aku dengan tanpa sengaja menendang mukanya.
Setelah puas menciumi dan menjilati kakiku, bibir dan lidahnya merambat ke kedua betisku. Betisku yang getas (keras tetapi mudah patah, atau pecah, sebagai gambaran tentang betisku yang sekal tetapi sangat peka terhadap berbagai sentuhan lelaki) dia lumat hingga kuyup oleh ludahnya. Kegelian yang amat sangat segera menyerangku setiap kali lidahnya yang terasa sedikit kasar itu menyapu pori-pori betisku. Ketika dia terus naik menuju ke nonokku sebagai pusat kenikmatan dunia digigitnya lututku. Langsung kakiku berontak kegelian. Tangan-tangannya yang kuat menahan kakiku, sementara bibir dan lidahnya terus melumat lututku. Aku sangat tersiksa rasanya. Seluruh punggungku seperti dirambati jutaan semut, bulu kudukku berdiri. Perasaan sangat merinding merata pada bagian belakang tubuhku. Kini tangankulah yang kuharapkan bisa melepaskanku dari siksaan yang nikmat ini. Aku bangkit setengah duduk. Kurenggut kepala Pak Anggoro dan menolaknya dari ciuman di lututku. Tetapi aku tidak cukup kuat, perempuan ringkih lemah seperti aku ini melawan ganasnya beruang yang menancapkan rahang-rahangnya pada lututku ini. Tapi aku terus melawannya, berusaha menendangnya, berusaha melepaskan diri dari cengkeramannya.
Setelah dari lututku, wajah Pak Anggoro merangsek ke atas lagi. Dengan tangan-tangan kuatnya yang memegang erat-erat kedua pahaku, kembali bibir dan lidah Pak Anggoro melumat pahaku.
"Ooouuhh, jangan, jangan! Aku bencii, aku benci kamuu Anggoroo! Setaann kamu Anggoroo!".
Aku melupakan rasa hormatku pada Pak Anggoro, mengumpat sambil berontak sejadi-jadinya. Aku mengumpat meracau layaknya perempuan kemasukan jin. Suaraku menjadi parau kehabisan suara. Untunglah, Pak Anggoro tenang saja. Sangat paham dan tenang. Hebat. Terus saja dia melakukan hal tersebut. Dia menjadikan dirinya seorang sadistis yang menikmati penderitaan dan kesakitan orang lain. Dan disinilah aku menemukan apa yang disebut sebagai "sensasi birahi". Mungkin bagi Pak Anggoro yang sudah matang dalam petualangan seksnya, dia tahu persis dan sering mengalami reaksi lawan cumbunya seperti begini. Sikapnya yang tenang merupakan bentuk toleransi birahinya agar lawan cumbunya berkesempatan meraih sensasi erotiknya.
Bagiku sendiri, dalam instingku yang sangat jauh, semua upaya perlawananku sebenarnya bukan untuk membuat lawanku menyerah. Semua perlawananku itu adalah merupakan ungkapan kenikmatan tak terhingga yang disebabkan nafsu birahi yang melemparkanku jauh ke langit, ke bintang-bintang nikmat tak terperi. Kenikmatan yang menghempaskanku, jiwaku, saraf-saraf pekaku, darahku hingga ke titik yang paling ekstrim.
Bersambung ...