Kemarin, sekitar jam 8 malam aku mendapat telepon dari Bahar. Itu menurut Pak Roy yang kebetulan menerimanya. Bahar telepon lewat jalur sentral. Barangkali sebelumnya dia sudah mencoba telepon ke kamarku tapi tidak ada yang mengangkat.
Malam itu aku memang sedang keluar diajak Pak Gunawan nongkrong dan ngobrol-ngobrol di Boulevard pinggir laut. Pantas, aku agak gelisah waktu itu. Pak Gun sampai beberapa kali menegurku karena tak menyimak apa yang sedang diobrolkannya.
Ah! aku jadi merasa bersalah pada Bahar. Padahal itu adalah teleponnya yang kedua dalam dua minggu ini setelah telepon pertamanya yang 'nakal' itu (baca Oase 6). Aku tak ingin merasa bahwa sejak dekat dengan Pak Gunawan, aku seperti tak mengharapkan lagi telepon dari Bahar.
Malam itu sepulangku dari Boulevard, Pak Roy menyampaikan pesan telepon itu. Dan selanjutnya malam itu aku sengaja nongkrong di dekat telepon sambil baca-baca majalah. Baru sekitar pukul 10 telepon itu akhirnya berdering. Langsung kuangkat. Dan suara Bahar terdengar bersemangat di seberang sana.
"Apa kabar Mas?" sapanya hangat
"Baik. Abang gimana?" balasku
"Baik juga. Lumayan sibuk. Mas Har tadi sedang kemana?"
Aku agak tercekat. Tapi aku jawab apa adanya, bahwa aku diajak keluar Pak Gunawan, Kepala Mess, ke Boulevard. Bahar tidak bertanya lebih lanjut siapa itu Pak Gunawan. Kami lalu ngobrol ini dan itu, terutama mengenai pekerjaan kami masing-masing.
Di sela-sela pembicaraan di telepon itu, aku sempat terdiam beberapa kali. Bukan apa-apa, mendengar suara Bahar aku jadi merasa bersalah bila teringat bahwa saat ini aku tengah dekat dengan Pak Gun.
"Mas, sudah mau tidur ya?" tanya Bahar mencoba membaca sikapku
"Beluum. Aku sengaja kok nunggu telepon dari Bang Bahar"
"Kangen ya?" canda Bahar
"Ya!" kataku cepat, tapi kembali aku merasa bersalah. Meskipun saat itu aku memang benar-benar kangen sama dia.
Beberapa kali Bahar mencoba mencandaiku dengan kata-katanya yang kocak, hangat dan kadang-kadang mesra.
"Bagaimana? kesepian nggak?" tanyanya
"Pake nanya lagi!" kataku merajuk
"Tahan nggak?"
"Nggaakk!" aku menjawab dengan nada kheki tapi sedikit becanda
"Abang sendiri gimana?" gantian aku yang bertanya
"Tergantung!" jawabnya seenaknya
"Tergantung apa?"
"Tergantung yang menggantung.."
"Hush! mulai deh.."
Ketawa Bahar terdengar lepas. Omongannya yang mulai nyerempet-nyerempet itu membuatku berpikir bahwa ia tampaknya sedang 'menginginkan' sesuatu.
"Bang Bahar lagi 'BT' ya?" tanyaku mencoba menyelidik
"Apa tuh, BT?"
"Birahi Tinggi!" kini gantian aku yang ketawa ngakak. Di seberang sana terdengar suara Bahar yang mengumpat-umpat. Sejenak aku bisa melupakan kegelisahanku. Tapi cuma sejenak, karena tiba-tiba nada suara Bahar jadi serius.
"Mas Har, boleh nggak aku cerita sedikit?" dia bertanya dengan suara datar, kaku.
"Boleh, kenapa?" tanyaku agak heran, kok tiba-tiba suasananya jadi agak lain.
Kami berdua diam sejenak. Lalu Bahar mulai bercerita tentang teman-temannya di galangan kapal Surabaya yang menurutnya tak jauh dari apa yang biasa disebut dengan 'orang kapal'.
"Beberapa hari yang lalu, beberapa teman itu mengajakku ke Dolly.." Bahar tak melanjutkan ucapannya. Seolah menunggu reaksiku. Bagiku, kata 'Dolly' di Surabaya sudah memberiku gambaran kemana arah cerita Bahar. Aku sedikit menghela nafas. Ada rasa cemburu dalam dadaku.
"Mas Har marah?" tanya Bahar terdengar ragu
"Hmmh..?" aku malah menggumam dengan nada tanya
"Mas Har marah?" Bahar mengulangi pertanyaannya
Marah? Harusnya aku tak perlu marah atau cemburu. Bahar memang berbeda dibandingkan aku. Ia punya keinginan dan pengalaman seperti itu. Dan Bahar toh sudah mencoba untuk terbuka. Itu berarti ia masih menganggap dan menghargai aku. Sementara aku sendiri di sini toh juga punya 'cerita' juga dengan Pak Gun. Bahkan aku malah belum ada niat untuk terbuka pada Bahar untuk soal yang satu itu.
"Mas, .." suara Bahar menegurku. Aku menarik nafas.
"Ya..," sahutku,"saya ngerti maksud Abang kok. Saya tak berhak mencegah orang lain melakukan apa yang ingin dilakukannya. Cuma, kalau boleh saya minta, yang penting Abang masih ingat sama saya dan bisa jaga diri.." aku nyerocos karena nervous, dan mungkin juga karena cemburu.
"Di Surabaya sini, aku ingat terus sama Mas Har.." suaranya bergetar, seolah meminta permaklumanku.
"Bahkan waktu 'begituan' di Dolly.., Abang ingat terus sama Mas Har.."
"Iya! saya tahu!" kataku memotong.
Aku bisa memahami maksud Bahar, karena sebenarnya aku juga merasakan hal yang sama: teringat terus wajahnya ketika 'bermain-main' dengan Pak Gun beberapa hari yang lalu. Beberapa saat kami terdiam. Hanya desahan nafas kami yang mengisi pulsa telepon.
"Bang.., sebenarnya.. Sayalah yang mustinya minta maaf.." akhirnya aku buka suara.
"Kenapa?" nada suaranya skeptis.
"Mmm.., aku juga ada cerita. Kalau boleh.."
"Siapa?" pertanyaan Bahar langsung mengarah.
Aku diam tak menjawab. Di seberang sana kudengar Bahar menghela nafas panjang. Sepertinya ia bisa menebak jawabanku.
Akhirnya aku mengakui kedekatanku dengan Pak Gunawan. Bahar masih diam tak berkomentar. Aku takut ia tidak bisa menerima pengakuanku. Bagaimanapun di antara kami harusnya memang ada komitmen kebersamaan, meskipun hubungan kami tidak saling mengikat. Tapi kondisi Bahar sendiri tak mungkin bagiku untuk mengekangnya. Memang, kadang ada rasa cemburu bila aku menyadari bahwa Bahar bisa melakukan apa saja yang dia maui. Kalau saja Bahar bisa membuatku lebih yakin, bahwa bagaimanapun antara aku dan dia saat ini terjalin suatu hubungan antara dua manusia, terlepas dari permasalahan yang ada ketika melakoni hubungan semacam ini.
"Yang namanya Pak Gunawan pasti orangnya ganteng ya?" ada nada cemburu dalam suara Bahar. Aku mengiyakannya dalam hati.
"Ya sudah.., mau gimana lagi.." lanjut Bahar tanpa menunggu jawabanku
"Abang marah?" tanyaku begitu mendengar nada suara Bahar yang tampaknya kesal. Dia diam tak menjawab pertanyaanku. Aku tahu, dia marah.
"Ya. Saya marah.." jawab Bahar pendek setelah beberapa lama terdiam,"Sulit bagi saya membayangkan Mas Har bercinta dengan laki-laki lain.."
"Ya, tapi Abang sendiri..?" jawabku seolah mengungkit apa yang dilakukannya di Surabaya.
"Aku kan main sama perempuan!" ia tak mau kalah
"O jadi begitu?!" balasku kesal.
Entahlah, malam itu aku merasa kami berdua saling bersikap egois tapi sekaligus berusaha untuk saling menenggang rasa. Benturan-benturan perasaan seperti ini bukannya tak pernah kami alami. Sering. Namun yang ini tampaknya sulit untuk kami redakan. Barangkali karena saat ini kami tengah berjauhan. Sebuah komunikasi memang akan lebih efektif bila dilakukan secara face to face. Tidak melalui telepon seperti ini, yang bisa banyak menimbulkan kesalaHPahaman. Karena bagaimanapun ada nuansa yang berbeda antara berdebat melalui telepon dengan bicara secara langsung.
"Oke, sudah dulu ya. Barangkali Mas Har mau tidur.." kata Bahar mencoba mengakhiri percakapan. Aku diam saja. Terserah, kataku dalam hati.
"Oke?" Bahar ingin mempertegas
"Oke..!" nada suaraku kubuat seenteng mungkin.
Klik. Telepon pun kututup.
Sejak itu, selama seminggu aku gelisah dan uring-uringan terus. (Belakangan Bahar juga mengaku mengalami kegelisahan yang sama). Selama seminggu itu juga aku berusaha untuk tak ketemu dengan Pak Gunawan. Pernah ia sekali menelponku tapi aku katakan aku sedang sibuk mengolah data penelitian, dan ia bisa memaklumi.
Tapi entah angin apa yang sedang berhembus malam itu. Ketika aku tengah pusing menganalisa data-data yang ada, tiba-tiba ada yang mengetuk pintu. Aku segera mematikan rokok dan menuju pintu.
Pak Gun rupanya. Aku sedikit tertegun memandangnya. Dia sendiri malah tersenyum lebar. Ramah dan seperti biasanya: kebapakan.
"Ada apa?" tanyanya dengan nada enteng begitu melihat wajahku yang mungkin terlihat kusut.
"Nggak pa-pa. Lagi sibuk saja Pak" kataku sambil mencoba senyum.
Pak Gun langsung saja masuk dan duduk menggelosoh di sofa. Malam itu dia pakai t-shirt warna biru gelap. Cakep. Wajahnya tampak bersih dan segar. Habis mandi tampaknya.
"Mau kopi Pak?" kataku menawari.
"Boleh.."
Begitu kopi kusajikan, tangan Pak Gun langsung menahan bahuku. Dimintanya aku duduk di sampingnya. Aku menurut.
"Kalau lagi ada masalah, cerita saja" katanya sambil memandangku lurus-lurus.
Sok tahu ini orang, pikirku dalam hati. Namun yang keluar dari mulutku: "Oh, nggak, saya baik-baik saja kok Pak"
"Jangan begitu. Bapak tahu kamu lagi ada masalah. Ya kan?"
Aku lalu diam dan menghela nafas. Kepalaku menunduk memandang lantai. Cukup lama. Pak Gun mencoba memijat bahuku. Aku tetap diam saja.
Akhirnya aku ceritakan semua masalahku padanya. Dan karena Pak Gun bertanya lebih jauh, secara flash back akupun menceritakan jalinan hubunganku dengan Bahar.
Beberapa saat Pak Gun terdiam, namun kepalanya mengangguk-angguk. Entah apa artinya.
"Ya sudah, kalau begitu, kalian harus bicara lagi. Maaf ya, ternyata Bapak sudah masuk terlalu jauh dalam hubungan kalian" kata Pak Gun dengan nada yang sulit kumengerti. Kulihat wajahnya seperti orang yang merasa bersalah, tapi juga ada kekecewaan di sana.
"Saya yakin, dia masih mengharapkanmu.." lanjut Pak Gun dengan agak bergetar.
"Ya, saya tahu. Saya juga.. Masih mengharapkan dia.."
Pak Gun kembali memandangku, kali ini agak kaget dengan kalimatku yang terakhir. Aku sendiri kaget dengan kekagetan yang sempat kutangkap dari tatapan matanya. Apakah Pak Gun cemburu?
Malam itu suasana menjadi agak kikuk. Meski Pak Gunawan mencoba bersikap wajar padaku, aku bisa menangkap kegelisahannya. Dan ketika ia pamitan untuk pulang, aku hanya bisa mengiyakan saja.
Sejak malam itu aku merasa bahwa aku seperti tak punya siapa-siapa lagi. Pertama, karena sudah hampir dua minggu aku dan Bahar saling menahan diri untuk tak berkomunikasi. Aku hapal dengan sikapnya itu, begitupun dia, pasti mengerti bagaimana reaksiku saat ini. Yang kedua, seminggu sejak malam itu, tak kulihat sedikitpun kelebatan sosok Pak Gun. Padahal ia orang yang paling rajin bertandang dan berkeliling ke segala sudut mess ini. Itu hampir dilakukannya tiap hari. Kemana dia hari-hari terakhir ini?
Aku mendapat jawabannya sehari setelah aku selesai menghubungi Bahar. Menghubungi Bahar? Ya. Semalam aku berpikir apa salahnya untuk mengontak dia dan mengalah dari semua persoalan ini. Tapi ternyata emosiku yang mulai cair menjadi menggumpal kembali, ketika Bahar dengan sengaja menunjukkan sikap dan rasa malas untuk berkomunikasi denganku. Oke! Aku sudah berusaha memulai. Sekarang terserah dia. Aku kemudian berusaha mendinginkan semua yang berkecamuk dalam pikiranku selama hampir tiga minggu ini. Mendinginkan sampai sedingin-dinginnya!
Dan esoknya, secara tiba-tiba Pak Gun muncul di belakangku ketika aku tengah membetulkan pagar halaman. Suara ketukan paluku rupanya telah menyamarkan kedatangannya. Aku baru menyadarinya ketika hendak beringsut mengambil potongan kayu di belakangku.
Aku hampir berteriak kaget. Dia hanya tersenyum memandang keterkejutanku. Tampaknya ia sudah lama berdiri di situ. Lalu, kenapa tak menyapa atau memanggilku? Tapi aku memasabodohkan semua itu. Karena kulihat tatapan matanya meneduh, sepertinya ada ajakan untuk 'berdamai'.
Aku beranikan untuk menatap. Memastikan yang tersirat dalam pikiranku. Bibirnya masih tersenyum. Dan matanya itu, ternyata memang teduh.
"Maafkan saya Dik Har, sudah lama nggak ke sini.." katanya kalem. Tapi justru kekalemannya itu yang membuat aku salah tingkah.
"Pak Gun ini, gitu saja kok pake minta maaf.." balasku sambil berusaha meredakan ketegangan perasaan.
Aku akhirnya menghentikan pekerjaanku dan mengajaknya ke teras depan. Kupersilakan dia duduk dan kemudian aku masuk ke dapur untuk membuatkannya minum.
Untuk kedua kalinya Pak Gun muncul di belakangku tanpa kuketahui. Diam-diam ia menyusulku ke dapur.
"Sudah. Dik Har mandi dulu sana, biar saya yang bikin minuman" kata Pak Gun mengagetkanku sambil tangannya menunjuk lelehan keringat yang membasahi t-shirt yang kupakai.
"Nggak pa-pa Pak. Mosok tamunya yang bikin minuman" balasku.
"Hei, sejak kapan saya dianggap tamu?" dia memprotes omonganku sambil tangannya meraih gelas yang kugenggam. Meletakkannya kembali ke meja dapur. Dan kedua tangannya lalu melingkar ke pinggangku..
Bersambung . . . . .