Tak selalu sebuah janji mendapat pemenuhannya. Pun tak setiap pemenuhan akan sesuai dengan pengharapannya.
Aku tak tahu harus bersikap bagaimana ketika pagi itu seorang rekan kerja Bahar datang mengantarkan sebuah surat dari sebuah perusahaan galangan kapal.
Galangan kapal? Sejak kapan di daerah Sangir ada galangan kapal?
Ternyata memang bukan dari daerah setempat. Pesan itu datang dari Surabaya! Sebuah amplop berwarna coklat. Aku kebetulan yang menerimanya, karena sampai jam 8 pagi ini Bahar masih tergolek pulas di tempat tidur. Semalam kami memang terlalu lelah dan sepakat untuk tidak menuntaskan segalanya malam itu. Masih ada kesempatan lain, kata Bahar kepadaku.
Tapi dengan adanya kejadian pagi ini? Aku agak kelu juga ketika menerima surat itu. Kepada kurirnya aku cuma sempat berbasa-basi singkat saja. Selanjutnya aku lebih banyak diam.
Tapi diamku bukan tanpa reaksi apapun. Dadaku yang bergemuruh rasanya sudah lebih dari sebuah reaksi. Perasaanku mengatakan ada sesuatu di balik amplop coklat itu. Mungkin sebuah pesan yang 'resiko'nya harus kutanggung.
Secara pasti aku memang belum tahu isi pesan itu. Tapi sepertinya sebuah panggilan proyek. Kalau tak salah Bahar pernah sedikit menyinggung tentang hal itu. Dan bila memang benar, itu artinya Bahar harus berpisah untuk sementara waktu denganku. Bisa sebulan atau dua bulan. Atau, jangan-jangan setahun? atau lebih dari itu? Inilah kenyataan yang belum bisa kuterima dan masalah ini belum pernah kami bicarakan bersama.
Amplop coklat itu masih di tanganku. Bagaimanapun aku tak berhak membukanya meskipun rasa penasaranku akan isi pesan itu sekuat harapanku agar apa yang kutakutkan tak terjadi.
Kuletakkan amplop di meja kecil dekat ranjang. Bahar tampak masih pulas. Dia tidur-seperti biasanya-dengan tubuh telanjang, hanya tertutup selimut. Dengkurannya halus. Seperti kucing. Tapi bagiku dia adalah kucing besar. Bahkan bila keliarannya muncul, lebih mirip singa jantan. O, Bahar. Aku menghela nafas menyadari lamunanku sendiri. Bangunlah Bahar, bisikku dalam pikiran yang masih dipenuhi rasa kepenasaran. Bangunlah dan buka amplop itu. Bacalah dan katakan bahwa itu bukan apa-apa. Bukan sebuah panggilan job atau proyek, atau apapun yang bisa menjauhkan jarak kita..
Seperti mendengar apa yang kupikirkan, tiba-tiba Bahar mendesah dalam tidurnya. Tubuhnya sedikit menggeliat dan berganti posisi tengkurap membelakangiku. Lalu dengkurnya kembali terdengar. Nyenyak sekali tidurnya si bayi besar ini. Kasihan kalau harus kubangunkan.
Aku hanya bisa memandangi garis punggungnya yang liat. Kulitnya tebal dan agak gelap, namun tampak bersih dan segar. Ada beberapa bekas guratan di situ. Mungkin bekas luka ketika mengangkut muatan kapal atau barangkali luka bekas cakaran atau tancapan kuku ketika bercinta. Memang, tak jarang aku yang melakukannya. Tapi goresan itu bisa diakibatkan oleh apa saja, dan bisa dilakukan oleh siapa saja. Siapa saja?
Tiba-tiba rasa cemburu menyergapku. Bagaimana kalau dia jauh dariku dan berbagi cinta dengan orang lain. Siapapun orangnya, nggak laki nggak perempuan, pasti jatuh simpati dengan laki-laki yang ganteng ini. Karena dia tak cuma tampan, tapi juga baik dan.. Ah! kenapa aku jadi punya pikiran yang tidak-tidak dan egois seperti ini. Bukankah saat ini lebih penting membangunkan dan memberitahu dia tentang surat itu yang barangkali berisi berita yang selama ini jadi impiannya. Kenapa aku musti cemburu? Lagi pula selama ini hubungan kami tidak lagi hanya sekedar saling berbagi. Tapi sudah saling mempercayai. Lagi pula aku kan belum tahu isi surat itu. Lantas, kenapa jadi senewen begini?
"Bang.." spontan aku berbisik agak keras sambil mengusap dan meraba-raba punggungnya.
Terdengar lenguhannya. Sejenak kemudian tubuhnya berbalik telentang. Menggeliat. Kedua tangannya terentang. Dadanya yang bidang berbulu nampak mengembang lebar. Ujung selimut agak ketarik ke bawah sehingga bagian pusarnya menjadi terbuka menampakkan rimbunnya bulu-bulu yang tumbuh di sekitar perutnya.
Tapi mata Bahar masih tertutup dan dari mulutnya hanya keluar guMaman tak jelas.
"Bangun Bang, sudah siang" kataku agak kaku. Tercekat.
"Hmmhh.." gumamnya sambil memicingkan mata melihatku.
Aku mencoba tersenyum. Dia malah meringis. Kumisnya bergerak-gerak lucu. Kemudian terdengar hidungnya menarik nafas panjang, lalu mulutnya menguap lebar-lebar. Dasar!
Belum sempat aku bicara lagi, Bahar telah menarikku ke ranjang dan mendekapku dalam pelukannya. Diciumnya pipiku dalam-dalam. Lalu memelukku lagi. Tubuh telanjangnya yang sebagian tertutup selimut itu terasa hangat mendekapku. Di bagian bawah bisa kurasakan ada bagian tubuhnya yang terasa menonjol kenyal. Biasa, tanda alami bagi laki-laki kalau habis bangun tidur.
"I.. Love.. You.." bisiknya di telingaku seperti orang sedang mengeja. Kumis dan cukuran jenggotnya menggelitik, membuatku kegelian. Tapi Bahar malah terus merangsek dan lalu mulai menciumi leherku. Sial!, aku terangsang.
Memang menggairahkan sebenarnya kalau bercinta di pagi hari sehabis bangun tidur seperti ini. Tapi rasanya aku tak siap. Ada hal lain yang lebih menuntutku.
"Bangh.. Hhh.. Bang.." kataku mencoba menghentikan serangannya. Tapi tampaknya ia tak mau peduli. Bahkan kaosku sudah ditariknya ke atas. Dan kini mulutnya mulai sibuk menelusuri bidang dadaku dan melumati putingnya. Mau tak mau aku menghentikan penolakanku sejenak untuk menikmati kelakuannya yang kadang-kadang kayak anak kecil itu. Namun aku tetap tak bisa konsentrasi, apalagi membalas rangsangannya.
"Mas.." akhirnya keluar suaranya dan mulutnya lepas dari putingku begitu melihat reaksiku yang tak seperti biasanya. Aku menghela nafas dan menatapnya. Wajahnya mengekspresikan pertanyaan kepadaku. Kepalanya bergerak-gerak lucu ke kiri dan ke kanan, seolah menimbang-nimbang apa yang tengah menjadi pikiranku. Konyol juga nih orang.
"Bang," kataku agak tegas, "Tuh, barusan ada surat dari temanmu. Katanya surat dari galangan kapal.." Uh, lega rasanya bisa mengatakan semua hal yang dari tadi jadi 'ganjalan' itu.
Alis mata Bahar sejenak berkerenyit. Lalu pandangannya mengikuti telunjukku yang mengarah ke amplop coklat di atas meja. Ia segera keluar dari selimut, bangkit dari ranjang dan tak mempedulikan bahwa tubuhnya dalam keadaan telanjang tanpa penutup apapun. Disambarnya surat itu lalu dirobek bagian tepinya. Sambil berdiri di samping meja dibacanya segera isi surat. Wajahnya tampak tegang tapi juga penuh harap. Aku tetap berbaring diam di ranjang. Menunggu.
Tiba-tiba ia berteriak kegirangan sambil tangannya terangkat ke atas sehingga di mataku kini tampak sebuah pemandangan: tubuh telanjang seorang laki-laki, kekar penuh bulu, dengan tangan terangkat ke atas dan kepala mendongak kegirangan. Sangat bagus dan sexy memang. Namun aku belum bisa menikmatinya. Aku masih penasaran dengan isi surat itu.
Tubuh bugilnya itu lalu melompat ke tempat tidur dan kembali menindihku. Diciumnya bibirku lumat-lumat sampai aku agak gelagapan. Pelukannya erat sekali sampai aku terengah-engah.
"Mas, aku jadi dipanggil proyek kapal itu!" katanya setengah berteriak senang.
Tuh! Benar kan, batinku. Tapi di mana?
"Di Surabaya Mas!" lanjutnya segera, seolah tahu apa yang baru saja kupikirkan.
Oh my God!, oh my God! aku langsung menyeringai dan menoleh ke jendela, ke arah luar. Ada yang tertahan di tenggorokanku. Bahar sejenak diam begitu menyadari reaksiku. Beberapa saat kami saling terdiam. Aku masih memandang keluar jendela. Kurasakan mukaku kecut.
Tiba-tiba tangannya memegang kedua bahuku. Tapi kami masih tetap saling diam. Lalu dipegangnya daguku dan dipalingkannya wajahku menghadapnya. Kuturuti gerakan tangannya, tapi wajahku menunduk menghindari tatapannya.
"Mas Harso.." katanya lirih.
Wah, mulai nih, kalau dia sudah menyebut namaku dengan lengkap, biasanya sudah mulai serius.
"Mas Har.. Kecewa.. Dengan berita ini ya?" lanjutnya tersendat.
Aku masih diam menunduk. Tangannya lalu mengangkat daguku. Aku tetap diam. Dipandangnya wajahku lama-lama. Rasanya jengah juga diamati seperti itu. Aku lalu berusaha melepas tangannya dari daguku. Namun dengan sigap Bahar menahannya dan malah mencium bibirku. Mesra. Ah!
Emosiku runtuh. Beginilah biasanya cara Bahar menaklukkan kekerasan hatiku. Hanya kali ini ciumannya benar-benar romantis dibandingkan biasanya. Beberapa kali bibirnya sengaja mempermainkan kumisku. Kemudian turun lagi untuk mengecup bibirku. Lalu melumatnya dalam-dalam. Dan aku pun tak tahan lagi. Kubalas ciumannya. Kurangkul. Kudekap. Tapi aku tak kuasa menahan emosiku lagi. Mataku basah. Dan Bahar tahu itu, meski tangisku tak bersuara. Didekapnya tubuhku lebih erat. Dan ketika kutatap wajahnya, kulihat matanya tampak memerah dan ada genangan air yang membasah di sana.
Cukup lama kami berpelukan seperti itu. Bagian atas tubuhku yang sudah tak berkaos itu basah berkeringat. Berkali-kali tangannya mengusap-usap punggungku seolah mencoba mengeringkan butir keringat yang ada di sana. Tapi usapan itu lebih terasa sebagai upaya menenangkan perasaanku.
"Mas Harso.." katanya kemudian, "Aku.. Tak akan berangkat kalau Mas menginginkan aku untuk tak berangkat".
Aku agak kaget dengan pernyataannya itu. Membuatku makin bingung dan bimbang. Tapi spontan kugelengkan kepalaku tanda tidak sependapat dengan apa yang ia katakan barusan. Untuk beberapa saat kami sempat berdebat. Seperti biasanya emosiku hampir tak tertahankan. Dan seperti biasanya juga, Bahar menanggapinya dengan kepala dingin.
Demikianlah, pagi itu kami berusaha untuk saling menenggang perasaan masing-masing. Ada putusan yang harus diambil dengan segala dilema yang harus kami hadapi. Namun ada satu hal yang membuatku akhirnya benar-benar ikhlas melepas Bahar ke Surabaya. Kontrak proyek itu ternyata 'hanya' dua bulan saja. Dan baru minggu depan jadual keberangkatannya. Berarti kami masih mempunyai waktu dua hari lagi, sebelum berpisah-meski perpisahan itu untuk sementara waktu saja.
"Aku mandi dulu ya" katanya setelah perdebatan agak mereda. Sambil melenggang menuju kamar mandi, ekor matanya sempat melirikku nakal. Lalu cara jalannya dibuat-buat sesexy mungkin. Menggodaku. Huh! Awas kau!
Sebenarnya aku masih agak masyangul dengan kejadian pagi ini. Tapi setelah berdebat dan berunding tadi, rasanya tak ada yang perlu diributkan lagi. Bagaimana pun ini harus dihadapi sebagai dinamika dalam hubungan kami. Jadi jalani saja. Tak usah terlalu menjadi beban. Nikmati saja dan 'take it easy'.
Apalagi di depan kamar mandi Bahar malah senyum-senyum dan terus melenggang-lenggang memperlihatkan bongkahan pantatnya yang padat. Kelakuannya yang konyol itu membuatku jadi 'sadar' dari kegalauan dan malah tergoda untuk segera menyusulnya ke kamar mandi. Padahal tadi pagi aku sudah mandi bahkan sudah keramas segala.
Kulucuti sisa pakaianku sambil berjalan menyusul Bahar yang telah menyelinap masuk ke kamar mandi. Dan ketika sampai di ambang pintu ruang mandi, di luar dugaanku, Bahar ternyata telah menghadang dan langsung menyergap tubuhku yang sudah bugil itu! Aku kaget setengah mati dan menyumpah-nyumpah. Tapi dia malah tertawa ngakak.
Dengan gerakan yang gesit, dicengkeramnya pinggulku lalu dibopongnya tubuhku untuk didudukkan di pinggiran bak mandi. Kakiku secara reflek langsung merangkul menjepit pinggulnya. Bibir kami lalu saling berpagut liar..
Lupalah segala galangan kapal, segala Surabaya, segala proyek dan segala-galanya..
"Mas Har.." di sela-sela ciumannya, Bahar mencoba ngajak ngobrol.
"Hmmh..?" balasku dengan bibir berusaha untuk tetap saling menempel.
"Jangan.. Nakal.. Ya" jawabnya sambil mempermainkan lidahnya di atas lidahku.
"Hmmh?" bibirku tetap berusaha memagut.
"Jangan nakal selama kutinggal" jelas Bahar sambil melepas bibirnya dan kemudian menarik lehernya tegak ke belakang.
Lalu diusap-usapnya kumisku. Dipandangnya wajahku dengan mata redup.
"Dengan wajah seganteng ini, siapa sih yang tak tertarik?" kata Bahar kemudian.
Tangannya lalu turun memegang kedua bahu dan otot lengan atasku,
"Dengan tubuh sekekar ini, siapa yang tak tergoda?" lanjutnya.
Aku diam saja menanggapi komentarnya yang memang sudah sering kudengar itu. Kedua tangannya lalu turun ke pinggang, kemudian ke pinggul, lalu ke bongkahan pantatku, dan..
Bersambung . . . .