Bahar datang menjemputku sekitar jam satu, ketika matahari sedang terik-teriknya membakar ubun-ubun.
"Sudah makan 'Bang?" sapaku begitu ia tiba di kedai Pak Tua tempat aku menunggu.
"Belum," jawabnya pendek. "Kita makan siang di sini saja, ya?" ajaknya kemudian.
Setelah pamitan pada Pak Tua, kami kemudian menuju warung makan yang terletak sekitar seratus meter dari kedai ini. Bahar makan lahap sekali. Kelihatan ia sedang lapar. Padahal kalau mau, dia bisa saja makan di rumah. Tapi barangkali ia memang mau makan bareng aku. Sebuah kesetiaan yang kadang membuatku segan terhadapnya.
"Hei! Bahar!" suara teguran mengagetkan kami berdua.
Untuk kedua kalinya aku terkejut, karena orang yang menegur Bahar ternyata laki-laki yang kujumpai di gubug mandi tadi! Hhh! Bisa gawat nih, pikirku. Tapi untungnya laki-laki itu bersikap wajar ketika melihatku. Seolah kami belum pernah bertemu sama sekali. Kulihat Bahar dengan antusias menyambut sapaan laki-laki itu.
Mereka lalu saling menanyakan kabar masing-masing dan kemudian terlibat dalam pembicaraan yang akrab. Aku agak was-was juga kalau-kalau pembicaraannya menyinggung aku. Sampai akhirnya Bahar memperkenalkanku pada laki-laki itu.
"Samuel. Panggil saja Sam.." jabatannya akrab.
"Sam, masak kau nggak kenal dengan Pak Harsoyo? Dia kan yang dulu pernah penelitian di daerah sini," Bahar mencoba mengingatkan temannya itu.
"O iya! saya baru ingat! Pantas, sepertinya saya sudah pernah lihat," kepura-puraan Samuel membuatku agak jengah. Kenapa ia harus bersandiwara seperti itu? Toh, seandainya Bahar tahu bahwa kami sudah saling kenalan, itu suatu hal yang wajar.
Tentu saja ia dan aku bermaksud menyembunyikan kejadian yang kami alami bersama tadi. Tapi seharusnya ia tak perlu menyembunyikan kenyataan bahwa kami berdua sudah saling ketemu. Pasti ada alasan kenapa ia takut perkenalan kami diketahui oleh Bahar. Jangan-jangan ia tahu aku dan Bahar punya hubungan khusus atau, justru ia sendiri yang punya hubungan khusus dengan Bahar?
"Makan, Sam," Bahar menawari.
"Terima kasih, aku sudah makan tadi. Sekarang aku musti ke laut. Ada proyek," katanya sambil siap-siap berdiri.
Sam lalu pamitan pada kami dan mimik wajahnya seolah mengisyaratkan padaku untuk tetap merahasiakan kejadian dengannya tadi pagi.
"Teman lama, 'Bang?" tanyaku begitu Sam berlalu ke arah bibir pantai.
"Ya. teman di kapal dulu," jawab Bahar sambil mengunyah.
Jawaban Bahar makin membuatku penasaran pada laki-laki bernama Samuel itu. Sepertinya ia punya hubungan tertentu dengan Bahar. Apalagi sebagai 'teman kapal'. Entah kenapa, aku kini kok jadi punya persepsi khusus dengan yang namanya orang kapal.
Rasa penasaranku akhirnya terjawab pada malam harinya.
Pekerjaan bersih-bersih dan beres-beres rumah sudah selesai semua. Malam ini kami bisa santai, ngobrol sambil nonton TV. Bahar berbaring santai di atas tikar berbantal tangannya sendiri. Dan aku tengkurap bersandar di dadanya.
"Kok tumben, manja sama saya?" kata Bahar meledek
"Emangnya harus manja sama siapa?" balasku
"Tauk!" jawabnya seenaknya.
"Sama Pak Gunawan?" gantian aku yang meledek.
"Tuh 'kan, diungkit lagi," kata Bahar sambil memencet pipiku dengan gemas.
"Jadi aku harus manja sama siapa dong?"
"Sama siapa saja, asal jangan Gunawan!" katanya dengan nada tertentu.
"Oke, kalau begitu, manja sama.. Siapa ya?" aku lalu pura-pura berpikir, "hmm.. O ya, kalau manja sama Samuel, boleh nggak?"
Bahar diam tak menjawab pancinganku. Ia malah mengusek-usek ujung hidungnya dan menarik nafas. Lalu dengan entengnya menjawab "Silakan, kalau mau sama dia." Silakan?
"Memangnya kenapa dengan dia?" aku penasaran. Seolah ada sesuatu di balik jawabannya tadi.
Akhirnya, setelah aku desak, Bahar bercerita bahwa Samuel adalah bekas narapidana (!) yang kini ditinggal pergi oleh istri dan anak-anaknya (Oo begitu, jadi bukan karena ia selingkuh, kataku dalam hati). Dia dipenjara karena dituduh terlibat dalam kasus percobaan pembunuhan yang sebenarnya menurut keterangannya merupakan upaya membela diri. Semua diawali dari keributan yang berakhir dengan pertengkaran. Waktu itu Sam dan temannya itu dalam keadaan mabok akibat minuman keras 'cap tikus', minuman berkadar alkohol tinggi khas Sulawesi Utara.
Sam sempat diganjar hukuman delapan belas bulan, dan baru keluar sekitar enam bulan yang lalu. Sejak itulah orang-orang menjadi antipati terhadapnya, termasuk keluarganya sendiri. Sekarang ia hidup sendiri dan bekerja secara serabutan. Kasihan, kataku dalam hati.
"Waktu terjadi peristiwa itu, ia masih kerja di kapal?" tanyaku
"Ya, tapi di kapal yang lain. Tadinya kita memang pernah satu kapal," jawab Bahar. "Ia sebenarnya orang yang baik, sayang sekali ia sulit menghilangkan kebiasannya bermabok-mabokan. Banyak sekali masalah yang ditimbulkan akibat kebiasaan buruknya itu. Dan itu pula yang membuat hubungan kami jadi renggang, apalagi setelah pindah kerja ke kapal yang berbeda.."
"Jadi, Abang pernah dekat dengan dia?"
"Dulu dia satu bilik dengan saya waktu di kapal yang pertama."
"Ooo..!!" tiba-tiba aku keceplosan mengomentari ucapan Bahar dengan nada tinggi. Kentara sekali kalau suaraku bernada seolah-olah aku punya kesimpulan bahwa ada sesuatu antara Bahar dan Samuel.
"Kenapa? kok 'Ooo.. '?" Bahar menatapku tajam, tapi sesaat kemudian senyumnya mengembang."Mas curiga ya?"
"Kan, Abang dulu pernah cerita kalau..," kalimatku terpotong karena tiba-tiba Bahar menyekap kepalaku ke arah dadanya sampai aku gelagapan.
Rupanya ia kheki, karena jawabannya tadi justru malah mengingatkanku pada ceritanya tentang kehidupan para lelaki di kapal (baca 'oase' seri-1). Dan kini misteri Samuel rasanya hampir terjawab.
"Ternyata masih ingat cerita di 'oase' dulu ya.." kata Bahar, "Kapan dong kita ke sana lagi?" ia mencoba mengalihkan pembicaraan.
"Sudah deh 'Bang, jangan ngelantur, ada kejadian apa sih antara Abang sama Sam?" desakku.
Yang kutanya malah garuk-garuk kepala, lalu, "Ya, begitulah..," akhirnya ia menjawab dengan nada segan.
"Begitu gimana? Cerita dong.." desakku lagi sambil mengelus-elus bahunya, berusaha membujuk.
"Nanti cemburu.." ledeknya. Aku menggeleng, meskipun agak ragu.
Bahar lalu beranjak duduk dan siap-siap untuk bercerita. Sementara aku tetap berbaring miring di depannya, siap-siap untuk menyimak cerita yang sejak tadi siang bikin aku penasaran.
Kejadiannya sudah cukup lama. Lebih dari sepuluh tahun yang lalu. Itu adalah pertama kali Bahar kerja di sebuah kapal, dan langsung akrab dengan Samuel yang lebih senior. Mereka ditempatkan pada bilik yang sama. Tadinya mereka tak pernah menduga akan terjadi 'hal-hal yang diinginkan' di antara mereka. Sampai akhirnya karena terdesak oleh situasi dan kondisi kapal yang serba darurat, lambat laun mereka terbawa juga dengan sisi lain kehidupan orang kapal, termasuk dalam memenuhi kebutuhan biologis! Maklum, karena tak ada satu pun wanita di sana, semua lelaki. 'Batangan' semua!
Awal mulanya adalah dari bilik mereka. Yang namanya laki-laki, biasanya kalau tidur seenaknya saja. Cuma pakai celana dalam atau bahkan telanjang sama sekali. Demikian pula yang kadang-kadang dilakukan oleh Bahar maupun Sam. Dan itu sebenarnya bukan masalah bagi mereka, karena mereka tidur pada ranjang yang terpisah. Sampai suatu saat mereka akhirnya saling mengaku bahwa sebenarnya mereka masing-masing pernah memergoki secara diam-diam ketika salah satu dari mereka sedang melakukan onani menjelang tidur. Sejak itulah mereka menjadi terbuka satu sama lain, termasuk dalam urusan seks.
Sam punya beberapa koleksi gambar porno warisan temannya, yang menggambarkan adegan panas laki-perempuan dalam berbagai gaya dan posisi. Barang itulah yang seringkali menemaninya ber'swalayan'. Tak jarang Bahar juga meminjam untuk tujuan yang sama. Bahkan kadang-kadang mereka melakukannya bersama bila kebetulan sedang sama-sama 'naik darah'. Dan akhirnya hal itu berkembang menjadi sebuah 'kerja sama yang baik' untuk saling membantu dalam menyalurkan hasrat seksual mereka.
Kejadian yang paling jauh yang pernah mereka lakukan adalah sebatas saling menggesekkan 'barang' mereka sampai ejakulasi. Ini kadang-kadang mereka lakukan sambil berdiri atau berbaring di ranjang. Tapi yang jelas, hal itu selalu mereka lakukan di dalam bilik, karena pada saat sedang 'main-main' itu, biasanya mereka lakukan dalam keadaan sama-sama telanjang. Sedangkan untuk onani, prinsipnya bisa mereka lakukan di mana saja, asal tempatnya aman. Mereka bisa melakukannya di kamar kecil, di haluan kapal (bila kebetulan sedang mendapat tugas jaga bareng), atau di sudut kapal lainnya yang cukup aman untuk ber-onani ria.
Sekilas aku terbayang adegan waktu Sam bermasturbasi di gubug 'derita' tadi pagi. Tiba-tiba ada sedikit rasa khawatir kalau-kalau kejadian di gubug itu sampai ke telinga Bahar. Tapi kalau melihat sikap Sam tadi siang, sepertinya ia ingin merahasiakan peristiwa itu dan juga menginginkan aku untuk bersikap begitu. Barangkali ada sesuatu yang ditakuti Sam apabila kejadian denganku diketahui oleh Bahar. Aku tak tahu dan tak mau tahu tentang hal itu. Bagiku, yang lebih penting adalah menjaga rahasia peristiwa 'gubug derita' itu.
Bahar masih menjelaskan panjang lebar kejadian-kejadian yang ia alami bersama Sam. Tapi kebanyakan acara 'main-main' mereka lakukan kalau memang sedang sama-sama naik birahinya. Di luar itu, hubungan mereka wajar-wajar saja. Karena pada dasarnya, Bahar dan Sam memang tidak pernah saling tertarik secara seksual. Kondisilah yang memaksa mereka berbuat itu semua. Jadi kalau berada di luar bilik, mereka bersikap biasa-biasa saja. Padahal sebenarnya banyak sekali kesempatan dan tempat, kalau mereka mau berbuat apa saja, sebagaimana dilakukan oleh beberapa rekan mereka di kapal.
"Lalu, perasaan Abang terhadap Sam gimana?" tanyaku
"Biasa saja. Sekarang apalagi! Mas tahu sendiri kan, Sam bukan type saya..,"
Bersambung . . . . .