Sebenarnya banyak kebiasaan-kebiasaan orang di kapal itu yang memungkinkan terjadinya kontak seksual di antara komunitasnya, termasuk Bahar dan Sam. Bayangkan, mereka biasa mandi rame-rame di laut. Dan sebagian besar dari mereka biasanya mandi dengan bertelanjang bulat. Kemudian sehari-harinya mereka juga berpenampilan seenaknya. Bertelanjang dada dan hanya bercelana pendek atau sarungan saja. Bahkan tidak sedikit pula yang hanya bercelana dalam saja ketika melakukan aktivitas sehari-hari. Sebenarnya Sam dan Bahar pun termasuk yang melakukan kebiasaan-kebiasaan itu. Tapi memang dasarnya mereka tidak punya niatan yang 'jauh', maka di antara mereka berdua tidak pernah terjadi hal-hal aneh pada saat-saat seperti itu.
Ada sebuah kekonyolan yang diceritakan Bahar. Di antara rekan mereka ada yang sesekali tanpa malu-malu mempertontonkan kemaluannya sendiri bila sedang tegang karena datang birahinya. Lalu orang itu berkeliling kapal sambil berteriak-teriak 'Isep! isep! isep!, kocok! kocok! kocok!' seolah menawarkan miliknya untuk diisap atau dikocok. Yang lain biasanya hanya menanggapinya dengan tertawa-tawa atau gelengan kepala melihat kegilaan itu.
"Oral seks? Ciuman? Tidak pernah sama sekali!"
Bahar menjawab dengan tegas pertanyaan yang kuajukan apakah ia pernah melakukan itu dengan Sam. Seolah-olah ia jijik melakukan hal itu.
"Kenapa?"
"Waktu itu saya 'kan belum kenal begituan, Mas. Jadi nggak pernah kepikiran berciuman dengan sesama laki-laki, apalagi oral seks. Si Sam apalagi. Ia benci dengan kelakuan beberapa rekan di kapal yang kadang-kadang agak bebas dan terbuka dalam hal begituan."
(Pada kesempatan yang berbeda, Bahar mengungkapkan bahwa ketika pertama kali bekerja di kapal itu, ia memang 'terpaksa' melakukan hubungan semacam itu karena kondisi yang mendesak. Tapi ketika ia pindah kerja ke kapal yang lain yang lebih besar-dan berpisah dengan Sam-secara perlahan Bahar mulai terbiasa dan bisa menikmati hubungan semacam itu, bahkan ia melakukannya sampai jauh. Apalagi setelah ketemu dengan si Portugis. Silakan baca 'oase' sebelumnya).
Jam dinding berdentang delapan kali. Tapi Bahar masih asyik bercerita tentang teman-temannya di kapal. Dan terus terang aku semakin tertarik dengan pengalaman-pengalamannya itu. Di luar kisah-kisahnya dengan Sam, ternyata banyak terungkap tentang hal-hal sepele yang diceritakan Bahar, tetapi cukup 'menyengat'.
"Selain dengan Sam, Abang pernah dengan yang lain?" tanyaku. Ia menggeleng. Dan aku percaya saja.
"Jangankan ngajak main, bercanda sama kami saja mereka pikir-pikir," kata Bahar kemudian.
Ia lalu bercerita bahwa ada satu dua teman mereka di kapal yang kadang-kadang bercandanya kelewat batas. Guyonan-guyonan mereka biasanya kasar, porno dan cenderung jorok. Bahkan kadang-kadang ada yang sampai betot-betotan 'burung' atau main pelorot-pelorotan celana, lalu melemparkannya ke laut. Di lain waktu bila kebetulan ada salah seorang ketahuan sedang 'tegang'-entah karena sedang naik libidonya atau terangsang oleh sesuatu-maka ada saja temannya yang usil meremas miliknya sampai yang punya berteriak-teriak. Bahkan kadang-kadang ada yang lebih usil memelorotkan celana orang itu sehingga siapapun yang ada di sekitar situ bisa melihat dengan jelas kondisi kemaluan orang yang sedang tegang itu.
Sam dan Bahar termasuk yang tidak pernah mendapat perlakuan usil seperti itu. Karena mereka termasuk 'berwibawa' di mata rekan-rekan lainnya dan dianggap bukan bagian dari orang-orang yang 'sakit'.
"Ooo.. Jadi, dulu Abang belum 'sakit'?" aku menggodanya
Ia tersenyum."Kan yang bikin 'sakit' Mas Har!" sahutnya becanda. Ditinjunya bahuku, lalu direngkuhnya dan diajaknya aku untuk berbaring kembali di tikar. Bahar lalu membisikiku kata-kata rayuan dan 'meralat' ucapannya bahwa bukan aku yang menyebabkannya 'sakit', tapi akulah laki-laki pertama yang membuatnya bisa 'jatuh hati' bukan semata-mata karena nafsu.
Sebenarnya aku sudah tahu dan bisa merasakan itu semua sejak awal. Bahar mungkin memang tak sepenuhnya 'sakit'. Tapi mungkin ia punya sedikit 'bakat' untuk itu, dan kemungkinan yang paling besar adalah Bahar seorang biseks (tapi aku tak pernah menyinggung hal itu dan tak pernah memasalahkan itu).
"Kalau 'sakit', memangnya kenapa?" tanya Bahar menanggapi pertanyaanku tadi.
Kupeluk tubuhnya yang kini kembali berbaring telentang berbantal tangannya sendiri.
"Kalau sakit, mau diobati nggak?" aku balik bertanya.
"Tergantung.."
"Tergantung sama yang menggantung, ya?" aku mencoba meneruskan kalimatnya sambil ketawa.
"Bukan..," sahutnya datar, menyalahkan jawabanku.
"Lalu, tergantung sama apa dong?"
"Tergantung sakitnya apa."
"Lha, Abang sedang sakit apa?" aku tak mau kalah.
Dia lalu menunjuk ke bibirnya sambil tersenyum. Semula aku nggak 'ngeh'. Tapi kemudian-hmm-aku tanggap dengan maksudnya.
Maka, akupun lalu mencoba 'mengobatinya' dengan sebuah ciuman. Cuma sebentar lalu kulepas lagi. Tapi ia mau terus dilanjutkan, ".. Belum sembuh..," katanya manja. Tapi kupenuhi juga permintaannya.
"Terus, sakit apa lagi?" kataku sambil masih menciumi bibirnya.
Kini tangannya menunjuk ke arah bawah tubuhnya.
"Sakit perut?" aku pura-pura bodoh, sambil kupegang perutnya. Ia menggeleng.
"Apanya yang sakit? jempol kaki?" tanyaku lagi.
"Bukan..," kali ini ia merengek persis anak kecil.
"Itu tuh yang sakit..," dan kulihat ia mengangkat-angkat pinggulnya ke atas, sehingga tampak tonjolan di bagian depan celananya.
Kupegang bagian yang kini tampak membesar itu, dan kuremas-remas.
"Bengkak ya? Aduh kasihaan..," kataku sambil terus meremas bagian itu. Ia mengangguk dengan sorot mata dibuat memelas.
"Mau diobati?" tanyaku lagi.
"He' eh.."
"Sudah berapa lama sakitnya?" balasku bergaya seorang dokter
"Ada sekitar setengah jam yang lalu, Pak Dokter..," ia mulai merespon candaku
"Coba dibuka celananya. Biar Bapak periksa, ya."
Tangannya lalu mulai melepas kancing celananya dan menarik resletingnya ke bawah, membuka dan berusaha mengeluarkan isinya. Seperti biasanya, ia tak memakai celana dalam. Sehingga dengan mudah aku langsung bisa menggenggamnya.
"O, ini sih bukan sakit. Jadi nggak perlu diobati," kataku enteng sambil berusaha menutup kembali celananya. Tapi ia kembali merengek dan menahan lenganku.
"Coba Pak Dokter periksa bagian bawahnya..," katanya sambil mengarahkan tanganku ke kantong pelirnya. Dan segera kulanjutkan dengan sebuah remasan di sana. Ia mengerang.
"Sakit?" tanyaku
Ia menggeleng. "Enak, Pak Dokter..," sahutnya sambil meringis. Huh! Manja sekali pasien ini!
"Kalau begitu, coba buka semua pakaiannya.." kataku
Akhirnya, kami pun main 'dokter-dokteran' (maksudnya bergantian menjadi dokter). Karena ternyata aku juga ketularan 'penyakitnya'. Sehingga kami harus saling 'mengobati' dengan obat yang sesuai dengan bagian yang 'sakit'.
Tubuh kami kini sudah sepenuhnya polos telanjang. Sebenarnya, bergelut di atas tikar bukanlah sesuatu yang nyaman untuk dinikmati. Tapi malam ini adalah malam pertama kami bermain cinta sejak kedatangan kami ke Sangir empat hari yang lalu. Dan rasanya tak ada lagi hal yang mampu menghalangi kami untuk menyalurkan hasrat yang sudah menggelegak ini. Rasanya kami akan kehilangan sebagian waktu bila harus beranjak ke kamar tidur. Maka, berlangsunglah semuanya secara apa adanya di atas tikar yang terhampar di depan pesawat televisi yang kini tengah menayangkan acara 'Dari Desa ke Desa'. Sementara permainan dokter-dokteran kami sudah mencapai episode"Dari ujung rambut hingga ujung kaki, dari rambut atas hingga rambut bawah". Dan karena tampaknya seluruh tubuh kami sedang dilanda 'penyakit', maka kami harus saling melakukan 'pemeriksaan' secara merata.
Berbagai macam 'obat' ia minta dan aku mencoba memberikan semua 'resep' yang aku punya, demikian sebaliknya. Mulai dari resep obat 'isap' atau obat yang harus 'dikocok lebih dahulu sebelum digunakan', dan resep-resep lainnya yang biasa-biasa saja, sampai yang luar biasa.
Pasien yang satu ini mengerang ketika kuberikan resep 'obat isap' di bagian tubuhnya yang sedang meradang. Dan tekanan tangannya pada kepalaku seolah menyuruhku untuk memberinya dosis yang berlebih. Kuberi lebih. Ia minta lebih lagi. Kuberi lagi. Lagi dan lagi. Mulutku sampai pegal. Entah bagaimana lagi aku bisa menyembuhkannya..
Akhirnya, ia malah memberiku contoh bagaimana cara mengobati yang baik.
"Harus dikocok lebih dahulu sebelum digunakan..," katanya tersenyum sambil berbalik dan meraih penisku lalu mengocok-ngocoknya sebelum melumatnya dengan penuh nafsu.
Gantian aku yang kini mengerang kenikmatan. Beberapa kali kakiku sempat bergetar karena isapan kuat yang ia lakukan. Tampaknya resep yang ia berikan cukup manjur. Kurasakan desiran halus mulai mendera-dera di sekujur kantung zakarku yang kini tergencet oleh dagunya yang berewokan. Rasa geli makin bertambah ketika ia dengan sengaja menggesek-gesekan dagu itu di kedua bola kecil milikku sambil mulutnya terus mengenyot-ngenyot.
Tapi pengobatannya ternyata tak berhenti sampai di situ. Pelan-pelan tanpa kusadari, ia mulai melakukan terapi 'tusuk jari' di celah bawah tubuhku! Membuatku makin kegelian dan menggelinjang-gelinjang tak karuan.
Aku mulai mengeluh tak kuasa lagi menahan keinginan."Baanghh.. Please..," berkali-kali kudesahkan kata-kata itu. Memintanya untuk bertindak lebih jauh. Rasa 'sakit'ku makin tak tertahankan saja. Ingin rasanya segera di'sembuh'kan.
Dan semuanya akhirnya mencapai penuntasannya ketika ia memberiku resep obat yang paling manjur: sebuah 'suntikan' dengan satu-satunya alat suntik yang ia punya. Alat suntik yang besar, pejal dan penuh urat di sekujur batangnya. Entah sudah berapa puluh kali ia melakukan tusukan, ketika isinya akhirnya memancar dengan deras membanjiri sela-sela pahaku.
Begitulah, aku yang semula adalah 'sang dokter' akhirnya disembuhkan oleh pasienku sendiri. Dan malam itu kami bergantian melakukannya sampai '3X sehari 1 tablet'. Barulah kemudian kami benar-benar sembuh dari rasa 'sakit' yang sudah berkepanjangan selama empat hari terkahir ini.
Tamat