Sepulang dari Pandu, Bahar akhirnya mau mampir ke mess dan bertemu dengan Pak Gunawan. Aku sengaja mempertemukan mereka secara terbuka agar masing-masing pihak bisa saling mengenal. Aku berharap dapat tercipta suasana yang lebih enak di antara kami bertiga. Selanjutnya, terserah mereka masing-masing untuk menyikapinya.
Pak Gun yang sejak semula memang tidak mengetahui kedatangan Bahar, agak kaget juga ketika kuperkenalkan.
"Oo, jadi sudah sempat ke Pandu segala.." komentar Pak Gun ramah, dan berusaha untuk bersikap wajar. Namun kata 'segala' di akhir kalimatnya sepertinya punya arti tertentu; kalau tak bisa dibilang sebagai sindiran. Aku mencium ada sedikit perang urat syaraf di sini.
Bahar sendiri beberapa kali sengaja menunjukkan sikap yang agak demonstratif di hadapan Pak Gun. Sesekali ia memeluk bahuku erat-erat dan menatapku dengan pandangan mesra penuh arti. Seolah ingin menunjukkan bahwa aku adalah miliknya. Kulihat Pak Gun hanya senyum-senyum saja melihat sikap Bahar. Tapi dengan ekspresi wajahnya yang kebapakan, Pak Gun menunjukkan bahwa ia bisa 'memaklumi' itu semua.
Tampaknya sulit untuk 'mempertemukan' sikap kedua jantan yang tengah berseteru ini. Mungkin butuh waktu lama. Dan itu sepertinya tak bakalan terwujud. Karena tidak sampai seminggu lagi kegiatanku di Manado sudah harus berakhir.
"Yaah.., Bapak hanya bisa menyertai dengan doa saja," kata Pak Gun ketika akhirnya tiba harinya kami harus berpamitan.
"Kalau ada kesempatan ke Manado, jangan lupa mampir ke sini. Kalau mau nginap juga boleh. Jangan sungkan-sungkan," lanjutnya ramah kebapakan.
Bahkan Pak Gunawan berbaik hati mengantarkan kami sampai ke pelabuhan. Aku duduk di depan bersama dia yang menyopiri sendiri mobilnya. Sementara Bahar duduk di belakang sambil asyik merokok. Padahal ia tahu, mobil ini ber-AC. Tampaknya Bahar masih menunjukkan sikap 'permusuhannya' dengan Pak Gunawan.
Satu hal yang akhirnya mencairkan segalanya. Ketika kami berjabat tangan untuk yang terakhir kalinya, tanpa diduga Pak Gun menyampaikan permintaan maaf secara langsung pada Bahar.
"Dik Bahar. Maafkan Bapak ya.." katanya dengan intonasi tertentu yang terdengar tulus dan jelas mengarah pada persoalan yang tengah mengganjal di antara kami bertiga.
Bahar sendiri tampak kaget dan jadi salah tingkah mendengar penuturan itu. Tapi beberapa detik kemudian tampak keikhlasan muncul di wajahnya.
"Sama-sama Pak!," balas Bahar sambil kedua tangannya menggenggam tangan Pak Gun kuat-kuat. Keduanya lalu melihat ke arahku sambil tersenyum. Sejenak kemudian, suasana tegang berubah menjadi cair ketika keduanya akhirnya tertawa bersama dan saling menepuk bahu. Seolah-olah saling memberi permakluman dan menganggap semuanya sudah selesai.
Aku yang semula hanya bisa menahan nafas, akhirnya bisa menghembuskannya dengan lega. Tapi, kenapa tiba-tiba aku merasa ada sebersit rasa cemburu?
Perasaan itu terus terbawa sampai ketika menaiki kapal yang akan membawa kami ke Sangir Talaud. Apalagi ketika Bahar dengan antusias terus melambaikan tangan ke arah Pak Gun sampai kapal berbelok ke arah kanan dan hiruk pikuk pelabuhan tak terlihat lagi.
"Tuh 'kan!, makanya jangan suka apriori dulu sebelum kenal sama orangnya!" ujarku ketika Bahar berkomentar tentang kebaikan Pak Gun. Ia merasa nggak enak hati karena telah bersikap tidak menyenangkan selama di mess kemarin.
"Ya sudah.. Nanti kalau Abang ke Manado 'kan masih bisa mampir dan ketemu Pak Gun lagi" lanjutku dengan nada tertentu.
"Hei! Kok begitu?" sahut Bahar agak sengit, menangkap nada cemburu pada kalimatku.
Tapi aku segera menukas, "Lha!, tadi kan Pak Gun sendiri yang menawari, 'silakan mampir atau nginap di mess ini kalau kebetulan lagi di Manado" kataku menirukan ucapan Pak Gunawan waktu kami pamitan.
Bahar tak menanggapi ucapanku. Tapi matanya malah menatapku lurus-lurus.
"Mas Har cemburu ya?!" dia langsung menuduhku.
Gantian aku yang tak menanggapi, dan kuarahkan pandanganku ke laut lepas. Perjalanan masih lama. Belum ada satu jam kami lepas dari pelabuhan. Beberapa penumpang masih betah berdiri di sepanjang buritan menikmati angin laut.
"Mas Harso.." dia kembali menegurku yang masih diam menatap laut.
Panggilannya serius. Aku bergeser, berpaling dan kutatap dia dengan pandangan 'menantang', minta penjelasan.
"Mas terlalu naif kalau menuduh saya begitu," suara Bahar agak emosional.
"Orang seperti Pak Gun bukan type saya! Sungguh! Dia memang orang yang baik dan menarik. Tapi, maaf!, dia bukan type saya. Sama sekali saya tak tertarik..," Bahar mengatakan semuanya sambil setengah berbisik, karena ada beberapa penumpang lain di sekitar itu. Suaranya tegas dan terdengar agak kesal.
Terus terang aku kaget sekaligus ada perasaan lega mendengar kalimatnya. Tapi kini muncul perasaan takut begitu melihat Bahar tampak kesal. Wajahnya yang berewokan itu terlihat makin keruh. Tangannya bersedekap di atas kayu buritan dan nafasnya agak memburu. Ia menatap laut dengan pandangan yang sulit kumengerti. Tapi aku yakin tak ada sesuatu pun yang sedang dilihatnya di tengah laut.
Seharusnya aku ingat bahwa dia memang pernah bercerita tentang type laki-laki seperti apa yang ia sukai. Dan rasa-rasanya memang type seperti Pak Gunawan-tipe 'daddy'-tak masuk dalam hitungannya.
"Sorry Bang..," kataku sambil memegang lengannya. Yang disentuh tak bergeming. Ia diam saja sambil menghela nafas. Aku tak tahu harus mengucapkan apa lagi.
Pernyataannya tadi membuatku merasa bersalah, lega, sekaligus menyesal. Sebenarnya memang itulah tujuan Bahar membuat pernyataan itu. Ia sengaja memberi sanggahan, sekaligus mengingatkan dan membuat penegasan padaku.
Jadi, sekarang aku seperti kehilangan kata-kata..
Sejenak kubiarkan ia tetap berdiri di buritan meredakan emosinya. Aku lalu berbalik menuju tempat duduk dan membuka bekal: roti isi dan minuman ringan pemberian istri Pak Gunawan. Aku menikmatinya sambil lalu. Sekedar pengganjal perut saja.
Kuamati tubuh Bahar dari belakang. Ia masih melepas pandang ke arah laut. Badannya agak membungkuk dan kedua tanganya terlipat di kayu buritan. Angin melambai-lambaikan rambut ikalnya. Laki-laki itu rasanya menjadi milikku yang paling berharga saat ini. Hanya, akankah selamanya aku bisa memiliki dia?
Selama Bahar tinggal di mess kemarin, paviliunku seolah penuh dengan aroma cinta dan nafsunya. Hampir tiap hari ia mengajakku bermesraan. Tak peduli tempat, tak peduli waktu. Dan ia sengaja tiap hari hanya bercelana pendek saja, bertelanjang dada, tanpa baju. Bahkan tak jarang ia mondar-mandir di rumah hanya dengan bercelana dalam. Alasannya panas.
Pernah ia keluar ke teras depan dengan pakaian 'tarzan'-nya dan merayu aku yang tengah mengepak peralatan untuk persiapan pulang. Tapi tak kuturuti keinginannya gilanya itu.
"Malu ah!, nanti ketahuan orang!" kataku sambil mendorongnya masuk ke dalam. Bayangkan kalau ada orang yang melihat tubuhnya yang gempal penuh bulu itu hanya tertutup oleh cawat minim.
Lain waktu, tanpa setahuku ia pernah dengan sengaja membuka jendela dan pintu kamar lebar-lebar ketika kami tengah bergelut telanjang penuh nafsu di atas kasur (belakangan ia bilang bahwa pintu depan paviliun pun sengaja ia buka juga).
Aku akhirnya tahu bahwa Bahar sengaja berbuat itu semua dengan harapan bisa membuat 'panas hati' Pak Gunawan bila kebetulan memergokinya. Untungnya selama Bahar tinggal di mess, Pak Gun tak pernah sekalipun muncul di paviliunku. Jadi tak sempat melihat hal-hal 'menyeramkan' yang dilakukan oleh Bahar (dan aku). Tapi entahlah, apakah suara teriakan Bahar bisa terdengar sampai ke rumah Pak Gun yang ada di seberang sana. Karena, seringkali dengan sengaja Bahar memperdengarkan erangannya keras-keras setiap mencapai klimaks. Tak jarang aku harus membungkam mulutnya rapat-rapat dengan telapak tanganku.
Lamunanku terputus ketika orang yang sedang kupikirkan itu membalikkan tubuh dan berjalan ke arah tempat dudukku. Kekesalan di wajahnya tampak sudah 'mereda'.
"Roti Bang.." kataku menawari begitu ia duduk di sampingku.
"Minum saja" katanya sambil mengulurkan tangannya
Beberapa saat kami diam menikmati bekal siang itu.
"Bang, aku minta maaf ya.." aku memulai percakapan.
"It's okey.." jawabnya ringan sambil menatapku dengan yakin. Matanya teduh menenangkan. Itulah Bahar. Aku jadi merasa malu sendiri atas sikapnya dalam menghadapi kecemburuanku tadi.
Kami kemudian terlibat dalam obrolan tentang rencana-rencana setibanya di Sangir nanti, hingga akhirnya kapal merapat di dermaga tujuan.
Tak ada yang istimewa selama perjalanan dari pelabuhan ke pondokan kami. Hanya, lingkungan sekitar terlihat sedikit menghijau. Tampaknya musim hujan sudah datang dalam beberapa waktu ini.
Dua hari pertama kami habiskan dengan bersih-bersih ruangan dan pekarangan rumah. Hari ketiga, dengan menggunakan perahu tongkang, Bahar mengantar aku berangkat menuju dermaga di pulau seberang. Kami menyebutnya dengan Dermaga Tujuh. Karena di sana kami pernah mengambil sampel data penelitian dengan kode '7'. Dan sekarang aku kembali ke sana untuk ricek data dengan beberapa responden yang tinggal di sana.
Kondisi dermaganya masih sama seperti pertama kali aku ke sini. Bahar hanya mengedrop aku dan kemudian langsung balik lagi ke pondokan untuk menyelesaikan pekerjaan. Katanya ada beberapa genteng bocor yang musti diganti.
"Nanti aku jemput setelah makan siang!" teriaknya dari perahu.
Aku menjawab dengan isyarat acungan jempol, tanda setuju. Bahar menjauh dan aku segera berjalan menuju perumahan penduduk di pinggir pantai. Beberapa anak kecil tampak membantu ibunya menguliti ikan hasil tangkapan. Satu dua dari perempuan itu adalah respondenku yang dulu. Begitu mengenaliku, mereka langsung menyapa dengan ramah.
Ada sekitar dua jam aku menghabiskan waktu menemui lima orang mantan responden yang kebetulan rumahnya saling berdekatan. Hanya ada dua orang yang tinggal di bukit karang di sebelah selatan pulau. Tapi cuma satu yang akan kutemui nanti. Sekarang aku mau istirahat dulu.
Sekitar jam sepuluh aku mampir di kedai minum milik Pak Tua, kenalanku. Kebetulan ada kopi dan makanan kecil pengganjal perut. Sebatang rokok menemaniku selama istirahat sambil meneliti kembali hasil wawancara ulang tadi.
"Pak! Saya numpang ke belakang sebentar ya!" teriakku pada Pak Tua yang sedang sibuk di dalam rumahnya. Mungkin kantung kemihku penuh karena kopi.
"Silakan!" teriak Pak Tua dari dalam.
Yang namanya 'belakang' bukanlah sebuah kamar mandi atau toilet seperti di kota. Tempat itu lebih tepat disebut gubug. Kondisinya hampir sama dengan pancuran yang ada di kebun Om Tei (baca 'Oase' seri ke-10). Hanya saja di sini tak ada pancuran. Airnya berasal dari hujan yang ditampung di tong-tong kayu berukuran besar yang sudah berlumut. Fondasi gubug disusun dari batu karang. Sedangkan dindingnya dibuat dari kayu kelapa dan rumbia kering, terbuka tanpa atap, tanpa pintu. Sehingga saat itulah aku bisa melihat kalau ada orang sedang mandi di situ!
Aku jadi ragu untuk kencing. Tapi orang itu sudah melihat kedatanganku dan mempersilakanku untuk masuk saja ke gubug itu.
"Hei Pak! silakan kalau mau pakai ini tempat" teriaknya begitu melihatku mau berbalik.
Setelah untuk yang kedua kalinya ia memanggilku, dengan agak ragu aku masuk ke dalam gubug. Laki-laki itu dalam keadaan bugil, tetapi sikapnya santai-santai saja menghadapiku, bahkan cenderung lugu.
"Maaf Pak, mengganggu nih..," dengan agak kikuk, kucari sudut untuk tempat kencing.
"Ah, biasa saja Pak," katanya menanggapi, "Jangankan laki-laki, kami di sini sudah biasa mandi campur dengan perempuan dan anak-anak.."
Oh ya?, kataku dalam hati. Tapi aku mencoba menanggapinya dengan mengangguk-angguk dan tersenyum padanya. Seolah-olah aku pun terbiasa dengan hal itu.
Selesai membasuh, aku berusaha untuk bersikap sewajar mungkin ketika berhadapan dengannya. Kujaga mataku untuk tidak terlalu terfokus pada bagian tertentu tubuhnya.
"Kok, jam segini baru mandi, Pak?" aku mulai berbasa-basi.
"Saya baru bangun tidur tadi. Terus kegerahan, jadi langsung saja mandi biar segar," jawabnya sambil tertawa. Aku hanya senyum-senyum saja.
Bersambung . . . .