Laki-laki di depanku ini tampaknya memang orang yang lugu. Ia sama sekali tak risih bertelanjang di depan orang lain. Menurutku wajahnya biasa saja, tapi cukup menarik. Tubuhnya cukup kekar, padat, berkulit gelap dan lumayan berbulu, khas orang daerah sini. Kutaksir umurnya sekitar empat puluhan.
Aku sesekali mencuri pandang ke arah bagian vitalnya yang menggantung dan sesekali bergoyang-goyang karena gerakan tangannya ketika menggosok badan.
Aku bingung, apakah akan tetap berdiri terus di situ, sampai dia selesai mandi; atau pamitan dan kembali ke warung Pak Tua. Aku takut disangka tidak sopan tapi aku juga tak mau rugi dengan kesempatan langka seperti ini.
"Bapak dari mana?" tegurannya akhirnya membuatku memutuskan untuk tetap bertahan di situ.
"Saya dari Jakarta Pak, ada apa?" sahutku singkat, tapi berusaha menjalin percakapan.
"Oh iya!, saya baru ingat! Bapak 'kan yang dulu pernah ke sini," ia setengah berteriak seolah menemukan sesuatu yang hilang.
"Ya betul, saya yang dulu melakukan penelitian dengan orang-orang di sini" kataku menegaskan. Ia mengangguk-angguk sendiri sambil tertawa lebar.
Akhirnya kami terlibat dalam obrolan-obrolan ringan. Ia kemudian mempersilakan aku untuk duduk di batu karang besar yang banyak terdapat di gubug itu. Katanya ia masih lama, karena akan mencuci pakaiannya sekalian, yaitu satu stel baju, kaos dan celana panjang. Rupanya ia menginginkan aku tetap berada di situ.
"Batu-batu itu biasanya dipakai untuk tempat mencuci pakaian," katanya sambil menunjuk beberapa batu setinggi satu meteran, termasuk batu yang sedang kududuki. Saat ini batu-batu itu tampak kering karena sedang tak dipakai. Ia sendiri menggunakan batu cucian yang terdekat dengan tempatnya mandi tadi. Di sini tampaknya orang mencuci pakaian sambil berdiri dan menggosok serta memukul-mukulkan cucian pada karang yang bagian atasnya sudah diratakan.
"Bapak biasa mencuci pakaian sendiri?" tanyaku agak heran
Ia tertawa, tapi terdengar agak hambar, "Istri dan anak saya pulang ke Bitung, ke rumah orang tuanya.."
"Ooo.." kataku sambil mengamati gerakan tubuhnya dari samping.
Ia mencuci dengan tubuh masih dalam keadaan telanjang. Tak kulihat ia membawa handuk atau sejenisnya. Tampaknya ia sengaja membiarkan tubuhnya kering dengan sendirinya. Tadi dalam kondisi basah tak terlihat bahwa laki-laki itu ternyata berambut keriting. Demikian pula dengan bulu-bulu di bagian-bagian tubuhnya. Bulu itu terlihat melingkar-lingkar lucu di sekitar dada dan bagian bawah pusarnya. Sedangkan yang ada di sekitar kemaluannya terlihat lebih kasar, rimbun bagai semak belukar. Batangnya tak terlalu panjang (mungkin karena sedang lemas) tetapi kelihatan pejal dan gemuk. 'Helm'nya termasuk berukuran besar. Bahkan sepertinya terbesar dari yang pernah kulihat.
Di mataku tubuhnya tampak lebih sexy dipandang dari arah samping. Karena dengan posisi berdiri setengah membungkuk, paha dan bongkahan pantatnya terlihat lebih gempal dan padat. Sementara batang kemaluannya terus berayun-ayun bagai lonceng sapi seiring dengan gerakan tangannya ketika mencuci pakaian.
"Hampir sebulan ini istri saya tinggal di sana," ia mulai bercerita. Kenapa? tanyaku dalam hati.
"Biasalah Pak, namanya juga orang berumah tangga. Sesekali cek-cok seperti itu," lanjutnya seolah menjawab keingintahuanku.
Aku diam mencoba untuk tidak bertanya lebih jauh. Takut menyinggung. Tapi ternyata ia sendiri yang akhirnya bercerita banyak tentang rumah tangganya. Sepertinya ia lebih respek dan percaya dengan orang asing sepertiku. Aku hanya bisa berusaha menjadi pendengar yang baik, sekaligus 'penonton' yang 'kurang ajar'. Karena sambil menyimak ceritanya, mataku dengan leluasa bisa menikmati seluruh bagian tubuhnya, sementara ia terkonsentrasi dengan cucian dan ceritanya. Sudah sedari tadi bagian depan celanaku mulai mengeras.
"Repot ya Pak, kalau nggak ada istri di rumah," aku mencoba merespon.
"Ya begitulah.., nyuci sendiri, masak sendiri, tidur sendiri..," sahutnya sambil menertawai jawabannya sendiri.
"Tidur sendiri?" aku mulai usil,"terus kalau lagi kepingin, gimana?"
Laki-laki itu tertawa-tawa mendengar pertanyaanku yang menjurus itu. Sejenak ia menghentikan kegiatan mencucinya dan menegakkan tubuhnya menghadapku dengan posisi agak miring. Sialan! Orang lugu itu ternyata bisa bergaya sexy juga! Apalagi ia kemudian merentangkan kedua tangannya ke samping dan mengatakan bahwa menurutnya ia bukan termasuk type laki-laki yang disukai oleh perempuan (tapi dalam hati aku menilai bahwa dia saja yang tak punya rasa percaya diri).
"Jadi, maksudnya Bapak nggak pernah main dengan perempuan lain?" tanyaku. Ia menggeleng sambil mencibir.
"Di sini bukan Jakarta, Pak," ia masih berdiri, tapi kali ini menghadap frontal ke arahku, "Nggak ada tempat hiburan, apalagi wanita penghibur. Kalau main perempuan itu sama artinya serong dengan orang sini juga, bisa bikin kacau rumah tangga," jelasnya panjang lebar.
Rupanya itulah masalah yang kini tengah menimpanya. Ia ternyata telah berselingkuh dengan perempuan dari desa lain di ujung pulau dan ketahuan istrinya.
"Jadi Bapak kapok main perempuan lagi?" tanyaku penasaran.
"Ya begitulah. Paling-paling kalau lagi kepingin, ya.." ia tak melanjutkan kalimatnya.
"Ya, apaa?" tanyaku setengah mendesak.
"Ngocok saja!" sahutnya sambil ketawa.
Tanpa sengaja tangannya mengurut kemaluannya sendiri dan beberapa saat kemudian dilepasnya kembali. Terus terang aku agak terkesiap dengan jawaban dan juga gerakan tangannya tadi.
"Punya Bapak lumayan gede lho Pak," aku semakin berani berkomentar.
Ia hanya senyum-senyum saja dan kembali memegangi miliknya lantas mengamatinya, seolah tak percaya dengan omonganku.
"Ini belum seberapa. Kalau sudah bangun, bisa lebih besar lagi," dengan yakin ia mengomentari miliknya sendiri. Rupanya pancinganku hampir mengenai sasaran.
"Coba..," aku sengaja memanas-manasi sekaligus menyuruhnya untuk berbuat lebih jauh.
Ia tersenyum agak ragu. Tapi kemudian pelan-pelan ia mulai meremas-remas sendiri batang kemaluannya dan sesekali diselingi dengan gerakan mengocok. Orang ini memang benar-benar lugu. Dan aku berhasil memanfaatkan keluguannya itu. Mumpung!
"Pake sabun Pak.. Biar cepet bangun..," aku mulai memandunya. Dan ia menurut. Dilumurkannya busa sabun mandi ke sekujur batang yang mulai membesar itu.
Kini gerakan tangannya lebih lancar. Benda bulat panjang itu terlihat meluncur-luncur licin di antara jepitan jempol dan keempat jarinya. Aku sampai menelan ludah melihat caranya onani.
"Kapan terakhir ngocok, Pak?"
"Tadi.. Sebelum Bapak masuk ke sini.." jawabnya sambil tersengal-sengal karena gerakan tangannya makin keras. Mulutnya meringis, entah ketawa atau sedang kenikmatan.
"Oh ya?!" aku terpekik surprise. Gila juga nih orang. Jadi sebelum aku masuk ke sini tadi ia habis 'nyemprot'?, tanyaku dalam hati, seolah tak yakin."Masih bisa keluar lagi?" tanyaku ingin memastikan.
"Masih.. Saya biasanya keluar sampai dua kali..," jawabnya lugu, tanpa dosa.
Akhirnya aku tak banyak bertanya lagi dan menikmati saja adegan onani yang tersaji langsung di depan mataku. Ia sendiri tampaknya sengaja memamerkan perbuatannya dan sepertinya bisa menikmati ketika perbuatannya dilihat oleh orang lain. Jangan-jangan laki-laki ini type eksibisionis-orang yang puas dengan cara memamerkan alat vitalnya di depan orang lain. Bisa saja. Hanya barangkali ia tak sadar dengan kecenderungannya itu. Tapi, buat apa aku memikirkan hal-hal seperti itu?
Laki-laki itu (namanya pun aku belum tahu) dengan senang hati membuat pertunjukan gratis padaku. Kadangkala ia seperti mengacung-acungkan miliknya ke arahku. Tadinya aku pikir ia sudah mau muncrat. Ternyata tidak. Barangkali ia hanya ingin pamer saja. Dia juga sesekali meremas dan mengelus-elus biji pelirnya dengan busa sabun sambil menatap ke arahku dengan pandangan tertentu.
"Enak, Pak?" aku iseng bertanya. Dan tentu saja ia mengiyakan.
"Sambil batangnya dikocok dong, Pak..," aku kembali memandunya sambil memeragakan gerakan onani, ketika kulihat ia hanya meremas-remas kantung pelirnya.
Kulit wajahnya kini tampak memerah karena luapan birahi yang terus kupompakan melalui kata-kata. Kuberikan ia semangat, pujian dan juga selingan kata-kata jorok sehingga membuat nafsunya makin meradang. Anehnya, aku tak tertarik untuk 'terlibat langsung' dengannya, meskipun punyaku terasa keras sampai hampir menjebol celanaku.
Sesekali ia menatap tonjolan di depan celanaku yang kini sengaja tak kututup-tutupi lagi. Bahkan aku sesekali sengaja membetulkan posisi 'meriam'ku karena celana dalamku kini terasa makin sesak saja.
"Masih lama?" tanyaku memecah kesunyian.
Ia mengangguk dengan tatapan mata mulai sayu tapi ekspresi wajahnya serius. Sesekali mulutnya mendesis dan gigi-giginya beradu menahan rasa nikmat. Tiba-tiba aku tersadar bahwa bisa saja secara tiba-tiba ada orang masuk ke sini dan memergoki kami.
"Pak.., awas lho nanti ada yang masuk ke sini..," aku mencoba mengingatkan.
Ia menggeleng yakin, "Jam segini.. Biasanya.. Nggak ada yang mandi.. Atau nyuci..," kalimatnya tersendat-sendat oleh gerakan tangannya.
"Tapi kan..,"
"Tenang saja..," ia memotong omonganku.
Tapi aku tetap khawatir. Buktinya, aku sendiri tadi hampir saja nyelonong masuk waktu dia sedang mandi. Jadi siapa saja bisa tiba-tiba datang ke sini dan melihatnya sedang 'main sabun'.
Tiba-tiba aku ingat Bahar akan menjemputku. Kulihat sudah hampir jam 12. Gila! Jadi sudah hampir dua jam aku di sini 'menemani' si keriting itu mandi dan 'nyabun'. Bagaimana kalau tiba-tiba Bahar nongol. Bisa bikin runyam 'dunia persilatan'!
"Mau dibantuin?" tanpa diminta aku akhirnya mendekat ke dia untuk membantunya mencapai klimaks.
"Sudah hampir kok..," sahutnya terengah-engah. Tapi aku tak menggubris. Dan langsung kurebut 'tongkat'nya.
Gila! miliknya memang padat dan keras. Pijitan dan remasanku sepertinya tak terasa buatnya. Maka aku lebih memilih berkosentrasi pada kepala kemaluannya yang merupakan pusat syaraf kenikmatan. Kuoleskan busa sabun sebanyak-banyaknya di bagian itu. Lalu kuremas-remas dan kupilin-pilin bagaikan sebuah mainan karet.
Benar saja. Ia langsung mengerang keenakan. Berkali-kali ia minta aku meneruskan remasan-remasan itu (padahal aku memang tak berniat menghentikannya).
Mulutnya makin mendesis-desis dan ribut ber'oh-oh' sampai akhirnya sebuah pancaran deras keluar dari ujung kemaluannya dan diikuti dengan satu dua semprotan berikutnya. Sebagian meleleh di jari-jariku. Rasanya hangat, bahkan agak sedikit panas.
Aku masih menggenggam miliknya sambil terus meremas-remasnya dengan menggunakan cairan licin kental miliknya sendiri. Beberapa kali tubuhnya bergidik kegelian setiap kali aku melakukan remasan.
Beberapa saat kemudian kutarik tanganku dan segera kubasuh. Ia kini terduduk di atas karang sambil berusaha mengatur nafas. Sesekali matanya terpejam, seperti kelelahan.
"Pak, saya ke depan dulu ya..," kataku kemudian
Ia mengangguk sambil tersenyum tipis, "Terima kasih ya.." katanya pelan, tapi terdengar lugu.
"Ah! Sudahlah. Lupakan saja.." balasku cepat-cepat dan segera berjalan menuju depan kedai Pak Tua.
Kulihat di dermaga belum tampak perahu tongkang. Berarti Bahar belum datang. Untunglah! Karena aku sudah was-was saja kalau sampai dia tahu aku 'main-main' lagi dengan orang lain, meskipun aku tadi hanya sebagai penonton dan sedikit 'membantu'.
"Habis sakit perut Pak?" sapa Pak Tua dari balik kedainya.
Semula aku agak gelagapan dengan pertanyaannya. Tapi segera kujawab 'iya' saja, agar ia tak curiga, karena aku tadi menghilang di belakang cukup lama.
"Iya Pak. Sakit perut" sahutku sekenanya.
Padahal sebenarnya ada bagian tubuhku yang lebih 'sakit', karena sudah tegang meradang, tapi tak tersalurkan.
Tamat