Bandara Sam Ratulangi, Senin siang, 11.09 WITA
Jadwal keberangkatan Bahar ke Surabaya akan menjelang beberapa jam lagi. Kesibukan di Bandara belum begitu padat, hanya beberapa orang petugas porter yang tampak bergerombol di beberapa sudut kedatangan, merayu para calon penumpang untuk dibantu membawakan barang bawaan. Tapi tampaknya mereka tak berani mendekati kami. Barangkali mereka segan pada kami yang punya potongan tubuh lumayan gede ini. Apalagi saat itu, menurut Bahar aku kelihatan 'sangar' dengan kacamata rayban. Sedangkan Bahar tampak gagah dan agak 'preman' dengan setelan sportifnya: baju kotak-kotak plus blue jeans.
Bahar segera check in. Sementara aku mengurus barang bawaan yang akan dibagasikan. Ada dua kopor berukuran sedang dan satu travel bag yang dibawanya. Tanpa setahu dia, aku menyelipkan fotoku dan foto kami berdua di salah satu kantong yang ada di kopor pakaiannya.
Mungkin karena Bahar termasuk calon penumpang yang datang lebih awal, maka pelayanan bisa lebih singkat diselesaikan. Kebetulan aku diijinkan petugas bandara untuk masuk ke ruang tunggu. Mungkin karena hari ini sedang tidak terlalu banyak penumpang. Ruang tunggu pun terlihat masih sepi. Dan kami bisa bebas mau duduk di mana saja. Tapi Bahar mengajakku memilih kursi yang agak terpisah dari yang lain.
Untuk beberapa saat kami tak banyak bicara. Tenggelam dalam lamunan masing-masing dan sesekali memperhatikan kesibukan petugas bandara yang ada di landasan. Pesawat dari Ujung Pandang yang akan membawa Bahar ke Surabaya belum tampak terlihat.
Dia lalu mengeluarkan bungkus rokoknya, tapi aku mengingatkan larangan merokok di ruang tunggu ini. Disimpannya kembali bungkus rokok itu ke kantong bajunya. Nampak sekali dia sedang nervous. Kupegang tangannya. Dingin. Lalu tangannya membalas menggenggam tanganku. Menghela nafas dan mencoba tersenyum.
"Abang mau merokok? Ayo, aku antar keluar" kataku menawarkan. Tapi dia menggeleng dan malah mengembangkan senyuman tipis. Genggaman tangannya kurasakan makin erat.
Aku mencoba menenangkannya. Dia mengangguk-angguk dan mencoba tersenyum lagi. Tapi senyum itu kelihatan dipaksakan. Bahar menghela nafas.
".. Barangkali saya terlalu berat untuk berjauhan dengan Mas Harso..," kalimat terakhirnya terdengar agak lirih.
Kini tiba-tiba gantian aku yang senewen mendengar ucapannya itu. Mataku berkejap-kejap, agak panas. Terus terang, sebenarnya selama dua hari terakhir ini aku secara diam-diam terus memikirkan bagaimana caranya agar selama Bahar di Surabaya nanti komunikasi kami tak terputus. Kontak melalui surat menurutku terlalu makan waktu dan bukan pilihan yang baik. Sedangkan hubungan melalui telepon sulit dilakukan karena pondokanku di Sangir tak ada fasilitas telepon. Musti pergi ke dekat pelabuhan dulu untuk bisa menelpon. Itupun dengan memakai fasilitas (tepatnya meminjam dan bayar) telepon milik kantor sebuah perusahan perkapalan.
Akhirnya, aku menemukan ide yang sebenarnya baru dapat direalisasikan seminggu setelah keberangkatan Bahar. Sebenarnya bukan murni sebuah ide, lebih tepat sebuah rencana yang sebelumnya memang sudah diagendakan dalam jadual surveyku. Tapi bagiku itu merupakan jalan keluar yang paling baik, dan aku ingin membuat rencana ini menjadi sebuah kejutan untuk Bahar. Makanya aku sengaja menyimpan ide itu sampai menjelang keberangkatannya ke Surabaya ini.
Tapi sekarang, demi mendengar ungkapan Bahar yang katanya 'terlalu berat untuk berjauhan denganku', aku menjadi tak tega untuk tak segera mengatakan semua rencana yang hampir satu setengah hari ini kusimpan.
"Bang, di Surabaya ada nomor teleponnya nggak?" tanyaku memancing.
"Saya rasa ada. Cuma.." jawabnya sambil mengingat-ingat sesuatu.
Tangannya lalu membuka tas cangklong kulit warna hitam tempat barang-barang penting miliknya. Rupanya Bahar mencari surat panggilan yang dalam kop suratnya terdapat alamat perusahaan, termasuk nomor teleponnya.
"Nih! ada.." katanya agak kegirangan.
Tampak sekali ia mengharap aku akan dapat melakukan sesuatu dengan nomor telepon itu. Aku lantas mencatat nomor tersebut dan kusimpan di dompetku. Lalu kuambil sebuah catatan kecil dari dompet dan kuberikan ke Bahar
"Dan ini nomor teleponku.." kataku sambil menyodorkan secarik kertas kepadanya.
Bahar tampak bingung melihatku.
"Telepon? telepon siapa?" Bahar kebingungan lalu mengamati angka-angka di kertas itu.
"Kok, kode wilayahnya di Manado?" sambung Bahar makin bingung.
"Iya, memang" jawabku enteng. Dan Bahar tambah bingung. Kasihan juga aku melihat ia kebingungan seperti itu.
"Begini Bang.." kataku mulai menjelaskan, "Abang ingat nggak? Jadual kerjaku bulan ini sebenarnya sudah menginjak ke pengolahan data survey. Nah, dulu kan saya pernah bilang, pengolahan data itu mungkin butuh waktu sekitar 40 hari dan itu harus dilakukan di Manado, karena memerlukan beberapa fasilitas yang tak ada di Sangir.." kataku menjelaskan.
Baru kuberi penjelasan begitu Bahar sudah bisa menangkap apa rencanaku sebenarnya. Bola matanya yang hitam tajam itu berbinar. Senyumnya mengembang, menampakkan deretan gigi yang putih dan mempertegas garis-garis di pipinya. Kali ini bukan senyum yang dipaksakan.
"Kok Mas Harso baru ingat kalau jadual pengolahan itu dilakukan bulan ini?" tanyanya menyelidik.
"Oh nggak! Aku sudah ingat sejak malam Minggu kemarin," kataku.
"Kok baru cerita sekarang?" sambarnya sambil langsung memukul bahuku.
Aku tak mengelak dan malah membiarkan lengan kekarnya memeluk leherku karena gemas oleh kejutan yang kusampaikan.
"Jadi, mulai minggu depan aku sudah ada di Manado dan kita akan lebih mudah melakukan kontak via telepon," kataku melanjutkan penjelasan sambil ketawa menggodanya dia yang sedang menyumpah-nyumpah. Tapi kini kulihat ada rona cerah di wajahnya. Hilang sudah kecemasannya.
"Pantas, Mas Harso dari kemarin kok tampaknya tenang-tenang saja," katanya sambil ikut ketawa geli begitu menyadari aku telah berhasil mengerjainya. Beberapa penumpang yang mulai berdatangan sempat menoleh ke arah kami.
Akhirnya suasana di ruang tunggu yang tadi terasa membosankan itu menjadi cair. Kami lalu ribut saling mengatur rencana-rencana untuk saling kontak di antara kami nanti. Bahar berjanji akan menelpon lebih dulu ke Manado dan aku memberikan tanggal dan hari pertama aku akan tinggal di Manado nanti.
Di landasan terlihat pesawat dari Ujung Pandang sudah tiba. Biasanya butuh waktu sekitar 45 menit untuk persiapan take off berikutnya. Kami berdua masih punya banyak waktu untuk ngobrol kesana kemari. Kepergian Bahar akhirnya tidak menjadi sebuah ganjalan lagi, tapi bisa kami terima seperti layaknya sebuah kepergian biasa.
"Mas, ke belakang sebentar yuk.." tiba-tiba Bahar mengajakku setengah berbisik, penuh arti. Dan ada yang bisa kutangkap dari ajakannya itu.
Kami berdua lalu berdiri dan berjalan menuju toilet di ujung ruang tunggu. Di dalam ada dua orang sedang buang air kecil. Bahar lalu masuk ke salah satu kamar kecil dan memberi isyarat padaku untuk menyusul. Aku pura-pura membasuh tangan di wastafel dan sejenak berkaca di depan cermin sambil menunggu toilet sepi. Begitu dua orang itu keluar, aku langsung menyelinap ke kamar kecil menemui Bahar..
Kami langsung berciuman melepaskan perasaan yang tertahan dari tadi. Mulut Bahar tak henti-hentinya melumatku dengan penuh nafsu. Nafasku sampai tersengal-sengal. Aku sampai memberi isyarat agar dia hati-hati jangan sampai ketahuan orang dari luar. Tapi Bahar tampak tak menggubrisku, bahkan ketika di luar terdengar ada orang sedang menggunakan toilet, ia tetap terus merangsekku.
Bahar akhirnya melepas bibirnya dari bibirku. Ujung kumisnya tampak basah. Nafasnya terdengar memburu dari hidung dan mulutnya yang terbuka terengah-engah. Matanya tajam menatapku dan belum sempat aku menyadari.. Bibirnya maju lagi menyergapku! Dasar!
Kembali aku tenggelam dalam lumatan bibir dan jelujuran lidahnya yang liar itu. Namun kali ini aku berusaha mengimbanginya. Dan tampaknya ia menjadi bersemangat melihat reaksiku. Kudekap tubuhnya erat-erat. Ia lebih erat mendekapku. Kutekan tubuhnya kuat-kuat. Ia lebih kuat menekanku.
Dua tonjolan besar di depan celana kami saling beradu bergesekan dan saling menekan satu sama lain. Sesekali Bahar memutar pinggulnya sambil menekan sehingga menimbulkan rasa geli di pangkal pahaku.
Kami berdua tampaknya mulai 'naik'. Tangannya tiba-tiba membuka resleting celananya dan langsung mengeluarkan barangnya. Lalu dengan tergesa-gesa ditariknya pula resleting celanaku dan langsung dirogohnya untuk dikeluarkan isinya. Kini kedua benda bulat panjang milik kami bisa langsung bersentuhan tanpa terhalang apapun. Saling bergesekan dan saling beradu anggar dengan ketatnya.
Bahar mencoba mengisap milikku. Aku membiarkannya. Tapi rasanya tak mungkin menuntaskan permainan ini di kamar kecil seperti ini. Meskipun birahi kami sudah mendesak-desak menuntut penyaluran.
".. Banghh.." aku mendesah lirih agar tak terdengar sampai keluar.
"Yahh..?" balas Bahar lirih juga, sambil tetap berusaha menciumiku di bawah sana.
"Sudah. Cukup" kataku sambil menarik tubuhnya untuk berdiri.
Bahar cuma mengangguk kayak anak kecil. Rupanya ia masih 'sadar' bahwa situasi dan kondisinya tidak mendukung untuk melampiaskan semuanya. Melihat ekspresi wajahnya yang tiba-tiba jadi penurut itu, aku jatuh iba juga. Terakhir aku menyempatkan untuk gantian mengisap miliknya dengan beberapa lumatan, sampai ia merasa cukup dan menarikku tubuhku untuk berdiri.
Di luar terdengar lagi ada suara orang masuk ke toilet. Sejenak kami menunggu sampai orang itu keluar. Bahar masih sempat mengecupku sekali lagi, sebelum akhirnya kami berdua dapat keluar dari kamar kecil itu dengan aman.
Aku langsung menjatuhkan pantatku di kursi ruang tunggu. Bahar menyusul. Nafas kami masih agak tak beraturan. Wajah Bahar kulihat lega. Seperti ada sesuatu yang telah ia selesaikan. Wajahnya menghadap lurus ke depan sambil sesekali menghela nafas. Senyum-senyum sendiri. Lalu ujung matanya melirikku. Aku tertawa melihat sikapnya yang lucu itu.
"Kok ketawa?" tanyanya agak sewot tapi sambil tetap tersenyum.
"Dasar!" kataku dengan nada meledek.
"Dasar apa?"
"Dasar, nggak mau rugi waktu"
"Boleh kan? Kapan lagi bisa.."
Aku memberi isyarat dengan telunjukku agar ia tak meneruskan kalimatnya. Takut kalau terdengar orang-orang di sekitar situ. Selanjutnya kami tak banyak bicara. Hanya mata kami saja yang sesekali saling bertatapan, mengirimkan sinyal-sinyal yang hanya bisa dipahami oleh kami berdua.. Tiba-tiba dari pengeras suara terdengar suara petugas mengumumkan persiapan keberangkatan pesawat yang akan ditumpangi Bahar menuju ke Ujung Pandang. Rencananya dari Ujung Pandang nanti Bahar akan pindah pesawat yang langsung menuju Surabaya.
Bersambung . . . .