Aku berlari di sepanjang pesisir pantai dengan air laut yang menyentuh kakiku beberapa kali saat ombak menyapunya ke tepi pantai. Aku tertawa bahagia. Setidaknya untuk kali ini aku bisa datang kemari sekali lagi untuk menemui kekasih tercinta. Plus, aku membolos untuk beberapa hari dari pekerjaanku.
Dan sesaat kemudian aku melihat sosoknya disana, didepanku. Berdiri menghadap kepadaku dengan senyumnya yang begitu indah. Aku berlari kearahnya. Kedua tangannya terentang lebar menyambut kedatanganku. Aku berlari menghampirinya dan membiarkan diriku jatuh ke dalam pelukannya.
"Ups." dia terengah saat aku memeluknya.
"Hei, met datang!" tawanya yang renyah terdengar ditelingaku.
"Alo, say." aku memeluknya erat.
"Miss u so much."
"Iya, iya." katanya menenangkan.
"Kita ke mess dulu, en jangan terlalu mesra donk," pintanya dengan suara yang lebih pelan.
"Gak enak kalo keliatan ama orang-orang ntar." Aku memperbaiki sikapku secepat mungkin.
"Sorry," kataku penuh permintaan maaf.
"Abis lama nggak ketemu, sih."
Oh, ya. Kami berdua, adalah sepasang kekasih yang agak sedikit 'aneh' daripada pasangan kekasih yang pernah kalian lihat. Kami ini sesama laki-laki. Jadi singkatnya kami berdua homoseks. Namaku Iwan, 20 tahun, seorang mahasiswa jurusan bahasa Inggris sekaligus berprofesi sebagai guru privat Bahasa Inggris sebagai pekerjaan part time. Sementara kekasihku adalah Randy, 26 tahun, profesinya adalah sebagai seorang akuntan di sebuah perusahaan pembibitan udang tambak. Karena itulah aku harus jauh-jauh sampai ke pantai, ke lokasi pembibitan kantornya dimana Ran bekerja, hanya untuk menemuinya. Dia harus selalu stand by di kantornya untuk mengawasi, tentu saja.
Dan aku menghabiskan waktu seperti biasanya seperti 2 kali yang lalu saat aku datang kesini. Duduk di dalam ruangan kerja Ran dan melihatnya bekerja. Kadang-kadang aku juga membantu pekerjaannya. Well, walaupun aku mengambil jurusan Bahasa Inggris, namun dulunya aku bersekolah di SMK jurusan AK, jadi sedikit banyaknya tahu mengenai akunting. Kadang-kadang kami juga berciuman sesekali saat kami berdua yakin tidak ada pengganggu. Ciuman yang sedikit panas. Maklumlah, setiap bulannya hanya bisa ketemu setiap 4 kali.
Malamnya, kami berdua bermesraan dikamar milik Ran yang untungnya hanya ditempatinya sendiri. Kami sudah setengah telanjang. Nafas kami terengah, dan kejantanan kami berdua sudah sama-sama menegang. Aku menatap matanya dalam kegelapan yang tampak bersinar cemerlang.
"Aku mencintaimu."
Lalu aku berlutut di hadapannya. Aku membuka celana sport yang digunakannya untuk tidur. Perlahan, seolah menggodanya untuk melepaskan kendali dirinya. Dia mengeluh nikmat saat kedua tanganku membelai kejantanannya yang tersimpan di balik CD-nya.
"OS, donk." rintihnya. Aku tersenyum.
Dan sesaat kemudian aku merasakan kejantanannya dengan mulutku. Aku mengulum, menghisap dan menjilat kejantanannya. Rintihan tertahannya semakim menjadi. Tubuhnya mengeliat sesekali. Kedua tanganku pada punggungnya, membelainya lembut, memutar kedepan, hingga ke dadanya yang kekar dengan putingnya yang sudah mengeras, lalu turun kembali pada kejantanannya. Saat itu aku menggunakan tanganku, menggantikan mulutku. Menggosok, mengocok, dan meremas. Aku menggunakan ujung lidahku untuk merangsang ujung kejantanannya.
Kebutuhannya semakin mendesak. Dia mendorong masuk keseluruhan kejantanannya ke dalam mulutku. Pinggulnya pun mulai bergerak dalam irama yang pelan namun mantap. Aku membelai bagian dalam pahanya, bokongnya. Gerakan pinggulnya semakin cepat. Desahan dan rintihan tertahan semakin sering terdengar dari mulutnya.
Sesaat kemudian Ran memelankan ritme gerakan pinggulnya. Kejantanannya berdenyut dengan keras didalam mulutku. Aku dapat merasakannya. Hangat dan kaku. Dan pada saat itu juga aku merasakan sesuatu yang hangat tertumpah kedalam mulutku. Mengalir kedalam tenggorokanku. Aku tertawa pelan sambil menggumamkan desahan kepuasan, seperti yang Ran desahkan saat ini, di puncak kenikmatannya. Ran tertawa senang.
"Astaga." desahnya puas.
"Kau telan, ya?" dia memberiku kecupan ringan. Aku tersenyum saat dia mengecupku.
"Uh, huh."
Masih tertawa pelan, Ran membawaku ke atas tempat tidurnya. Aku berbaring telungkup saat dia memintaku untuk berbaring. Menindihku pada punggungku, mencumbu telingaku. Aku merasakan kehangatan yang kaku pada selangkangannya. Aku tertawa pelan. Ran perlu berupaya beberapa kali untuk memasuki tubuhku sebelum akhirnya berhasil melakukannya. Desahan pelan nan nikmat terdengan dari dalam tenggorokannya saat dia melakukannya.
Tubuhnya kembali bergerak dalam irama yang lembut. Gerakan kejantanannya yang saat ini berada didalam tubuhku serasa menghanyutkan. Aku mendesah, menggeram, dan merintih sejadinya. Rasanya selalu luar biasa, menakjubkan. Satu tangannya pada kejantananku, menggosok dan meremas. Sementara satu tangannya yang lain berada pada wajahku dengan jari tengahnya didalam mulutku. Dan mulut serta lidahnya yang sesekali mencumbu telingaku, leherku dan punggungku.
Desahan penuh nikmat memenuhi ruangan kamarnya yang gelap, menjadi irama ditengah kesunyian malam. Kami bagai 2 ekor kuda yang dipacu mendaki bukit terjal, nafas kami terengah. Gerakan kami berdua menjadi cepat dan tidak terkendali. Kami ingin mencapai puncak bukit itu, entah bersama-sama atau salah seorang terlebih dahulu dari pada kami.
Sesaat berikutnya, aku merasakan kejantananku menembakkan seluruh isinya keluar dari tempat penyimpanannya. Aku merasakan spermaku membasahi tangan Ran yang masih menggosok kejantananku dengan cepat sementara ia menyetubuhiku. Kepalaku terasa sangat pusing. Pandanganku menjadi gelap.
Tangannya menggosok kejantananku semakin cepat, bukannya menjadi reda dan lembut. Begitu pula dengan irama gerakan pinggulnya yang terasa semakin memanas. Dan anehnya, kenikmatan ini tidak pergi dariku, apalagi mereda. Perlahan, aku merasakan, ada kenikmatan lain yang bangkit perlahan dari ulu hatiku. Sesuatu seperti perasaan akan meledak. Nafasku juga semakin terburu-buru, sebelum pada akhirnya aku kembali melepaskan energi itu dengan desahan nafas puas.
Aku merasakan ketegangan pada kejantananku mereda, sementara Ran masih menyetubuhiku dengan gerakan yang melembut, sebelum pada akhirnya ia menggeram nikmat dan memuntahkan spermanya kedalam tubuhku. Geramannya sambung menyambung, tubuhnya terhentak sesekali saat ia melepaskan perasaan kenikmatan yang tertimbun di perut bawahnya, seirama dengan denyutan pada kejantanannya.
Lalu kami berdua terkulai lemas, namun puas. Ran dan aku berbaring bersisian dan saling berhadapan. Kami saling berpelukan. Aku menatap matanya, dan dia menatap mataku.
"Thanks." katanya lemas
"You're welcome." aku tersenyum lembut. Tanganku membelai dadanya yang sedikit berbulu.
"Yang tadi itu OK banget."
"Abis 'puasa' seminggu lebih nih!" katanya dengan nada protes.
"Makanya, besok-besok ga bisa gini lagi, loh!"
"Huh, ngomongnya." aku tertawa pelan.
"Biasanya selalu abis sekali, mo minta lagi."
Tanganku meraih kejantanannya yang sekarang terkulai lemas.
"Aduh, kacian.." seruku.
"Udah abis 'puasa', malah dipaksa kerja."
"Hush! Justru abis 'puasa' harus dipake. Kalo ga, ntar karatan. Lo mau?"
"Sama kakek-kakek?" tanyaku bercanda. Lalu aku merasakan kejantanannya kembali menegang.
"Kurasa nggak juga."
"Sapa tadi yang kamu bilang kakek-kakek." tawanya menantang.
"Gak tau." kataku acuh.
Kedua tanganku mulai bermain-main dengan kejantanannya yang menegang. Ran mengeluh pelan.
"Hei," bisiknya penuh nafsu.
"Jangan mancing kalo ntar ga sanggup, ya."
Aku tertawa. Tanganku semakin menjahili kejantanannya. Erangan tertahan terdengar di tenggorokannya.
"Lo kakek-kakek, aku daun muda." Aku beringsut mendekat.
"Apa susahnya?" aku berbisik pada telinganya.
Ran menggeram. Dan dengan gerakan yang cepat, dia sudah berada di atasku. Tubuhnya berada diantara kedua kakiku. Aku tertawa pelan. Tawaku langsung dibungkamnya dengan ciumannya yang panas. Lidah kami bertemu, saling bertaut. Aku merasakan kejantanannya memasuki tubuhku sekali lagi. Sesaat kami mendesah puas bersamaan. Ran membiarkan dirinya terus berdiam di dalamku. Kami masih berciuman hingga aku merengek pelan, Ran mendegus pelan sebelum mulai menggerakkan pinggulnya. Perlahan dan lembut. Kami berciuman lagi. Semakin dan semakin dalam.
Panas tubuh kami berdua menyatu. Keringat kami mulai mengalir. Desahan-desahan nikmat terdengar dari mulut kami masing-masing. Kami bercinta dengan lembut dan lama. Bibir dan lidahnya yang basah menciumku dengan menggairahkan, perutnya yang rata dan keras yang sesekali menghimpit kejantananku, dadanya yang berotot menempel pada dadaku. Rasanya luar biasa. Selalu seperti ini saat kami bercinta. Tanganku membelai punggungnya yang kekar, terus hingga ke bokongnya yang padat berisi.
Nafasku sesekali menjadi sesak saat Ran menciumku agak lama. Kadang-kadang aku tersedak karena diantara mencoba bernafas dan mendesah nikmat secara bersamaan. Gerakan pinggulnya semakin cepat. Kami semakin terbakar, panas! Gerakannya semakin kuat dan kasar, menunjukkan kelelakiannya. Aku mendesah nikmat, berusaha untuk mengimbangi irama gerakannya.
Aku kalah kuat, dan pada akhirnya aku menyerahkan diri pada penguasaannya. Bibir dan lidahnya berada di leherku, aku mendesah-desah nikmat saat kejantananku menjadi sangat kaku dan hangat. Perutnya menghimpit kejantananku, yang saat itu kembali menyemburkan cairan putih kental untuk yang kesekian kalinya malam itu. Tanganku mencengkram bahunya yang kuat dengan keras. Penetrasinya yang kuat dan cepat membuatku serasa makin melayang di puncak kenikmatanku.
Dan sesaat kemudian, aku mendengarnya mendesah lepas di leherku. Erangan kebinatangannya yang menghentak seirama dengan pelepasan kenikmatannya. Aku merasakan kejantanannya berdenyut keras di dalam tubuhku. Melepaskan semua beban kenikmatannya ke dalam tubuhku. Aku merasakan getaran tubuhnya yang tidak terkendali. Aku mendesah menenangkannya.
Lalu kami berdua berbaring bersisian kembali, namun dengan punggungku menghadap kepadanya. Tangannya memelukku, tanganku menggenggam tangannya. Aku berbisik..
"Seandainya aku bisa hamil, mungkin sekarang udah punya anak kembar 7 di dalam sini." Aku membawa tangannya ke perutku. Ran tertawa. Dia membelainya dengan gerakan memutar.
"Ya, aku tahu."
"Mau nggak sih punya anak dari aku?"
"Jangan ngawur, ah."
"Kalo misalnya bisa." aku bersikeras.
"Gimana?" Ran memelukku lebih erat.
"Mau, donk."
Kami kembali terdiam. Kehangatan tubuhnya serasa begitu dekat. Juga aroma tubuhnya yang begitu memabukkan. Aku mendesah senang. Beruntung aku memiliki kekasih sepertinya.
Tak lama kemudian, terdengar dengkuran di tengkukku. Aku mendengus pelan. Ran sudah tertidur. Pantas untuknya yang sudah bekerja lembur dengan begitu keras. Aku meremas tangannya yang kugenggam lebih keras. Aku benar-benar beruntung memilikinya. Kekasihku yang begitu menyayangiku, memperhatikanku. Dan dengan memberikan diriku secara keseluruhan, yang hanya dapat kulakukan untuk membalasnya.
Bersambung . . . .