Turun dari bus diikuti oleh Iswani tepat dibelakangku, kulihat jamku menunjukkan 8.45. Bergegas menghindar dari calo-calo angkutan umum dan ojek, kearah warung di pinggir terminal lalu duduk sambil memesan kopi panas. Setelah duduk baru aku sadar bahwa Iswani tertinggal agak jauh dan berjalan menuju tempatku dengan agak kesulitan karena tasnya kelihatan berat.
"Tok, gimana sih kamu kok ninggal?", kata Iswani dengan nada tinggi.
"Bantu bawain tasku juga nggak, kok malah lari!", lanjutnya.
"Sorry Mbak, aku kan kepingin cepat-cepat minum kopi biar nggak keburu pusing", sangkalku dengan santai sambil tersenyum kecut.
"Ah, alasan aja kamu, malu ya jalan sama aku?", tanya Iswani.
"Nggak, malah senang kok Mbak, seperti punya pengawal pribadi", candaku.
"Eh, enak aja! Habis ini pokoknya kamu bantuin bawa tasku ya!", dengan nada memaksa.
"Lho Mbak, terus tasku siapa yang bawa?", tanyaku dengan lagak bodoh.
"Ya kamu bawa sendiri!", jawabnya bernada cuek.
"Wah capek Mbak!", rengekku menggoda.
"Gampang, nanti kupijitin, gitu aja kok repot!", jawab Iswani dengan keras dan bersungut.
Bagai tersambar petir atas reaksinya aku terdiam agak lama, beruntunglah kopiku segera tiba dan kusibukkan diriku dengan kopi panas sambil menghisap rokok. Sementara itu Iswani memesan teh panas dan menuju wastafel lalu membersihkan muka, menyisir rambut dan bersolek dengan santai. Setelah tehnya datang ia kembali ke mejaku dengan wajah lebih segar dan tampak cantik.
Memandang wajah dan tubuhnya yang seksi, terbitlah lamunanku bermesraan dengannya. Bibirnya yang mungil menempel pada bibirku, saling bercumbu dan saling menghisap. Tanganku mengusap payudaranya yang menegang, jari jemariku merasakan puntingnya yang makin mengeras. Tak kuasa menahan godaan dari dadanya kulepaskan cumbuanku dan kuarahkan pada kedua payudaranya. Desahannya makin menjadi, tangannya mendorong kepalaku kearah lebih bawah lagi. Pelan tapi pasti, hisapan bibirku akhirnya sampai pada daerah kemaluannya. Bulu-bulu kemaluannya yang rimbun tak mampu menahan juluran lidahku menembus bibir vaginanya. Hisapan dan juluran lidahku yang bergantian menghasilkan pola rangsangan yang tak terbatas nikmatnya pada tubuh Iswani. Erangan dan desahannya bagaikan alunan nada yang membuatku semakin liar. Kedua kakinya semakin membuka, lidahku masuk semakin dalam, tarikan tangannya pada kepalaku semakin kuat untuk menahan bibir dan lidahku agar tak lepas dari lubang kenikmatannya.
Gelinjang di tubuh Iswani makin menjadi dan teriakan keras, "Oh..", dan.. tenggelamlah lamunanku yang baru terbit oleh tendangan kaki Iswani pada kakiku.
"Ada apa sih Mbak pakai nendang-nendang segala?", tanyaku jengkel.
"Diajak omong malah ngelamun. Setelah ini kamu kemana, Tok?", tanya Iswani sambil minum tehnya.
"Cari penginapan di daerah Cempaka, Mbak!", jawabku kalem.
"Mampir ke Pasar Antasari dan Pasar Baru dulu, ya!", ajaknya.
Dengan mengangguk aku menghela napas panjang, dalam hati aku mengeluhkan ajakannya. Tapi rupanya Iswani dapat membaca raut mukaku.
"Kalau nggak mau, nggak apa-apa kok!", katanya dengan nada tinggi lagi.
"Mau, mau Mbak, gitu aja sewot!", godaku sambil tersenyum.
Keluar dari warung, kami berjalan menuju ke pangkalan angkutan umum. Kali ini aku berjalan dibelakang Iswani dan sering ketinggalan darinya karena selain membawa tasku sendiri aku juga membawa tasnya yang ternyata lebih berat dari dugaanku. "Ayo cepat, jalanmu kok loyo sih!", ujar Iswani. Aku cuma bisa mengumpat dalam hati tanpa mengucapkan sepatah katapun karena tangannya segera meraih pergelangan tangan kiriku dan menariknya masuk ke angkutan umum.
Setelah sampai didepan Pasar Antasari kami turun dari angkutan umum. Kuikuti saja langkah Iswani tanpa menghiraukan apa yang dibelinya. Satu jam berputar-putar didalam pasar membuat bajuku terasa basah kuyup karena keringatku. "Yuk ke Pasar Baru, jalan kaki saja ya, dekat kok!", kata Iswani padaku. Sambil melongo aku geleng-gelengkan kepala tak percaya pada pendengaranku, "Aduh Mbak, capek nih, apa Mbak belum pernah dimaki-maki orang bisu ya?", umpatku padanya. Beruntung pasar lagi ramai sehingga dia tak seberapa mendengarkan umpatanku.
Berjalan menyisir jalanan kota Banjarmasin yang panas dan padat, kuikuti langkah Iswani menuju Pasar Baru. Lewat jembatan yang menyeberangi sungai besar kuhentikan langkahku karena kurasakan kesegaran angin sungai. Belum puas merasakan udara sungai, Iswani memanggilku, "Ayo Tok, cepatlah!". "Sabar dong Mbak, lagi cari angin nih!", jawabku sambil berjalan kearahnya. Sesampainya di Pasar Baru Iswani melanjutkan belanjanya. Keletihanku tertutupi oleh wajah-wajah cewek yang lalu lalang disekitarku. Tanpa kusadari ternyata caraku menatap cewek-cewek tersebut diperhatikan oleh Iswani. Cubitannya di tanganku membuatku terhenyak kaget, "Aduh, ada apa sih Mbak?". "Ayo cari makan.", jawabnya santai.
Setelah duduk di meja makan sebuah restoran seberang pasar, kuletakkan kedua tas dibawah meja, lalu kuusap-usap bekas cubitan Iswani di pergelangan tangan kiriku.
"Kenapa Tok? Panas ya?", tanya Iswani padaku sambil tertawa.
"Mbak keterlaluan! Ngajak makan saja pakai nyubit", gerutuku tanpa didengarkannya karena sibuk memesan makanan. Selesai makan Iswani mengajakku naik angkutan umum lagi untuk mencari penginapan. Sesampai didaerah Cempaka, kami turun.
"Mana Tok penginapannya?", tanya Iswani.
"Masuk kejalan sebelah sana Mbak, angkutannya nggak lewat jalan itu", jawabku.
"Jauh nggak? Aku udah capek dan ngantuk nih!", kata Iswani.
"Aku sudah sejak tadi capek dan ngantuk!", balasku.
"Aku nggak tanya!", jawab Iswani dengan ketus lalu mempercepat jalannya.
Belum sempat membalas ucapannya terakhir, aku tergopoh-gopoh berusaha menyusulnya.
Sesampai di penginapan Iswani langsung menuju penerimaan tamu dan memesan sebuah kamar. Petugas penginapan yang agak curiga bertanya pada Iswani tentang aku. Dengan nada yang meyakinkan dikatakannya bahwa aku adalah adiknya. Dengan napas yang masih terengah-engah karena berjalan cepat dengan beban berat, aku mengannguk saja apa yang ia yakinkan pada pegawai penerima tamu. Akhirnya bualan Iswani menghasilkan sebuah kamar dengan 2 tempat tidur yang terpisah.
Bergegas masuk kamar lalu kuletakkan 2 tas yang membaniku, kemudian kulepas jaket, sepatu, celan jeans dan bajuku yang masih basah kuyup oleh keringatku. Dengan hanya ber-celana dalam kubaringkan badanku terlentang diatas ranjang menikmati sejuknya AC kamar. Di pojok ranjang yang satunya, Iswani duduk menatap bagian depan celana dalamku yang menonjol.
"Lihat apa Mbak?", tanyaku mengagetkannya.
Menggeleng-gelengkan kepala dengan wajah yang agak merah dia berdiri dan masuk ke kamar mandi. Rupanya Iswani mandi dengan singkat lalu keluar dari kamar mandi dengan hanya memakai handuk yang menutupi payudara sampai ke bagian paha. Tercengang oleh pemandangan tersebut, aku langsung tengkurap tak berani menatapnya. Kupikir dengan tengkurap tonjolan di celana dalamku dapat tertutupi sekaligus mengurangi daya tonjolnya karena melihat tubuh wanita molek lagi mulus walau berumur 35 tahunan.
"Kenapa Tok?", tanya Iswani menggoda sambil mengaduk-aduk isi tasnya.
"Mbak, isi tasnya apa aja sih kok rasanya berat sangat", tanyaku berusaha mengalihkan pikiranku dari tubuhnya.
"Pingin tahu aja!", jawab Iswani sambil tersenyum.
"Bukannya gitu Mbak, tapi tasnya Mbak bikin leherku pegal", kataku berkilah.
Tanpa menjawab lagi Iswani beranjak kearahku dan tanpa kusadari kedua tangannya sudah ada dipundakku. Tentu saja aku kaget karena tak mengira kalau dia sudah ada diatas punggungku. Belum habis rasa kagetku, cengkeraman kedua tangannya memijat pundakku tepat didaerah yang pegal hingga aku mengaduh.
"Aduh, Mbak! pelan-pelan..".
Tanpa mendengarkan kata-kata dia tetap memijat tengkuk hingga punggungku. Otot-ototku didaerah tengkuk hingga punggung mulai melemas dan berangsur-angsur berkurang rasa sakit dari pijatannya. Pegal-pegal yang kurasakan mulai berkurang. Pijatannya bergerak kebawah ke arah pantat. Kedua pahaku bagian belakang diapit oleh pahanya.
Sensasi pergesekan kulitku dengannya bagai mencapai ubun-ubun. Bersamaan dengan itu ketegangan batang kemaluanku makin bertambah hingga bak dongkrak mengangkat pantatku. Pijatan Iswani mencapai titik-tik sensitifku, selakangan hingga paha bagian dalam. Jari jemarinya berusaha masuk kedalam celana dalamku untuk menyentuh langsung dan mencekeram otot-otot pantatku. Tak lama kemudian rupanya kesabaran Iswani habis, tanpa isyarat ia menarik celana dalamku hingga lepas sementara aku masih tengkurap keenakan. Beruntung senjataku masih tegang dan menekuk kearah perutku sehingga masih tak dapat langsung diraihnya. Tapi kedua bola kemaluanku benar-benar terbuka dan langsung menjadi sasaran jari-jemarinya yang lentik. Usapan-usapanya pada kantong bola kemaluanku hingga pangkal paha membuatku tak tahan. Jari jemarinya terus bergerilya dan akhirnya mendapatkan yang dimauinya.
Tanpa melawan kubalikkan badanku. Batang kemaluanku yang telah berdiri tegak menjadi bulan-bulanan cengkeraman kedua tangannya. Walau begitu pertahananku belum sepenuhnya hancur. Tanpa mengenal rasa lelah digosok-gosokkan kedua telapak tangannya pada batang kemaluanku, keatas-kebawah. Cairan semenku bagai pelicin yang mempercepat gerakan tangannya. Batas nafsu Iswani ternyata juga telah mencapai titik kritis. Dilepaskannya handuk yang membungkus tubuhnya. Terlihat kedua payudaranya yang berukuran cukupan itu tampak tegang dengan ujung yang sedikit mendongkak. Dengan hati-hati ia memegang batang kemaluanku untuk dimasukkan pada liang kenikmatannya. Usaha awalnya belum cukup memasukkan seluruh batangku. Kurasakan jepitan batangku oleh liang kenikmatannya yang belum licin benar. Ditariklah badannya sedikit keatas, sambil melempangkan kedua kakinya, ia menghujamkan kembali badannya hingga seluruh kemaluanku terbenam dalam kemaluannya yang diikuti oleh erangannya, Iswani kemudian membungkukkan badannya hingga kedua bibir kami dapat saling bercumbu. Kedua payudaranya menempel diatas dadaku.
Kedua tanganku mulai bergerak mengusap punggung hingga mencekeram kedua pantatnya yang bahenol. Sementara kedua lidah kami bertautan yang dibarengi dengan saling hisap, Iswani mulai menggerak-gerakkan pinggulnya. Kurasakan cairan pelicin alaminya mulai membasahi seluruh batang kemaluanku. Makin lama gerakan pinggulnya makin menjadi hingga terlepaslah cumbuannya. Dengan bibir yang masih membuka Iswani mengeluarkan desahan-desahan kecil seiring dengan gerakan pinggulnya. Kecepatan naik turun pinggulnya makin lama makin cepat. Ketika sampai puncaknya, gerak tubuh Iswani terhenti, semua ototnya menegang, tangannya mencekeram erat pundakku, gelinjang tubuhnya mulai kurasakan, liang kenikmatannya bagai meremas batang kemaluanku, cairan hangat dalam kemaluannya mulai terasa. Tak kuasa menahan sensasi kenikmatan yang diberikan Iswani padaku, akhirnya burungku ikut memuntahkan isinya dalam lubang kenikmatannya. Tubuh Iswani kini melemas dan lunglai diatas tubuhku, meski begitu denyutan dinding liang kemaluannya masih kurasakan hingga batang kemaluanku selesai melepaskan sisa-sisa isinya. Tanpa ada usaha melepaskan burungku dari lubang vaginanya akhirnya burungku yang sudah sangat lemas lepas dengan sendirinya.
Sambil terpejam, Iswani yang masih lunglai diatas tubuhku berkata, "Tok, aku tidur disini aja ya..".
Tanpa menjawab kata-katanya akupun terlelap dalam pelukan Iswani. Satu jam lebih kami tidur dalam keadaan yang tak berubah. Panggilan alam membangukanku, kugeser tubuh Iswani kesampingku lalu kulepaskan genggaman tangannya pada tubuhku. Dalam keadaan bugil aku langsung bergegas masuk kedalam kamar mandi tanpa menutup pintunya. Setelah buang air kecil, kusiramkan air hangat dari shower ke seluruh tubuhku. Membayangkan dengan mata terpejam dibawah siraman air hangat akan kejadian yang baru saja kualami, rasanya tak dapat kupercaya.
"Sini Tok, kumandiin", kupandang suara Iswani tersebut sangat mengagetkanku hingga hampir-hampir membuatku terpeleset. "Aduh, Mbak ngagetin aja!", kataku jengkel.
Dengan tubuh yang juga masih bugil ia mengambil sabun dan menggosokkan ketubuh bagian depanku.
"Mbak, Mbak, nggak usah, saya bisa mandi sendiri", kataku.
Tanpa menghiraukan kata-kataku, ia menyabuni pangkal paha serta batang kemaluanku. Sebelum terjadi hal-hal yang kuinginkan tanganku bereaksi dengan meremas-remas payudaranya.
Kepalanya menengadah kearahku dan berkata, "Jangan Tok, aku masih capek..".
Tanpa menghiraukan kata-katanya, bibirku sudah melumat bibirnya. Setelah melepas bibirnya, kuraih sabun ditangannya tanpa perlawanan dan ganti kusabuni payudaranya, pinggulnya, serta daerah kemaluannya. Sabun kuletakkan kembali pada tempatnya, kuusap seluruh tubuhnya dengan tanganku dibawah guyuran air hangat dari shower, lalu kumatikan showernya setelah tubuh Iswani bersih dari sabun.
Berhadap-hadapan, kuciumi tubuhnya mulai dari leher, dada, perut dan berhenti di daerah kemaluannya. Dengan pasrah kedua tangan Iswani memegang pipa ledeng diatasnya untuk menjaga tubuhnya agar tak terpelset. Kujongkokkan tubuhku hingga tepat dibawah daerah kemaluannya. Kujilati pangkal paha kirinya lalu bergerak ke paha kanan, bolak-balik, dan agak berlama-lama ditengahnya.
"Antok.. Oh.. oh..", desahnya membuat perhatianku memusat pada vaginanya.
Kedua tanganku membuka bibir vaginanya dan kemasukkan lidahku sedalam-dalamnya. Ketika lidahku merasa lelah bibirku ganti bereaksi dengan menghasilkan hisapan-hisapan sensual.
"Mmh.. shh.. oh..", desahan Iswani makin menjadi-jadi.
Lidahku terus bergerak dan mulai bermain-main dengan klistorisnya.
"Ahh..!", erang Iswani.
Bibirku tak mau kalah, hisapan kecil pada klistorisnya membuatnya tergelinjang hingga hampir terpeleset. Tanganku yang sedari tadi mengusap-usap pantat dan pahanya mulai kualihkan perannya. Jari telunjuk tangan kanan mulai memasuki liang kenikmatannya dengan hati-hati. Tangan kanan Iswani melepas pegangannya dari pipa ledeng dan menarik kepalaku untuk masuk lebih dalam keliangnya. Akhirnya tubuhnya bergelinjang hebat, menegang dan kurasakan keluarnya cairan hangat dari dalam liang kenikmatannya di jari telunjukku.
"Aduh Tok, lemas nih", nadanya memelas.
Kubantu ia berjalan keluar kamar mandi menuju ranjangnya. Setelah kududukkan, aku mengambil handuk dan mebersihkan sisa-sisa air di bagian depan tubuhnya. Lalu kuminta ia tengkurap untuk membersihkan bagian belakang tubuhnya.
Sewaktu mengusap bagian pangkal paha dengan handuk, kulihat tubuh Iswani mulai menikmatinya. Usapan handuk kuganti dengan usapan permukaan tanganku. Tanpa berpikir lagi, kuciumi bagian belakang tubuhnya untuk merangsangnya kembali karena burungku sudah tak sabar lagi. Entah berpura-pura atau tidak, Iswani masih tetap memejamkan matanya. Tapi ketika ciumanku sampai pada tengkuk leher sebelah kirinya, ia mengerang lemah. Bersamaan dengan itu batang kemaluanku yang telah berdiri tegak kutempatkan saling bergesaran dengan bibir vaginanya.
Kurasakan kehangatan pada burungku di dalam kamar yang sejuk oleh AC. Sensasi gesekan antar kulit merangsang keluarnya zat pelicin alami dari liang kemaluan Iswani.
"Jangan main-main Tok!", kata Iswani yang sedikit mengejutkanku dan banyak membingungkanku akan maksudnya.
Bersamaan dengan keluarnya kata-kata tersebut Iswani mulai mengangkat sedikit tubuhnya dan bertumpu pada sepasang siku dan lututnya. Setelah kulihat lubang kemaluannya terbuka lebih lebar baru aku mengerti maksud kata-katanya. Langsung saja tanpa basa basi kumasukkan batang kemaluanku kedalam vaginanya lewat belakang. Dorongan pertama telah cukup membenamkan seluruh batang kemaluanku.
"Ahh..shh..", desah Iswani.
Kupegang kedua pinggul Iswani lalu kubuat gerakan maju mundur yang semakin lama semakin cepat. Tak beberapa lama tangan kanan Iswani mengarah kebelakang dan menarik pinggulku agar berhenti pada doronganku yang terdalam.
"Ah..!", ia menggelinjang tanda telah sampainya puncak kenikmatannya tapi aku masih dapat menahan puncakku.
Kulepas pegangan tanganku pada pinggulnya lalu bergerilya mengusap perut dan payudaranya. Kucoba kembali merangsanya dengan menumpangi bagian belakang punggungnya dengan dadaku. Kucium kembali tengkuknya dan kuhisap leher kirinya. Batang kemaluanku yang basah oleh cairan kehangatan Iswani mulai merasakan kembali gesekan-gesekan dengan dinding kemaluannya. Kali ini Iswani berinisiatif untuk menggerak-gerakkan pantatnya maju dan mundur. Kusambut pula dengan gerakan yang mendukung gerakannya. Dekapanku makin erat ketika mendekati klimaks.
Dengan napas berat kuucap bisikan lirih ditelinga kirinya "Mbak, aku mau keluar..".
Tanpa bisa kutahan lagi, penisku mengeluarkan seluruh isinya. Dalam keadaan otot-ototku yang masih menegang kurasakan tubuh Iswani ikut bergelinjang. Kemudian kucabut batang kemaluanku dari liang kenikmatannya setelah menunggu beberapa saat. Setelah terbaring terlentang di samping Iswani yang tertelungkup, aku menghela napas panjang berulang kali.
Bangun dari pembaringan, aku bergegas ke kamar mandi. Kali ini aku tak lupa menutup pintunya. Setelah mandi dan berpakaian aku merasa segar untuk kembali ke ranjangku dan tidur dengan nyenyak.
Bersambung . . .