Rasa lapar membangunkanku, kulihat Iswani menonton TV dengan memakai daster.
"Mbak jam berapa ini?", tanyaku padanya.
"Sudah jam 9 malam", jawabnya.
"Yuk cari makan malam!", ajakku padanya.
"Buka saja bungkusan itu, tadi sudah kubelikan, makan aja sendiri, aku sudah", kata Iswani.
"Tumben, Mbak kok baik banget, makasih ya", kataku memujinya sambil membuka bungkusan makanan yang berisi nasi sambal dan ayam goreng.
Karena sangat lapar maka aku makan dengan lahap dan cepat bak orang rakus. Setelah habis baru kurasakan pedasnya menempel di bibir tak mau segera hilang.
"Ssh huah, kok pedes banget sih Mbak, sambel apa itu tadi?", tanyaku penasaran.
"Cuma sambel biasa, masa pedas sih, tadi aku tambahin semua sambalku ke bungkusanmu, kukira kamu suka pedas", jawab Iswani sambil tertawa.
Kucoba gosok gigi dan mendekatkan bibirku dengan lubang keluarnya angin dari AC untuk segera menghilangkan rasa pedas dibibirku juga tak berhasil. Iswani yang melihat tingkah polahku semakin tertawa. Karena jengkel aku keluar kamar dan merokok diluar, pasrah dengan keadaan bibirku yang masih kepanasan.
Satu jam mengangin-anginkan bibir di teras kamar, aku merasa lebih baik. Kembali ke kamar kulihat Iswani masih rebahan di ranjangnya melihat acara TV. Melihat botol aqua yang masih ada isinya diatas meja kamar, aku jadi teringat vitamin C yang ada di tasku. Kuambil sebutir vitamin C dari dalam tas lalu kuambil gelas dan kumasukkan vitamin tersebut kedalamnya setelah kutuangkan aqua.
"Kamu minum apa Tok?", tanya Iswani ingin tahu.
"Vitamin C Mbak, mau?", tanyaku kembali sambil menenggak habis vitamin C-ku.
Iswani hanya menggelengkan kepala tanda tak berminat. Tergoda oleh panggilan kasurku yang kosong, aku segera merebahkan diri keatasnya dan kutarik selimutku.
"Keterlaluan kamu Tok, baru bangun sudah mau tidur lagi!", komentar Iswani.
"Habis mau apa lagi Mbak jam segini, jalan-jalan juga sudah sepi, toko-toko sudah tutup, pasar juga belum buka", jawabku santai.
"Ya ngobrol ini itu kan bisa!", jawab Iswani serius.
"Mbak, ngobrol itu makanan apa? bahannya dari apa?", tanyaku bercanda.
Bukannya menjawab Iswani malah melompat ke ranjangku yang hanya berjarak setengah meter dari ranjangnya dan tepat berada sisi kiriku. Iswani memasukkan tubuhnya kedalam selimutku dan meremas batang kemaluanku dengan tangan kirinya.
"Mau tahu ngobrol? Eh gemas aku sama kamu, diajak ngomong serius malah bercanda".
"Aduh, Mbak jangan diremas nanti bisa putus", cegahku.
Kedua kaki Iswani mengapit kaki kiriku dan wajahnya tepat dimuka wajahku hingga bibirnya berada hanya bebera sentimeter dari bibirku. Pandangan matanya menembus tatapanku menggugah gairahku. Hembusan nafas beratnya sangat terasa oleh bibirku. Tangan kananku yang bebas meremas payudaranya yang masih tersimpan dalam daster tanpa memakai BH. Serangan balasanku dibalasnya dengan memasukkan tangannya kedalam celanaku dan menggegam erat batang kemaluanku. Bibirnya mencumbui bibirku dibarengi dengan hisapan dan permainan lidah. Iswani juga menggeser-geserkan daerah kemaluannya pada paha kiriku. Tanganku melepas cengkeraman pada payudaranya lalu melepas kedua kancing depan dasternya hingga terbukalah kedua payudaranya. Kupindahkan cumbuanku dari bibir ke leher dan akhirnya ke payudaranya. Kukulum kedua punting susunya bergantian.
"Oh.. Tok, ayo lepas pakaianmu", desah Iswani.
Dalam sekejap tubuhku kubuat bugil, Iswanipun demikian meski masih berlindung terlentang dalam selimutku. Akupun kembali masuk kedalam selimut. Dan dalam kegelapan selimut, kucumbui seluruh tubuhnya hingga terhenti didaerah kemaluannya yang sudah agak basah. Hisapan dan jilatan lidahku menghujani seluruh bagian kemaluannya. Terobosan lidahku masuk ke liang kenikmatannya.
"Mmh.. ah.. ssh..", terdengar suara Iswani pelan.
Disingkapnya selimut yang menutupiku dan ditarik-tariknya kepalaku kearah lobang kenikmatannya yang terdalam.
"Tok,..", desah Iswani dengan otot-otot paha menegang lalu tubuhnya menggelinjang dan akhirnya terlentang lemas.
Dengan posisi agak duduk bertumpu dengan kedua lutut, kugenggam kedua pergelangan kaki Iswani keatas lalu kuletakkan diatas pundakku sampai pantatnya agak terangkat. Dengan posisi kaki Iswani pada pundak kumasukkan batang kemaluanku yang berdiri tegang kedalam lobang kemaluannya. Dengan mudah batangku masuk seluruhnya kedalam liang kenikmatannya dan rasanya sampai diubun-ubun. Satu dua gerakan maju mundur pelan kuteruskan dengan puluhan gerakan maju mundur cepat dan semakin cepat. Terus dan terus.. hingga Iswani mengerang. Kuhentikan gerakanku dan kuturunkan kedua kakinya terlentang diatas ranjang tanpa mencabut batang kemaluanku dari lobang kemaluannya. Dengan posisiku yang masih sama kupegang erat pinggulnya dengan tangan kiri. Dengan gerakan mundur pelan kulepas batang kemaluanku dari vaginanya. Tangan kananku kupakai untuk mengarahkan penisku kembali memasuki vaginanya.
Kubuat gerakan maju mundur lagi tapi kini hanya ujung penisku saja yang keluar masuk lobang kenikmatannya. Kutambah kecepatanku setahap demi setahap dan sesekali kubenamkan seluruh batang kemaluanku sedalam-dalamnya. Pantat Iswani ikut mengimbangiku dengan gerakan naik turun menginginkan tancapan batang kemaluanku lebih dalam lagi. Sedikit demi sedikit kurebahkan dadaku menindih payudaranya. Kedua kaki Iswani yang terlentang diapitkan pada ke kedua kakiku yang berada diatara kedua kakinya. Kuncian kakinya pada kakiku turut membuat otot-otot kemaluannya terasa mengapit penisku. Gesekan kulit penisku dan dinding kemaluannya menghasilkan efek rangsangan yang luar biasa. Sambil terus menggerakkan pinggulku kucumbu lehernya, kuhisap, dan kukulum telinga kirinya. Puncak demi puncak dicapai Iswani dengan beberapa cara yang berbeda-beda.
Melemasnya Iswani membuat kuncian kakinya pada kakiku terbuka. Kubuka kakiku hingga terlentang untuk ganti mengapit kedua kakinya. Manuverku ini membuat lubang vaginanya menyempit seakan-akan mencekeram batang kemaluanku. Cumbuan bibirku pada bibirnya terjadi tanpa terelakkan. Bibir bertemu bibir, lidah bertemu lidah dan hisapan disambut hisapan. Kedua tangannya memelukku erat-erat. Payudaranya merangsek dadaku. Gerakan naik turun pinggulku diimbanginya dengan serasi. Tanpa bisa kutahan lagi, sebuah denyutan terasa di penisku, meletuslah puncak kenikmatanku. Seketika itu lepaslah cumbuanku padanya. Dengan sisa tenaganya Iswani makin erat memelukku sambil membuat gerakan bak cacing kepanasan demi mengejar puncakku. Otot-ototnya menegang hebat mengundang denyutan-denyutan susulan dari penisku dan disambut dengan meriah oleh gelinjang tubuhnya. Meskipun tubuh kami berdua sudah tak bertenaga namun penisku tak segera ingin meninggalkan liang kenikmatan Iswani. Sisa-sisa denyutanku rupanya masih ditunggu hingga terkuras habis. Setelah mencabut penisku dari lobang vagina Iswani, aku terlentang disampingnya tertidur kelelahan hingga pagi, begitu pula Iswani.
Pagi sekali aku sudah bangun, kulihat Iswani masih tertidur pulas. Setelah membasuh muka, gosok gigi dan berpakaian, aku keluar kamar untuk jalan-jalan disekitar penginapan sambil menghirup udara pagi kota Banjarmasin. Kabut tipis masih menyelimuti beberapa permukaan jalan. Setengah jam kemudian aku balik ke penginapan. Sampai di penginapan aku menuju ke kafetaria untuk melakukan ritual pagiku, yaitu kopi panas dan sebatang rokok. Selesai ngopi aku kembali ke kamar, kulihat Iswani mulai terbangun.
Dengan mata yang yang masih terpejam Iswani bertanya, "Jam berapa Tok?"
"Baru jam 6 Mbak, tidur lagi aja", jawabku.
"Sini Tok, temanin aku", ajak Iswani dengan nada manja.
Ajakannya benar-benar menggoda karena kulihat tubuh Iswani terlentang telanjang dibalut selimut sehingga lekuk-lekuk tubuhnya yang elok masih dapat kuamati. Kuperhatikan Iswani belum juga mampu membuka matanya tapi gerakan tubuhnya menunjukkan kalau ia sudah tidak dapat tidur lagi. Gerakannya kekiri dan kekanan yang entah disengaja atau tidak menyingkap sebagian selimutnya. Pahanya yang putih mulus terpampang jelas oleh penglihatanku.
Mencoba tak tergoda aku membuka sedikit korden jendela untuk melihat-lihat pemandangan luar kamar.
"Diluar ada apa Tok?", tanya Iswani membuka sebelah matanya.
"Ada pemandangan bagus Mbak, ternyata di penginapan ini ada pelayan cewek yang cakep", jawabku bercanda.
Buk, sebuah bantal melayang tepat mengenai belakang kepalaku dan menghantukkannya ke kusen jendela.
"Aduh, pagi-pagi kok buat perkara", kataku dengan memegang hidungku yang agak kesakitan setelah terhantuk kusen jendela.
"Memangnya ada apa?", tanya Iswani tanpa rasa bersalah sedikitpun.
"Nih hidungku nabrak kusen", jawabku jengkel.
"Siapa yang suruh menabrakkan hidung ke kusen?", jawab Iswani santai.
Kuambil bantal yang mengenai kepalaku dan berjalan ke ranjang Iswani, sambil berkata, "Gara-garanya bantal yang Mbak lempar ke saya", kataku sambil menunjukkan bantal tersebut.
Menatapku dengan senyum nakal, Iswani menarik bantal yang masih kupegang erat hingga aku terjerembab ke arahnya kehilangan keseimbangan karena tak mengantisipasinya. Tubuhku terjatuh menindih tubuhnya yang masih terbalut selimut.
"Aduh, apa-apaan Mbak", tanyaku dengan mulut tepat diatas mulutnya.
"Terus maumu apa?", tantangnya dengan napas berat sambil memegang kepalaku dengan kedua tangannya.
"Apa-apa mau", balasku menggoda.
Dengan serta merta Iswani menarik kepalaku dan mencumbu mulutku. Sambutanku tak kalah cepatnya, kuimbangi cumbuannya bagaikan adegan foreplay dalam film-film biru.
Dalam pengaruh rangsangan nafsu yang hebat, otakku memberi komando pada kedua tanganku untuk terjun pada daerah pegunungan yang berselimut. Diikuti oleh gerakan gerilya kedua tanganku memberi serangan frontal dengan remasan-remasan pada payudara Iswani. Serangan kilat yang kulakukan membuat Iswani terbelalak. Tanpa melepas ciuman antar mulut, Iswani melakukan serangan balasan. Dua tangannya melepaskan kepalaku dan bergerilya mengusap punggungku dan terus melaju ke bawah. Kedua tangannya dengan mudah menyusup masuk kedalam bagian belakang celanaku dan meremas-remas pantatku. Tak cukup dengan meremas pantat, beberapa jarinya juga menekan-nekan daerah sensitif di daerah selakangan. Saat ini batang kemaluanku sudah mengeras bagai moncong meriam yang siap menembakkan mesiunya setiap saat. Khawatir akan kehabisan peluru saat perang sesungguhnya terjadi, maka kuajukan genjatan senjata dalam bercumbu. Ternyata ajakanku diterima tanpa syarat.
"Ayo Tok cepat lepas pakaianmu!", perintah Iswani.
Dalam sekejap akupun telanjang bulat. Dan dalam kejapan berikutnya kutarik selimutnya, kutindih badannya dan kutangkap kedua pergelangan tangannya dengan kedua tanganku. Dengan sekuat tenaga aku berusaha memegang tangannya terlentang keatas kepalanya. Batang kemaluanku kugesekkan pada daerah kemaluannya yang telah licin. Dadaku menindih dan bergesek pada kedua payudaranya seirama dengan gerakan bagian bawah perutku. Ciuman yang disertai hisapan mulutku pada daerah lehernya menghasilkan desahan dan erangan. Iswani membuka kakinya makin lebar membuat lobang kenikmatannya lebih terbuka bagi batang kemaluanku. Dengan usaha beberapa kali akhirnya batang kemaluanku dapat memasuki lubang kenikmatannya tanpa bantuan tanganku ataupun tangan Iswani.
Seiring dengan masuknya batang kemaluanku menuju liang kenikmatannya, timbullah rasa nikmat pada sekujur tubuh kami berdua. Jari-jari kedua tanganku terbuka, lepaslah genggamanku tapi jari-jari kedua tangannya mengisi ruang diantara jari-jariku hingga bersatu saling genggam. Sementara itu bagain bawah tubuhku membuat gerakan maju mudur dan keatas kebawah. Sesekali kuhentikan gerakanku dan Iswani menggantikannya dengan menggerakan pinggulnya berputar. Selang beberapa waktu kedua kakinya mengunci kakiku, kupandang wajahnya dengan mulut terbuka menghembuskan nafas-nafas berat pada bibirnya. Seolah menembus batas birahiku, tatapan matanya yang beradu pandang denganku mendorong ledakan klimaksku yang tak dapat kubendung. Cairan hangat yang keluar dari batang kemaluanku menerjang dinding liang kenikmatannya dan mengundang klimaksnya. Diikuti oleh tubuh Iswani yang mengejang dalam bebera saat, muncullah beberapa denyutan dari batang kemaluanku. Berangsur-angsur tubuhku terasa lemas dan lunglai dalam dekapan tubuh Iswani. Sebuah ciuman kulayangkan pada bibirnya sebelum menarik tubuhku dan terlentang disebelahnya. Terlelap beberapa waktu kudengar gemericik suara shower dari kamar mandi.
Semerbak bau harum sabun mandi menyebar dalam kamar menerpa hidungku dan membangunkanku dari pembaringan ketika Iswani keluar dari kamar mandi. Kamar mandi yang ditinggalkan Iswani segera kumasuki. Selesai mandi kudapati Iswani tengah bersolek mengenakan kaos lengan panjang warna merah menyala dan celana jeans yang ketat. Kupandangi tingkah laku Iswani sambil berbaring santai diatas ranjangku.
"Mbak, bisa cakep seperti itu makan apa saja sih?", tanyaku penasaran melihatnya.
Sambil memasukkan alat-alat pesoleknya, ia menjawab dengan senyum genit, "Kan habis makan kamu".
"Pagi ini aku udah habis Mbak, terus mau makan apa lagi?", tanyaku lagi.
"Aku juga udah kenyang kok", jawabnya santai sambil membongkar sebagian isi tasnya.
Tak lama kemudian Iswani memasukkan semua barang yang dibelinya di pasar kemarin kedalam tasnya.
"Tok, pagi ini aku mau ketempat saudara-saudaraku yang ada di Banjar Baru, mungkin sampai sore dan nanti malam kita bisa ketemu lagi, kamu masih mau nginap disinikan malam nanti?", tanya Iswani dengan menutup tasnya.
"Aku juga mau putar-putar kota Banjarmasin, paling-paling sore sudah balik, tapi malamnya aku mau cari makanan yang khas", jawabku.
"Kalau gitu berapa nomer HPmu, biar kusimpan dalam HPku? Andaikata aku balik sini kamu masih jalan kan bisa kususul", tanya Iswani dengan memegang HPnya.
Setelah kuberitahu nomer HPku pada Iswani, aku baru teringat kalau HPku kumatikan sejak berangkat dari tempat pemberangkatan bus di Balikpapan. Kuambil HPku dari saku jaket dan beberapa detik setelah kunyalakan sebuah panggilan terdengar.
"Ini nomernya Mbak?", tanyaku padanya sambil kuperlihatkan nomer yang muncul di HPku padanya.
"Iya", jawabnya singkat lalu berkemas dan keluar dari kamar tanpa mengucapkan kata pamitan.
Tak lama kemudian Iswani menghilang dari pandangan jendela kamarku.
Bersambung . . . .